NovelToon NovelToon

Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Asap Kopi, Jalan Berliku dan Pimpinan yang Dingin

Mobil dinas berwarna putih kusam itu melaju pelan di antara jalan berkelok dan tanjakan terjal. Di sisi kanan, jurang curam menganga ditutupi semak dan ilalang. Di sisi kiri, dinding bukit menjulang dengan akar-akar pohon besar yang mencuat ke jalan. Kirana menggenggam erat ranselnya yang berada di pangkuan, mencoba menahan rasa mual yang mulai menyerang dari perut.

“Masih lama, Da?” tanya Anna kepada sang sopir dengan panggilan khas orang Padang.

"Sedikit lagi, Dok. Nanti kita singgah dulu di warung Mak Nur buat ngopi sebentar," ujar Sarkani—sopir Puskesmas yang menjemputnya di kota Solok. Usianya mungkin mendekati kepala empat, logatnya kental Minang, dengan senyum yang nyaris tak pernah lepas dari wajahnya sejak mereka berangkat.

Kirana hanya mengangguk. Wajahnya pucat, pandangannya tak lepas dari jalan di depan. Dia sudah tiga kali ke daerah terpencil selama kuliah, tapi tidak ada yang se-ekstrem ini. Jalannya sempit, licin karena gerimis semalam, dan tak ada sinyal ponsel sejak dua jam lalu. Ia hanya bisa pasrah, mengandalkan Pak Sar dan GPS tua di dashboard yang kadang hidup kadang tidak.

"Lapar ya, Bu Dokter? Biasanya orang kota gitu. Biasa sarapan roti, kopi-kopi mahal. Begitu dibawa ke sini, langsung masuk angin," celetuk Da Sar lagi sambil terkekeh.

Kirana memaksakan senyum. "Iya, Da Sar. Tadi buru-buru, cuma sempat minum teh botolan di hotel."

"Besok-besok, bikin kopi sachet sama kerupuk sanjai aja. Aman!"

DaSar tertawa lepas, suaranya bergema di dalam kabin. Sementara Kirana mencoba tertawa kecil, hatinya masih diliputi banyak tanya. Keputusan menerima tugas dari program Nusantara Bakti ini bukan hal mudah. Tapi ia ingin keluar dari zona nyaman. Menjadi dokter, bukan hanya untuk tempat nyaman dan aman, kan?

Mobil akhirnya berhenti di sebuah warung kayu di pinggir jalan. Di depannya, ada teras sederhana dengan bangku panjang dari bambu. Di dalam, asap tipis mengepul dari ceret besar di atas tungku. Aroma kopi dan kayu bakar menyambut Kirana seperti pelukan hangat di tengah ketidakpastian.

"Mak Nur!" panggil Pak Sar.

Seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam warung. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan kain batik dan blus sederhana. Matanya menyipit saat melihat Kirana.

"Ooo... ini to bidan dokter yang baru ditugaskan itu? Mudo nyo...," gumamnya sambil menatap Kirana dari ujung kepala sampai kaki.

"Dokter, bukan bidan, Mak. Tapi bisa dibilang serba bisa," jawab Kirana sambil tersenyum ramah.

Mak Nur tersenyum simpul. "Hmm, baguslah. Di kampung sini, yang penting bisa nolong orang. Mau dokter, bidan, atau mantri, asal tangannya dingin."

Kirana hanya mengangguk pelan. Ia mulai merasakan bahwa penilaian masyarakat di sini sangat berbeda dari kota. Gelar tak terlalu penting. Yang dinilai: apakah kamu bisa jadi harapan saat mereka terdesak?

Mereka duduk di bangku panjang. Sarkani sudah asyik menyeruput kopi hitam dan makan pisang goreng. Kirana memesan teh manis panas. Saat menyesapnya perlahan, ia memandangi awan rendah yang menyelimuti perbukitan. Indah, tenang, tapi juga sunyi dan misterius.

"Da Sar...," ucap Kirana akhirnya, "sejujurnya saya agak takut. Tempat ini terasa... asing."

Sarkani berhenti mengunyah. Ia menoleh, lalu menepuk pelan bahu Kirana. "Memang begitu, Dok. Tapi tenanglah. Di sini orangnya baik-baik. Asal kita sabar, dan pandai bawa diri. Lama-lama, tempat ini akan jadi rumah juga."

