Suara hantaman kaki ke samsak menggema di dalam Dojo kecil yang berada di pinggiran kota itu. Lantai kayunya berderit samar saat tubuh-tubuh yang berkeringat melompat, menendang, dan jatuh.
Lampu neon menggantung rendah, memantulkan bayangan gerak mereka di dinding yang mulai kusam. Satu-satunya semangat yang membuat tempat itu tetap hidup adalah tujuh orang yang bertahan malam itu para penghuni terakhir dari Phoenix Black Dojo.
Di sudut ruangan, berdiri seorang perempuan berambut panjang yang dikuncir tinggi. Nafasnya teratur, matanya tajam memantau gerakan sparing antara Rio dan Ciko yang tampak kelelahan.
Namanya Kazehaya, 22 tahun. Pewaris semangat dojo ini. Setelah ketua mereka Sensei Anwar meninggal dunia karena kecelakaan tragis dua tahun lalu, Kazehaya mengambil alih. Tidak secara formal, tapi secara hati, semua yang tersisa mengakuinya sebagai pemimpin.
Dulu dojo mereka ramai, penuh semangat. Tapi setelah kepergian sang ketua, satu per satu mulai pergi. Ada yang pindah ke Dojo lain, ada pula yang berhenti total.
Namun tujuh orang ini tetap bertahan, setiap malam dari habis maghrib hingga lewat tengah malam, demi menjaga warisan yang mereka cintai.
Lalu...
Tiba-tiba suara musik latihan terhenti. Sebuah nada dering terdengar nyaring dari pojok ruangan.
Kazehaya menyipitkan mata ke arah ponsel yang bergetar di bangku kayu tua. Dia berjalan pelan, menyeka keringat di pelipis, lalu meraih ponsel itu. Nama yang muncul di layar membuat dahinya berkerut.
UNKNOWN CALLER, Nomor tak dikenal, tapi entah kenapa terasa familiar.
Kazehaya menekan tombol hijau.
Kazehaya, “Halo?”
Suara pria di ujung sana terdengar berat, tajam, dan sangat dikenalnya.
“Lama tak bertemu, Pewaris Dojo Phoenix Black. Apa kamu masih menyimpan dendam atas apa yang terjadi dua tahun lalu?”
Mata Kazehaya langsung menajam.
Kazehaya, “...Akira.”
Seketika suasana Dojo hening. Rio menghentikan sparing-nya dan menoleh. Nira mengangkat wajah dari posisi push-up. Nama itu menggema di kepala semua orang di ruangan.
Akira ketua dari TaekRex Dojo, dojo saingan yang terkenal kejam dan tanpa belas kasihan. Akira adalah lawan bebuyutan Kazehaya sekaligus orang terakhir yang terlihat bertanding dengan mendiang Sensei Genji sebelum kecelakaan itu terjadi.
“Aku akan datang. Bersama timku. Tujuh hari dari sekarang. Aku ingin lihat... apakah kau dan sisa-sisa api Dojo kalian masih layak untuk disebut petarung.” tantang Akira.
Kazehaya mengepalkan tangan, "Jangan pikir kami akan gentar. Phoenix Black mungkin kecil, tapi kami tidak pernah padam."
Klik..
Panggilan terputus, Kazehaya berdiri membeku. Lalu ia menoleh ke semua anggota.
Kazehaya berbicara dengan lantang dan tegas, “Kita tak punya banyak waktu. Mereka akan datang. Bukan hanya untuk mengalahkan kita, tapi untuk menghapus nama Phoenix Black selamanya.”
Semua saling berpandangan, semangat mulai menyala di mata mereka.
“Kalau itu perang maka aku siap.” timpalnya Rio.
“Sudah lama aku ingin balas dendam.” sahut Thariq.
“Aku akan buat mereka pingsan sebelum sempat membuka sepatu.” ucapnya Edo.
Kazehaya menatap mereka satu per satu, lalu berkata pelan, “Latihan malam ini dimulai dari awal lagi. Kita punya tujuh hari... untuk membakar kembali Phoenix Black.
Rio melangkah mendekat, menatap Kaze yang sejak tadi diam di sudut, seolah tak tergoyahkan oleh segala obrolan yang memenuhi ruang latihan.
Dengan suara serius dan penuh tekanan, Rio berkata,
"Jadi… bagaimana dengan tantangan itu, Kaze?"
