NovelToon NovelToon

Fate Love

Bab 1 Malam Petaka

Di pinggiran sebuah jembatan terbesar kota A, seorang gadis cantik berambut ikal panjang sedang menangis tersedu. Mengingat kembali kejadian demi kejadian yang dia alami sampai saat ini seperti memutar sebuah film drama yang tragis. Semua ini berawal saat sebuah panggilan telepon dari kakak tirinya, Ratih, yang memintanya datang ke sebuah café untuk membicarakan sesuatu.

“Mel, malam ini bisa kita ketemu? Ada yang mau Kakak bicarakan sama kamu, penting,” ucap Ratih mengawali pembicaraan.

“Bisa Kak. Tapi setelah jam 8 ya. Karena aku ada rapat sama tim promosi membahas proposal yang akan kita ajukan ke salah satu artis yang ingin menggelar pernikahan di Hall Hotel kita bulan depan,” sahut Amelia.

“Oke. Fine. Kamu kan memang Manajer Umum sekarang. Gak bisa dibandingkan dengan aku yang hanya staf hotel biasa,” sungut Ratih.

“Bukan gitu," Tutt..tuutt...tuutt...sambungan telepon diputus.

*Kenapa K*ak Ratih selalu sensitif kalau aku membahas masalah hotel. Jelas-jelas dia tau aku sama sekali tidak berminat meneruskan bisnis papa. Hhhhh….

Tidak mau terbawa perasaaan terlalu lama, Amelia memutuskan untuk segera memulai rapat. Amelia Candra, manajer wanita termuda di jajaran pimpinan Hotel Candra milik keluarganya. Dia berparas cantik, kulit putih mulus bak porselen, rambut ikal di bawah bahu, postur tubuhnya merupakan idaman kebanyakan wanita, tinggi dan berisi.

Kecantikan fisiknya bersanding dengan kecerdasan intelektual tinggi dan emosi yang stabil, membuat banyak karyawan yang awalnya berpikiran sinis tentang jabatan yang diperolehnya karena dia putri pemilik hotel berubah menjadi sorot kagum dan hormat setelah melihat hasil kerjanya selama setahun ini.

Saat ini usianya genap 24 tahun. Usia yang terbilang muda untuk menjadi seorang penanggungjawab sebuah departemen. Namun Amelia membuktikan bahwa usia bukan hambatan untuk berprestasi. Program sarjana dan pascasarjana manajemen bisnis di Cambridge University dia tuntaskan dalam waktu 5 tahun dengan predikat cumlaude.

Selain prestasi akademik, Amelia merupakan gadis yang senang berorganisasi dan berpendirian kuat. Itu semua merupakan modal yang Amelia punya hingga dia pantas menduduki jabatannya yang sekarang. Patut dijadikan contoh untuk orang muda seusianya.

****

Café Zoom

“Pras...aku mau kamu masukkan obat ini ke dalam jus jeruk yang aku pesan. Jangan sampai salah. Aku pesan yang biasa ya,” perintah Ratih pada bartender café.

“Ini apa mbak?" tanya Prasetyo penasaran.

“Sudah, jangan banyak tanya. Yang paling penting jangan sampai salah! Kamu masih mau ambil alih café ini kan Pras?” pancing Ratih.

“Oke, saya tidak akan tanya lagi. Tapi jangan ingkar janji ya.” Bagi Prasetyo tidak penting lagi apa tujuan wanita ini, siapa targetnya, yang penting dia hanya perlu melakukan sesuai perintah dan dia dapat imbalan yang besar untuk hal itu. Dalam hati kecilnya merasa bersalah terhadap musuh wanita ini. Namun ambisinya memiliki sebuah café membuat Prasetyo menutup matanya.

Nanti...nanti...suatu hari nanti aku akan melakukan suatu hal besar untuk membayar kejahatanku saat ini, batinnya. Wanita cantik di depannya ini memiliki aura yang sulit dijelaskan.

“Mikirin apa kamu?! Udah sana, keburu ada yang tau nanti.” tegur Ratih ketus, membuyarkan pikiran Prasetyo.

Pukul 21.10

Sebuah taksi berhenti di halaman café. Amelia segera keluar dari taksi sambil berlari kecil menuju pintu masuk. Dia tahu kakaknya tidak akan mudah memaafkan keterlambatannya. Tapi memang tidak ada hal yang mudah saat berhadapan dengan Ratih.

