Malam itu hujan mengguyur deras, menghantam keras jalanan dan atap-atap bangunan dengan irama monoton yang seolah membekukan segalanya. Di depan sebuah ruko tua yang sudah lama kosong, dua bayangan berdiri diam, berteduh dalam sunyi. Dingin malam tak hanya berasal dari udara, tapi juga dari hati yang mulai menjauh.
Jessica Claudia, perempuan berambut panjang dengan wajah teduh namun terlihat lelah, berdiri tegak meski tubuhnya terasa kaku. Di hadapannya, Yunan Damian, lelaki berpostur tinggi dengan ketenangan yang biasanya menenangkan, malam ini tampak berbeda. Dingin, tajam, dan menyimpan luka.
Tangan Yunan menggenggam rokok yang dibiarkan terbakar tanpa dihisap. Matanya tajam menatap tas Jessy yang terus bergetar. Nama yang sama terpampang berkali-kali di layar.
“Dia lagi?” tanyanya lirih namun penuh tekanan.
Jessy menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangan. “Iya. Dia cuma tanya kabar. Nggak penting.”
“Sepupumu itu?” Yunan menduga.
Perlahan Jessy mengangguk. “Dia tinggal jauh. Mungkin karena itu...”
Yunan langsung memotong, suaranya lebih dingin. “Yang selalu ikut campur urusanmu itu?”
Jessy menunduk, tak ingin memperpanjang. “Dia cuma peduli. Nggak lebih.”
Yunan menghela napas keras, lalu tatapannya makin tajam. “Kalau dia cuma sepupu, kenapa aku merasa dia lebih ngerti kamu dari aku?”
Jessy memilih diam. Pertanyaan itu lebih seperti tuduhan. Dia dan Fero memang dekat sejak kecil, tapi semua murni karena ikatan keluarga—tidak pernah melampaui batas.
Tapi Yunan tetap membisu, meski matanya seperti ingin menguliti semua rahasia yang mungkin tersembunyi di balik wajah Jessy.
“Bukan cuma dia yang bikin pikiranku kacau,” ucap Yunan lirih kemudian.
Jessy menoleh. “Apa maksudmu?”
Yunan menarik napas panjang, lalu menghembuskan asap rokok ke jalanan yang tergenang. “Samuel.”
Nama itu menyentak udara, menghantam seperti pecahan kaca. Dingin, dan menyesakkan.
“Dia rekan kerjamu. Juga mantanmu. Dan aku lelah pura-pura nggak lihat dia terus cari alasan buat deketin kamu.”
Rahang Jessy mengencang. Ia menahan desakan emosi yang mulai menggelegak.
“Samuel sudah jadi masa lalu. Dia nggak ada urusan lagi dengan aku.”
Yunan menanggapi dengan senyum kecil yang pahit. “Tapi dia masih bersikap seolah punya hak. Dan aku yakin dia nggak asal cerita soal kalian.”
Tatapan Jessy tajam, namun bening. “Kamu lebih percaya dia daripada aku?”
Yunan terdiam. Ia tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan.
“Apa yang kamu ingin aku jelaskan lagi, Yun?”
Pertanyaan Jessy menggantung, tanpa gema, hanya menyisakan keheningan yang mencekik.
Tak satu pun jawaban keluar dari bibir Yunan. Pandangannya tetap pada hujan yang tak berhenti.
“Aku memang pernah punya masa lalu sama dia. Tapi itu sudah lama dan aku nggak pernah ngelakuin sesuatu yang salah.”
Nada Jessy mulai bergetar, bukan karena takut—tapi karena letih. Letih terus menjadi tertuduh dalam kisah yang seharusnya bisa ia jalani dengan damai.
“Semua hal aku ceritain ke kamu. Aku nggak pernah nutupin apa-apa.”
Tapi Yunan tetap tak menunjukkan tanda melunak. Tatapannya tetap mengunci.
“Kalau kamu nggak tahan dan mau pergi, aku nggak akan tahan kamu juga,” ujar Jessy lirih. “Tapi jangan tuduh aku atas hal yang nggak aku lakuin.”
Ia mengembuskan napas pelan, menekan luka yang selama ini ditahan. Luka yang tidak datang dari orang lain, tapi dari dirinya sendiri yang terus memaksa bertahan.
Dulu ia pernah terjebak dalam situasi yang serupa. Seseorang yang terlalu dekat, terlalu mencampuri, terlalu menuntut. Dan ia? Terlalu diam.
Namun malam ini, diam itu mulai usang.
Yunan tetap menatapnya, seakan berharap menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik wajahnya. Mencari celah. Mencari pembenaran atas kecurigaan.