Ia berhenti sejenak, membiarkan udara tegang menggantung di antara mereka.
"Apa kamu mau menerima tantangan Akira satu minggu dari sekarang?"
Suasana langsung hening. Semua pasang mata tertuju pada gadis berambut hitam yang biasa menyembunyikan identitasnya. Hanya suara napas dan detik jam dinding dojo yang terdengar.
Kaze mendongak perlahan. Sorot matanya tajam tapi tenang. Tanpa senyum, tanpa gentar, ia menjawab pelan namun jelas,
"Kalau itu yang dia mau aku akan datang."
"Tapi pastikan dia siap untuk menyesal."
Kazehaya masuk ke ruang ganti tanpa banyak bicara. Tangannya cekatan mengganti pakaian dojo dengan celana jeans gelap yang pas di tubuhnya, lalu meraih jaket denim lusuh yang sudah menemaninya bertahun-tahun saksi bisu perjalanan panjang yang tak semua orang tahu. Ia menatap bayangannya di cermin sebentar. Tatapan dingin. Tak ada ragu. Tak ada senyum.
Keluar dari dojo, ia melangkah menuju parkiran. Di sana, tunggangan setianya menanti sebuah motor sport berwarna hitam pekat, mengkilap di bawah cahaya lampu jalan, seperti bayangan malam itu sendiri.
Dengan gerakan ringan tapi tegas, Kazehaya mengenakan helm, lalu menyalakan mesin. Suara knalpot meraung pelan, membelah keheningan malam yang mulai turun.
Angin menerpa wajahnya saat ia melaju pergi, membelah jalanan kota yang dingin. Tak ada yang tahu ke mana dia akan pergi malam ini. Tapi satu hal pasti Kazehaya tak pernah berkendara tanpa tujuan.
Pintu dojo tertutup pelan, meninggalkan keheningan yang menggantung. Hanya terdengar kipas angin tua yang berderit pelan dan suara sandal salah satu dari mereka yang digeser sembarangan ke sudut ruangan.
Rio mengangkat alis, melempar handuk ke bahunya.
"Liat nggak tadi? Tatapan matanya beda."
Esra menyandarkan punggung ke dinding, tangan menyilang di dada.
"Kazehaya makin aneh. Dulu dia paling cerewet soal strategi. Sekarang cuma dateng latihan, lalu kabur begitu aja."
Sakura duduk di lantai, mengikat rambutnya sambil bergumam,
"Gue rasa... dia nyembunyiin sesuatu. Dari kita semua."
"Mungkin soal Akira?" tanya Nira ragu.
"Atau... soal siapa dia sebenarnya?" sahutnya Chiko.
Semua diam. Mereka tahu Kazehaya selalu menjaga jarak, seolah ada tembok tak kasatmata yang memisahkannya dari mereka. Lima tahun bersama belum cukup untuk menembus itu.
Ken, yang dari tadi hanya menatap pintu dojo, akhirnya angkat bicara dengan suara pelan,
"Apapun itu, kita harus siap. Kalau dia beneran nerima tantangan Akira, kita harus ada di sisinya. Entah dia suka atau nggak."
Mereka saling pandang, seolah menyepakati hal yang tak perlu diucapkan: Kazehaya mungkin menyimpan rahasia… tapi mereka tetap keluarganya di dojo ini.
Malam masih muda saat motor sport hitam itu berhenti di depan sebuah gerbang megah yang menjulang setinggi tiga meter, berukir motif klasik dan dilengkapi sistem pengamanan elektronik.
Begitu sensor mengenali pelat nomor kendaraan, pintu gerbang perlahan terbuka lebar, memperlihatkan jalanan beraspal halus yang diapit taman-taman terawat dan lampu taman berbentuk lentera.
Kazehaya melepas helmnya, memperlihatkan wajah tenangnya yang tertutup rambut panjang yang sedikit basah oleh keringat latihan.
Wajah itu yang semua orang di dojo kenal sebagai Kazehayansebenarnya milik seseorang yang lebih dari sekadar mahasiswa atau petarung bela diri.
Begitu motornya masuk ke halaman, seorang security berseragam hitam langsung berdiri tegak di depan pintu utama mansion. Ia memberi hormat dengan sopan, wajahnya menampakkan penghormatan yang tulus bercampur waspada.