Saat usianya 8 tahun, mamanya meninggal karena kecelakaan. Dua tahun kemudian papa menikah dengan mama Sonya dengan membawa Ratih yang usianya 2 tahun di atas Amelia. Tahun-tahun awal kehidupan mereka sangat harmonis layaknya keluarga pada umumnya.

Masalah demi masalah mulai mewarnai kehidupan kakak beradik ini sejak mereka beranjak dewasa. Mulai dari prestasi akademik, hubungan asmara, menentukan pilihan kuliah, sampai masalah jabatan di hotel. Meski begitu Amelia sangat menyayangi kakak tirinya itu.

“Kak Ratih...hhhh...maaf ya...Amel telat,” kata Amel sambil menata nafasnya yang tersengal.

“Tau diri dikit lah Mel! Bedakan urusan kerja dan pribadi! Aku masih tetap kakakmu walau jabatanku jauh dibawahmu!” Ratih mulai mengomel.

“Kak, bisa gak kita gak usah membahas masalah jabatan? Kalau Kakak mau, aku akan bilang ke Papa untuk menukar posisi kita,” berusaha meredakan emosi Ratih.

“Halah, gak usah cari muka. Sok baik. Kalau memang mau tukar posisi, kenapa gak dari awal mulai kerja aja kamu bilang Papa. Dasar! Sok perhatian!” makin tinggi nada bicara Ratih.

“Pelankan suaramu Kak, banyak orang yang liat ke arah kita. Oke, Kakak mau bicara apa? Kalau hanya mau bertengkar mending kita pulang aja,” jawab Amelia mulai sebal.

“Oke, aku minta maaf, Mel. Nih minum dulu jusnya,” menyodorkan jus jeruk yang sudah dipesan tadi.

Karena haus habis berlari tadi, dilanjutkan berdebat, Amelia meminum habis jusnya tanpa ada rasa curiga. Di seberang meja Ratih memperhatikan sambil tersenyum sinis. Di balik meja bar, seorang pria melihat adegan itu dengan perasaan yang campur aduk.

Setelah jus habis, Ratih memulai obrolan dengan suasana yang berbeda. Menanyakan kemajuan proyek yang sedang Amelia tangani, membahas tentang hal-hal yang tidak penting, tidak seperti yang dikatakan di telepon

tadi sore.

Hhooaamm...Amelia menguap. “Kak, hal penting apa yang ingin Kakak sampaikan? Amel sudah ngantuk nih.” Hhooaaammm...menguap lagi.

Ratih tersenyum melihat Amel sudah hampir tertidur. “Oh iya sampai lupa mau bahas apa.” Karena memang tidak ada hal penting yang ingin Ratih sampaikan ke Amelia. “Sebaiknya kita pulang aja, Mel. Kamu bareng mobil Kakak aja ya.” Yang diajak bicara sudah menjatuhkan kepalanya di meja café.

Bagus...semua berjalan sesuai rencana sejauh ini. Rasakan kamu Mel, setelah ini kamu gak akan pernah bisa berjalan dengan kepala tegak lagi. Saatnya kamu merasakan kekalahan demi kekalahan yang sejak dulu selalu aku rasakan. Senyum kemenangan mengembang di bibirnya.

Menoleh ke arah bartender yang sedang berdiri, Ratih melambaikan tangannya. Prasetyo berjalan menghampiri meja Ratih sambil membawa amplop berisi perjanjian bermaterai.

“Apa ini?” tanya Ratih saat Prasetyo menyodorkan amplop cokelat di depannya.

“Ini surat perjanjian bermaterai mbak. Tolong ditandatangani,” jawab Pras.

“Heehh…!! Tugasmu belum selesai! ” jawabnya ketus. “Sudah kamu siapkan pria yang akan menemani wanita ini tidur malam ini?” kembali bertanya.

“Sudah, Mbak. Sudah siap di kamar seperti yang Mbak perintahkan.”

“Bagus, sekarang kamu bantu aku mengurus wanita ini.” Tanpa menunggu lama, Ratih membopong lengan Amel di bahunya. Sementara Prasetyo mengambil kunci dan menyiapkan mobil di dekat pintu keluar. Ratih memasukkan Amelia ke mobil dan memerintahkan Pras segera menjalankan mobil menuju hotel.

***

Kamar 309 Hotel Galaksi

Seorang pria tampan dengan tubuh atletis sedang terbaring bertelanjang dada. Selimut hanya menutupinya sebatas pusar. Otot dadanya terbentuk sempurna, bukti bahwa dia rajin merawat tubuh dan menjaga kebugarannya. Ratih langsung terpesona dengan sosok di atas ranjang saat Pras membuka pintu kamar hotel.