Tapi Jessy berdiri di sana tanpa menunduk. Matanya berkaca, tapi tak jatuh. Badai di dalam hatinya sudah surut. Ia tidak lagi merasa harus meminta maaf atas sesuatu yang tidak ia lakukan. Tidak lagi ingin membuktikan apa pun.
Karena kali ini, ia tahu: bukan dia yang salah.
“Kamu boleh marah,” ucapnya tegas namun tenang. “Tapi jangan paksa aku minta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahanku.”
Yunan terpaku. Nada itu tak pernah ia dengar dari mulut wanita yang biasanya penuh pengertian. Tapi sekarang, Jessy menatapnya lurus, tanpa gentar. Bukan menantang—tapi jujur. Tegas.
“Kalau kamu lebih percaya kata orang daripada aku, silakan. Tapi aku nggak akan buang waktu buat yakinin orang yang sudah memutuskan untuk curiga.”
Kata-kata itu seperti cambuk yang memukul diam Yunan. Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia kehilangan arah.
Jessy memalingkan pandangan ke jalanan gelap yang terus diguyur hujan. Tapi hujan malam itu tak lagi terdengar sedih. Ia justru menjadi irama yang mendampingi keputusannya.
Di dalam dirinya, ada kesadaran baru. Ia bukan perempuan lemah yang bisa dipertanyakan hanya karena seorang mantan yang tak tahu tempat atau sepupu yang terlalu protektif. Masa lalunya bukan aib. Ia tidak perlu merasa rendah hanya karena pernah gagal dalam cinta.
“Aku pernah disakiti. Tapi itu bukan yang membentukku,” ucapnya tenang. “Yang membentuk aku adalah cara aku bertahan, dan aku nggak akan biarkan siapa pun merusaknya, bahkan kamu.”
Ia tak meninggikan suara. Tapi setiap ucapannya memiliki bobot.
Jessy bukan lagi wanita yang bertahan hanya karena perasaan. Ia sudah paham: dalam cinta pun, harga diri adalah batas yang tak boleh diabaikan.
Yunan menarik napas panjang, seolah menelan ego yang remuk. Ia membuang puntung rokok yang sudah padam, menatap tanah.
“Maaf...” gumamnya nyaris tak terdengar. “Aku terlalu emosional.”
Jessy tidak segera membalas. Ia hanya memandang Yunan beberapa saat, lalu menatap langit yang masih mencurahkan hujan.
“Aku nggak sempurna. Tapi bukan berarti aku layak dicurigai terus-menerus.”
Jalanan sunyi. Suara hujan menjadi latar bagi keheningan yang menyelimuti mereka.
Mereka bekerja di tempat yang sama. Hubungan mereka dimulai dari tatap-tatap singkat di antara kesibukan kantor, dari tumpukan dokumen dan ruang rapat yang pengap. Tak ada yang menduga semuanya akan sampai sejauh ini.
Namun cinta tidak selalu tumbuh dalam kebun bunga. Kadang ia tumbuh di sela-sela deadline dan bisik-bisik kolega.
Dan dari semua yang mengganggu, Samuel adalah yang paling menguras emosi.
Samuel tidak pernah benar-benar pergi. Ia hadir dengan cara yang menyebalkan: mengganggu, menebar rumor, dan yang paling berbahaya—menciptakan keraguan dalam kepala Yunan.
Dan di sanalah luka terbesar Jessy, bukan pada Samuel, tapi pada kenyataan bahwa Yunan membiarkannya terpengaruh.
Dulu, dia diam demi cinta. Tapi tidak lagi.
Kini ia memilih untuk bersuara, bukan demi hubungan ini—melainkan demi dirinya sendiri.
Malam itu tak ditutup oleh pelukan, juga tidak oleh kata perpisahan.
Hanya ada ruang. Sebuah jeda di antara dua orang yang sedang belajar menimbang apa yang layak untuk diperjuangkan, dan siapa yang layak untuk bertahan.
Dan di dalam hatinya, Jessy tahu satu hal pasti:
Jika semua harus hilang demi mempertahankan harga diri dan kejujuran, maka ia rela.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih untuk berdiri di pihak yang paling penting, dirinya sendiri.
Setelah malam panjang yang penuh ketegangan, esoknya Jessy mencoba mengalihkan pikirannya ke rutinitas kantor. Ia menenggelamkan diri dalam laporan, data, dan rapat, berharap semuanya bisa sedikit menjauhkan ia dari bayang-bayang konflik dengan Yunan semalam.
