NovelToon NovelToon

Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Bab 1. Badai

Hujan mengguyur deras sejak petang, disertai angin kencang yang menderu menerobos sela-sela pohon di lereng kaki Gunung Semeru.

Deru badai seperti raksasa yang mengamuk, memporak-porandakan tenda-tenda darurat yang berdiri seadanya di pos pengungsian. Cahaya lampu darurat berpendar redup, membuat suasana semakin mencekam.

Di rumah dinas di Surabaya, Kinanti memandangi layar ponselnya yang menyala. Wajahnya pucat, sorot matanya penuh kecemasan.

Suara gemuruh hujan dan laporan berita di televisi semakin menyesakkan dadanya. Ia baru saja menonton tayangan mengenai longsor besar yang terjadi di kaki Gunung Semeru. Ratusan rumah tertimbun, korban luka-luka terus berdatangan, dan hujan badai tak kunjung reda.

Ada adik dan suaminya dikirim menjadi dokter relawan disana. Dengan napas memburu, ia mengetik pesan di ponselnya.

"Bagaimana keadaan kamu disana Mas, bagaimana kabar Naura?"

"Ah, centang satu, semoga lekas ada sinyal," gerutunya sambil menggigit bibir bawahnya.

Sejak berangkat tiga hari lalu, komunikasi mereka tidak lagi lancar. Sinyal yang buruk dan medan yang berat membuat pesan-pesan baru dibalas berjam-jam kemudian.

Kinanti mengusap perutnya yang sudah membuncit. Kehamilannya telah memasuki minggu ke-39. Bahkan, menurut dokter, minggu depan ia bisa melahirkan. Tapi bagaimana jika David tidak bisa pulang tepat waktu?

Bagaimana jika... hatinya tercekat, membayangkan tenda-tenda medis roboh diterpa angin. Membayangkan David terjebak dalam situasi yang tak terduga.

Ponselnya bergetar.

"Bebe, Mas baik-baik aja di sini. Hujan badai udah reda. Mas lagi bantu evakuasi di posko utama, aman kok."

Air mata langsung menggenang di mata Kinanti. Ia membalas dengan cepat.

"Bebe kangen banget... tolong terus kabari ya, Mas. Aku nggak bisa tidur sebelum tahu Mas baik-baik saja."

"Iya, Bebe. Maafin Mas nggak bisa sering kabarin. Sinyalnya putus nyambung. Tapi tiap malam Mas lihat fotomu sebelum tidur. Bebe tetap yang paling cantik walau sekarang makin gendut karena dede."

Kinanti tertawa kecil, air mata jatuh di pipinya karena haru.

"Dede nendang-nendang terus, Mas. Kayaknya dia kangen juga."

"Dede pasti tahu ayahnya lagi berjuang. Mas sayang kalian. Bebe jangan stres, nanti kontraksinya makin cepat."

Kinanti mengusap lembut perutnya.

"Anak kita perempuan, Mas... Mas nggak kecewa, kan?"

Jawabannya datang cepat.

"Mas gak pernah kecewa, Bebe. Dede cewek itu artinya Mas punya dua cewek cantik di hidup Mas. Sempurna."

Kinanti menutup mulut, menahan haru. Suaminya adalah rumah paling damai dalam hidupnya.

"Mas sudah makan?"

"Sudah, mie instan ditambah telur, hari ini hanya ada menu itu."

"Mas lihat dimana Naura?"

"Naura? Ada, dia sedang berkumpul dengan temannya, jarak kami lumayan jauh."

"Ah, ya sudah Mas, kalau begitu nanti aku telepon dia sendiri. Sekarang Mas lanjutin aktifitasnya."

"Iya Bebe, kamu nggak usah pikirkan Mas, fokus saja dengan kehamilan ya, Be."

"Iya Mas, aku nitip Naura Mas, dia masih baru dan belum banyak pengalaman."

"Tenang saja Bebe, adik kamu, sudah seperti adik aku sendiri. Aku pasti akan menjaganya."