Kirana menatap wajah pria awal empat puluh itu. Tatapan nya memberi sedikit ketenangan. Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Terima kasih, Da Sar."

Setelah lima belas menit, mereka melanjutkan perjalanan. Jalan semakin sempit dan tak lagi beraspal. Mobil bergoyang setiap kali roda menghantam batu atau lobang di tengah jalan tanah. Tapi di tengah ketegangan itu, Kirana mulai merasa sesuatu tumbuh dalam hatinya. Sebuah rasa penasaran, rasa ingin tahu... dan semacam bisikan kecil yang mengatakan: tempat ini akan mengubah hidupmu.

Saat mereka mulai menuruni lembah menuju Nagari Talago Kapur, sebuah papan kayu menyambut mereka:

SELAMAT DATANG DI NAGARI TALAGO KAPUR

Raso jo pareso, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Kirana membaca tulisan itu pelan-pelan. Ia tidak sepenuhnya paham, tapi hatinya bergetar pelan.

***

Bangunan Puskesmas Talago Kapur tampak sederhana, berdiri di antara deretan pohon karet dan semak belukar. Dindingnya dari beton kusam, cat hijau muda yang sudah mulai pudar di sana-sini.

Kirana turun dari mobil Puskel sambil merapikan ranselnya. Sepatu putihnya nyaris tak lagi putih, tertutup debu kuning dan cipratan lumpur. Ia sempat menghela napas sebelum melangkah masuk ke halaman Puskesmas. Beberapa warga duduk di bangku panjang, mengantre giliran, dan beberapa di antaranya langsung menatap Kirana dengan rasa penasaran.

“Dokter baru ya?” tanya seorang ibu dengan anak kecil di gendongannya.

“Iya, Bu. Mohon bantuannya ya selama saya di sini.” Kirana menjawab dengan senyum tulus.

Sarkani masuk lebih dulu dan langsung disambut seorang perempuan berkerudung dengan seragam dinas cokelat muda. Wajahnya bulat, pipi bersemu merah, dan matanya menyipit saat melihat Kirana.

"Bu Kirana, ini Bu Ayu—penanggung jawab administrasi kita," kata Pak Sar memperkenalkan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Kirana.

“Wa’alaikum salam. Wah, akhirnya ketemu juga. Saya kira kiriman dari pusat itu nggak jadi turun,” sahut Bu Ayu sambil menjabat tangan Kirana. “Sini, sini. Saya antar dulu ke ruang kepala Puskesmas ya. dr. Raka sudah nunggu dari tadi.”

Kirana mengikuti Bu Ayu menyusuri lorong sempit dengan lantai yang ubin nya sudah mulai terlihat kusam. Di dinding, terpampang poster penyuluhan KB, grafik capaian imunisasi, dan peta wilayah kerja Puskesmas. Beberapa staf yang mereka lewati tampak memberi lirikan singkat pada Kirana, sebagian mengangguk ramah, sebagian tampak biasa saja.

Sampailah mereka di sebuah pintu kayu dengan label logam bertuliskan:

dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas

Bu Ayu mengetuk dua kali sebelum membuka pintu. “dokter Raka, ini Dokter Kirana yang dari Jakarta itu.”

Kirana dipersilahkan masuk. Ruangan itu lebih rapi dari ekspektasinya. Ada rak buku, meja kayu besar, kipas angin berdiri di pojok, dan satu kursi tamu empuk yang tampaknya sudah termakan usia.

Di belakang meja, seorang pria berdiri — tinggi, postur tegap, mengenakan baju dinas khaki dengan lengan yang digulung rapi. Rambutnya tersisir ke belakang, dan wajahnya... datar. Tak ada senyum. Hanya sorot mata tajam di balik kacamata persegi.

“Selamat datang, Dokter Kirana,” ujarnya. Suaranya berat dan singkat. “Silakan duduk.”

Kirana duduk, mencoba membaca ekspresi pria ini. Tapi sulit. Tidak ada sambutan hangat seperti yang ia harapkan dari seorang atasan yang akan jadi rekan kerja setahun ke depan. Bahkan nadanya lebih mirip menyambut vendor barang ketimbang kolega.

Kirana hanya bisa membayangkan dirinya mengurut dada. Baru hari pertama sudah menghadapi pimpinan dingin.

Nasib ... nasib ...