Menjelang petang, hujan kembali turun. Gerimis yang turun perlahan membuat kaca jendela berkabut dan udara kantor jadi lembap. Pekerjaannya sudah selesai lebih cepat, dan Yunan masih tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus dibereskan malam ini. Jessy berpamitan singkat — dengan senyum tipis, seperti biasa — dan melangkah keluar dari gedung.
Langit mendung. Trotoar basah, dan aroma tanah yang tersentuh air menguar samar. Jessy berdiri di bawah atap kecil, menunggu taksi. Sudah hampir lima belas menit. Kendaraan berlalu-lalang, tapi tak satu pun yang berhenti untuknya. Sesekali ia melihat ke langit, menyeka hujan yang menempel di poninya.
Lalu sebuah mobil berhenti perlahan di depan Jessy. Jendela kaca diturunkan. Sosok pria yang familiar muncul, dengan senyum yang terlalu santai untuk seseorang yang muncul tanpa diundang.
“Jess,” sapa Sam sambil turun dari mobil dan membuka pintu penumpang. “Ayo, aku antar pulang.”
Jessy menggeleng cepat. “Terima kasih. Aku nunggu taksi.”
Sam menutup pintu mobil perlahan, mendekat dengan tangan di saku jasnya. “Masih sama seperti dulu, ya? Menolak tanpa memberi alasan.”
“Karena aku punya alasan,” jawab Jessy singkat. “Aku nggak mau bikin masalah baru.”
“Takut Yunan salah paham?”
Jessy menatapnya dengan tatapan yang tak lagi ramah. “Aku takut kamu sengaja nyari alasan buat ganggu aku.”
Sam tertawa kecil. “Kamu terlalu defensif. Aku cuma pengen kita tetap berteman.”
“Kita nggak bisa jadi teman, Sam,” ucap Jessy tegas, lalu memalingkan wajah.
Tapi Sam tetap berdiri di sana. Hujan turun makin deras, dan Jessy mulai menggigil. Tubuhnya lelah, pikirannya juga. Dan seperti biasa — kelemahannya adalah rasa tidak enakan.
“Sekali ini aja, Jess. Aku cuma pengen nganter kamu pulang. Demi pertemanan kita. Aku nggak bakal maksa naik ke atas, sumpah.”
Jessy menghela napas. Ragu. Tapi akhirnya mengangguk pelan. Ia tahu ini bukan keputusan terbaik, tapi sebagian dirinya hanya ingin cepat sampai rumah dan beristirahat.
---
Perjalanan pulang berlangsung sunyi. Hanya suara wiper dan hujan yang mengisi ruang hening di dalam mobil. Jessy memandang keluar jendela, sementara Sam sesekali melirik ke arahnya — mencari celah untuk berbicara, tapi tak berani memaksakan.
Sesampainya di depan apartemen, Jessy buru-buru membuka pintu dan turun. “Terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya, berniat segera masuk ke gedung.
Tapi Sam menyusul. “Sebentar aja. Aku mau bicara. Nggak akan lama.”
Jessy sempat ingin menolak. Tapi hujan masih deras, dan Sam sudah berdiri di sisi pintu masuk. Ia mengangguk pelan. “Sebentar saja.”
---
Apartemen Jessy tampak rapi, hangat, dan sunyi. Ia menunjuk sofa biru di ruang tamu. “Duduk sebentar. Aku ambilkan minum.”
Sam tersenyum, duduk dengan santai, lalu bertanya, “Yunan sering ke sini?”
“Iya.”
“Kamu bahagia sama dia?”
Jessy tidak menjawab. Ia hanya membuka kulkas dan mengambil dua botol air dingin. Ketika kembali, ia mendapati Sam masih menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak — setengah mengenang, setengah menuntut.
“Kamu masih ingat malam aku nyatain perasaan?” tanyanya tiba-tiba.
Jessy mengerjap. “Aku lupa.”
Sam tertawa pelan. “Waktu itu kamu terdiam, lalu bilang ‘iya’ sambil gemetar.”
“Aku nggak gemetar,” potong Jessy datar. “Aku cuma nggak tahu harus bereaksi bagaimana. Kamu nyatain cinta di depan semua orang.”
Sam menunduk. Senyumnya menghilang.
“Aku bahagia waktu itu. Meski aku tahu kamu nggak sepenuhnya milikku.”
Jessy hanya menatapnya tajam. “Kamu udah tunangan waktu itu, Sam. Aku nggak pernah lupa fakta itu.”
Hening menyelimuti ruangan.
“Aku minta maaf,” kata Sam pelan.
“Maafmu telat,” balas Jessy dingin.
Sam hanya diam. Tapi sorot matanya perlahan berubah — seperti menyimpan sesuatu yang lain.