"Terimakasih Mas. Aku sangat beruntung punya suami kamu Mas. tanggung jawab dan penyayang."

Disaat obrolan belum selesai, sinyal di kaki semeru kembali jelek, panggilan terputus begitu saja.

David menarik nafas dan duduk bersandar di tiang tenda. Matanya sembab karena kurang tidur, tubuhnya nyaris tak beristirahat sejak kemarin. Semua dokter sibuk, sedangkan dirinya mendapat giliran istirahat.

Tapi membaca pesan dari Kinanti membuat lelahnya seperti luruh. Ia memandang ke arah lereng gunung yang masih diselimuti kabut.

“Bertahan ya, Bebe. Mas bakal pulang tepat waktu. Mas janji, Mas bakal gendong Dede kita begitu dia lahir.”

Langit malam mulai sedikit cerah, walau dingin masih menggigit. Tapi cinta David pada Kinanti dan calon bayi mereka, tetap menjadi kehangatan yang tidak tergantikan.

Malam itu, Kinanti tertidur sambil memeluk bantal dan ponsel, berharap David akan menghubungi lagi. Tangannya tetap menempel di perutnya yang mulai terasa berat. Di dalam sana, si kecil terus bergerak, seolah ikut menunggu waktu bertemu ayahnya.

"Sabar sayang, ayah dan bibi pasti akan segera pulang setelah semua selesai. dede doakan ayah dan bibi Naura baik baik saja disana ya.

***

Langit masih kelabu. Di lereng Semeru yang basah dan lumpur menebal, langkah-langkah relawan beradu dengan waktu, menyelamatkan jiwa-jiwa yang terjebak reruntuhan.

Di antara mereka, seorang perempuan muda berbalut jas hujan biru muda berjalan tergesa, membawa tas P3K besar di punggung gunung

Naura, dokter muda, baru dua bulan lulus dari fakultas kedokteran, dan kini terjun langsung ke lokasi bencana. Semangatnya membuncah, walau wajahnya tak bisa menyembunyikan lelah.

Dia tahu, tugas ini bukan hanya tentang menolong sesama. Ini juga tentang membuktikan diri... terutama kepada kakaknya, kakak iparnya yang sudah support hingga sekarang bisa menjadi dokter.

Sejak kecil, Naura selalu mengagumi David. Lelaki itu seperti definisi pahlawan. Cerdas, tenang, berwibawa, dan yang terpenting, mencintai kakaknya dengan luar biasa.

Tapi sejak Naura tinggal serumah dengan Kinanti dan David sebelum penugasan, ia mulai melihat sisi lain dari David, sisi rapuh yang tak pernah terlihat di mata dunia.

Dan tanpa ia sadari, perasaan itu mulai melenceng dari kekaguman.

Sore itu, saat hujan turun dengan deras Naura berlari dari lokasi bencana menuju tenda, langkah Naura terperosok di jalur berbatu. Kakinya terpeleset, tubuhnya terhuyung dan jatuh menabrak batang pohon. Suara rintihannya tenggelam dalam suara petir.

“Naura!”

David yang berada tak jauh dari lokasi langsung berlari mendekat. Tanpa banyak bicara, ia jongkok, melihat lutut Naura berdarah dan pergelangan kakinya membengkak.

“Kenapa kamu sendirian? Kamu masih baru, kamu harusnya kerja bareng tim,” katanya, setengah panik.

“Aku cuma ke blok utara sebentar... ada anak-anak yang butuh antibiotik. Aku nggak sempat panggil yang lain,” jawab Naura menahan sakit.

"Ayo aku antar?" Davit berniat membantu Naura berdiri, tapi Naura merasakan sakit luar biasa di pergelangan kakinya.

David menghela napas, lalu tanpa tanya lagi, menggendong Naura ke arah tenda medis.

Hujan mengguyur punggung mereka. Naura menggigit bibirnya menahan sakit.