"Selamat malam, Non Kia."
Ia tak menjawab langsung. Hanya mengangguk singkat, melepaskan jaket denimnya lalu menyampirkannya di bahu. Suaranya terdengar kalem namun berwibawa saat bertanya,
"Apa Kakek sama Mami sudah balik dari Malaysia?"
Security itu menunduk sedikit,
"Baru mendarat satu jam lalu, Non. Sekarang sedang di ruang utama bersama tamu dari Istanbul."
Kia atau yang dikenal di luar sebagai Kazehaya menghela napas pendek.
"Baik. Tolong jangan beri tahu siapa pun kalau aku sudah pulang. Termasuk Mami."
"Siap, Non."
Ia lalu berjalan masuk ke dalam mansion mewah itu, meninggalkan dunia luar, kembali menjadi siapa dirinya yang sebenarnya. Tak ada yang tahu bahwa gadis misterius yang menguasai ring pertarungan itu adalah pewaris sah dari dinasti bisnis internasional yang tak banyak orang berani sebutkan namanya.
Baru saja tangannya menyentuh kenop pintu kamar di lantai dua, suara berat dan tegas menggema dari ujung koridor, menghentikan langkahnya seketika.
"Kia Eveline Kazehaya!"
Tubuh Kia menegang. Hanya segelintir orang di dunia ini yang tahu nama lengkap itu dan hanya satu orang yang cukup berani mengucapkannya dengan nada seperti itu.
Perlahan, Kia menoleh.
Di ambang tangga, berdiri sosok wanita paruh baya dengan wibawa tak terbantahkan. Setelan formal berwarna navy melekat sempurna di tubuhnya yang tegap, rambutnya disanggul rapi tanpa sehelai pun terlepas, dan sepasang mata tajam itu menatap langsung ke jantung keberanian siapa pun yang melihatnya.
Itu Mami Silviana Narendra. Sang direktur utama sekaligus penjaga garis keras reputasi keluarga.
Dengan langkah tenang namun penuh tekanan, Mami menuruni tiga anak tangga. Suara hak sepatu kulitnya bergema pelan di koridor marmer rumah besar itu, namun dentingnya terasa seperti palu godam di dada Kia.
"Kau pulang larut malam... menyamar sebagai laki-laki... dan menghindari kami setelah tiga bulan kami ke Malaysia?" Suaranya datar tapi tajam. "Sekarang bahkan memerintah staf untuk tidak memberi tahu keberadaanmu?"
Kia menahan napas. Nafas yang terasa lebih berat dari biasanya. Mami berdiri di depannya kini, hanya berjarak satu anak tangga.
"Kia, kamu itu satu-satunya penerus keluarga Narendra!" Suaranya meninggi. "Kamu tinggal seminggu lagi diwisuda, dan ini alasannya kamu menolak beasiswa ke Harvard?"
Tatapan matanya menyapu dari atas ke bawah, seperti sinar X yang menyisir luka tersembunyi.
"Lihatlah penampilanmu rambutmu dicap merah seperti anak jalanan, jaketmu penuh sobekan, sepatu boot berdebu, seperti anggota geng motor! Ini bukan gaya seorang Kazehaya!"
Diam. Hening menggantung seperti awan gelap sebelum badai.
Tapi Kia tetap diam, menggigit bibir bawahnya. Kia mengangkat wajahnya perlahan, mata beningnya kini dipenuhi api bukan kemarahan, tapi luka yang telah lama terpendam.
"Aku ini cuma ingin hidup bebas, Mi," ucapnya lirih, namun tegas. "Aku capek jadi boneka keluarga. Sedari kecil, aku belajar tunduk, patuh, pakai baju yang mami pilih, sekolah di tempat yang mami tentukan, ikut les ini itu biar terlihat sempurna di mata orang luar."
Mami mengernyit, tapi Kia belum selesai.
"Dan aku tahu, Mi. Sejak dulu, Mami seperti nyesal melahirkan anak perempuan. Karena katanya anak perempuan itu lemah, rapuh, gak setangguh anak lelaki. Karena katanya pewaris seharusnya laki-laki. Tapi kenyataannya, Mami cuma punya aku. Dan Mami gak pernah benar-benar menerimaku jadi diriku sendiri."
Suara Kia bergetar di akhir kalimatnya.