Pria tampan, beruntungnya kamu malam ini. Aku serahkan adikku yang masih suci ini kepadamu. Selamat menikmati malam indahmu. Bibirnya tak henti menyungging senyuman membayangkan yang akan terjadi malam ini.

Keluar dari kamar hotel, Ratih menyerahkan amplop milik Prasetyo yang sudah dia tandatangani. “Kerjasama kita selesai sampai di sini. Apa yang terjadi dengan mereka berdua sudah bukan tanggungjawab kita. Dan satu hal lagi, hapus semua jejak yang mengarah ke kita. Anggap kita tidak saling kenal atau pernah bertemu. Atau..” belum selesai Ratih bicara.

Pras sudah memotong, “Sudah, cukup. Saya paham. Terimakasih,” sahutnya, mengambil amplop dan melangkah pergi meninggalkan Ratih di depan kamar hotel.

Sebelum beranjak pergi, sekali lagi Ratih menoleh pintu kamar hotel dan membatin, andai saja kamu tidak selalu unggul, andai kamu mengalah sekali saja, mungkin aku tidak sebenci ini padamu adikku. Senyum sinis kembali mengembang di bibirnya.

Pikiran Ratih melayang pada sosok pria di kamar tadi, andaikan kita bertemu dalam kondisi yang lain mungkin aku dengan senang hati menemanimu menghabiskan malam. Tapi garis nasib membawamu ke dalam drama ini dan menjadi salah satu alatku membalas dendam pada Amel. Sambil menggelengkan kepala, Ratih berjalan keluar hotel menuju mobilnya diparkir.

*****

Hai, smart readers.

Perkenalkan aku DewiOmega. Fate Love merupakan novel pertamaku yang berhasil dipublikasi. Jangan lupa untuk Like, Komen, Rate dan Vote ya. Karena itu akan menyemangatiku untuk semakin aktif berkarya. Terimakasih.

Bab 2 Noda Abadi

Ranjang besar itu bergerak-gerak, Angga merasa kepalanya pusing seiring dengan gerakan di sisinya. Bre****k! Kenapa kepalaku seperti mau pecah? Apa yang terjadi sebenarnya? Perasaan apa ini? Kenapa aku sangat bernafsu? Aahhh...panas sekali. Tolong...siapapun yang mendengarku\, tolong aku....

Samar Angga mendengar pria dan wanita berbicara namun tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sedangkan matanya berat tidak mau terbuka, tangan dan kakinya lemas tidak dapat digerakkan. Dia berusaha berteriak namun yang keluar hanya rintihan samar. Amarahnya semakin membuat kepalanya berdenyut.

Selang beberapa lama terdengar pintu ditutup, Angga merasa kesadarannya mulai kembali. Tangannya berusaha bergerak namun tidak terkontrol. Apa ini sebenarnya? Sudah matikah aku? Kenapa aku seperti mayat hidup begini?

Terus berusaha untuk memulihkan kesadarannya sambil menahan sakit kepalanya yang mau meledak. Tangannya meraba sesuatu di sisi kanannya. Benda apa ini? Sepertinya tidak asing bagiku. Untuk memastikan, tangannya bergeser sedikit ke kanan. Ternyata indra perabanya masih berfungsi.

Itu adalah dada seorang wanita terbungkus bra berenda. Tangan, akal dan hasratnya tidak bekerja sesuai perintahnya. Saat ini yang ada di pikiran Angga hanya mengakhiri penderitaannya akibat obat setan itu. Tanpa

menunda lagi, Angga berusaha keras untuk bergerak ke atas wanita di sampingnya itu.

Di saat bersamaan, wanita itu mulai berontak namun gerakannya lemah dan makin memancing hasrat Angga. Dalam kondisi setengah sadar Angga menyerang wanita itu tanpa dapat ditolak. Perlawanan si wanita tidak berarti bagi Angga mengingat tubuhnya yang atletis, dengan mudah dapat menaklukkan perlawanan si wanita.

Bre****k! Masih perawan dia ternyata, umpatnya. Namun, lagi-lagi akalnya kalah oleh besarnya hasrat yang menggelegak. Bersamaan dengan hasratnya yang terpuaskan, Angga mendengar wanita itu berteriak lirih dan menangis. Seketika kesadaran Angga kembali. Namun tubuhnya lemas tak berdaya dan tak lama kemudian Angga jatuh tertidur.