Naura memberanikan diri melirik kakak iparnya yang tampak cemas. Dadanya mendadak sesak. Dekat sekali. Terlalu dekat dengan lelaki yang tak seharusnya membuat jantungnya berdebar.

Di dalam tenda, David dengan cekatan membersihkan luka di lutut Naura, lalu membalutnya dengan perban steril.

“Nggak parah, tapi kamu harus istirahat. Kaki kamu nggak boleh dipaksa dalam dua hari ke depan,” ujarnya tegas.

Naura menunduk. “Maaf, Mas David... aku ceroboh.”

David menatapnya, lembut tapi tegas. “Kamu bukan adik orang lain, Naura. Kamu adik istri Mas. Kalau kamu kenapa-kenapa, Kinan bisa stres. Dia tinggal nunggu hari lahiran jg jadi jangan pernah kasih berita buruk untuknya.”

Naura mengangguk. Tapi entah kenapa, kalimat itu justru membuat hatinya perih.

"Adik istri."

Label yang seperti menampar dirinya, mengingatkan bahwa lelaki yang kini berjongkok di hadapannya... bukan seseorang yang bisa dia miliki, dia kakak iparnya.

David mengelus pelan bahu Naura, mencoba menenangkan.

“Kamu istirahat, ya. Malam ini Mas jagain pasien di tenda A. Kalau butuh apa-apa, panggil aja.”

Naura hanya mengangguk pelan, "Terima kasih Mas."

Bab 2. Kakak Iparku, Pahlawanku

Langit sore mulai memudar ke arah gelap saat sirine terus meraung dari kejauhan.

Mobil-mobil ambulan datang silih berganti membawa korban yang baru ditemukan di bawah reruntuhan. Beberapa terluka, sebagian sudah kaku dan dibungkus kain putih. Udara bercampur bau tanah basah dan luka manusia.

Dokter David berdiri di antara kerumunan, wajahnya dipenuhi debu dan peluh. Tangannya tak pernah berhenti, membalut luka, menjahit robekan kulit, menyuntik antibiotik, hingga menenangkan pasien yang masih shock. Bersama tim medis lainnya, ia bekerja tanpa jeda, nyaris tanpa bicara.

Namun saat semua mulai surut, bukan karena tugas selesai, tapi karena tubuh sudah memaksa istirahat, pikiran David terbang pada satu nama, Naura adik iparnya yang terjatuh dan terluka. Naura adalah tanggung jawabnya, istrinya sudah menitipkan padanya.

Ia segera melepas sarung tangannya dan berjalan cepat ke arah tenda yang disinggahi Naura. kebetulan di dalam tenda, Naura tampak meringkuk, tubuhnya lemah, selimut menutupi hingga ke dagu. Wajahnya pucat, keringat dingin masih menempel di pelipis.

"Naura," panggil David pelan. Ia menyingkap tirai tenda, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang lipat darurat.

Naura membuka matanya, lalu tersenyum kecil. "Kak David…"

"Kamu panas?" David meraba dahinya.

"Iya Kak, Entahlah aku " Ia menatap David dengan sorot mata yang mencari kenyamanan, seperti anak kecil yang baru kehilangan rumahnya.

David menghela napas, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. "Ayo ikut aku ke mobil. Kamu nggak bisa terus di sini. Udara malam makin dingin."

Naura menyambut tangan itu tanpa ragu. Saat ia berdiri, tubuhnya sedikit oleng. David langsung menopangnya, memeluk pinggang Naura agar tetap stabil.

Naura menatap David dengan jarak dekat.

Langkah mereka tertatih keluar dari tenda, berjalan di antara reruntuhan dan medan becek.

Di kejauhan, seorang dokter muda sedang mencuci tangan di bak air darurat. Ia melihat mereka berdua dan segera menghampiri.

"Naura," panggilnya. "Kamu masih sakit? Biar aku bantu ke mobil."

Namun Naura menggeleng pelan. "Bang Yusuf, aku mau dibantu Kak David aja."