***

Tantangan Pertama

Kirana terdiam sejenak. Nada suara pria tampan di depan nya itu seperti menusuk hingga jantungnya. Tapi ia tidak datang sejauh ini untuk mundur. Gadis itu mengangkat dagunya sedikit.

“Saya datang ke sini bukan untuk jalan-jalan, Dok. Saya datang karena saya ingin jadi bagian dari perubahan perilaku kesehatan masyarakat. Walau kecil,” jawabnya tenang.

Raka menyipitkan mata. Masih belum terlihat kesan senang atau terkesan.Dalam pikiran nya, ucapan Kirana persis anak baru magang. Seiring berjalan nya waktu, akan bosan bahkan tidak tahan dengan kultur budaya di pelosok negeri ini.

“Baiklah. Kita tunggu pembuktian dari ucapan itu di lapangan!” tantang lelaki itu.

Done.

Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Pertemuan pertama mereka hanya berlangsung tak sampai lima menit. Kirana keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Antara kagum karena karisma pria itu… dan dongkol karena sikap dingin nya dan judgement yang merendahkan.

“Duh... dingin banget kan orangnya?” bisik Bu Ayu saat mereka kembali ke lorong, karena Kirana hanya terlihat diam dengan wajah datar.

Kirana hanya tersenyum tipis. "Hu-uh. Bisa beku-in teh di meja biar jadi es teh,"

Mereka berdua saling tatap lalu terkikik.

***

Sore itu setelah hari pertama diisi dengan perkenalan dan tur singkat keliling puskesmas, Kirana menatap langit dari kamar kecil yang disediakan untuk tenaga medis baru. Di luar, kabut turun perlahan dari bukit. Angin dingin membawa aroma kayu bakar dan tanah basah.

Kirana menyusun pakaian dan beberapa barang bawaan nya yang tidak seberapa. Ia pun telah membulatkan tekad untuk menyelesaikan tugas di tempat ini dengan baik, meskipun akan jadi pekerjaan yang berat.

***

Pagi pertama Kirana di Talago Kapur dimulai dengan suara ayam jantan yang bersahutan dan langkah kaki bocah-bocah berlarian di luar jendela. Rumah dinas kecil yang ia tempati terletak di belakang Puskesmas. Rumah sederhana seperti Perumnas berukuran enam kali enam.

Meski sederhana, ruangan itu cukup nyaman. Ada kasur tipis, meja belajar, satu lemari tua, dan kamar mandi dengan air dari sumur yang ditimba manual. Kirana menggulung lengan baju dinasnya, mengenakan hijab berwarna pastel, lalu melirik pantulan dirinya di cermin kecil yang tergantung miring di dinding.

“Semangat, Kirana. Ini bukan Jakarta, tapi kamu adalah seorang  dokter!” bisiknya pada diri sendiri.

Setelah sarapan ringan — mie rebus dan telur dadar — Kirana melangkah menuju ruang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Di ruang tunggu, beberapa pasien sudah mengantre. Seorang ibu hamil tampak duduk memegangi perutnya, ditemani oleh seorang laki-laki paruh baya.

“Assalamu’alaikum,” sapa Kirana ramah saat memasuki ruang pemeriksaan.

“Wa’alaikum salam, Dok,” jawab bidan Dina, yang sejak kemarin sudah cukup akrab dengannya.

Kirana mengambil alih pemeriksaan, menyapa pasien, dan melakukan palpasi fundus dengan lembut. Biasanya bidan yang melakukan pemeriksaan ini, namun kali ini Kirana ingin memeriksa langsung.

Setelah melihat hasil pemeriksaan tekanan darah dan keadaan umum pasien yang dilakukan bidan Dina, Kirana pun menjelaskan tentang imunisasi TT (Tetanus Toxoid) yang memang standar untuk ibu hamil, terutama jika belum lengkap dosis sebelumnya.

Tanpa pikir panjang, ia menyuntikkan TT ke lengan pasien—yang menurut catatan memang belum mendapatkannya.

Namun suasana berubah tak lama kemudian. Seorang perempuan tua berkerudung gelap masuk terburu-buru ke ruang Puskesmas. Matanya tajam, langkahnya cepat meskipun usia tak lagi muda.

“Maa dokternyo?! Ma-aa?!” teriaknya, suaranya memenuhi lorong.

Bidan Dina menoleh panik. “Aduh, Nyiak Rosma datang!”

