Aila Rusli, gadis remaja berhati lembut dan paras memesona, tumbuh dalam dekapan kasih dan keteladanan keluarga pesantren yang kental dengan nilai-nilai agama. Dibesarkan oleh Abah Hasan Ansori dan Umi Fatimah, sosok pengasuh sekaligus orang tua angkat yang penuh hikmah, Aila menjalani masa remajanya bersama dua kakak angkatnya, Bayu Langit yang bijak dan Abian Respati yang teduh namun menyimpan gejolak dalam diam.
Takdir mempermainkan rasa. Aila jatuh cinta pada Abian, putra bungsu Abah Hasan, cinta yang ia simpan rapat dalam doanya. Namun, hati Abah Hasan cukup peka menangkap perubahan gelagat di antara mereka. Hingga suatu hari, batas-batas yang dijaga akhirnya dilanggar, membuat langit keluarga pesantren itu mendung oleh amarah dan kecewa.
Untuk menjaga kemurnian niat dan nama baik keluarga, Abah Hasan mengambil keputusan berat: mengirim Abian ke Kairo, tanah ilmu dan harapan. Aila ditinggalkan tanpa kepastian, namun cintanya justru semakin menguat, tumbuh bersama rindu yang terus berdoa dalam sunyi.
Tahun-tahun berlalu. Abian kembali, membawa tekad untuk menunaikan janji suci: menikahi Aila. Namun di balik kesungguhan itu, Abian menyimpan rahasia besar yang tak pernah ia ungkap, bahkan kepada Abahnya sendiri. Rahasia yang bisa mengguncang fondasi cinta dan kepercayaan yang selama ini dibangun atas nama Allah.
Mampukah cinta yang tumbuh dalam lingkungan suci tetap terjaga oleh takwa? Ataukah rahasia yang terpendam akan menguji apakah cinta mereka benar-benar karena-Nya?
****
Angin malam menyusup celah-celah bilik kayu yang rapat. Dari kejauhan, samar terdengar suara santri tengah murajaah di mushala kecil, diiringi bunyi jangkrik yang bersahut-sahutan.
Malam semakin sunyi, saat Aila setengah terlelap, terdengar suara ketukan dari balik jendela.
Aila terbangun mendengar suara samar dari balik jendela kaca.
"Dek..bukain Mas pintu..." pinta Abian pada sang adik.
"Aila nggak berani Mas...takut Abah marah" bisik Aila sambil berbisik lewat jendela.
"Ya udah bukain jendelanya, mas masuk lewat jendela kamarmu saja,"
Ujar Abian mulai memberi ide gila.
"Ndak, saru to...lewat jendela" Aila menolak permintaan Abian.
"Ayo lah dek, mas udah digigiti nyamuk ini,"
Keluh Abian dengan suara mengiba.
Karena tak tega, Aila pun membukakan pintu,Mas Abinya.
Saat pintu terbuka. Aila menatap wajah Mas Abiannya yang berbeda.
Wajah yang sekilas tampak letih, dengan mata kemerahan. Meski hati kecilnya tak tenang, ia tetap membukakan pintu.
Ketika Aila hendak kembali ke kamar, Abian memanggil adiknya.
"Dek...Mas lapar" rengek Abian.
"Jam segini udah nggak ada apa-apa Mas. Salahnya pulang malam-malem. Mas Abi darimana sih?" omel Aila pada Masnya.
Abian tak menjawab omelan Aila. Dia malah meminta dibuatkan mi rebus.
"Buatin Mas mi rebus dek.." pinta Abian.
Aila menoleh, tanpa mengiyakan gadis itu ke dapur.
Dan sekarang, ia berdiri sendiri di dapur ndalem, memasak untuk seseorang yang baru saja pulang entah dari mana.
Di dapur ndalem, Aila masih setia memutar sendok kayu di atas panci kecil. Uap mi rebus mengepul, membungkus wajahnya yang lelah.
“Bismillah…” lirihnya, menuang mi ke dalam mangkuk gerabah. Tangannya dengan cekatan menata mangku di atas nampan.
Tak biasanya, ia memasak selarut ini.
Tapi malam ini berbeda. Mas Abi, anak bungsu Abah Yai Hasan, yang memintanya untuk dimasakkan mi rebus.
