"Togar, bangunlah! Sudah siang! Kau ini sangat pemalas sekali, pergi ke kebun dan jangan cuma tau minum tuak saja kau‐-ya!" hardik seorang wanita paruh baya kepada puteranya yang sudah berusia dua puluh tahun, tetapi masih pengangguran dan kerjanya hanya keluyuran tidak jelas.
Pemuda berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna hitam dan dipenuhi dengan panu itu merasa kesal dengan hardikkan ibunya, dan ia menutup telinganya dengan menggunakan bantal agar tak mendengar ocehan sang Inang yang membuatnya sangat kesal pagi ini.
"Berisik sekali, Inang, ini. Tidak bisa tidur aku dibuatnya!" pemuda itu masih merasakan kantuk yang sangat luar biasa, dan ia tak suka jika ibunya terlalu berisik mengganggunya. Ia menarik selimut yang berbau apek dan dipenuhi lukisan berbagai pulau yang diciptakan oleh cat alami dari ilernya setiap malam.
Ia menutup tubuhnya dengan cepat hingga kebagian kepala dengan selimutnya yang tak kalah berbau apek.
Braaak
Pintu didobrak paksa. Terlihat seorang wanita yang bibirnya merah akibat air sirih yang bercampur gambir dan kapur meleleh keluar dari ujung bibirnya dan berdiri diambang pintu sembari berkacak pinggang. Tatapannya sangat dipenuhi dengan kekesalan.
"Ku suruh kau bangun, tapi malah tidur pula kau, bah!" wanita itu semakin emosi. Logat bahasanya sangat kasar, sehingga terkadang tidak dapat membedakan apakah mereka sedang marah atau bercanda.
Ia sudah tidak sabar lagi menghadapi prilaku puteranya yang tidak dapat diarahkan untuk kejalan yang benar.
Tatapannya sangat tajam dan ia sudah sangat lelah memberikan nasehat pada sang anak laki-lakinya agar tau diri dan tidak jadi beban keluarga, apalagi beban negara.
"Sudahlah, inang! Mengapa kau begitu cerewet sekali!" ia membalas dengan hardikan dan membuka selimutnya, lalu memasang wajah masam.
Seketika wanita itu meraih gelas yang ada dekatnya, tepatnya diletakkan diberoti kayu yang melintang sebagai penyanggah dinding kamar yang terbuat dari triplek untuk sebagai penyekat ruangan.
Dengan wajah geram, wanita itu melemparkan benda yang terbuat dari kaca ke arah pemuda yang tak lain adalah puteranya sendiri.
Praaaaank
Gelas itu menghantam dinding karena Togar berusaha mengelak dan serpihannya berhamburan dilantai.
Togar semakin geram. Ia melemparkan selimutnya. Lalu mengacak rambutnya dengan kasar dan beranjak bangkit dari ranjangnya dengan kasur yang melepek.
"Aku muak tinggal bersamamu, Inang! Aku lebih baik pergi dari rumah ini!" ia menjawab dengan kasar, lalu menghantam tembok rumah yang terbuat dari dinding kayu.
Braaaak
Suara hantamannya begitu sangat kuat, dan ia pergi keluar dari kamar dengan kondisi sangat marah dan tak lupa ia meninju pintu, saat sebelum benar-benar keluar dari kamar.
Bahkan tak lupa ia menepis tubuh Inangnya dengan sangat kasar.
Wanita itu tercengang dan tersentak kaget. Ia melihat puteranya begitu sangat berani melawannya. "Dasar kau, ya! Makan apa kau sampai jadi pelawan, hah!"
"Makan babi!" jawabnya dengan cepat dan juga kasar. Tidak ada sedikitpun ia memperlihatkan akhlak yang baik pada wanita yang telah melahirkannya.
Togar menyambar kunci yang ia gantung disebuah paku, lalu menghampiri motor matic yang masih baru dan bagus, lalu membawanya keluar rumah.
"Hei, itu kereta (Sebutan motor untuk warga Sumut) siapa yang kau bawa!" tanya wanita itu dengan kesal. Sebab ia tahu jika anaknya tak mungkin sanggup membeli motor baru.
Sekedar membeli rokok saja masih meminta padanya, apalagi motor yang berharga mahal.