Tuhan…siapa pria ini?! Kenapa dia lakukan ini padaku?! Dimana aku? Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Amelia berusaha membuka mata dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Matanya nanar menatap sekeliling kamar yang hanya diterangi lampu redup di pojok kamar. Perasaan takut dan marah membuat dia menoleh ke sisi kiri dan matanya melihat seorang pria dengan tubuh atletis yang tadi merenggut keperawanannya.

Rasa malu membuat Amelia beringsut turun dari ranjang dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Menuju kamar mandi dan membasuh muka sekenanya, Amelia keluar kamar meninggalkan pria itu dengan perasaan jijik dan marah.

Di luar kamar, Amelia melirik jam tangannya yang ternyata sudah pukul 3 pagi. Dengan perasaan bingung dan menahan sakit diantara kedua pahanya dia masuk ke dalam taksi yang berjajar di depan hotel sambil berusaha mengingat kejadian semalam yang seperti mimpi buruk dalam hidupnya.

***

Kediaman Candra Mulyana

Amelia berhasil masuk ke kamarnya tanpa seorangpun yang tahu. Yang dia lakukan pertama kali adalah berdiri di bawah pancuran dengan pakaian lengkap. Guyuran air dingin membuat dia benar-benar sadar dan mulai menangisi keadaannya.

Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Berkali-kali pertanyaan itu muncul di otaknya. “Amel, sadarkan dirimu. Ayo berpikir Amelia Candra...! Jangan tiba-tiba jadi wanita bodoh…!” teriaknya sambil memukul dinding kamar mandi dengan kepalan tangannya.

Setelah menggigil, baru lah Amel keluar dari bawah pancuran dan melepas bajunya yang basah. Masih terasa perih di daerah sensitifnya. Ada bercak darah di celana dalamnya. Kembali dia menangis meratapi dirinya. Dosa apa aku sampai mengalami kejadian ini?! Gumamnya di antara isak tangis.

Keluar dari kamar mandi sambil membungkus tubuh mungilnya dengan handuk mandi. Diikatnya erat-erat seakan itu dapat menghapus noda yang sudah tertoreh di tubuhnya. Naik ke atas ranjang, meraih selimut dan meringkuk seperti menahan sakit, berharap selimut dapat melindunginya dari rasa malu. Amelia kembali menangis sampai jatuh tertidur.

Terbangun karena kepalanya berdenyut, Amelia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Tok…tok…tok…pintu kamar terbuka.

“Amel…” suara Mama Sonya memanggil. “Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit? Gak biasanya kamu telat bangun.” Amelia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri tidak tahu apa yang menimpanya.

Tangan Mama Sonya meraba kening Amel dan terkejut, “Amel, kamu demam. Pantas saja telat bangun. Mama panggilkan dokter ya?” nada suaranya mulai khawatir.

Berusaha tersenyum Amel menjawab, “Gak usah Ma, minum obat aja nanti juga sembuh. Amel pengen sendirian Ma. Boleh?”

“Boleh sayang, nanti biar Bik Sumi bawakan obat dan sarapan ke kamar ya. Istirahat ya Nak…” sekali lagi tangannya mengusap kening Amel sebelum pergi meninggalkan kamar.

Setelah sarapan dan minum obat, Amel bersandar di ranjang dan mulai berpikir tentang kejadian semalam. Nuraninya menolak mengingat kembali kejadian memalukan dalam hidupnya. Tapi otaknya berkata dia harus meluruskan dan mencari siapa dalang semua ini.

Beberapa jam berpikir dan menangis, kesimpulan Amel semua ini adalah ulah kakaknya, Ratih. Awalnya dia merasa hanya perlu seseorang untuk disalahkan, karena dia yakin Ratih tidak mungkin melakukan hal keji terhadap dirinya.

Namun lama kelamaan dia memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Ratih di depan orangtuanya. Membulatkan tekad dia beranjak keluar kamar menuju ruang tengah. Dilihatnya semua sedang berkumpul menonton TV.

“Pa…Ma...ada yang mau Amel bicarakan.”

“Ada apa Amel?” tanya Papanya.

“Sebelumnya ada yang mau Amel tanyakan ke Kak Ratih.” Sambil memandang Ratih. “Kak, apa yang terjadi semalam?” yang ditanya pura-pura terkejut dengan pertanyaan Amel.

“Memangnya apa yang terjadi?” balik bertanya. Dalam hatinya dia bersorak gembira melihat muka adiknya yang kusut dan pucat seperti mayat.