"Aku pakai jaket sobek dan rambut merah bukan karena aku ingin jadi pemberontak, tapi karena itu satu-satunya hal dalam hidupku yang bisa kupilih sendiri tanpa harus minta izin keluarga Narendra.”
Mami menatap Kia lekat-lekat. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti belati yang dipoles dengan pengalaman dan kekuasaan.
“Jadi sekarang kau menyalahkanku?” suaranya rendah namun mengandung tekanan. “Kau pikir mudah menjadi perempuan yang harus memimpin keluarga besar seperti Narendra? Kau pikir aku punya kemewahan untuk ‘bebas’ seperti yang kau dambakan?”
Ia menarik napas panjang. Jemarinya saling bertaut di depan perut, seperti sedang menahan diri untuk tidak meledak.
“Aku membesarkanmu bukan untuk jadi korban perasaanmu sendiri, Kia,” lanjutnya dingin. “Kau anakku, darah dagingku. Tapi takdir membuatmu satu-satunya penerus, dan itu bukan pilihan.itu tanggung jawab.”
Ia menuruni satu anak tangga lagi, kini berdiri sejajar dengan Kia.
“Aku tidak menyesal melahirkanmu. Tapi aku kecewa karena kau mengkhianati segala jerih payah yang kami tanamkan. Kau lebih memilih kebebasan yang liar daripada kehormatan keluarga.”
Wajahnya mendekat, suaranya menurun tapi makin menusuk.
“Kalau kau mau hidup bebas, Kia Eveline Kazehaya maka lepaskan nama ini. Keluar dari rumah ini. Dan jangan bawa-bawa lagi nama Narendra di pundakmu.”
Suasana di lorong megah itu menegang. Aroma parfum mewah bercampur udara panas dari emosi yang memuncak.
Mami Silvia menatap putrinya seolah ingin merobek tirai yang selama ini memisahkan kehendaknya dan kenyataan.
"Aku capek, Kia!" serunya akhirnya, napasnya terengah menahan emosi yang tertahan bertahun-tahun. "Capek menghadapi anak yang selalu kabur dari tanggung jawab, yang terus bersembunyi di balik peluh dan luka hanya demi menjadi perempuan yang ingin hidup seperti atlet jalanan!"
Tangannya melayang sejenak ke udara, seolah ingin menghapus jejak semua harapan yang pernah ia letakkan di pundak putrinya.
"Ini yang kau pilih? Hidup sebagai petarung jalanan? Kau pikir pewaris keluarga Narendra itu bisa berdarah-darah di ring tanpa malu?"
Namun sebelum Kia sempat membalas atau air matanya jatuh, terdengar suara yang menggetarkan lantai marmer:
“Sudah cukup.”
Langkah lambat namun tegas terdengar dari ujung koridor.
Seorang pria sepuh muncul, tegap meski usia telah meluruhkan kekuatan ototnya. Rambutnya memutih rapi, tongkat ukiran kayu cendana di tangan kanan menjadi simbol wibawa, bukan kelemahan.
Tuan Besar Narendra. Pendiri kerajaan bisnis keluarga. Ayah dari Silvia, Kakek dari Kia pria tua keturunan Jepang.
Mami Silvia langsung menegakkan tubuhnya. Kia memalingkan wajah, mencoba menyeka air matanya diam-diam.
Kakek berhenti di antara mereka. “Silvia,” ucapnya pelan tapi tegas. “Kau bukan sedang bicara dengan sekretaris yang tak becus. Dia putrimu. Darahmu. Dagingmu. Kau lupa?”
Mami menggigit bibir, menahan bantahan.
"Kau ingin dia jadi pewaris, tapi kau tidak pernah membesarkan hatinya sebagai manusia. Kau bentuk dia menjadi simbol bukan anak. Maka jangan terkejut jika ia melawan."
Ia lalu menoleh pada Kia. "Dan kau, Kia..." suaranya melunak. "Hidup memang tidak adil. Tapi melarikan diri bukan tanda kekuatan. Kalau kau ingin bebas, pastikan itu bukan karena takut tapi karena kau tahu siapa dirimu dan mau bertanggung jawab atas pilihanmu."
Kakek menghela napas panjang, lalu berkata lirih, "Aku ingin kalian duduk. Tidak sebagai CEO dan pewaris. Tapi sebagai ibu dan anak. Karena kalau rumah ini tak lagi mengenal cinta maka warisan apa yang bisa kita banggakan selain kehancuran?”