Dan saat itulah...
Pintu apartemen terbuka keras.
Yunan berdiri di ambang pintu — wajahnya basah, entah karena hujan atau amarah yang menguap di kulitnya. Nafasnya berat. Pandangannya langsung menangkap Sam, lalu beralih ke Jessy.
Ruangan tiba-tiba terasa sesak.
“Kamu di sini?” suara Yunan datar — terlalu tenang untuk bisa dibilang biasa.
Jessy berdiri cepat. “Kamu bilang mau lembur?”
“Udah selesai lebih cepat,” jawab Yunan, langkahnya perlahan masuk ke ruang tamu. “Dan ternyata aku dapat hadiah begini.”
Sam berdiri, berusaha tetap tenang. “Aku cuma mampir sebentar. Kami ngobrol. Itu aja.”
“Ngobrol?” Yunan mendekat. Sorot matanya menusuk. “Di apartemen pacarku, tanpa bilang siapa-siapa?”
“Sudah cukup, Yunan,” ucap Jessy akhirnya, mencoba memotong.
Tapi Yunan tak berhenti. “Sejak kapan dia jadi pengganti komunikasimu ke aku?”
“Berhenti!” Jessy meninggikan suara. “Aku yang ngizinin dia naik. Aku yang salah kalau itu bikin kamu marah. Tapi jangan salah paham!”
Yunan menoleh ke arah Jessy. Matanya menyipit. “Kenapa kamu selalu kasih dia ruang, Jes?”
“Kamu pikir aku sengaja?” suara Jessy bergetar. “Aku cuma berusaha bersikap manusiawi!”
“Manusiawi atau naif?” ejek Yunan, suaranya mulai meninggi.
Sam melangkah mundur, menahan napas. “Aku pamit. Udah terlalu lama aku di sini.”
“Bagus,” ucap Yunan tajam.
Sam menatap Jessy sekali lagi, lalu membuka pintu dan pergi tanpa kata. Tapi sebelum menutup pintu, ia menoleh dan berkata, “Dia layak dapat yang lebih baik.”
---
Begitu pintu tertutup, Jessy terduduk di sofa. Tubuhnya lemas, tapi bukan karena takut. Ia muak. Lelah.
Yunan berdiri di dekat pintu, masih dengan dada naik-turun.
“Kamu selalu menuduh. Selalu curiga. Seolah aku ini boneka yang gampang dibolak-balik,” gumam Jessy.
Yunan melangkah mendekat. “Aku cuma takut kehilangan kamu, Jess.”
Jessy menatapnya lama. Lalu berdiri.
“Kalau kamu terus mengekang, kamu akan kehilangan aku bukan karena orang lain. Tapi karena aku pergi.”
Yunan tercengang. Baru kali ini Jessy bicara seperti itu.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, Jessy menyodorkan kaleng minuman dingin ke tangannya.
“Minum. Biar emosimu reda. Aku nggak mau berdebat malam ini.”
Yunan menerimanya. Ia membuka kaleng itu dan meneguk perlahan. Hening kembali turun, tapi kali ini terasa sedikit lebih tenang.
Beberapa menit berlalu.
Lalu, Yunan mendekat dan menarik Jessy ke pelukannya. “Aku cuma takut,” bisiknya.
Jessy diam. Tapi kali ini ia tidak mendorong. Ia membiarkan dirinya berada dalam dekapan yang pernah ia rindukan — meski masih ada amarah yang belum selesai.
“Aku mencintaimu,” ucap Yunan pelan.
Jessy memejamkan mata. “Aku ingin kita saling menghargai. Bukan saling mengekang.”
Dan malam itu, dalam pelukan yang dingin dan belum sepenuhnya damai, mereka tahu…
Cinta saja tidak cukup. Harus ada kepercayaan.
Karena jika tidak,
yang tersisa hanya batas samar antara cinta… dan luka.
Malam itu, tepat di hari libur, Jessy melangkah ke dunia yang sudah lama ia tinggalkan—klub malam. Bersama ketiga sahabatnya, Luna, Dera, dan Tya, ia memilih pergi tanpa sepengetahuan Yunan, kekasihnya.
Keraguan sempat mencengkeram kuat. Hatinya gamang. Ia tahu betul, Yunan bukan tipe yang bisa menerima alasan, apalagi soal kejujuran yang terlambat. Pergi tanpa izin saja sudah cukup menyalakan bara. Jika Yunan tahu ia menghabiskan malam di tempat yang begitu dibencinya, amarah itu bisa meledak, membakar segalanya.