“Kak, Amel tanya sekali lagi. Apa yang terjadi semalam?!” tanya Amel lagi sambil berteriak histeris. Sontak semua terkejut mendengar Amelia berteriak. Gadis yang selalu ceria dan perhatian tiba-tiba melakukan tindakan yang tidak pernah dilakukannya sekalipun.

“Amel…! Apa-apaan kamu?! Sopan sedikit sama kakakmu!” bentak Papanya.

“Mas, tenang dulu. Jangan ikutan teriak,” Mama Sonya menengahi. “Amel, coba ceritakan apa yang terjadi. Agar kami paham maksud pertanyaanmu, Nak.”

Amelia mulai menceritakan kejadian semalam berawal dari telepon Ratih yang menghubunginya meminta bertemu di café, hingga saat dia sadar dan sudah berada di sebuah kamar hotel bersama seorang pria. Namun Amelia melewati bagian bahwa dia diperkosa.

Plakk...sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya yang mulus. “Jadi kamu menuduh kakakmu yang menjebakmu?! Siapa yang meracuni otakmu Amel?!” Papa mulai marah.

Masih terkejut dengan tamparan yang didapat karena baru kali ini Papanya memukulnya. “Amel hanya bertanya cerita sebenarnya. Bukan menuduh. Karena Amel gak merasa pesan kamar hotel bersama seorang pria, Pa…” jawab Amel sesenggukan.

“Kamu kalau mau nuduh yang masuk akal dong! Masa iya aku menjebak kamu tidur dengan pria tak dikenal. Perbuatan keji itu. Tega banget kamu, Mel." Ratih membela diri.

“Sudah cukup!! Sebaiknya kamu cari tahu sendiri tentang kejadian semalam. Kamu sudah dewasa Amel, harus mampu bertanggungjawab atas perbuatanmu. Jangan sampai hal ini menjadi konsumsi publik. Bikin malu keluarga!” Papa membanting koran di tangannya dan berlalu menuju ruang kerjanya.

“Kalau sudah gak tahan pengen nikah, gak usah bikin heboh gini Mel. Bilang aja sama Papa, pasti dicarikan salah satu anak relasi Papa. Malu-maluin aja kamu!” sindir Ratih sambil berlalu pergi. Tinggal Mama Sonya dan Amel duduk dalam kesunyian.

Mama Sonya bingung harus berkata apa. Satu sisi dia sangat menyayangi Amelia seperti anaknya sendiri. Namun di sisi lain, anak kandungnya yang Amel tuduh menjebak dia tidur dengan pria tak dikenal.

“Amel, Mama minta maaf ya. Mama bingung mau berkata apa,” ucapnya jujur. Mendengar itu airmata Amel mengalir dengan derasnya. Amel menyadari posisi sulit Mama Sonya saat ini. Namun Amel juga tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja.

****

Bab 3 Puzzle Memori

Kamar 309 Hotel Galaksi

Masih dengan rambut basah dan tubuh berbalut handuk mandi, Angga berusaha mengingat kejadian semalam. Setiap ingatannya buntu, dia akan mengumpat atau menggebrak meja. Dia mengambil ponselnya dan menekan

beberapa angka, “Bob, segera ke kamarku.” Belum sempat terdengar jawaban, sambungan sudah diputuskan. Tak berapa lama seseorang mengetuk pintu kamar hotel.

Tok...tok...tok… “Masuk.”

Pintu terbuka, masuklah seorang pria bertubuh tak kalah atletis dengan Angga. “Selamat pagi, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bobi asisten sekaligus pengawal Angga Antariksa, eksekutif muda dunia perhotelan. Bisa dikatakan Angga adalah rajanya perhotelan Asia. Pemilik sejumlah hotel bintang 5 yang tersebar seluruh Asia.

“Bob, tolong kamu cek rekaman CCTV kemarin malam sampai pagi ini. Ada tikus-tikus kecil yang ingin bermain denganku,” kata Angga memberi perintah.

“Baik, Tuan Muda. Saya akan kembali 1 jam lagi.” Tanpa menunggu jawaban Angga, Bobi melangkah pergi. Bobi adalah mantan ajudan Presiden. Karena cidera pada kaki kanan saat bertugas, membuat gerakannya tidak segesit dulu. Dengan sadar diri Bobi mengundurkan diri sebagai ajudan Presiden dan direkrut oleh Angga.

Selama 5 tahun bekerja, cideranya tidak pernah menghambat kinerja Bobi. Karena memang lebih banyak menggunakan otaknya daripada ototnya. Angga sendiri mahir beladiri, jadi Bobi tidak terlalu banyak melakukan tugas pengamanan, hanya memastikan segala sesuatu berjalan sesuai kehendak tuannya.