Yusuf menatap Naura, lalu David, dengan sorot mata curiga. "Naura... dia itu kakak ipar kamu. Tapi kamu kelihatan... dekat banget."

Melihat wajah Yusuf, David tiba-tiba seperti kehilangan sesuatu, dia segera merogoh ponselnya.

"Sepertinya ponselku ketinggalan di tenda pasien."

David kelihatan panik. "Aku ambil dulu ya, Nau, tunggu disini sebentar, Kakak mau ambil ponsel."

David pergi dengan tergesa, sedangkan Naura dan Yusuf kini tinggal berdua.

"Cp cp cp .... Salut gue "

Naura mendongak, wajahnya polos tapi tajam. "Kenapa, Bang? Kakak ipar itu sama aja kayak kakak kandung. Aku nggak salah, kan?"

Yusuf menelan ludah, tak langsung menjawab. Tapi sorot matanya menyimpan lebih banyak kata. Dokter Yusuf seangkatan dengan Naura, sudah lama dia menaruh rasa suka pada Naura yang terkenal kalem dan cantik.

Yusuf ingin mengutarakan perasaannya disaat Naura sedang sendiri. Tapi Yusuf merasa dimana ada Naura pasti ada David.

David sendiri diam, tak menanggapi.

"Naura," lanjut Yusuf pelan, "kemarin aku lihat kamu digendong Kak David ke tenda. Nggak biasanya seorang seakrab itu dengan iparnya."

Naura mendesah pelan, tapi terdengar kesal. "Kalau aku nggak digendong, mana bisa aku sampai ke tenda? Aku hampir pingsan waktu itu. Sekarang aja masih sakit dan lemas."

Yusuf terkekeh pendek. "Ya sudah. Tapi hati-hati. Bisa-bisa kamu jatuh cinta sama David. Dia itu terlalu baik. Dan kadang, kebaikan bisa bikin orang salah paham."

Naura menoleh cepat, tapi tidak menjawab. Ada sesuatu di sorot matanya. Antara marah... dan menikmati pujian terselubung itu.

Tak lama David kembali dengan wajah lega, ponselnya tidak hilang, tapi dia sedikit kecewa karena Kinanti tidak meneleponnya.

Kinanti sebenarnya menelepon, tapi panggilannya selalu gagal karena tidak ada sinyal.

Mobil tua dinas milik relawan terparkir di sisi tenda, sekarang semua pasien akan dipindah tempatkan di gedung kosong yang dulunya sekolahan, bangunan tua itu kini jadi rumah sakit darurat.

Ruang guru dijadikan ruang triase. Ruang kelas jadi area observasi. Dan perpustakaan kini menjadi tempat istirahat para dokter dan relawan.

David membuka pintu mobil dan membiarkan Naura masuk lebih dulu. Ia mengatur sandaran kursi agar lebih nyaman, menyelipkan bantal kecil di belakang punggung Naura, lalu menyalakan pemanas portable seadanya.

"Lebih baik?" tanyanya.

Naura mengangguk. "Enak banget, lebih nyaman

David tertawa pelan. "Jangan keburu senang. Ini cuma mobil tua. Tapi kalau kamu perlu istirahat, di sini lebih hangat daripada tenda."

Yusuf tidak jadi naik mobil yang sama dengan David, ada temannya yang lain memanggil. lagipula keberadaannya tidak pernah dianggap oleh Naura.

Naura menatap David lama. Sorot matanya tidak lagi penuh sakit, tapi ada ketenangan di sana. Seperti gadis yang sedang jatuh cinta diam-diam. Ia menyandarkan kepala di jendela, lalu berbisik nyaris tak terdengar.

"Aku senang bisa ketemu Kak David di sini..."

David menoleh. "Kenapa?"

"Soalnya... aku jauh dari orang tua, dari siapa-siapa. Tapi tiap kali lihat Kakak... aku ngerasa ada orang yang sayang sama aku."