Setelah suasana mereda, Kakek Narendra duduk di kursi antik di ruang tengah, diapit oleh putrinya Silvia dan cucunya Kia. Meja teh di hadapan mereka tetap dingin, karena tidak ada yang menyentuh cangkirnya. Keheningan menggantung, seolah tak ada yang ingin membuka topik apa pun setelah ledakan emosi tadi.
Namun, suara Kakek kembali terdengar. Tenang, tapi sarat maksud.
“Ada satu hal lagi yang ingin Kakek bicarakan.”
Kia mengangkat wajahnya perlahan, sementara Mami Silvia menoleh dengan sedikit waspada.
Kakek melipat tangannya di atas tongkatnya.
“Kia... Kakek paham kau ingin bebas, ingin menentukan jalanmu sendiri. Tapi dunia ini tidak dibangun hanya atas keinginan. Ada nilai, ada fondasi yang harus dijaga dan salah satu yang selama ini kulihat hilang darimu adalah arah.”
Ia berhenti sejenak, menatap Kia dalam-dalam.
“Itulah kenapa Kakek ingin mengenalkanmu pada seseorang. Anak dari sahabat lama Kakek di pesantren. Namanya Damar Faiz Alfarez.”
Kia membeku di tempat.
“Dia lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Pintar, tenang, dan sangat menjunjung nilai agama serta keluarga. Anak dari seorang kiyai yang dihormati. Aku percaya dia bisa menjadi penyeimbangmu.”
Mami Silvia menoleh dengan alis sedikit terangkat, tapi tidak langsung menolak. Malah seolah lega karena ada solusi yang terdengar “beradab”.
Kia menggigit bibirnya. “Kakek... ini maksudnya...?”
“Pernikahan,” jawab Kakek datar. “Taaruf, tentu. Bukan paksaan. Tapi Kakek ingin kau pertimbangkan serius. Damar sudah tahu tentangmu dan dia bersedia. Bahkan tidak peduli masa lalumu yang kau anggap ‘liar’. Katanya, semua orang bisa kembali ke arah yang benar.”
Kia tercekat. Bukan karena nama Damar. Tapi karena dunia seolah kembali berkonspirasi menutup semua jalan pelariannya.
Kia tertawa kecil, getir, lalu berdiri dari duduknya.
“Bagaimana mungkin aku menikah dengan ustadz, Kek?”
Suasana kembali tegang. Mami Silvia menatap Kia tajam, tapi tak menyela. Kakek Narendra tetap tenang, menunggu.
“Aku bahkan paling nggak suka dipaksa pakai hijab, Kakek!” Kia melangkah pelan, bolak-balik di ruang tengah. “Aku belum siap. Aku nggak munafik. Aku masih belajar shalat yang bolong-bolong, aku masih suka ikut balapan malam. Bahkan teman-temanku pun gak ada yang tau nama asliku. Aku ini bukan perempuan alim seperti yang kalian harapkan.”
Suara Kia mulai meninggi, napasnya memburu menahan gejolak dalam dadanya.
“Kalian kira dengan menikahkanku sama seorang ustadz, semua masalah dalam diriku bisa selesai?”
Ia menatap Kakek, luka lama tampak di balik matanya yang memerah.
“Aku ini bukan rusak, Kek. Tapi aku lelah hidup dalam cetakan yang bukan aku. Lelah jadi simbol keluarga. Kalian terus bicara soal kehormatan, tanggung jawab, citra tapi kapan terakhir kalian tanya: ‘Kia, kamu bahagia nggak?’”
Hening. Kakek tak langsung menjawab.
Kia melanjutkan, lebih pelan, tapi suaranya makin berat.
“Dan kalau Damar Faiz Alfarez itu anak kiyai, ustadz dari Mesir, orang baik, alim... justru dia pantas dapet perempuan yang juga baik, Kek. Bukan aku.”
Ia tertunduk.
“Jangan pakai dia untuk menyucikan luka yang kalian sendiri torehkan padaku.”
Kakek Narendra tetap duduk tenang. Ia tidak menunjukkan kekecewaan, tapi sorot matanya dalam, seolah memahami bahwa luka yang Kia bawa terlalu dalam untuk disembuhkan dengan paksaan.
