“Dia lagi?” tanyanya lirih namun penuh tekanan. Saat mendengar bunyi ponsel di dalam tas pacarnya berbunyi untuk kesekian kalinya.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangan.
“Iya. Dia cuma tanya kabar. Nggak penting."
Kegelisahan berusaha ia sembunyikan di balik parasnya yang cantik. ia berkali-kali menyelipkan helaian rambut panjangnyanya yang tertiup angin, yang datang bersamaan dengan hujan yang sejak tadi mengguyur jalanan yang sepi. Mereka berdua berdiri di ruko pinggir jalan yang sudah tutup untuk berteduh. Gadis itu bernama Jessyca Claudia. Sedangkan Pria di sampingnya adalan Yunan Damian, pacarnya.
“Sepupumu itu?” tanya Yunan, ia masih menatap tajam tas Jessy penasaran saat ponselnya kembali bergetar karena notifikasi pesan yang sepertinya datang tak hanya satu dua.
Perlahan Jessy mengangguk. “Dia tinggal jauh. Mungkin karena itu...”
Yunan langsung memotong, suaranya lebih dingin. “Yang selalu ikut campur urusanmu itu?”
Tangan Yunan mulai mengepal, rahang nya mulai mengeras... ia merasa ada yang Jessy sembunyikan
Jessy menunduk, ia mulai merasakan hawa dingin menyergap tubuhnya, tapi bukan karena dinginnya malam itu tapi karena tatapan tajam Yunan yang menusuk.
“Dia cuma peduli. Nggak lebih.”
"Kalau dia cuma sepupu, kenapa aku merasa dia terlalu berlebihan?”
Jessy memilih diam. Pertanyaan itu idak bisa ia sangkal karena sepupunya itu dari dulu memang begitu. Mungkin karena ia dan sepupunya itu sudah dekat sejak kecil, jadi tak ada batasan antara mereka.
Yunan pun diam, meski matanya seperti ingin menguliti semua rahasia yang mungkin tersembunyi di balik wajah Jessy. Sebenarnya bukan itu saja yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
"Ada hal lain yang membuat pikiranku kacau belakangan ini," ucap Yunan pelan.
Jessy menoleh. "Apa?"
Yunan menarik napas panjang, menatap kosong jalanan yang basah. "Samuel."
Nama itu seolah membentur udara. Dingin dan tajam.
"Dia rekan kerjamu. Juga mantanmu. Dan aku lelah pura-pura tidak melihat dia terus-terusan deketin kamu."
Rahang Jessy mengencang. Ia menahan emosi yang mulai naik.
"Samuel sudah jadi masa lalu. Dia nggak punya urusan lagi denganku."
Yunan hanya tersenyum tipis.
"Tapi dia masih bersikap seolah punya hak. Dan aku yakin dia nggak asal cerita soal kalian."
Tatapan Jessy tajam.
"Kamu lebih percaya dia daripada aku?"
Yunan terdiam. Tidak mengangguk, tidak menggeleng.
"Kamu ingin aku menjelaskan apa lagi, nan?"
Tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang terdengar.
"Ya, aku pernah punya masa lalu dengan dia. Tapi itu sudah lama sekali sebelum aku mengenalmu."
Nada suara Jessy terdengar rendah tapi jelas. Bukan karena takut. Tapi karena capek. Capek atas hal yang selalu saja salah di mata Yunan.
"Semua hal sudah aku ceritakan ke kamu. Aku tidak pernah menutup-nutupi."
"Tapi yang aku lihat tidak seperti yang kamu ceritakan,"
"Kamu selalu saja seperti ini, selalu tak percaya ucapanku," kata Jessy, "sekarang terserah kamu, kalau kamu lebih percaya pengamatanmu daripada penjelasanku."
Jessy menghela napas, menahan sesak yang sejak tadi mendesak.
Yunan masih menatap, seolah mencoba membaca sesuatu di wajahnya. Tapi Jessy tidak menunduk. Matanya bening, tapi tidak rapuh. Badai di hatinya sudah reda. Ia tidak merasa perlu meminta maaf atas sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Tidak merasa perlu membuktikan apa-apa lagi.