"Malam tadi aku begal orang, ku buat mati orangnya!" sahut Togar tanpa merasa beban, bahkan pengakuannya terlalu dianggap enteng dan merasa paling jagoan.
Kemudian ia mengendarai motornya dengan suara geberan knalpot yang sangat bising dan tentunya dengan sengaja dibuatnya, lalu meninggalkan rumah tersebut dalam kondisi marah.
Sontak saja wanita bernama Rumondang itu tersentak mendengar jawaban si anak yang masih dalam kondisi setengah sadar karena pengaruh tuaknya belum sepenuhnya hilang.
"Dasar anak tak berguna! Pergi saja sana, lagian anakku banyak, bukan kau saja! kenapa tak mati saja sekalian, menyusahkan!" makian dan juga sumpah serapah keluar dari mulut Rumondang dengan penuh amarah, lalu ia memintal tembakau yang terselip disudut gusinya yang mana biasa disebut suntil.
Setelah meluapkan amarahnya, wanita itu berjalan menuju belakang, dan menghampiri kandang babi, lalu memberinya makan dengan menggunakan nasi basi yang ia dapatkan dari memungutnya dirumah makan dan warung nasi yang dibuang ditong sampah.
Kehidupannya ditopang dari memelihara babi dan juga berkebun. Sedangkan suaminya si Ambolas hanya nongkrong diwarung dan tidak mau bekerja, bahkan membantu mengurus rumah dan anak saja tidak mau.
Rumondang harus berjibaku dengan semua pekerjaannya yang cukup melelahkan.
Sore harinya setelah pulang dari berkebun, ia harus mengayuh sepedanya untuk menuju bank sampah untuk mengutip makanan sisa yang dibuang oleh warga ataupun pemilik rumah makan dan sebagainya.
Terkadang ia harus berebut dengan peternak babi lainnya, dan jika terlambat, maka tak akan ada yang didapatnya untuk dibawa pulang, dan ia harus terpaksa mencari kangkung yang tumbuh diparit-parit irigasi.
Kehidupannya yang sangat miris, harus ditambah lagi dengan perlakuan Ambolas yang sangat pemalas. Bahkan ia mendengar kabar jika pria itu bermain gila dengan janda beranak satu yang tak jauh dari warung tempatnya nongkrong.
Bahkan janda bernama Dorma yang merupakan pelayan yang ada diwarung tersebut berpenampilan sangat mencolok, sehingga membuat para pria pemalas seperti Ambolas sangat betah berlama disana.
Ia selalu pulang malam. Hidupnya dihabiskan untuk meminum tuak dan bergitar sembari bernyanyi seolah tanpa beban masalah, sebab ia adalah beban yang sesungguhnya.
****
Rumondang berjalan menyusuri jalanan tanpa alas kaki. Ia menuju kebun peninggalan orangtuanya. Ia akan memetik cabai untuk ia jual ke tengkulak, kebetulan sekali harganya sangat mahal, sebab mendekati tahun baru.
Saat melintasi warung tempat dimana suaminya biasa nongkrong, ia melirik Ambolas yang tampak menggoda si Dorma yang selalu menggunakan celana pendek dan tanktop yang menjadi daya tariknya untuk berdagang.
Ditambah lagi wajahnya yang menggunakan skincare abal-abal, sehingga membuat wajahnya tampak merah akibat terkelupas karena pengaruh zat mercury yang cukup tinggi.
Jujur saja hatinya sangat panas, namun mencoba menyembunyikan perasaannya yang sakit, ditambah lagi Ambolas sudah sangat lama tidak menyentuhnya. Mungkin pria pemalas itu sudah tidak lagi tertarik padanya, disebabkan ia yang tak sempat lagi berdandan karena sibuk dengan pekerjaannya untuk mencukupi kebutuhan hidup yang sangat besar.
Dua anaknya sedang berkuliah dikota, dan dua lagi sedang berada di Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Pertama, tentu memerlukan biaya yang tak sedikit..
Sedang kan Togar yang merupakan anak laki-laki satu-satnya tak mau membantunya bekerja, ia bahkan mewarisi sikap ayahnya yang sangat pemalas.
Rumondang merasakan dadanya begitu sangat sakit. Bagaimanapun ia masih mencintai Ambolas. Pria itu sudah memberikannya lima orang anak, dan ia juga menghabiskan masa mudanya dengan dinikahi oleh pria itu saat masih berusia lima belas tahun.