“Nyiak Rosma?” tanya Kirana cepat.

“Etek dari suaminya pasien barusan. Orang berpengaruh. Dan... agak keras.” (Etek=tante)

Nyiak Rosma mendekat ke ruang tindakan, menunjuk-nunjuk Kirana yang masih berdiri di dekat meja periksa. “Kamu yang nyuntik anak menantu, Deen?! Kamu suntik orang hamil tanpa izin mamaknya?!”

Kirana tertegun. “Maaf, Bu... saya hanya memberikan imunisasi sesuai SOP untuk ibu hamil. Tidak ada kontraindikasi, dan pasien tadi tidak keberatan.”

“Keberatan itu bukan cuma dari si anak! Di kampung ini, orang tua masih punya hak untuk bilang ‘boleh’ atau ‘tidak’! Apalagi soal suntik-suntik! Tau kamu, Dok?!” ucap Nyiak Rosma melotot.

Ruang tunggu langsung sunyi. Beberapa pasien melongok dari balik tirai, sebagian staf tampak kikuk. Kirana menahan napas. Ini bukan masalah medis lagi, ini persoalan budaya.

“Nyiak Rosma...,” ucap Kirana akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah, “Saya mohon maaf. Saya hanya menjalankan prosedur kesehatan yang kami yakini terbaik. Tapi saya paham, di sini ada aturan yang saya belum tahu. Saya akan belajar.” Kirana berusaha membujuk.

Nyiak Rosma menyipitkan mata. “Belajar? Harusnya kamu belajar dulu sebelum berani sentuh anak orang!”

Perempuan tua itu berbalik, meninggalkan ruang Puskesmas dengan suara langkah keras menghantam lantai. Keheningan menyelimuti semua yang tertinggal.

Sementara pasien sendiri hanya diam, merasa tak enak hati kepada sang dokter. Dengan bantuan Dina, pasien diantar hingga ke apotik tempat mengambil vitamin dan tablet tambah darah.

Patutlah capaian pemeriksaan ibu hamil di wilayah ini rendah, kalau begini keadaan nya, simpul Kirana melanjutkan pemeriksaan pasien berikutnya meski dengan pikiran dan perasaan  yang sudah tidak enak.

***

Sore itu, Kirana duduk di teras rumah dinasnya dengan secangkir teh manis. Kepalanya penat. Hari pertama yang seharusnya jadi awalan semangat, justru terasa seperti ujian mental.

Bidan Dina muncul membawa bungkusan kue dari kantin. “Saya bawakan pastel. Kamu pasti belum makan sore.”

Kirana tersenyum lemah. “Terima kasih, Din. Aku cuma... pusing. Aku pikir kerja di desa cuma soal pemeriksaan medis. Ternyata banyak lapisan yang harus dipahami.”

Dina duduk di sebelah nya. “Iya. Di sini, adat dan keluarga itu nomor satu. Banyak warga yang lebih percaya pada orang tua dan tetua kampung daripada tenaga medis.”

Kirana mengangguk. “Tapi... kita ini dokter, ya kan? Kita ingin nolong. Tapi malah dimarahin karena menyuntik vaksin yang seharusnya memang perlu diberi.”

“Makanya butuh waktu, Kir. Di sini, kamu bukan cuma dokter. Kamu harus jadi bagian dari mereka juga.”

Kirana kembali meneguk minuman nya. Merenung.

***

Saat malam mulai turun, suara ketukan terdengar di tangga rumah dinas. Kirana keluar, terkejut melihat dr. Raka berdiri di bawah tangga. Pria tampan itu datang  masih dengan ekspresi datarnya, tapi kali ini... sepertinya datang bukan untuk menghakimi.

“Boleh naik?” tanyanya singkat.

Kirana mengangguk.

Mereka duduk di kursi rotan, di beranda rumah dinas. Angin malam berhembus, membawa aroma tanah dan asap dapur dari rumah warga.

“Saya dengar soal Nyiak Rosma,” ucap Raka tanpa basa-basi. Tadi pagi ia harus ke ibukota kabupaten untuk urusan administrasi, sesampainya di Puskesmas, ia mendapat kabar itu dari Dina.

Kirana menghela napas. “Saya terlalu gegabah ya, Dok?” ucap Kirana kepada kepala Puskesmas yang bisa dianggap senior nya itu.