Karena kali ini, ia tahu satu hal.
Bukan dia yang salah. Tapi Yunan yang tak pernah mempercayai nya.
"Kamu boleh marah," ucapnya pelan tapi tegas. "Tapi jangan paksa aku mengakui hal yang tidak aku lakukan."
Yunan terdiam. Nada itu asing baginya, Jessy biasanya lembut, mengalah. Tapi malam ini berbeda. Tatapannya lurus, tidak goyah. Bukan menantang, tapi tegas.
Jessy memalingkan pandangan ke jalanan. Hujan masih turun. Tapi kali ini, tidak terdengar menyedihkan. Justru menenangkan.
Di dalam dirinya, ada yang menguat. Ia bukan perempuan lemah yang bisa diinterogasi hanya karena masa lalu. Ia tahu, masa lalunya bukan aib. Ia tidak lagi merasa perlu menjelaskan ulang hidupnya hanya untuk meyakinkan orang lain.
Yunan menarik napas panjang. Seolah menelan ego yang mulai pecah. Ia buang puntung rokok yang sudah padam. Menunduk.
"Maaf..." gumamnya lirih. "Aku terlalu emosional."
Jessy tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu mengangkat wajah ke langit.
"Aku tidak sempurna. Tapi bukan berarti aku pantas dicurigai terus."
Dan dari semua masalah yang pernah datang, Samuel adalah yang paling menyita energi.
Bukan karena dia mantan. Tapi karena dia tidak tahu batas. Mengganggu, menebar rumor, dan yang lebih berbahaya, menanamkan keraguan dalam kepala Yunan.
Keesokan harinya Jessy kembali larut dalam rutinitas kantor. Ia tenggelam dalam laporan dan rapat, mencoba menjauhkan pikirannya dari konflik semalam dengan Yunan.
Menjelang petang, hujan turun lagi. Gerimis menyelimuti kaca jendela dan udara kantor menjadi lembap. Pekerjaannya selesai lebih cepat dari biasanya. Yunan masih sibuk dengan tumpukan dokumen. Jessy pamit singkat, menyelipkan senyum tipis, lalu keluar dari gedung.
Langit mendung. Trotoar licin, aroma tanah basah menyeruak samar. Jessy berdiri di bawah atap kecil menunggu taksi. Sudah lima belas menit. Mobil lalu-lalang, tapi tak satu pun berhenti. Ia sesekali menengadah, menyeka tetes hujan dari poninya.
Sebuah mobil berhenti perlahan. Jendela diturunkan. Sosok yang familiar muncul, tersenyum santai... terlalu santai untuk seseorang yang datang tidak diundang.
“Jess,” sapa Sam sambil keluar dan membuka pintu penumpang. “Ayo, aku antar pulang.”
Jessy langsung menggeleng. “Terima kasih. Aku nunggu taksi.”
Sam menutup pintu mobil, mendekat sambil menyelipkan tangan ke saku jas. “Masih sama kayak dulu, ya? Menolak tanpa kasih penjelasan.”
“Aku punya alasan,” jawab Jessy datar. “Aku tidak mau bikin masalah baru.”
“Takut Yunan salah paham?”
Tatapan Jessy mengeras. “Aku takut kamu sengaja cari alasan buat ganggu aku.”
Sam tertawa kecil. “Kamu terlalu defensif. Aku cuma pengen kita tetap berteman.”
“Kita nggak bisa jadi teman, Sam,” ucap Jessy tegas. Ia memalingkan wajah.
Tapi Sam tidak pergi. Hujan makin deras. Jessy melihat Sam berdiri di tengah hujan, sengaja menunggunya. Dan seperti biasa, kelemahannya adalah rasa tidak enak hati.
“Sekali ini aja, Jess. Aku cuma mau nganter pulang. Demi pertemanan. Aku nggak bakal maksa naik ke atas, sumpah.”
Jessy menarik napas. Ia ragu. Tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ini bukan keputusan terbaik, tapi ia hanya ingin pulang cepat dan beristirahat.
Perjalanan pulang sunyi. Hanya suara wiper dan hujan yang terdengar. Jessy menatap jendela, Sam sesekali mencuri pandang, tapi tak berkata apa-apa.