Aila tak punya kuasa untuk menolak. Suara Mas-nya yang mengiba, membuatnya tak tega.
Langkah pelan mendekat dari arah ruang tamu. Aila tak menoleh. Tapi telinganya peka. Ia tahu itu langkah Mas Abi-nya. Ada detak lain yang berdentam dalam dadanya. Tiba-tiba, sepasang lengan melingkari tubuhnya dari belakang.
“Mas Abi…! Astaghfirullah…!” pekiknya pelan, dadanya terguncang karena keget.
“Mas kangen, Dek… cuma itu.”
Tubuh Aila kaku. Ia mencoba melepaskan diri, dari pelukan Abian.
“Mas... kita bukan mahram. Jangan seperti ini. Ini ndalem kiai, Mas... tempat ilmu dan kehormatan.”
Tapi Abian tak melepaskan. Matanya buram. Nafasnya bau alkohol. Wajah Aila memucat.
Dengan sekuat tenaga, Aila menggigit tangan Abian. Aila pun terlepas. Dan saat tubuhnya terlepas, terdengar suara langkah cepat dan teriakan marah dari balik pintu dapur.
“Inna lillahi…! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan, Abian!?”
Abah Yai Hasan berdiri di ambang pintu bersama Umi Nyai Fatimah. Wajah mereka berubah pias. Aila langsung menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Ia berlari ke arah Umi, memeluknya erat.
Abah Hasan melangkah ke arah Abian, wajahnya tak lagi sekadar marah, tapi kecewa yang dalam. Ia mengangkat tongkatnya, hendak menghantam Abian. Namun tiba-tiba, Aila bergerak, melindungi tubuh Mas-nya.
“Jangan Bah! Jangan pukul Mas Abi!”
Plak!
Tongkat itu tetap mendarat, tapi bukan ke Abia, melainkan ke punggung Aila.
“Kenapa kamu halangi, dek…?” lirih Abian, menahan rasa bersalah.
Aila menahan sakit. Suaranya pelan tapi tulus. “Aila ndak mau Mas Abi terluka. Aila... sayang Mas.”
Kalimat itu menyesakkan. Abah Yai Hasan memejamkan matanya. Dunia ndalem yang damai, kini porak poranda oleh dua hati yang tak mampu menahan rasa di waktu yang belum halal.
Bayu Langit putra sulung Abah yang juga ustaz muda di pesantren itu, diam mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia tak mau ikut campur urusan adiknya. Bayu masuk, hanya menunduk dalam. Malam itu, semua doa seakan tertahan di langit-langit ndalem karena ulah putra bungsu Yai Hasan.
Di bilik belakang, Umi Fatimah mengobati punggung Aila. Dengar rasa sedih.
“Sayang itu boleh, Nduk. Tapi harus tahu tempatnya, waktunya. Cinta yang tumbuh sebelum halal, seringkali mencuri kehormatan kita sebagai wanita,” ucap Umi dengan lembut.
Aila hanya diam. Air matanya mengalir pelan. Ia tak bisa menjawab apakah perasaannya terhadap Mas Abi adalah cinta atau sekadar keterikatan sejak kecil.
Fatimah mengecup kening Aila.
“Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi. Jangan takut, Umi di sini.”
Di ruang tengah, Abah Yai duduk dengan sorban di pangkuan. Matanya menatap Abian tajam.
“Besok pagi kamu keluar dari rumah ini, Bi. Pergi lanjutkan kuliahmu ke Kairo. Jangan kembali sebelum tamat. Dan kelak... jika kamu masih ingin menikahi Aila, kamu harus datang sebagai lelaki sejati, berilmu, beradab, dan siap menanggung segala akibat dari pilihan hatimu.”
Abian menunduk.
“InsyaAllah, Bah. Abi siap.”
Keesokan paginya, usai salat Dhuha dan zikir berjamaah, Abian pergi. Koper hitam ditarik pelan di halaman ndalem. Aila berdiri menatap, dengan mata sembab. Tangannya bergetar, tapi ia tidak menangis lagi.
“Mas pergi dulu, Ai. Tunggu Mas kembali sebagai lelaki yang pantas.”
Aila mengangguk. “Aila doakan Mas setiap malam, sampai Allah izinkan kita halal.”