Ia mengira dengan menikah dapat mengurangi beban hidupnya yang cukup sulit, namun justru membawanya pada carut dan marutnya ekonomi yang kian memburuk.
Saat usianya menginjak empat puluh tahun, wajahnya sudah sangat terlihat tua akibat harus bekerja diladang dan berpanasan dibawah sinar mentari, ditambah lagi mengurus ternak babi yang cukup banyak demi menopang ekonomi keluarganya.
Ia berpura-pura tidak melihat apa yang sedang dilakukan suaminya, meskipun ia harus merasakan perihnya kehidupan yang sedang ia hadapi, namun demi kelima buah hatinya, ia berusaha tegar.
Rumondang lalu berjalan menyusuri jalanan yang sudah ber-aspal, sebab daerahnya tempat tinggal dibawah kaki bukit, dimana hasil pertanian berupa sayur mayur akan dikirim keberbagai provinsi dan luar daerah, untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Ia terus melangkah, meski hanya dengan bertelan-jang kaki dan menembus kabut embun yang masih tampak tebal, dan hal itu pula yang menjadikan tanah dikebunnya subur.
Langkahnya semakin ia percepat, sebelum matahari bersinar terik, dan ia berpesan pada puterinya yang duduk dibangku SLTP untuk membantunya setelah pulang sekolah.
Sebuah kantong kresek ditentengnya ditangan. Ia membawa bekal untuk makan siangnya. Hari ini ia memasak saksang daging anjing dan juga tumis kol sebagai menu makannya.
Dikepalanya terdapat kain jarik yang disilangkan membentuk seperti blangkon namun berukuran besar sebagai pelindung dari panasnya terik mentari.
Tak lupa ia menggunakan bedak dingin yang berbentuk bulat dan pemakaiannya dengan dilarutkan menggunakan air, dan itu adalah skincare yang dipakainya sehari-hari dengan berbahan beras yang dihaluskan dan dicampur berbagai ramuan lainnya.
Setibanya dikebun, ia berdiri mematung menatap hamparan tanaman cabainya. Ia harus dikejutkan dengan apa yang dilihatnya.
Dimana tanaman cabainya yang akan ia petik, ternyata telah dicuri orang. Ia terlambat memanen, padahal hari ini adalah waktunya ia memetik hasil yang ditanamnya sejak berbulan-bulan, dan pada kenyataannya orang lain yang menikmatinya.
Seketika hatinya sangat lara. Ia tidak menduga jika penderitaan hidup yang dialaminya sungguh sangat menyedihkan. Hingga akhirnya tubuh lelahnya luruh ketanah dan terduduk dengan lemah.
Namun ia masih mengingat jika tanaman kol, lobak dan juga buah bit masih ada disebelah. Ia masih memiliki harapan untuk dapat memanennya, dan mencoba menguatkan hatinya agar ia kembali tegar ditengah badai yang menerjangnya.
Ia kembali beranjak bangkit, mempercepat setiap gerakan langkahnya, lalu menuju kebun kol dan bit yang bercampur dengan lobak dengan jarak sekitar lima puluh meter saja dari tempatnya saat ini.
Akan tetapi, rasa harapan itu tiba-tiba sirna, saat ia melihat jika kebun kol, bit dan juga lobak yang menjadi harapan satu-satunya juga sudah dipanen oleh pencuri. Sontak saja ia merasakan hatinya bagaikan dihujam sebilah pisau, dan memberikan perasaan yang sangat sakit.
Ia merasa jika Tuhan tidak adil padanya. Ia adalah seorang yang religius, namun tampaknya Tuhan tidak memberikannya sesuatu yang ia inginkan. Sedangkan mereka yang berbuat nista tampak hidup senang dengan rezeki yang terus datang dan melimpah.
"Tuhan, boasa dilehon ho tu au ujian sa boraton, aha salah hu?" (Tuhan, Mengapa Kau uji aku dengan begini berat, apa salahku?). Ratapnya dengan hati yang begitu sakit dan berputus asa.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca dengan bulir bening yang jatuh disudut matanya. Kini hatinya bukan saja perih karena pengkhianatan sang suami, tetapi juga karena penderitaan hidupnya yang cukup berat.
Dua puterinya yang sedang berkuliah baru saja menghubunginya malam tadi untuk meminta kiriman uang semester. Jika untuk bertahan hidup, keduanya memilih bekerja paruh waktu, agar meringankan beban sang ibu.