David tersenyum. "Mbak Kinanti titip kamu pada Kakak, katanya kalau pulang nanti gak ada yang boleh lecet. Ngeri kan ancaman Mbak Kinanti. Sekarang kamu malah terkilir begini."

***

Udara di lereng Semeru pagi itu mulai menghangat. Meski bekas longsoran masih menebar bau tanah dan trauma, aktivitas di rumah sakit darurat perlahan berkurang.

Kloter kedua para relawan medis sudah tiba sejak subuh, menggantikan tim pertama yang telah bekerja hampir dua pekan tanpa henti.

Naura duduk di bangku kayu di sisi lorong bekas ruang kelas yang disulap jadi ruang perawatan. Wajahnya jauh lebih segar, senyum tipisnya kembali muncul meski tubuhnya masih lemas.

“Naura, hasil lab kamu bagus. Kondisi kamu stabil, jadi hari ini kamu bisa pulang,” kata seorang dokter senior yang baru datang.

“Sebenarnya kamu harus istirahat total beberapa hari, tapi karena kamu udah terdaftar dalam jadwal evakuasi, kita ikuti prosedur pemulangan.”

Naura mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

Ia membereskan barang-barangnya: tas selempang kecil, buku catatan, dan jaket tebal pemberian David. Di luar tenda, beberapa relawan sudah naik ke mobil travel yang siap mengantar mereka kembali ke kota.

Naura melangkah dengan pelan, tapi langkahnya tertahan oleh seorang suster.

“Naura, kamu belum ambil surat rujukan, sepertinya masih di ruang logistik.”

Naura berbalik untuk mengambil surat tersebut. Tapi saat ia kembali, suara mesin travel sudah terdengar menjauh. Jalanan sudah kosong.

“Tidak…” gumamnya panik. Ia berdiri di tengah debu dan udara pagi yang dingin, tak percaya dirinya ketinggalan travel.

Dengan tergopoh ia mengeluarkan ponsel dari tas dan menekan nama yang tak pernah ia hapus sejak awal penugasannya di Semeru. Kakak ipar David.

David sedang duduk di bangku baris kedua dalam travel. Wajahnya lelah, matanya hampir tertutup ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar, lalu menghela napas pelan sebelum mengangkat.

“Naura?”

“Ka... Kak, aku ketinggalan travel,” suara Naura terdengar hampir menangis. “Aku disuruh ambil surat rujukan dulu… pas balik, mobilnya udah jalan.”

David mendadak terjaga penuh. Ia menoleh ke depan. Travel sudah mulai menjauh dari area pengungsian, melewati tikungan curam dan jalan berbatu yang sulit untuk kembali.

“Astaga, Naura… kamu di mana sekarang?”

“Masih di depan ruang logistik. Sendirian…”

David mengusap wajahnya. Ia tahu jika membiarkan Naura di sana, ia bisa dalam bahaya. Jalan ke kota tidak mudah. Sinyal buruk. Angkutan umum langka. Dan jelas, Naura belum benar-benar sehat.

“Aku turun di pos berikutnya. Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana.”

Sopir travel menoleh dengan kaget saat David meminta turun di tengah perjalanan. “Dok, ini jauh dari mana-mana. Nggak ada ojek juga.”

“Saya tahu. Tapi saya harus balik,” jawab David singkat.

Ia turun di persimpangan sempit di mana pos logistik masih tampak samar dari kejauhan. Setelah menunggu beberapa menit di pinggir jalan, ia menyetop mobil relawan yang lewat, lalu menumpang sampai kembali ke lokasi darurat.

Saat sampai, ia melihat Naura duduk bersandar di dinding sekolah, tubuhnya terbungkus jaket, wajahnya sayu tapi lega melihatnya.

David mendekat. “Kenapa kamu nggak minta diantar relawan lain?”

Naura tersenyum kecil. “Aku panik. Yang pertama kupikir... ya, Kakak.”