Ia mengetukkan tongkatnya pelan ke lantai, lalu menatap Kia yang masih berdiri dengan napas tersengal.
“Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik, Kia,” ucap Kakek lembut tapi mengandung wibawa. “Aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan memberimu waktu.”
Kia menoleh, keningnya berkerut.
“Satu minggu,” lanjut Kakek. “Sampai hari wisudamu tiba. Gunakan waktu itu untuk berpikir, bukan untuk melarikan diri lagi. Temui Damar. Bicaralah sebagai manusia, bukan calon pasangan. Setelah itu, keputusan tetap di tanganmu.”
Mami Silvia mendesah pelan, lalu ikut angkat suara.
“Dan selama seminggu itu, kamu akan tinggal di rumah. Bukan di dojo. Bukan di apartemen teman-temanmu. Kamu ini bukan anak remaja jalanan, Kia! Ingat siapa dirimu!”
Kia memutar matanya, hendak menyela, tapi Mami mengangkat tangan.
“Aku tahu kamu benci dikurung. Tapi kamu sudah terlalu lama hidup dengan mengabaikan siapa yang membesarkanmu. Ini bukan hukuman. Ini cara terakhir kami mengingatkanmu sebelum semuanya terlambat.”
Kakek berdiri perlahan. Wajahnya teduh, tapi penuh makna.
“Aku percaya padamu, Kia. Tapi kepercayaan tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh tanggung jawab.”
Ia menepuk pundak cucunya dengan lembut, lalu berjalan meninggalkan ruangan, disusul Mami yang hanya memberi pandang mata dingin.
Kini, Kia berdiri sendiri di ruang megah yang terasa kosong. Dilema bergema di dadanya lebih keras daripada teriakan siapa pun malam itu.
BRAK!
Pintu ruang sparing pribadi kembali bergema di dalam rumah besar yang sunyi. Lantai matras menyambut langkah kaki Kia yang penuh amarah. Ia melepas sepatu boots-nya dengan gerakan kasar, menggulung lengan jaket lusuhnya, dan mengikat rambut merahnya tinggi-tinggi seperti hendak berperang.
"Jadi ini rencana mereka? Menikahkanku dengan ustadz alim yang bahkan belum pernah melihat ring tinju?!"
BUK!
Satu pukulan keras mendarat di samsak. Ia mundur satu langkah, lalu menendang dengan sisi kaki tepat di bawah bagian leher samsak. Dentumannya menggema, seperti suara isi dadanya yang selama ini dibungkam.
"Ustadz Damar Faiz Alfarez... lulusan Al-Azhar... anak kiyai... serius, Kek?"
DOR!
Tinju kanan Kia melayang cepat, diikuti kombinasi uppercut dan hook. Peluh mulai menetes, tapi semangatnya belum surut.
“Baik. Kalau memang kalian pikir aku cocok buat orang kayak dia. aku akan pastikan dia sendiri yang mundur dari rencana tolol ini.”
Ia berhenti. Menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang menempel di dinding ruangan. Matanya liar, rambutnya berantakan, peluhnya mengalir.
Ia tersenyum sinis.
“Lihat siapa aku, Ustadz... Lihat baik-baik. Biar kamu sendiri yang jijik. Biar kamu tahu bahwa Kazehaya Kia ini bukan ‘putri baik-baik’ yang pantas kau bimbing ke surga.”
Ia mengambil botol air dan menyiram wajahnya. Nafasnya masih berat.
"Game dimulai sekarang," gumamnya sambil kembali memukul samsak. "Mari kita lihat seberapa kuat imanmu, Ustadz."
Di ruang tamu sederhana namun rapi di Pesantren Al-Firdaus, udara sore terasa hangat oleh aroma kayu manis dari teh yang disajikan Ummi.
Abi, duduk dengan jubah putih dan sorban yang dililit rapi di bahunya, tengah berbicara tenang dengan Ustadz Darwis, putra sulungnya yang kini menjadi salah satu pengajar senior di pesantren.
Az-Zahra, si bungsu yang baru pulang dari madrasah aliyah, duduk sambil membuka kotak bingkisan dari keluarga Narendra yang baru datang pagi tadi.
"Ini foto calon taarufnya Damar?" tanya Zahra sambil membuka map cokelat berstempel resmi keluarga besar itu.
“Eh—astaghfirullah!” serunya seketika, nyaris menjatuhkan map.