Namun, ajakan teman-temannya datang seperti badai kecil yang tak bisa ia hindari. “Cuma sebentar, Jess. Anggap saja ini pelarian singkat,” kata Luna sambil menggandengnya penuh semangat. Dera dan Tya ikut membujuk, tak memberinya ruang untuk menarik diri. Di balik desakan mereka, ada sesuatu yang menggoda: kebebasan. Sesuatu yang perlahan hilang sejak ia menjalin hubungan dengan Yunan.
Begitu tiba, suasana klub menyergap mereka tanpa ampun. Dentuman musik menghentak dada, lampu-lampu neon menari liar di udara, dan aroma alkohol serta parfum bercampur dalam udara yang pengap. Tapi bagi Jessy, semua itu bukan hal baru. Dulu, tempat seperti ini adalah pelabuhan—tempat ia melarikan diri dari tekanan hidup, dari dunia yang menyesakkan.
Sejak bersama Yunan, semuanya berubah. Ia menjauh dari tempat ini, dari teman-temannya, bahkan dari dirinya sendiri. Larangan demi larangan Yunan membungkus hidupnya dalam sangkar tak kasat mata. Tapi malam itu, ketika lampu-lampu kelap-kelip menyentuh wajahnya dan tawa sahabat-sahabatnya menggema di telinganya, ia merasakan sesuatu yang nyaris terlupakan: hidup.
Ada kebebasan yang menyusup pelan. Ada gairah yang sempat padam, kini menyala lagi. Jessy tersenyum kecil. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya menikmati malam, menenggelamkan rasa bersalah yang menjerat pikirannya. Walau bayangan Yunan tetap mengintai di sudut benaknya, malam itu ia memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Meski hanya sebentar
"Ayo kita bersenang-senang!" teriak Luna sambil menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas Jessy. Suaranya nyaring menembus dentuman musik, penuh semangat dan kebebasan yang menular.
Jessy menatap gelas itu sejenak—ada keraguan di matanya. Tapi hanya sesaat. Dengan satu helaan napas panjang, ia meraih gelas itu dan meneguk isinya habis dalam satu kali tegukan, seolah ingin membungkam suara hati yang terus memperingatkan.
"Kalau sampai Yunan tahu, bisa mati aku!" katanya, mencoba berseloroh, meski nada panik masih samar terdengar dalam suaranya.
"Tenang aja!" sahut Dera cepat, sambil menyenggol bahu Jessy. "Aku udah bilang ke dia kalau kamu pergi ke acara ulang tahun sepupuku. Santai aja, dia gak akan curiga."
"Gila parah!" ujar Tya sambil tertawa miring, nada suaranya setengah mengejek. "Pacarmu udah kayak anjing penjaga. Semua gerakanmu diawasi, pergaulanmu pun dibatasi seketat itu."
"Aku sendiri sampai gak berani ngajak kamu jalan. Tatapan dinginnya tiap kali kita dekati kamu... serem banget," timpal Luna. "Dia kayak takut banget kamu diambil orang. Atau lebih tepatnya, takut kamu sadar ada hidup lain di luar dia."
Jessy hanya tersenyum tipis, pahit. Ia tak bisa menyangkal ucapan teman-temannya. Semua itu benar. Sejak bersama Yunan, duniannya perlahan mengecil, seperti ruang yang dindingnya terus menyempit. Ia dijauhkan dari teman-teman lamanya, dari rekan kerja, bahkan dari dirinya sendiri. Sekadar mengobrol dengan laki-laki bisa memicu ledakan. Keluar rumah tanpa izin bisa berubah jadi debat panas. Ia merasa hidupnya dikendalikan oleh rasa cemburu dan kepemilikan yang berlebihan.
Dan malam ini—malam yang awalnya hanya keisengan kecil—berubah jadi semacam perlawanan. Pemberontakan diam-diam terhadap ikatan yang terlalu mengekang.
"Ayo, kita minum lagi!" seru Jessy dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Ia meraih botol di meja dan menuangkan sendiri ke gelasnya, lalu ke gelas teman-temannya.
Tawa meledak di antara mereka. Dentuman musik makin menghentak, lampu-lampu kelap-kelip seolah menari di udara. Jessy, untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa begitu lama, tertawa tanpa beban. Ia menari, meneguk minuman lagi dan lagi, membiarkan alkohol menghangatkan tubuhnya dan membuat pikirannya kabur dari kenyataan.
Malam itu, di bawah sorotan lampu gemerlap dan alunan musik yang tak kenal henti, Jessy seolah menemukan kembali siapa dirinya. Ia bukan milik siapa pun. Ia adalah dirinya sendiri. Dan walau hanya sebentar, ia ingin menikmati rasa itu—bebas, liar, dan hidup.