David menatap gadis itu lama. Ia ingin marah. Tapi tidak bisa. Naura terlalu imut untuk mendapatkan amarah darinya.

“Ayo,” ucapnya pelan. “Kita cari ojek atau mobil yang bisa bawa ke kota. Setidaknya sampai ke jalur utama.”

Naura berjalan pelan di samping David, sesekali menatapnya diam-diam. Jalanan basah karena hujan semalam. Awan mulai menghitam. Tapi hati Naura justru terasa hangat.

Dalam perjalanan, tidak banyak yang mereka bicarakan. Hanya deru angin dan gesekan daun yang mengiringi. Sesekali David bertanya apakah Naura kelelahan. Naura hanya menggeleng dan terus berjalan.

Malam semakin larut, David dan Naura mulai putus asa, tak ada satupun kendaraan lewat, yang nampak hanya sebuah villa kecil di bukit, lampunya menyorot ke arah jalan seolah memanggil keduanya supaya singgah.

Bab 3. Jantung yang terus berdebar

Udara malam di perbukitan terasa dingin, menusuk perlahan hingga ke tulang. Angin membawa bau tanah basah dan bunga liar yang mekar di sela bebatuan.

Di balik kelamnya malam, kerlip lampu dari villa yang berjajar rapi di lereng bukit tampak hangat dan menenangkan.

Naura melangkah cepat, menyusul David yang berjalan satu langkah di depannya.

Keduanya baru saja sampai setelah menempuh perjalanan panjang. Kejadian tadi, Naura yang tertinggal travel dan David yang turun hanya demi menjemputnya, masih meninggalkan rasa hangat di dada gadis itu. Meski tubuhnya lelah, matanya tetap menyapu sekeliling dengan rasa takjub dan sedikit gugup.

Villa villa yang mereka lewati tampak elegan, berdiri anggun di antara hijaunya bukit dan langit yang mulai menggelap sempurna.

Cahaya keemasan dari lampu-lampu kecil di taman menambah kesan romantis. Naura mengeratkan jaketnya, berusaha mengusir dingin dan degup aneh di dadanya.

Mereka akhirnya sampai di sebuah villa di ujung jalan setapak. Seorang pria paruh baya dengan sweater rajut dan celana bahan duduk di teras depan, tampak sedang menikmati secangkir kopi.

“Malam, Pak,” sapa David dengan sopan.

Pria itu mengangkat wajahnya, memeriksa mereka dengan tatapan ramah namun cermat. “Malam. Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa masih ada villa kosong, Pak?” tanya David.

Pria itu meletakkan cangkirnya, berdiri perlahan. “Masih ada satu. Tapi kalau kalian mau menginap di sini, saya butuh fotokopi buku nikah dan KTP. Itu syarat kami untuk pasangan yang menginap.”

Naura langsung menahan napas. Jantungnya berdebar tak menentu. Ia menggigit bibir bawahnya, bingung harus berkata apa. Bagaimana mungkin ia dan David, yang notabennya Kakak ipar, bisa menunjukkan buku nikah?

Tapi sebelum kecemasannya semakin menjadi, David dengan tenang mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari saku jaketnya. Dengan tangan mantap, ia menyerahkan semuanya kepada sang pemilik villa.

“Kami bawa, Pak. Ini fotokopi buku nikah dan foto kopi KTP saya dan istri saya,” ujarnya tenang.

Naura membelalakkan mata. Ia menoleh ke arah David, tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Tapi pria itu tak mengatakan apa pun. Hanya menatap lurus ke depan dengan wajah tenang dan senyum kecil yang menenangkan.

Pemilik villa menerima dokumen itu, memperhatikan wajah Naura. Dahi pria itu sempat mengerut, mungkin memperhatikan sesuatu yang ganjil. Tapi kemudian ia mengangguk, mengembalikan senyumnya, dan menyerahkan kunci villa.

“Wah, kalian masih tergolong pengantin baru, ya?” goda pria itu dengan tawa kecil.