Menunggu Bobi kembali membuat Angga mengingat kejadian itu. Saat dimana, dapat dikatakan seorang milyuner memperkosa gadis belia. Merasa jijik dengan dirinya, tanpa sadar Angga bergidik sendiri. Namun tak dapat dipungkiri, ada sisi yang membuat Angga menikmati kejadian itu. Tanpa sadar matanya memandang ke arah ranjang besar tempatnya melampiaskan hasrat di bawah pengaruh obat.

Gadis itu sepertinya juga dijebak seperti dirinya, dilihat dari responnya saat Angga menindih tubuhnya dia hanya bisa meronta lemah. Berbeda dengan wanita lain yang sering menemani Angga, yang lebih agresif dari kucing liar. Berusaha menggoda dengan semua yang mereka punya untuk mendapatkan kesempatan berdekatan dengan Angga.

Sebagai pebisnis muda dan sukses, Angga banyak dikelilingi wanita. Namun tidak ada yang bertahan lebih dari sebulan dan berhasil mendapatkan cinta Angga atau bahkan sekedar menemaninya tidur. Angga bukan tipe pria yang mudah tergoda oleh pesona fisik wanita.

Aroma tubuh gadis itu masih lekat diingatan Angga. Wangi rambutnya membangkitkan lagi gairah yang sudah terpuaskan. Badan Angga menegang. Tubuh gadis itu terasa pas di bawah Angga. Aku harus temukan gadis itu, pikirnya.

Bobi telah kembali dengan membawa rekaman CCTV. “Tuan Muda, sepertinya benar ada yang sedang bermain api. Rekaman CCTV sejak Tuan Muda masuk lobi hotel sampai pagi ini telah dihapus seseorang. Yang tersisa

hanya saat seorang gadis keluar dari kamar ini...” Bobi menahan kalimatnya sampai disitu. Selama ini Bobi tidak pernah melanggar batas privasi bos mudanya itu.

“Tunjukkan padaku.” Bobi menyerahkan gawainya ke tangan Angga. Di layar sedang diputar rekaman CCTV yang menunjukkan seorang gadis keluar kamar sambil mencengkeram bagian depan bajunya dan berjalan sedikit berlari sambil mengusap matanya.

Namun sayangnya wajah gadis itu tidak terekam kamera CCTV. Sial! dia menangis. Apa aku sudah menyakitinya? Ada penyesalan yang tiba-tiba muncul di hati Angga. Selama ini belum pernah ada pemandangan wanita menangis yang dapat meluluhkan hati Angga selain mamanya.

“Tuan Muda…” teguran Bobi menyadarkan Angga dari lamunan.

“Bob, cari tahu tentang gadis ini. Atur pertemuan sewajar mungkin agar dia tidak curiga. Aku ingin tahu latar belakangnya.” Angga memberi perintah.

“Baik Tuan Muda. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Bobi yang disambut lambaian tangan Angga. Setelah mengangguk, Bobi meninggalkan Tuan Muda-nya yang kembali larut dalam pikirannya sendiri.

Baru kali ini Tuan Muda bersikap begini berkaitan dengan wanita. Semoga ini wanita terakhir yang bisa menaklukkan hatinya, batinnya sambil geleng-geleng dan melangkah pergi. Selama 5 tahun menemani Angga, belum pernah ada kejadian seperti hari ini. Banyak wanita yang keluar dari kamar 309 dalam kondisi menangis bahkan dibarengi dengan teriakan, umpatan atau tendangan di pintu kamar. Tapi belum ada peristiwa dimana Angga meminta Bobi mencari rekaman CCTV bahkan minta diatur untuk bertemu.

Biasanya Angga akan dengan senang hati menunjukkan identitasnya agar para wanita berebut perhatiannya dan dengan mudah mencampakkannya. Bila ada wanita keluar kamar 309 dengan menangis, maka Bobi akan bertemu dengan Angga yang sedang tersenyum senang sambil minum kopi di dalam suite room nya. Karena itu artinya akan ada wanita baru lagi hari ini sampai satu bulan kedepan. Bukan seperti pemandangan yang Bobi temui pagi ini.

“J4…cari identitas wanita yang ada dalam video. Laporkan padaku secepatnya.” Bobi memberi perintah bawahannya melalui ponsel.

“Baik Pak. Laksanakan.” Jawab orang diseberang sana.