Hingga kepalanya mulai terasa berat. Langkahnya goyah. Tapi senyum di wajahnya masih bertahan. Ia menengadah ke langit-langit, membiarkan musik menelannya utuh. Apa pun yang akan terjadi setelah malam ini, biarlah nanti. Sekarang, ia hanya ingin sedikit bersenang-senang.
Hingar-bingar klub malam malam itu seolah menelan waktu. Musik yang menggetarkan dinding, lampu strobo yang menari liar, dan gemuruh tawa dari kaum muda-mudi yang memadati lantai dansa membuat segalanya terasa begitu hidup. Di tengah lautan manusia yang bergoyang dalam irama bebas, Jessy dan ketiga temannya ikut larut—berjingkrak, tertawa, menari seolah dunia hanya milik mereka berempat.
Lantai dansa dipenuhi energi yang tak ada habisnya. Tubuh-tubuh muda itu berdansa dengan gairah yang meledak-ledak, menciptakan atmosfer panas yang menguap ke langit-langit klub. Dan tanpa terasa, waktu merambat cepat. Jarum jam nyaris menyentuh pukul dua pagi.
“Pulang, yuk!” seru Dera akhirnya, setelah melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Nada suaranya agak cemas, terselip kegelisahan yang baru saja menyelinap masuk. “Takut pacarnya Jessy nyariin dia ke rumah,” tambahnya, setengah bercanda, setengah serius.
“Mana mungkin orang itu nyariin Jessy jam segini,” sahut Tya santai, sembari menggulung rambut panjangnya ke belakang leher.
Tapi saat itulah mata mereka beralih ke Jessy—dan pemandangan yang mereka dapati membuat mereka saling pandang.
"Sebentar lagi! Kapan lagi aku bisa bebas kayak gini..." ucap Jessy, suaranya sedikit melantur. Matanya sudah setengah sayu, pipinya merona merah, dan langkahnya mulai oleng. Jelas sekali, alkohol mulai mengambil alih kesadarannya.
“Gawat, dia udah mulai mabuk, tuh!” seru Luna dengan nada panik yang tersamar tawa.
“Ya sudah, ayo kita pulang!” ajak Tya cepat, kali ini tidak menunggu persetujuan.
Mereka berempat akhirnya keluar dari klub, menyusuri trotoar yang dingin oleh angin malam. Jessy diapit oleh Luna dan Dera, yang sesekali tertawa kecil saat Jessy menyanyikan lagu secara asal. Di dalam mobil, suasana masih riuh. Mereka tertawa, menyanyi, dan saling mengejek dengan gaya khas persahabatan yang lama tak dirasakan Jessy. Meski pusing dan matanya berat, hatinya terasa hangat—seakan malam itu adalah mimpi manis yang tak ingin segera ia akhiri.
Namun, keceriaan itu hanya bertahan sampai mobil mereka berbelok masuk ke halaman rumah Dera.
Rem mendadak diinjak.
Suasana seketika sunyi.
Di bawah temaram lampu pekarangan, berdiri sebuah mobil hitam yang familiar. Lampunya mati, tapi kehadirannya menciptakan tekanan yang langsung menusuk ke dalam dada Jessy.
Mobil itu... milik Yunan.
" Tuh kan, firasat ku benar! " ujar Dera ketakutan " Yunan ada disini! " lanjutnya
" Gimana, nih? " Luna menghentikan mobilnya
" Ngapain berhenti! dia udah tau kalo kita datang. Lihat pandangannya mengarah ke kita " kata Tya saat melihat Yunan turun dari mobil nya
Luna menelan ludah gugup saat melihat mobil hitam itu berdiri diam di pekarangan rumah Dera. Tanpa banyak bicara, ia kembali memajukan mobil mereka perlahan, hingga berhenti tepat di depan kendaraan yang sangat mereka kenal.
"Jes, pacarmu tuh!" bisik Dera sambil mengguncang bahu Jessy pelan, membangunkan gadis itu dari tidurnya yang berat karena alkohol.
Kelopak mata Jessy terbuka separuh, cukup untuk melihat sosok tinggi yang melangkah mendekat dengan langkah tenang namun penuh tekanan. Yunan.
Darahnya langsung terasa dingin. Naluri pertahanannya langsung aktif. Ia buru-buru memejamkan mata kembali—berpura-pura tidur. Itu satu-satunya cara agar ia tak perlu menghadapi ledakan emosi dari kekasihnya.
Pintu mobil terbuka sebelum ada yang sempat bicara. Yunan berdiri di sana, sorot matanya tajam menembus kabin kendaraan.