Umi Fatimah memeluk Aila dari belakang.
“Wes, Nduk. Ndak usah terlalu banyak nangis. Doakan masmu, ndak usah ditangisi. Biarkan dia tumbuh jadi laki-laki yang bertanggung jawab, agar cintanya dibimbing oleh Allah, bukan karena dorongan nafsu setan.”
Aila tertegun, Aila takut kehilangan Mas Abiannya.
Angin pesantren bertiup pelan. Hanya suara daun jatuh dan isakan yang menyertai kepergian Abian. Dan langit, masih kelabu, seakan ikut menyimpan kisah cinta yang ditunda demi kehormatan.
Langit pagi di atas Pondok Pesantren Al-Fattah masih berselimutkan warna biru pucat dengan sapuan keabu-abuan. Beberapa tambalan merah menyelusup di sela mega, menyambut matahari yang hendak muncul malu-malu. Aila merapikan kerudung lebarnya, memastikan ujungnya menutupi dada sebelum menyandang ransel ke punggung.
Di meja makan ndalem, Aila duduk mendampingi Abah Yai Hasan, menghidangkan secangkir kopi hitam kesukaan sang kiai. Tak lama, Umi Nyai Fatimah datang menyusul, diikuti oleh Bayu Langit, putra sulung mereka yang dikenal kalem dan dingin. Aila dengan sigap menyiapkan piring dan gelas. Umi duduk di samping Abah dan mulai menyendokkan nasi.
"Lagi, Bah...?" tanya Fatimah lembut.
"Cukup," jawab Abah Yai sambil mengangkat tangan.
Nasi berpindah dari tangan ke tangan, sampai akhirnya tiba di hadapan Aila. Makan berlangsung khidmat. Tak ada lagi canda tawa khas Abian yang biasanya mengisi pagi. Sejak kepergian putra bungsu mereka ke Kairo untuk menuntut ilmu, meja makan menjadi sunyi. Hanya denting sendok dan mangkuk yang saling bersahutan.
Selesai sarapan, Aila berpamitan hendak berangkat ke Madrasah Aliyah di kompleks pesantren. Namun, di depan serambi, langkahnya tertahan saat berpapasan dengan Bayu Langit. Posisi mereka saling membelakangi.
"Rokmu itu sudah sempit. Pulang nanti, ke Mbok Ratih. Jahit rok baru," ucap Bayu tanpa menoleh.
Aila memandang ke bawah, memeriksa roknya.
"Masih muat kok, Mas."
"Iya, masih muat. Tapi itu sudah membentuk lekuk tubuhmu. Sakit mata Mas lihatnya."
Aila mendengus.
"Ya ndak usah dilihat, Mas."
"Aila..." suara Bayu tegas. Gadis itu tahu betul, jika Mas Bayunya sudah memanggil seperti itu, artinya Bayu tak ingin dibantah.
Aila merapatkan bibir. "Iya, nanti Aila jahit, rok baru."
Sahut Aila sambil manyun.
"Buat rok wiru, jangan sepan."
Titah Bayu tegas.
"Aila ndak suka rok wiru, Mas."
Bayu tak menanggapi, langsung melangkah pergi. Aila menghentakkan kaki kecilnya, menahan kesal.
"Lho, kok wajahmu cemberut, Nduk? Mau berangkat nuntut ilmu kok ndak cerah?" tegur Umi yang melihatnya di pelataran.
Aila langsung memeluk Fatimah. "Umi, Aila ndak suka pake rok wiru. Mas Bayu nyuruh Aila ganti."
Fatimah mengamati tubuh putrinya. "Badanmu memang makin berisi, Nduk. Benar kata Masmu. Nanti sore kita ke rumah Mbok Ratih. Sekarang buruan masuk, keburu lonceng madrasah, bunyi."
Di kelas, Lani langsung menggandeng tangan Aila. "Ailaaa... PR Bahasa Arabku, mana udah mbok kerjakan kan...?"
Aila hanya menggeleng dengan senyum pasrah. Bel tanda masuk berbunyi. Mereka pun larut dalam kegiatan belajar.