Ia sudah berjanji akan mengirimkan uang itu paling lambat tiga hari lagi setelah panennya selesai, namun kenyataan yang diterimanya justru membuatnya sangat terpukul, dimana semua hasil kebun yang akan dipanennya justru dicuri orang.
Baru saja ia merasakan sakitnya atas kekecewaan yang ia alami, tetapi ia kembali diuji dengan sesuatu yang lebih menyakitkan.
Sebuah deru mesin motor menuju kearahnya, semakin lama semakin mendekat. Ia menghapus air matanya, berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya.
Terlihat Ture anak perempuannya yang duduk dikelas satu Sekolah Menengah Atas datang menghampirinya ke kebun dengan sepeda motor matic bekas yang dibelinya dari penjualan ternak babinya untuk mempermudah mereka kesekolah, sebab jarak tempuh yang cukup jauh.
Ia tampak begitu kelelahan, dan wajahnya memucat, dengan matanya sembab seperti sedang menangis.
"Inang, I-inang," ucapnya dengan terbata. Lidahnya seperti keluh untuk mengucapkan sesuatu.
Rumondang bergegas bangkit dan menghampirinya. Ture masih berpakaian seragam sekolah, lalu mengapa menyambanginya sampai kekebun?
"Tiur tiba-tiba kejang, Nang. Aku tak tau apa yang terjadi sama dia," ucapnya dengan nafasnya yang terasa sesak.
"Oh, Tuhan apa lagi ini?!" ucapnya dengan hati yang sangat lara. Segala beban kehidupan terus saja berdatangan. "Sudah, Kau bonceng inang sekarang." ia naik ke motor dan meninggalkan kebun, bahkan nasi yang dibawanya ia tinggalkan begitu saja.
Setibanya dirumah, ia bergegas melihat Tiur yang masih berseragam sekolah SLTP dengan tubuhnya mengejang dan kedua matanya mebeliak menatap keatas.
Belum lagi hilang satu perkara, kini datang perkara lainnya.
"Kau jemput Bapakmu, kau bilang sama dia untuk mengantarkan si Tiur ke rumah sakit," ucapnya pada Ture.
Gadis itu mengangguk, lalu kembali mengendarai motornya dan menuju warung tempat dimana sang bapak sedang meminum tuak dan bersenang-senang.
Setibanya didepan Warung, Ture memasuki tempat nongkrong itu dengan perasaan muak. Ia melihat sang Bapak masih bermain gitar sembari meneguk tuaknya.
"Pak, ayo pulang, antarkan Tiur ke rumah sakit!" ucapnya dengan penuh amarah. Ia sudah tidak lagi memperdulikan tatakrama, sebab Ambolas tak memerlukannya.
Selain pemalas, ia juga sering melakukan kekerasan terhadap ibu mereka dan jika tidak diberi uang, maka ia akan melemparkan barang-barang dengan mudahnya.
"Kau suruh saja mamakmu itu yang urus, jangan mengurus anak saja tidak becus, Dia!" jawabnya dengan santai tanpa beban. Melihat Ture tak bergeming, ia semakin sangat kesal. " Apalagi kau masih disini, sudah, pulang kau sana! Mengganggu saja kau ini kerjanya!" sahut Ambolas dengan berang.
Ture menatap geram. Jika saja ia tak dapat mengontrol emosinya, mungkin ia akan menyiramkan satu teko tuak itu kewajah sang bapak.
Tapi anehnya, darimana ia mendapatkan uang yang banyak, dan bisa terus membeli tuak.
Saat bersamaan, ia melihat Dorma sang janda yang datang membawa sepiring camilan Ular sanca goreng yang akan dijadikan untuk tambul. Wanita itu terlihat banyak memakai perhiasan emas.
Dengan rasa kecewa, Ture memilih untuk pulang.
Ture mengendarai motornya kembali ke rumah dengan rasa yang sangat sakit. Terlihat inangnya mencoba mengusap kening Tiur agar dapat bertaha. "Tiur, tenanglah, Inang tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu." ia mengecupi kening borunya dengan rasa cemas.
Suara motor yang dikendarai oleh Ture sudah tiba didepan rumah. "Inang, sudahlah, ayo kita ke rumah sakit, biar aku yang bonceng." gadis belia itu memasuki rumah dengan wajah yang kalut.