Luna yang duduk di kursi pengemudi panik. Ia buru-buru keluar, menghampiri Yunan.
“Maaf! Maaf banget!” ucapnya cepat, kedua tangannya diangkat setengah, seperti mencoba menenangkan singa yang marah. “Jessy tadi kami ajak ke klub… dan dia… dia mabuk!”
Namun Yunan sama sekali tidak menanggapi. Wajahnya datar, dingin seperti permukaan es. Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Ia hanya memalingkan wajah, membuka pintu belakang, dan tanpa sepatah kata langsung mengangkat tubuh Jessy ke dalam pelukannya.
Jessy bisa merasakan lengannya, kaku tapi kuat, mengangkat tubuhnya seperti benda rapuh. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia tetap menutup mata rapat-rapat. Berpura-pura tidur adalah perlindungan terakhirnya—agar tak perlu menatap mata Yunan yang selalu bisa menelanjanginya habis-habisan.
Luna, Dera, dan Tya hanya bisa terpaku menyaksikan itu semua. Tak satu pun dari mereka berani menahan. Aura Yunan malam itu begitu dingin dan mengintimidasi.
Dalam perjalanan pulang menuju apartemen, suasana di dalam mobil terasa seperti jurang sunyi. Tak ada satu pun kata keluar dari mulut Yunan. Tangannya kokoh menggenggam kemudi, wajahnya fokus ke jalan, tapi udara di dalam mobil begitu padat, penuh dengan kemarahan yang tak terucap.
Jessy yang duduk di kursi penumpang berpura-pura tertidur dengan tubuh miring ke jendela, namun hatinya tak henti berdegup. Kesunyian Yunan jauh lebih menakutkan dibandingkan bentakan. Ia tahu—ketika Yunan diam, itu artinya badai tengah bersiap datang.
Sesampainya di unit apartemen, Yunan kembali menggendong tubuh Jessy tanpa bicara. Langkahnya cepat namun tetap tenang. Ia membuka pintu kamar, menyalakan lampu seadanya, dan membaringkan Jessy di ranjang dengan gerakan yang penuh perhitungan.
Jessy tetap memejamkan mata. Napasnya ia atur setenang mungkin, seolah benar-benar tertidur.
Namun ia tidak tahu—Yunan sudah menyadari semuanya sejak tadi.
Ia tahu Jessy pura-pura.
Dan di balik wajah datarnya, Yunan tengah menahan letupan emosi yang menari-nari di balik sorot matanya yang gelap.
Bruuukkkk!**
Tubuh Jessy jatuh keras di atas tempat tidur. Kasur empuk itu sama sekali tak meredam kerasnya cara Yunan melemparnya. Guncangannya membuat seisi ranjang bergetar, sementara udara kamar mendadak dipenuhi ketegangan yang pekat, menggantung di antara keduanya.
“Sampai kapan kamu mau pura-pura tidur?” suara Yunan terdengar datar, tapi penuh amarah yang tertahan. Seolah setiap katanya adalah ujung pisau yang siap ditancapkan kapan saja.
“Aah!” Jessy membuka matanya, terkejut, meski sebenarnya ia tahu sandiwara kecilnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi. “Aku ketahuan, ya?” katanya dengan senyum malu yang tak bisa disembunyikan. Ia berusaha bangkit perlahan, lalu bersandar di kepala ranjang, menatap Yunan dengan pandangan tak sepenuhnya berani.
“Sudah berani main ke klub sekarang, hah!” suara Yunan naik satu oktaf, tajam dan menyayat. Sorot matanya menusuk lurus ke arah Jessy yang duduk pasrah di ranjang. “Kamu tau tidak? Cewek yang suka clubbing itu di cap sebagai cewek nakal.”
Jessy terdiam. Ia tidak membantah, tidak pula membela diri. Dia hanya menunduk, menatap kedua tangannya yang tergeletak di atas paha. Sorotan Yunan seperti palu godam yang menghantam harga dirinya. Tapi di dalam diam itu, ada sesuatu yang mendidih—rasa sakit yang perlahan membakar.
“Jangan-jangan apa yang dikatakan Sam itu benar,” ucap Yunan lagi, kali ini suaranya lebih pelan, namun dampaknya jauh lebih menghantam.
Kalimat itu jatuh seperti palu ke dada Jessy.
Kerutan langsung muncul di dahinya. Ia mengangkat wajah, menatap Yunan dengan ekspresi bingung sekaligus terluka. Nama itu—Sam—tiba-tiba saja muncul, dan ia langsung tahu bahwa arah pertengkaran ini berubah.