David tak menjawab. Ia hanya melempar senyum tipis dan menoleh pada Naura yang masih terdiam. “Ayo,” katanya pelan.

Naura hanya bisa mengikuti. Ia masih tercengang, belum bisa berkata apa-apa saat David menggandeng lengannya perlahan dan membawa masuk ke dalam villa. Hatinya mendadak kacau, seperti ombak yang baru saja dihantam badai.

Begitu pintu tertutup, suasana hangat menyelimuti ruang utama villa yang bernuansa kayu dan batu alam.

Aroma lavender dari diffuser menyambut mereka. Tapi bukan itu yang mengganggu benak Naura.

Naura berdiri kaku di dekat sofa, menatap Davit yang tengah meletakkan dokumen mereka di meja kecil.

“ Kak David…” Naura akhirnya bicara. Suaranya hampir berbisik. “Kakak bawa buku nikah Mbak Kinanti dan… foto kopi KTP juga?”

David menoleh pelan. Sorot matanya tenang, namun ada sinar sayu yang tersimpan dalam diamnya.

“Iya. Itu kebetulan aja," jawab David enteng, semua memang kebetulan ada di tas, karena berkas-berkas itu akan David berikan pada dokter Obgin yang akan membantu proses persalinan Kinanti.

Naura menatapnya. Tubuhnya kaku, bibirnya gemetar karena tidak tahu harus marah, kagum, atau takut. “Tapi itu… itu bisa dianggap pemalsuan identitas, Kak David. Kita bukan suami istri. Dan aku… aku bukan Kinanti.”

“Aku tahu,” bisik David. “Tapi wajah kalian hampir identik. Dan ini darurat. Kita butuh tempat aman, Naura.”

Naura mengalihkan pandangannya, jantungnya masih berdetak terlalu cepat. entah kenapa rasa itu terus hadir saat di dekat david. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke jendela dan menyingkap tirainya.

Pemandangan bukit yang diterangi bulan benar-benar indah, menenangkan… dan membingungkan di saat bersamaan.

David berjalan mendekat, berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa tidur di kamar utama. Aku akan ambil selimut dan tidur di sofa.”

Naura menoleh, menatap kakak iparnya dalam waktu lama. Bukan karena senang ia bisa tidur nyaman, tapi karena mengagumi pria itu.

Meski telah menyelamatkannya dengan kebohongan kecil, dia tetap menjaga jarak. Tetap menghormatinya.

Malam itu, mereka tidur di bawah atap yang sama, tapi dipisahkan oleh batas tak kasat mata. Namun yang tak bisa dibendung adalah kenyataan, ada rasa yang tumbuh diam-diam. Dan dalam dinginnya udara bukit, hati mereka diam-diam mulai menghangat.

***

Bip... bip... bip...

Nada ponsel yang khas memecah keheningan villa, menggema pelan di antara dinding kayu dan udara dingin yang mengambang.

Naura mengerjapkan mata, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Layarnya menyala, menampilkan nama yang membuat hatinya bergetar sedikit, Kinanti.

Dengan napas yang sedikit ditahan, ia menekan tombol hijau dan menyandarkan tubuh ke bantal empuk di belakang punggungnya.

"Halo, Mbak?"

"Naura, kamu di mana sekarang?" suara Kinanti terdengar cepat dan cemas. "Kata Yusuf kamu ketinggalan travel?"

Naura menatap langit-langit villa yang dihiasi lampu gantung rotan. Malam ini terlalu tenang. Terlalu penuh rahasia.

"Iya, Mbak," ucap Naura pelan. Ia berusaha menahan suara agar tetap terdengar wajar. "Sepertinya aku memang harus istirahat beberapa hari lagi di sini, biar cepat pulih."

"Kamu sakit?" Nada suara Kinanti naik satu oktaf. Kecemasan yang tulus, yang menusuk pelan ke dalam hati Naura.