Sesampainya di depan apartemen, Jessy cepat turun.
“Terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya, lalu keluar dari mobil, dan berjalan.
Tapi Sam menyusul. “Sebentar aja. Aku hanya minta segelas air. Nggak lama.”
Jessy ingin menolak. Tapi hujan deras, dan Sam sudah berdiri di ambang pintu. Ia mengangguk.
“Sebentar saja.” ucapnya tegas.
Mereka berjalan dan masuk ke lift menuju unit apartemen Jessy di lantai empat.
Setelah sampai di depan unit apartemen Jessy, ia mempersilahkan Samuel masuk.
Apartemen Jessy rapi dan tenang. Ia menunjuk sofa biru di ruang tamu.
“Duduk sebentar. Aku ambilkan minum.”
Sam tersenyum dan duduk.
“Yunan sering ke sini?”
“Iya.” jawab Jessy singkat
“Kamu bahagia sama dia?”
Jessy tak menjawab. Ia mengambil dua botol air dingin dari kulkas. Saat kembali, Sam masih menatapnya. Sorot matanya sulit ditebak.... campuran nostalgia dan penyesalan.
“Kamu masih ingat malam aku nyatain perasaanku?” tanyanya.
Jessy mengerjap. “Aku lupa.” ia tak mengerti kenapa Sam menanyakannya.
Sam tertawa pelan. “Waktu itu kamu gemetar, tapi bilang ‘iya’ juga.”
“Aku nggak gemetar,” potong Jessy dingin. “Aku cuma nggak tahu harus bagaimana. Kamu nyatain cinta di depan semua orang.”
Sam menunduk. Senyumnya menghilang.
“Aku bahagia waktu itu. Walau tahu kamu nggak sepenuhnya milikku.”
Jessy menatap tajam. “Kamu udah tunangan waktu itu, Sam. Kamu membohongiku,”
Hening.
“Aku minta maaf,” ucap Sam pelan.
“Maafmu telat,” balas Jessy datar.
Sam diam. Tapi sorot matanya berubah...ada sesuatu di sana.
Lalu... Pintu apartemen terbuka keras.
Yunan berdiri di ambang pintu. Basah. Entah karena hujan atau karena emosi. Nafasnya berat. Pandangannya langsung menancap ke Sam, lalu ke Jessy.
Ruangan mendadak terasa sempit.
“Kamu di sini?” tanyanya datar pada Sam.
Jessy berdiri cepat. “Kamu bilang mau lembur?”
“Udah selesai lebih cepat.” Yunan masuk ke ruang tamu. “Kamu tidak senag aku datang?"
Sam berdiri. “Aku cuma mampir sebentar. Kami ngobrol. Itu aja.”
“Ngobrol?” Yunan mendekat. Tatapannya tajam. “Di apartemen pacarku?”
“Sudah cukup, Yunan,” potong Jessy cepat.
"Kamu selalu bilang tidak ada apa-apa denganya, tapi kamu mengajaknya ke apartemenu?" suara Yunan berat, rahang nya mengeras dan tangan nya mengepal.
"Bukan seperti, Jessy tidak salah. Aku yang memaksanya untuk masuk."
Tapi Yunan belum berhenti. Tatapannya masih tertuju ke Jessy... tajam dan menusuk.
“Sejak kapan dia jadi juru bicaramu?”
“Berhenti!” Jessy meninggikan suara. “Aku mengaku salah. Tapi kamu jangan salah paham!”
Yunan menatapnya. Matanya sempit.
“Kenapa kamu selalu kasih dia ruang, Jes?”
“Aku tidak bermaksud begitu,” suara Jessy mulai bergetar. “Aku cuma berusaha bersikap sewajarnya.”
“Mengijinkan mantanmu berkunjung ke apartemenmu tanpa sepengetahuankku, menurutmu itu wajar?” sindir Yunan.
Sam mundur setapak. “Aku pamit. Udah terlalu lama di sini.”