“Sam?” Jessy mengernyit, matanya membulat. “Apa yang dia bilang ke kamu, terus sejak kapan kamu akrab sama dia?”
Nada suara Jessy penuh ketidakpercayaan. Ia mengenal Sam. Ia tahu betul pria itu tak akan berkata sembarangan, apalagi melempar tuduhan keji. Hubungan mereka dulu terlalu singkat dan terlalu datar untuk menyisakan luka atau dendam.
Sementara itu, Yunan terlihat menyesal telah menyebut nama itu. Ia menarik napas panjang, pandangannya menghindar dari Jessy, seolah berusaha mengalihkan arah pertikaian yang sudah terlanjur menyakitkan.
“Dia bilang kamu itu cewek nakal,” ucap Yunan akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Jessy mencelos.
Jessy menatapnya dengan tajam. Amarahnya mulai naik ke permukaan, menggantikan rasa malu dan bingung yang tadi menyelimuti.
“Kamu percaya waktu dia bilang begitu?”
Suaranya lirih, tapi nada tajamnya tak bisa disembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan kepala yang masih berat karena alkohol. Langkahnya tertatih sedikit, tapi matanya tak lepas dari wajah Yunan. Ia berdiri tepat di depannya, jarak mereka hanya sejengkal.
“Kalau kamu bersikap seperti ini, tentu aku percaya!” balas Yunan tanpa ragu. Suaranya kembali keras, seperti ledakan yang selama ini tertahan di dalam dadanya.
Bagi Yunan, mungkin inilah momen yang sudah lama ia tunggu. Saat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg, semua prasangka yang selama ini ia simpan rapi dalam diam.
“Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di klub selain mabuk... mungkin saja, kamu bersikap murahan di sana.”
Ucapan itu menyayat. Dan tanpa pikir panjang—
Plaaaakkk!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Yunan. Suaranya memecah udara kamar yang sunyi. Kepala Yunan menoleh ke samping akibat kerasnya tamparan itu. Matanya membelalak.
Ia tak percaya.
Jessy—yang selama ini menurut, diam, menerima omelannya tanpa melawan—berani menamparnya.
Tangan Jessy masih gemetar di udara. Nafasnya memburu, bukan karena takut... tapi karena amarah yang tak bisa lagi ia tahan.
Dan untuk pertama kalinya, Yunan melihat api di mata perempuan itu.
“Sam bilang kamu juga pernah tidur sama dia,” tambah Yunan, suaranya rendah tapi tajam seperti belati yang menusuk ke dada Jessy.
Jessy terpaku. Kata-kata itu menancap seperti paku ke dalam harga dirinya. Ia membeku sesaat, tak percaya Yunan mengucapkannya. Tapi belum sempat ia bereaksi, Yunan melanjutkan, kini dengan kemarahan yang membuncah.
“Berapa laki-laki yang pernah tidur sama kamu?” bentaknya, suaranya meninggi hingga menggema di dalam kamar.
Plaaaakkkkk!!
Tamparan kedua Jessy mendarat jauh lebih keras dari sebelumnya. Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena dadanya terasa seolah ditusuk dari segala arah. Pipi Yunan terpelintir ke samping, matanya membelalak tak percaya.
Air mata mulai mengalir di pipi Jessy. Ia menggigit bibir, menahan isak, tapi tak mampu membendung gejolak luka yang menyeruak dari dalam hatinya. Ia tidak hanya terluka karena dituduh... tapi karena dituduh oleh orang yang paling ia percaya.
“MULAI DETIK INI KITA PUTUS!” teriaknya. Suaranya gemetar, tapi penuh keyakinan. Tidak ada lagi keraguan dalam matanya. Yang tersisa hanyalah kehancuran… dan keberanian untuk berdiri sendiri.
Yunan menatapnya dengan sorot tajam, seperti binatang yang terpojok dan terluka dalam waktu yang bersamaan. Napasnya memburu, wajahnya merah oleh emosi.
Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram tangan Jessy—kuat. Terlalu kuat.
Jessy mengerang pelan, tubuhnya tersentak.
“Putus, kamu bilang?” desis Yunan. Matanya menusuk lurus ke arah Jessy, rahangnya mengeras, seolah menahan gelombang kemarahan yang hendak meledak. Jemarinya mencengkeram lengan Jessy begitu kencang hingga kulitnya memucat.
Saat itu, ketegangan di antara mereka mencapai titik didih. Wajah mereka begitu dekat, napas mereka saling bertubrukan, tapi bukan karena cinta—melainkan karena amarah yang meluap tanpa rem.
Yunan gelap mata tak ada lagi cinta di matanya, hanya ada amarah dan nafsu nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!