Orang yang dipanggil J4 mulai membuka video berdurasi 40 detik yang Bobi kirimkan. Sudah dia putar ulang sampai 4x, namun J4 masih kebingungan harus mulai darimana mencarinya. Dia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal sambil mulai melaksanakan tugasnya.

Pantang menyerah sebelum perang, itu yang selalu ditanamkan Bobi pada anak buahnya. Dan itu pula yang membuat mereka berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan tugas yang diberikan.

****

Kantor Manajer Umum Candra Grup

Toni asisten pribadi Amelia sudah duduk sejak satu jam yang lalu. Dia masuk ke ruangan atasannya karena ingin melaporkan kemajuan tentang proyek pernikahan artis Noah yang akan digelar 2 minggu lagi. Tapi si empunya kantor sedang duduk termenung menghadap jendela kaca besar yang menyajikan pemandangan kota A dari atas.

Tak mau mengganggu Amelia, maka Toni hanya duduk sambil menunggu Amelia menyadari kehadirannya. Tiba-tiba kursi berputar dan Amelia terkejut melihat Toni duduk memandanginya di seberang meja.

“Astaga! Mas Toni, bikin kaget aja! Ketuk pintu dulu mas sebelum masuk. Jangan main nyelonong trus duduk begini. Hampir copot jantung Amel,” cerocos Amelia tanpa jeda.

Toni dan Amelia adalah saudara sepupu. Ayah Toni merupakan kakak kandung Pak Candra Mulyana. Mereka tumbuh bersama sampai sebelum Toni pindah ke Amerika untuk melanjutkan studinya. Usia mereka terpaut satu

tahun dan sempat menikmati masa SMA bersama. Tak jarang banyak teman-teman yang menyangka bahwa Toni adalah kekasih Amel, dan itu membuat banyak cewek yang cemburu sekaligus kagum pada Amel diwaktu yang bersamaan.

Toni pria yang tampan, dengan tubuh tinggi tegap, kulit putih dan garis rahang yang tegas. Penampilannya selalu enak dilihat, senyumnya dapat mengalihkan dunia lawan jenis dan sesama jenis. Namun hanya Amelia yang tahu kemarahan yang mengerikan di balik semua ketampanan yang nampak.

“Sudah ngomelnya? Mas sudah mengetuk pintu, menegur ibu manajer, permisi untuk duduk, berdehem dan sayangnya tidak bisa mengalihkan perhatian ibu dari asiknya melamun. Apa Paman Candra tau kalau manajer kebanggaannya suka melamun saat bekerja?” ocehan Toni tak kalah panjang.

Amelia bengong, apa iya barusan dia melamun? Kejadian malam itu berpengaruh besar bagi Amelia, hingga dia menjadi banyak diam dan melamun. “Ehh…maaf Mas, Amel yang salah,” katanya menyesali sikapnya.

“Kamu kenapa Mel? Semingguan ini Dira bagian marketing bilang kalau kamu sering gak fokus saat rapat. Kamu ada masalah? Cerita dong sama mas Toni, mungkin ada yang bisa mas bantu,” kata Toni lembut.

Toni pernah memiliki perasaan khusus pada Amelia saat remaja. Dan rupanya ayah Toni menyadari hal itu dan segera mengirim Toni ke luar negeri dengan alasan melanjutkan studi. Tapi ternyata jarak dan waktu masih belum bisa menghapus rasa itu. Toni sadar betul bahwa Amelia hanya menganggapnya sebagai kakak laki-lakinya, tidak lebih. Namun tampaknya istilah cinta datang karena terbiasa itu benar adanya, dan sayangnya hanya berlaku untuk Toni.

“Mas, boleh Amel minta peluk sebentar?” tanya Amel lembut sambil berdiri mendekati kursi Toni. Tanpa bicara lagi, Toni berdiri dan memeluk Amel dengan erat.

Satu yang paling penting yang Toni tahu saat ini adalah, Amelia sedang dalam masalah. Sejak dulu, apabila sedang banyak masalah atau ada yang dipikirkan Amelia selalu minta dipeluk saat mereka bertemu. Setelah itu dia akan mulai menceritakan semua yang dia pendam.

Sejak mamanya meninggal, Amel yang anak tunggal tidak punya tempat untuk bercerita. Papanya sedang sibuk-sibuknya mengembangkan bisnis hotelnya. Karena itu, Amelia lebih sering tinggal di rumah Toni dan bermain bersama Toni dan Tika.