Raka mengangkat bahu. “Secara medis, kamu benar. Tapi di sini, benar saja nggak cukup," jawab Raka.

Kirana menunduk. “Jadi saya salah?”

“Bukan salah. Hanya... belum paham. Tapi kamu akan terbiasa. Jangan takut belajar dari benturan. Saya masih menunggu semangat mu yang menggebu-gebu kemarin.”

Kirana menoleh, menatap Raka sejenak. Ada sesuatu dalam nada bicaranya.

Bukan menggurui, tapi... menguatkan.

***

PANGGILAN DI MALAM HARI

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika suara ketukan keras menggema di pintu Puskesmas. Dina yang tengah beristirahat di ruang jaga terlonjak kaget, lalu bergegas membuka. Dari balik pintu, tampak seorang laki-laki muda dengan wajah panik dan napas tersengal.

“Pak Firman butuh bantuan, Bu Bidan! Sesak nafasnya kambuh! Tolong... tolong Dokter juga ikut ke rumah!”

Dina tertegun. “Sekarang?! Tapi dokter Raka juga sedang pergi ke jorong sebelah buat ngobatin orang juga, Dek!” lanjut Dina sedikit panik sambil tetap menyiapkan tas pertolongan pertama. “Yang ada cuma dokter Kirana!”

Tampak lelaki muda itu terdiam dan berpikir. “Tidak apa-apa Bu Bidan. Yang penting pasien nya ditolong dulu!! Dia udah nggak bisa ngomong!” pemuda itu memelas.

Tanpa pikir panjang, Dina segera berlari ke rumah dinas Kirana yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang jaga.

Dina mengetuk keras. “Dok! Ada pasien gawat! Sesak napas parah! Keluarganya minta kamu ikut ke rumahnya!”

Kirana yang sudah bersiap tidur sontak bangun. Pasien?  Setengah sadar, ia langsung menarik jaket, memasang hijab kaos dan menyambar tas medis kecil.

“Mereka tinggal di mana?” tanya Kirana mengiringi langkah Dina ke arah Puskesmas.

“Jorong Kampuang Ateh, sekitar sepuluh menit jalan kaki, tapi...”

“Tapi apa?” tanya Kirana cepat.

Dina menggigit bibir. “Itu rumah laki-laki. Malam-malam begini, perempuan keluar rumah, apalagi datang ke rumah laki-laki — bisa dianggap pelanggaran adat.”

Kirana menahan langkahnya sesaat. Ingatan tentang kemarahan Nyiak Rosma masih segar. Tapi ini soal nyawa. Ia menatap Dina, lalu berkata pelan tapi pasti, “Ini gangguan nafas! Kalau aku tidak datang, dia bisa meninggal, kan?”

Dina mengangguk pelan. “Kalau begitu… Aku ikut!” Dina juga membawa kotak P3K yang tadi sudah disiapkan nya. Lalu menyempatkan untuk mengetik pesan kepada dokter Raka, pimpinan Puskesmas yang sebenarnya juga bertugas jaga malam ini.

Langkah dua perempuan itu cepat dan terengah di jalan tanah yang becek, mengiringi pemuda yang tadi memanggil mereka. Lampu senter dari ponsel menerangi jalanan kecil di antara semak dan rumah-rumah panggung yang sudah gelap. Suara jangkrik memekakkan telinga, dan kabut mulai turun dari bukit.

Rumah Pak Firman terletak di tepi sungai kecil, hanya diterangi satu lampu minyak di teras. Ketika Kirana masuk, aroma apek bercampur asap kayu langsung menyeruak. Di dalam, Pak Firman terbaring di lantai, dada naik turun tak beraturan, wajahnya pucat kebiruan.

“Bismillah,” gumam Kirana sambil membuka tas. Ia memasang oksigen portable yang selalu ia bawa, menyuntikkan bronkodilator, dan mengecek saturasi. Wajahnya tegang, sementara tangannya bergerak dengan cepat dibantu oleh Dina yang mengecek tekanan darah.

Beberapa warga mulai berdatangan, menonton dari ambang pintu dengan wajah penuh tanya. Bisik-bisik terdengar pelan, makin lama makin jelas.

“Itu dokter baru ya? Perempuan? Malam-malam ke rumah laki-laki?”

“Katonyo urang kota tak tahu sopan santun...”

Dina menoleh dengan resah, tapi Kirana tetap fokus.