“Bagus,” jawab Yunan dingin. "Harusnya kamu lakukan sejak tadi,"
Sam menatap Jessy sekali lagi. Lalu membuka pintu dan pergi. Tapi sebelum menutup, ia berkata,
“Dia layak dapat yang lebih baik.”
Pintu tertutup. Jessy terduduk di sofa. Tubuhnya lemas. Bukan karena takut, tapi muak. Lelah.
Yunan berdiri di dekat pintu. Dadanya naik turun karena campuran kecewa dan marah.
“Kamu selalu menuduh. Selalu curiga. Seolah aku ini boneka yang bisa kamu tarik-ulur,” gumam Jessy.
"Kamu tahu, kenapa aku bisa tahu dia ada di apartemenmu?" tanya Yunan frustasi karena marah, "Dia sengaja memotretmu dan memposting di sosial medianya."
"Aku tidak tahu soal itu," Jessy mendengus, ia tak menyangja Sam melakukan hal itu.
"Kamu terlalu naif, Jess, sadarlah dia itu selalu mengelabui kamu."
Jessy memandangnya lama, lalu berdiri.
"Aku minta maaf.” hanya itu yang bisa Jessy ucapkan, berharap amarah Yunan mereda dengan ucapan maafnya.
"Sekali lagi aku lihat kamu dekat-dekat dengannya," kata Yunan tajam penuh penekanan,"aku tidak akan segan-segan menghajarnya."
Sebelum ia menjawab, Jessy menyodorkan kaleng minuman dingin.
“Minum. Biar reda. Aku nggak mau berdebat malam ini.”
Yunan menerimanya. Membuka kaleng, lalu meneguk. Hening turun kembali, tapi kini terasa sedikit lebih tenang.
Beberapa menit berlalu.
Yunan mendekat, kemudian memeluk Jessy. “Aku cuma takut,” bisiknya. "Takut kamu tergoda lagi olehnya."
Jessy diam. kali ini ia memang salah.... telah membuat Yunan marah dan cemburu karena kecerobohannya.
“Aku mencintaimu, jess," ucap Yunan, ia menatap mata Jessy lama.... lalu mendekatkan bibirnya.
Jessy memejamkan mata saat bibir Yunan menyentuh bibirnya. Untuk beberapa saat bibir mereka saling bertautan.
“Aku juga mencintaimu.” balas Jessy, setelah Yunan mengurai ciumannya.
Dan malam itu, mereka menutup perdebatan dengan ciuman. Tanpan mereka tahu selanjutnya akan ada badai apa lagi yang akan menerpa hubungan mereka.
to be continued......
Malam itu, di hari libur, Jessy melangkah ke dunia yang sudah lama ia tinggalkan...klub malam. Bersama Luna, Dera, dan Tya, ia pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Yunan.
Ragu sempat mencengkeram. Ia tahu Yunan tak akan menerima alasan apa pun. Pergi tanpa izin saja sudah cukup memicu ledakan. Dan jika Yunan tahu ia ada di tempat yang dibencinya ini, amarahnya bisa menghancurkan segalanya.
Ajakan teman-temannya datang seperti badai kecil yang tak bisa ia hindari.
“Cuma sebentar, Jess. Anggap saja pelarian singkat,” kata Luna sambil menggandengnya.
Dera dan Tya ikut mendesak, tanpa memberi ruang untuk mundur. Di balik ajakan itu, ada godaan yang sulit diabaikan: kebebasan. Sesuatu yang makin terkikis sejak ia bersama Yunan.
Suasana klub langsung menerpa. Musik menghentak dada, lampu neon menari liar, aroma alkohol dan parfum bercampur di udara. Bagi Jessy, ini bukan hal baru. Dulu, tempat seperti ini adalah pelabuhan untuk melarikan diri dari tekanan.
Sejak bersama Yunan, hidupnya berubah. Ia menjauh dari tempat ini, dari teman-teman, bahkan dari dirinya sendiri. Larangan demi larangan membungkusnya dalam sangkar tak kasat mata. Tapi malam itu, di bawah lampu kelap-kelip dan tawa sahabat-sahabatnya, ia kembali merasakan hidup.