Nafas berat dan hangat menggelitik dada Toni. Kemeja depannya mulai terasa basah dan hangat, Amelia menangis. Toni membelai rambut ikal Amel dan menepuk punggungnya perlahan. Membiarkan Amel menumpahkan semua beban yang dia rasakan. Belum sempat bertanya, pintu ruang kerja terbuka lebar.

“Wah...wahh...ada yang sedang bermesraan pada jam kerja nih ceritanya…” Ratih membeo sambil melenggang memasuki ruangan.

“Jangan bicara sembarangan kamu Ratih…!” Toni menghardik keras.

“Heleh…! Jangan sok jadi pahlawan kesiangan kamu Ton. Memangnya kamu pikir aku gak tau kalau kamu ada rasa sama Amel sejak lama? Cinta berkedok saudara,” sindir Amel.

Amelia mengusap airmatanya sambil berjalan mendekati Ratih. Tanpa kata dia memandang tajam ke dalam mata Ratih. Mencoba mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Entah kenapa Ratih merasa terintimidasi dan ngeri dengan tatapan mata Amel, sehingga tanpa sadar dia mundur selangkah.

“Apa-apaan kamu Mel?! Mau main film horor ya?” mencoba bercanda menutupi rasa takut yang tiba-tiba menghampirinya.

“Nggak kok. Gak papa. Hanya mencari tau jawaban dari pertanyaanku lewat matamu,” sahut Amelia sekenanya sambil berjalan kembali ke kursinya.

“Owh iya…apa yang kakak liat tadi bukan untuk konsumsi umum. Jadi sebaiknya Kak Ratih tutup mulut seperti saat aku bertanya beberapa hari yang lalu. Sepertinya kakak lebih pantas memerankan gadis keji bermuka dua ketimbang gadis penggosip,” kata-kata Amel kali ini mengejutkan Toni dan Ratih karena ini bukan seperti Amelia yang mereka kenal.

“Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kalian bicarakan, silakan keluar. Aku ingin sendiri saat ini,” kata Amel sambil duduk dan memutar kursi kembali menghadap jendela.

Toni yang tadinya ingin meminta penjelasan atas airmata Amel, mengurungkan niatnya dan menarik Ratih keluar ruangan.

“Awhh\, sakit…! Lepaskan Ton..! Sudah gila kamu ya?!” mengibaskan tangannya sampai terlepas dari cengkeraman Toni. Cengkeraman itu meninggalkan bekas merah di pergelangan tangan Ratih. “Si**** kamu…! Cari mati ya?!” tanya Ratih ketus.

“Kamu yang cari mati. Jangan pura-pura bodoh Ratih. Kamu pikir semua orang bisa kamu perdaya? Mungkin Amelia dan Paman Candra bisa, tapi aku tidak. Jangan berani-berani kamu menyakiti Amelia. Camkan itu…!!” ancam Toni sambil berlalu meninggalkan Ratih yang masih terpaku.

Ingatan Toni kembali ke masa dimana mereka masih remaja kelas 2 SMA. Saat itu tanpa sengaja Toni mendengarkan percakapan Ratih dengan Franky, mantan teman sekelas mereka yang dikeluarkan dari sekolah karena kedapatan memakai narkoba usai jam sekolah. Mereka berdua merencanakan mendorong Amelia saat berada di tangga perpustakaan, namun belum selesai bicara mereka keburu melihat Toni sedang memperhatikan mereka.

Setelah itu banyak kejadian yang menimpa Amelia di sekolah walau tidak membahayakan namun Toni yakin itu semua ulah dari Ratih dan teman-temannya. Hanya saja sampai sebelum pindah ke Amerika, Toni tidak berhasil menemukan bukti kuat yang bisa dia tunjukkan ke pamannya bahwa semua kejadian yang menimpa Amelia adalah ulah dari Ratih.

Di dalam ruangannya, Amelia sedang memutar otak menyusun rencana untuk mencari bukti kejahatan Ratih dan sekaligus identitas pria yang tidur dengannya di hotel. Dia putuskan untuk mulai menelusuri dari café tempat Ratih dan dia bertemu malam itu. Ingatannya masih seperti potongan-potongan puzzle yang belum lengkap, belum bisa dirangkai menjadi satu cerita utuh dan runut.

***

Hai, Smart Readers. Jangan lupa untuk Like, Komen, Rate dan Vote cerita Angga dan Amelia ya. Gimana? Sudah mulai penasaran dan gemes dengan ceritanya? Tunggu update selanjutnya ya.

Love You.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!