Setelah lima belas menit, kondisi Pak Firman mulai stabil. Ia bisa bicara pelan, lalu tersenyum lemah. “Terima kasih, Dok...”

Kirana membalas senyum itu. “Besok harus ke Puskesmas ya, saya mau cek ulang.”

Saat mereka keluar dari rumah, puluhan pasang mata menatap mereka dari kegelapan. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua berbaju koko, langsung menyergah.

“Dokter!!”

Langkah Kirana terhenti. “Iya, Pak?” Gadis itu sedikit terkejut dengan nada tinggi pria tua yang memanggil nya itu.

“Berani sekali  kamu datang ke rumah lelaki... malam-malam... tanpa izin tetua kampung?!”

Dina yang sebenarnya takut, buru-buru maju. “Pak, kami datang karena ada pasien gawat. Ini soal nyawa!”

Dina tahu, kalau pria tua itu fokus ke kehadiran Kirana. Sementara Dina yang sudah hampir dua tahun di daerah ini, sudah ‘mengaku induk’ (menjadi anak angkat) di sini dan sudah dianggap sebagai warga kampung ini.

Tapi pria itu tak peduli. “Adat di sini bukan mainan! Perempuan keluar malam, apalagi ke rumah laki-laki yang bukan suaminya — bisa dikenai sanksi!”

Kirana diam. Nafasnya berat. Wajah-wajah warga menatap dengan ekspresi antara marah, bingung, dan heran. Tapi sebelum Kirana sempat menjawab, suara berat dari arah jalan memecah kerumunan.

“Tapi, Pak! Kami ini tenaga kesehatan! Tidak akan berbuat macam-macam. Lagian saya ini dipanggil! Bukan ujug-ujug datang ke sini!”

Bisik-bisik terdengar makin keras. Ada yang membenarkan, Ada pula yang tetap kukuh mendukung Pak Tua itu.

“Cukup!!”

Semua kepala menoleh ke asal suara yang datang dari arah perkampungan. Di bawah cahaya remang lampu minyak, dr. Raka datang  — mengenakan jaket dan sarung, wajahnya terlihat datar seperti biasa, namun tatapan nya tajam.

“Saya sudah dengar semuanya, Mak Uniang," ucap Raka kepada lelaki tua yang masih tampak marah itu.

"Dokter Kirana hanya bertindak sesuai tugas. Menolong orang yang hampir mati. Kalau karena itu dia dianggap melanggar adat, maka saya juga ikut bersalah.”

“Raka—” Lelaki tua itu tampak terdiam.

“Seandainya saya tidak ke kampung sebelah untuk mengobati pasien lain, tentu saya yang datang ke sini!" sambung Raka. "Dan besok pagi, siapa pun yang tidak setuju jika permasalahan ini selesai sampai di sini, boleh datang langsung ke ruangan saya. Kita bicarakan baik-baik."

Lelaki tua yang dipanggil Mak Uniang itu tidak lagi bisa bicara. Dokter Raka adalah orang yang disegani di kampung ini. Entah berapa puluh kali pria itu menyelamatkan warga dengan cuma-cuma.

"Baiklah!" akhirnya pria tua itu mengalah. "Tapi, saya tidak ingin lagi melihat wanita itu mengobati laki-laki di kampung ini!"

Raka menarik nafas. Ia tahu, apa pun yang akan disampaikan nya, pria tua itu tidak akan menerima. "Nanti kita bicarakan lagi. Yang penting malam ini, saya harus membawa pulang dua staf saya ini kembali ke Puskesmas!"

Suasana hening sejenak. Orang-orang saling pandang. Perlahan, satu per satu orang-orang itu pun membubarkan diri.

Kirana menatap Raka yang berjalan mendekat. “Terima kasih.”

Raka menggeleng. “Jangan ucapkan terima kasih. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai dokter dan pimpinan Puskesmas.”

Lalu, sebelum berbalik pergi, ia berkata pelan, “Besok kita bicara di ruang saya. Ada yang perlu saya sampaikan.”

Malam itu, Kirana melangkah  di bawah langit Talago Kapur. Jantungnya masih berdebar, bukan hanya karena ketegangan... tapi karena ia merasakan kharisma dari pria dingin yang dari awal pertemuan memandang remeh dirinya.

Sepertinya Kirana mulai mengagumi pria itu.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!