Naura buru-buru tersenyum kecil, meski senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. “Enggak, Mbak. Cuma keseleo sedikit pas buru-buru ngejar travel. Mbak enggak usah cemas.”

Ia melirik ke ruang tamu. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat David duduk di sofa, menatap serius layar laptop di depannya. Matanya fokus, jemarinya sesekali mengetik cepat.

Kinanti terdiam sejenak di seberang. “Oh iya… Mas David di mana sekarang? Dia enggak nemenin kamu?”

Naura menelan ludah, merasa dada kirinya seolah dicekik pelan oleh rasa bersalah. Ini kebohongan pertama yang ia lontarkan pada Kinanti malam ini, dan rasanya seperti berdiri di tepi jurang yang licin.

“Mas David…” Naura menarik napas pelan. “Mas David sekarang lagi sibuk bantu dokter lain menangani pasien.”

Dusta.

Dusta kecil. Tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar kencang.

Padahal kenyataannya, pria itu hanya beberapa meter darinya. Di villa yang sama. Di bawah atap yang sama. Dan sedang tak mengerjakan apa pun selain membuka data di laptop, mungkin laporan medis atau berita dari rumah sakit pusat.

“Ya sudah deh, yang penting kamu hati-hati. Aku akan sampaikan ke Ibu kalau kamu istirahat dulu. Tapi tolong jaga diri baik-baik ya, Naura.”

“Iya, Mbak. Makasih ya. Jangan bilang-bilang soal keseleo ku ke Ibu dulu, biar enggak tambah cemas.”

“Baik.” Suara Kinanti mulai menurun. “Kalau ada apa-apa, kabari aku langsung.”

Setelah panggilan itu berakhir, Naura mendesah panjang. Ia menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam ponsel erat-erat. Hatinya belum tenang. Entah karena kebohongannya, atau karena pria di luar sana yang keberadaannya justru memberi kenyamanan yang aneh.

Tak lama, suara kaki melangkah perlahan mendekati kamar. Naura spontan mematikan layar ponselnya dan menegakkan duduknya.

David muncul di ambang pintu, bersandar ringan dengan tangan menyilang di dada. Senyum tipis terbit di wajahnya.

“Telepon dari Kinanti?”

Naura mengangguk pelan.

“Aku bilang lagi bantu dokter lain,” lanjut Naura, mencoba terdengar santai, walau suaranya sedikit gemetar.

David tak langsung menanggapi. Ia melangkah masuk, berdiri di sisi ranjang sambil menatap Naura dalam diam.

Ada sesuatu di matanya, campuran antara rasa kasihan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lain yang tak berani Naura tafsirkan.

“Kamu nggak harus berbohong, Naura,” ujar David lirih. “Tapi terima kasih karena sudah menjaga perasaannya.”

Naura menunduk. “Aku juga gak ngerti kenapa aku bilang kayak gitu. Mungkin karena... aku tahu Mbak Kinanti percaya penuh sama kita, tapi tetap saja kita harus jaga perasaannya.”

David mengangguk. Ia menarik napas panjang, lalu membenarkan selimut Naura. Gerakan yang biasa. Tapi malam ini terasa berbeda. Terlalu lembut, terlalu hati-hati.

“Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal panggil,” katanya, lalu berbalik menuju pintu.

Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sejenak. “Dan satu hal lagi…”

Naura menoleh, menatap punggung pria itu yang terlihat begitu tenang.

“Kamu aman di sini, Naura. Meskipun dunia di luar membingungkan, tapi di villa ini, kamu gak akan pernah sendirian.”

Pintu ditutup perlahan. Suara angin yang mengelus jendela kembali menjadi latar utama malam itu.

Naura menarik selimut hingga ke dada. Ia memejamkan mata. Tapi bukan untuk tidur, melainkan untuk menenangkan hati yang mulai dilanda badai.

Kagum, Naura semakin hari semakin mengagumi kakak iparnya, seperti lelaki tipe impiannya. Tampan, penyayang, dan juga perhatian.

(Selamat membaca)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!