Kebebasan itu menyelinap, membakar sesuatu yang lama padam. Jessy tersenyum kecil, menyingkirkan rasa bersalah yang menguntit pikirannya. Walau bayangan Yunan tetap ada, malam ini ia memilih menjadi dirinya sendiri.
“Ayo kita bersenang-senang!” teriak Luna, menuang minuman ke gelas Jessy. Dentuman musik tak menenggelamkan semangatnya.
Jessy menatap gelas itu sejenak. Ragu muncul, lalu hilang. Satu helaan napas, lalu ia meneguknya habis, membungkam suara hati yang memperingatkan.
“Kalau sampai Yunan tahu, bisa mati aku!” ujarnya setengah bercanda, nada panik masih tersisa.
“Tenang aja!” sahut Dera, menyenggol bahunya. “Aku udah bilang ke dia kalau kamu ke acara ulang tahun sepupuku. Dia gak bakal curiga.”
“Gila parah!” Tya tertawa miring. “Pacarmu udah kayak anjing penjaga. Semua gerakanmu diawasi, pergaulanmu dibatasi.”
“Aku aja gak berani ngajak kamu jalan,” timpal Luna. “Tatapan dinginnya... serem. Dia kayak takut kamu sadar ada hidup lain di luar dia.”
Jessy hanya tersenyum tipis. Semua itu benar. Hidupnya makin sempit. Mengobrol dengan laki-laki bisa memicu pertengkaran. Keluar tanpa izin bisa berujung debat panas. Hubungan mereka dikendalikan rasa cemburu dan kepemilikan berlebihan.
Malam ini, yang awalnya hanya keisengan kecil, berubah jadi perlawanan.
“Ayo, kita minum lagi!” seru Jessy. Ia menuang botol ke gelasnya, lalu ke gelas teman-temannya.
Tawa meledak. Musik menghentak, lampu-lampu berputar. Jessy tertawa lepas, menari, meneguk minuman berkali-kali, membiarkan alkohol mengaburkan kenyataan.
Di bawah lampu gemerlap, ia kembali menjadi dirinya. Bukan milik siapa pun. Bebas, liar, hidup.
Kepalanya mulai berat, langkahnya goyah, tapi senyum masih bertahan. Ia menengadah, membiarkan musik menelannya. Apa pun yang akan terjadi nanti, biarlah.
Klub malam itu menelan waktu. Jarum jam hampir pukul dua pagi.
“Pulang, yuk!” seru Dera, gelisah. “Takut pacarnya Jessy nyariin.”
“Mana mungkin,” sahut Tya santai.
Mereka menoleh ke Jessy, matanya sayu, pipi merah, langkah oleng.
“Sebentar lagi! Kapan lagi aku bebas kayak gini...” ucapnya, suara melantur.
“Gawat, dia mabuk,” kata Luna.
“Ayo pulang,” ujar Tya tegas.
Mereka akhairnya
keluar dari klub, udara malam menusuk kulit. Jessy diapit Luna dan Dera, menyanyi asal sambil tertawa. Di mobil, suasana tetap riuh. Pusing dan matanya berat, tapi hatinya hangat. Malam itu terasa seperti mimpi manis yang tak ingin ia akhiri.
Namun, keceriaan itu hanya bertahan sampai mobil mereka berbelok masuk ke halaman rumah Dera.
Rem mendadak diinjak.
Suasana seketika sunyi.
Di bawah temaram lampu pekarangan, berdiri sebuah mobil hitam yang familiar. Lampunya mati, tapi kehadirannya menciptakan tekanan yang langsung menusuk ke dalam dada Jessy.
Mobil itu... milik Yunan.
" Tuh kan, firasat ku benar! " ujar Dera ketakutan " Yunan ada disini! " lanjutnya
" Gimana, nih? " Luna menghentikan mobilnya
" Ngapain berhenti! dia udah tau kalo kita datang. Lihat pandangannya mengarah ke kita " kata Tya saat melihat Yunan turun dari mobil nya
Luna menelan ludah saat melihat mobil hitam terparkir di pekarangan rumah Dera. Ia langsung memperlambat laju mobil mereka hingga berhenti tepat di depan kendaraan yang sangat mereka kenal.