"Kemana bapakmu?"
"Sudahlah, Inang, tak bisa diharapkan tu Amang, kita ke klinik terdekat saja, aku takut terjadi sesuatu dengan si Tiur." Ture membantu sang inang mengangkat tubuh adil perempuannya ke atas jok motor dan mendudukkannya ditengah.
"Apakah Bapakmu tidak terbuka hatinya sedikitpun?" Rumondang masih mempertanyakan hal yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya.
Ture tak ingin lagi menjawab pertanyaan inangnya karena hanya akan menambah sakit dihatinya.
Gadis belia dengan rambut lurus sebahu, hidung bangur dan kulitnya yang putih mengikuti gen ibunya itu membawa motor melintasi jalanan beraspal
Kehidupannya yang rumit dan pelik harus ia jalani dengan segala penderitaannya. Sebab dalam adat budaya yang mereka anut, tidak perceraian meski sehancur apapun kehidupan rumah tangga, kecuali kematian yang memisahkan.
Dengan perasaannya yang sakit, mereka membawa Tiur ke klinik terdekat. Ketika hampir sampai, motor yang mereka kendarai mengalami mati mesin karena terlalu lama tidak ganti oli hingga kerung kerontang.
"Alamak, Inang. Mati pula keretanya. Mungkin habis bensinnya (pertalite), apa juga olinya yang kering," Ture tampak bingung dengan kondisi saat ini. Sedangkan jarak ke klinik masih sekita lima ratus meter lagi.
Tiut yang terlihat semakin kejang, membuat Rumondang tak dapat berfikir. Ia membopong tubuh Tiur turun dari jok motor, lalu berjalan cepat untuk mencapai klinik.
Ture tak dapat mengatakan appaun, sebab ia juga bingung harus memgatakan apa.
Rumondang sudah terbiasa memanggul kol seberat lima puluh kilo, jika hanya mengangkat Tiur yang berbobot 30 kg saja, maka itu hal yang sangat mudah baginya.
Ture mencoba menghubungi Tulangnya (Pamannya), ia berharap dapat memecahkan masalah yang sedang dialaminya.
Ia mengambil ponselnya, lalu menggulir kontak dengan nama Tulang Lumban.
Ia menekan kontak tersebut, dan panggilan tersambung. "Aha do Bereku? (Ada apa keponakanku).
"Tulang, bere mau minta tolong. Keretaku mati, Inang bejalan ke klinik menggendong Tiur, bisa Tulang datang untuk memboncengkan inang?" ucap Ture dengan rasa penuh harap.
"Alamaaaak, Tulang sudah berangkat ke Riau bawa hasil panen opung Tarigan sore semalam, ini baru siap bongkar." terdengar suara pria yang mana suasananya sangat bising, sepertinya sedang berada disebuah pasar.
"Aduh, bingung aku, Tulang. Mau minta tolong kemana lagi aku," Ture terlihat sangat putus asa.
"Ito-mu si Togar kemana? Kenapa dia itu tak bisa diandalkan, sama saja seperti amangmu, menyusahkan. Kerja tak mau! Kalaupun jadi kernet sama Tulang, udah begaji dia," terdengar omelan dari pria diseberang sana yang merasa muak melihat kelakuan Ambolas yang tak lain adalah adik iparnya.
"Tak bisa diharapkan, Tulang. Pening kali kepalaku, mana keretaku mati, tak bawa uang pula ha!" keluhnya dengan perasaan perih.
"Yang tanasiblah hidupmu bere. Nanti Tulang kirim uang untuk buat bawa keretamu ke bengkel. Sudah dulu ya, Tulang masih ada kerjaan," ucapnya pada sang keponakan.
"Ya, Tulang." jawabnya dengan lemah.
Hitungan detik berikutnya, sebuah notifikasi masuk ke dalam dompet digitalnya dengan jumlah seratus ribu, dan Ture sedikit tersenyum, lalu mendorong motornya menuju bengkel terdekat.
Mentari yang mulai bersinar terik, membuat Ture sedikit tersengal dengan keringat yang bercucuran dikeningnya.
Terlihat sebuah bengkel milik seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun sedang memperbaiki ban bocor milik salah satu pelanggan.