Darwis segera menoleh, menarik map itu dan melihatnya sendiri.
Matanya melebar. Mulutnya membuka tanpa suara.
Di dalam foto itu, berdiri seorang gadis muda dengan rambut merah terang menjuntai liar, mengenakan jaket kulit robek, kaus hitam dengan cetakan tulisan asing, dan celana sobek di lutut. Ia tersenyum tipis ke kamera senyum yang lebih mirip tantangan daripada ketulusan.
"Ini... calon untuk Damar?" Darwis menatap Abi dan Ummi tak percaya.
Ummi mengambil fotonya dengan ragu. Ketika melihat, ia langsung menutup mulut dengan tangan.
"Ya Allah... ini anak dari keluarga Kazehaya itu?"
Abi hanya diam. Lama. Tatapannya tak bergeser dari foto tersebut.
"Namanya Kia Eveline Kazehaya," gumam Darwis, membaca keterangan. "Anak satu-satunya dari Ny. Silvia Narendra. Lulusan bisnis internasional... dan katanya, dia diam-diam atlet bela diri di turnamen underground?!"
Az-Zahra mendekat ke Ummi, berbisik, “Ummi, rambutnya merah. Kayak karakter anime. Gimana kalau dia ngajarin anak-anak di sini nyemprot cat rambut?”
“Zahra,” tegur Ummi pelan.
Namun kekhawatiran di wajahnya tak bisa disembunyikan.
Darwis akhirnya bersuara.
“Abi... serius kita akan biarkan Damar taaruf dengan perempuan seperti ini?”
Abi Ansari menghela napas panjang. Lalu perlahan berkata, “Orang yang paling jauh dari cahaya kadang justru paling haus akan kebenaran. Jangan nilai dari satu foto.”
Tapi Darwis menjawab lirih, “Kalau cahayanya malah padamkan bara di rumah ini kita harus bersiap.”
Zahrah masih belum bisa menahan keterkejutannya. Ia meletakkan foto Kia di meja sambil mengerutkan kening dalam.
“Abi, Ummi, Kak Darwis…” katanya dengan nada setengah panik, “kalau foto ini sampai tersebar ke para santri, atau ke para pengajar bisa jadi bahan omongan satu pesantren! Rambut merah, baju robek, tampang galak banget. Ini bukan calon ustadzah, ini kayak calon ketua geng motor!”
Ia menatap kakaknya, Damar, yang baru saja masuk dari pintu belakang, menggantungkan syal lehernya di rak kayu.
"Dan kak Damar... serius mau taaruf sama orang kayak gini? Nanti orang-orang bilang apa? Masyarakat bisa salah paham! Gimana kalau dia masuk pesantren kita terus semua anak jadi ikutan ngecat rambut?!"
Damar menatap adik bungsunya itu dengan senyum tenang. Ia berjalan pelan, mengambil foto itu, lalu melihatnya sesaat tak menghakimi, tak kaget, hanya mengamati.
Kemudian ia menatap Zahrah. Lembut. Tapi penuh makna.
“Zahrah,” ucapnya tenang, “dulu saat Rasulullah menerima Islam dari malaikat Jibril, siapa yang pertama kali percaya padanya?”
“Khadijah,” jawab Zahrah spontan.
“Betul,” ujar Damar. “Dan Khadijah bukan perempuan biasa. Ia perempuan kuat. Pengusaha. Berani. Dan berbeda dari kebanyakan perempuan zamannya.”
Ia menaruh foto itu kembali ke meja.
“Aku tahu, penampilan bukan segalanya. Bisa jadi dia keras di luar karena terlalu lama tak pernah disentuh kelembutan. Bisa jadi bajunya robek karena dia berlari dari luka, bukan karena ingin kelihatan liar.”
Zahrah membuka mulut, tapi tak jadi bicara.
Damar melanjutkan, “Kalau semua orang memandang dari sisi luarnya saja, lalu siapa yang akan mengulurkan tangan untuk menuntun orang seperti dia?”
Darwis terdiam. Ummi juga mulai menunduk, memikirkan kata-kata putranya.
Damar tersenyum lagi. “Aku belum tahu apakah dia jodohku atau bukan. Tapi aku tahu setiap jiwa yang kelam pun berhak mendapatkan cahaya, asal ia masih mau belajar melihat.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!