"Jes… pacarmu," bisik Dera, mengguncang bahu Jessy yang setengah terlelap akibat alkohol.
Kelopak mata Jessy terbuka separuh, cukup untuk melihat sosok tinggi dan tegap berjalan mendekat dengan langkah tenang tapi menekan. Yunan.
Darahnya mendingin. Refleks, ia memejamkan mata lagi. Pura-pura tidur adalah satu-satunya cara untuk menghindari ledakan emosi yang ia tahu akan datang.
Pintu mobil terbuka. Yunan berdiri di sana, tatapan tajam menembus kabin. Luna panik, segera keluar.
“Maaf! Jessy kami ajak ke klub… dia mabuk,” ujarnya cepat.
Tak ada respons. Wajah Yunan datar, dingin. Ia hanya membuka pintu belakang dan mengangkat tubuh Jessy ke pelukannya. Lengannya kaku namun kuat. Jessy menahan napas, tetap berpura-pura tidur.
Teman-temannya hanya bisa terdiam. Aura Yunan malam itu dingin dan mengintimidasi.
Perjalanan pulang sunyi. Tangan Yunan kokoh di kemudi, pandangannya lurus ke depan. Udara di dalam mobil padat oleh kemarahan yang tak diucapkan. Jessy bersandar miring ke jendela, pura-pura tertidur. Ia tahu diamnya Yunan selalu jadi pertanda badai akan datang.
Sesampainya di apartemen, Yunan menggendong Jessy masuk. Gerakannya terkontrol… sampai akhirnya.
Bruuuk!
Tubuh Jessy di jatuhkan ke atas tempat tidur, tidak keras tapi cukup membuat jantung Jessy melonjak kaget.
“Sampai kapan kamu mau pura-pura tidur?” suaranya datar, tapi setiap kata terdengar tajam.
“Aku ketahuan, ya?” Jessy mencoba tersenyum malu, tapi tak mampu mengusir ketegangan.
“Sudah berani main ke klub sekarang, hah? Kamu tahu nggak, cewek yang suka clubbing itu dicap cewek nakal.”
Jessy diam, menunduk. Kata-kata itu menghantam harga dirinya.
“Jangan-jangan yang di katakan Sam benar,” lanjut Yunan.
Jessy mengangkat kepala, kaget. “Sam? Dia bilang apa ke kamu?”
“Dia bilang kamu cewek nakal.”
Jessy menatapnya tajam. “Kamu percaya?”
“Kalau kamu bersikap begini, tentu aku percaya! Siapa yang tahu apa yang kamu lakukan di sana... mungkin saja kamu bersikap murahan.”
Plaaak!
Tamparan Jessy mendarat keras. Nafasnya memburu, matanya menyala.
“Sam juga bilang kamu pernah tidur sama dia,” tambah Yunan, suaranya menusuk. “Berapa laki-laki yang pernah tidur sama kamu?”
Plaaak!
Tamparan kedua. Lebih keras. Air mata mulai mengalir di pipi Jessy.
“MULAI DETIK INI KITA PUTUS!” teriaknya. "Tega kamu berkata seperti sama aku?"
Yunan tidak mundur. Ia melangkah maju, mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga memucat. “Putus, kamu bilang?” desisnya. Rahangnya mengeras, matanya gelap.
Tarikan Yunan membuat tubuh Jessy terseret mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal, napasnya terasa di wajah Jessy.. panas, berat, dan penuh ancaman.
“Kalau aku nggak bisa memiliki kamu, maka orang lain pun nggak ada yang bisa,” ucapnya pelan, tapi lebih menakutkan dari bentakan mana pun. Jemarinya makin mengencang, seperti ingin meninggalkan bekas permanen di kulitnya.
Jessy menelan ludah, tapi tatapannya tetap menantang meski hatinya berdegup tak terkendali.
"Lepaskan aku! aku muak denganmu."
Di ruangan itu, udara berubah pekat. Tak ada lagi batas antara kemarahan dan bahaya. Yang tersisa hanyalah ketegangan yang siap meledak kapan saja.
Yunan gelap mata... tak ada lagi belas kasihan di matanya.
to be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!