Melihat sang gadis mendorong motor ke bengkelnya dengan kesulitan, ia beranjak bangkit. "Aha do, Ito? (ada apa, Dik/bang--panggilan umum)"
"Gak tau aku, To. Mati tiba-tiba," Ture menjelaskan.
Pemuda bernama Agam itu membatu Ture untuk mendorong motornya kedalam bengkel. Kemudian ia memeriksanya. Ternyata bahan bakarnya habis, dan lebih parahnya lagi, olinya sudah kering kerontang.
Ia menggelengkan kepalanya. "Alamak, Ito, ini sudah parah kali ku tengok. Ini mau ganti piston," jelasnya.
Ture tercengang. Bahkan bisa dikatakan lemas. Mendengar hal itu, ia terdiam sejenak. "Mahal ya, Ito?" tanyanya dengan lirih.
"Lumayan mahal, dan tak bisa sehari dikerjakan, mungkin sekitar dua hari lagi, sebab abang mau belanja dulu bahannya," Agam menjelaskan.
Sontak saja hal itu membuat Ture semakin merasa lemah.
"Oh, aku tinggal dulu lah keretaku disini ya, To. Aku mau jumpai Inang dulu diklinik," ucapnya dengan nada bergetar, lebih tepatnya ingin menangis.
"Oh, iyalah. Tinggalkan saja nomormu, Ito. Nanti biar gampang aku menghubungi kalau sudah siap,"
Ture menganggukkan kepalanya. Lalu memberikan nomor ponselnya.
Setelah selesai memberikan nomor ponselnya, Ture berpamitan pada Agam, lalu berlari kecil menuju klinik, dan terlihat pemuda itu memandangi kepergian Ture dengan senyum yang sulit diartikan.
Ia selalu melihat gadis pulang dan pergi sekolah melintasi bengkelnya, namun tak memiliki keberanian untuk menyapa.
Disisi lain, Rumondang sudah berada diruang tunggu dan mengantri, masih ada satu orang lagi yang akan menjadi gilirannya.
Sedangkan Tiur terlihat sudah sangat kejang, kedua matanya menatap keatas dengan terbeliak.
"Oh, boruku, bertahanlah," ucapnya dengan rasa sedih.
Kini namanya dipanggil, dan Rumondang menggendong puterinya memasuki ruang pemeriksaan. Sedangkan Ture masih berlari untuk menemui inangnya.
Tiur dibaringkan diatas ranjang pasien, lalu dokter memeriksanya. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Saat ditanya apa keluhannya, Tiur sudah tak lagi dapat menjawab, sedangkan Rumondang juga bingung menjawab apa mula kejadiannya, sebab saat ia tinggalkan dikebun tidak ada masalah apapun.
"Sebaiknya kita rujuk kerumah sakit saja, Bu. Agar diketahui apa penyakitnya, sebab alat medis disini tidak ada, ini harus dialkukan scan." dokter perempuan itu mencoba memberikan surat rujukan.
"Bu, coba cari ambulance, agar Tiur dapat segera dibawa.
Seketika Rumondang terdiam. Ia bahkan lupa membawa dompetnya, dan disaat dalam kepanikan, tiba-tiba saja Tiur kembali mengejang hebat dengan mulut menganga, hal itu membuat wanita berusia empat puluh tahun itu semakin khawatir.
"Oh, Boruku, ada do." ucapnya sembari menangis.
Saat bersamaan, Ture masuk ke dalam ruang pemeriksaan, dan melihat adik perempuannya kritis, ia menghampirinya.
"Kita harus pesan ambulance, untuk membawa Tiur ke rumah sakit," ucap Rumondang dengan hati pilu.
"Kita pesan taksi online saja, Inang," sarannya.
"Tapi Inang tak membawa uang,"
"Ini ada Tulang kirim uang samaku tadi, biar ku pesan," gadis itu mengotak atik ponselnya, memesan taksi online sesuai rujukan klinik ke rumah sakit yang lengkap fasilitasnya
Namun saat melihat ongkos yang tertera, ia mendadak menciut. "Uangku tak cukup Inang," jawabnya lirih.
Rumondang menatap sang dokter. "Biaya pemeriksaan boruku tolong catat, nanti aku datang lagi kemari." ucapnya sembari mengangkat tubuh Tiur. Ia mengkin akan mengjentikan mobil truck untuk meminta tumpangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!