Pukul dua siang, Aila pulang ke ndalem. Ia mencium tangan Abah dan Umi dengan takzim. Di ruang tamu, Bayu Langit keluar dengan sarung dan kemeja rapi yang ia gulung hingga tiga perempat. Sekilas, matanya menangkap betis Aila saat gadis itu membuka kaus kaki.
"Tutup auratmu."
Ujar Bayu singkat. Aila mengerutkan keningnya.
"Aila kan udah pakai jilbab, Mas..."
Protesnya.
"Lihat kakimu itu."
Ujar Bayu dengan tetap fokus membaca buku di tangannya.
Aila buru-buru duduk. Fatimah menenangkan, "Nduk, kaki itu juga aurat. Buka kaus kakinya di kamar saja. Kalian bukan mahram"
"Iya, Umi..."
Sahut Aila sambil melirik ke arah Mas Bayu-nya yang selalu bersikap dingin dan terkesan ngatur.
Aila tak suka dengan sikap Bayu, yang Aila nilai terlalu kaku, nggak asik seperti Abian.
Sore hari, mereka pergi ke rumah Mbok Ratih. Selesai mengukur baju seragam, Aila merebahkan diri di sofa. Sebuah pesan WhatsApp masuk.
"Heeey, sayangnya Mas Abi... Lagi ngapain?"
Aila senyum-senyum sendiri. Membaca chat dari Mas-nya yang paling baik dan selalu ngertiin Aila.
"Nungguin chat dari Mas Abi,ding."
Balas Aila.
"Gimana, Mas Bayu masih nyebelin?"
Pertanyaan itu sontak memancing reaksi Aila.
"Ya iya lah, makin Parah. Ngatur-ngatur. Sekarang ndak ada yang belain Aila. Ayo dong, Mas Abi, cepet lulus. Aila nungguin, Mas Abi pulang."
Sambil mengetik balasan, Aila berjalan ke arah kamar, tanpa sadar menabrak dada Bayu Langit. Handphone-nya terjatuh ke lantai.
Bayu memungutnya dan tanpa sengaja membaca chatnya dengan Abian. Aila langsung merebutnya.
"Ih, Mas! Jangan baca chat orang, ndak sopan."
Bayu hanya melirik dingin. "Lebih ndak sopan kalau isi chat-nya, ngibah."
Aila diam. Bayu pergi tanpa menoleh. Aila pun mendengus.
Malamnya, selepas maghrib, mereka makan bersama. Aila mendekat ke Bayu.
"Mas, Aila tadi udah ukur seragam. Mas yang bayarin ya?" Bayu yang sedang makan langsung berhenti sejenak.
"Berapa, Umi, seragan Dek Ila?" tanya Bayu.
"Lima ratus ribu," sahut Umi-nya.
"Nanti Mas kasih, uangnya"
Ujarnya ke Aila.
"Makasih, Mas!" Aila senyum lebar.
Selesai makan, mereka duduk santai. Hasan menatap putrinya.
"Gimana sekolahmu, Nduk?"
"Alhamdulillah, Bah. Aila mau kuliah kedokteran, ya Bah."
"Silakan. Asal kamu sanggup."
Ujar Yai Hasan. Tapi, tiba-tiba suara dingin Bayu menyambar. Ikut menanggapi ucapan adiknya.
"Jadi dokter itu sibuk. Nanti malah ndak ngurus suami dan anak. Perempuan itu, bakal jadi madrasah pertama untuk anak-anaknya"
Hasan menimpali, "Ndak masalah kalau Aila jadi dokter. Abi adek mu yo suka kalok calon istrinya jadi dokter"
Bayu diam.
"Sudahlah, ndak usah bahas nikah. Aila masih kelas dua. Umi ndak suka."
Ujar Umi Fatimah.
Bayu menatap adiknya, lalu mengeluarkan uang dari dompet. "Ini buat bayar jahit, seragammu. Sisanya buat uang jajan."
Bayu memberikan Aila uang merah enam lembar.
"Makasih, Mas Bayu!"
Bayu hanya mengangguk dan kembali ke ruang kerja. Di luar, langit malam Pondok Al-Fattah berpendar dalam temaram lampu surau dan suara ngaji yang mengalun lembut dari bilik santri.
Menjadi santri berarti siap menyambut pagi dengan penuh keberkahan. Alarm ponsel Aila berdentang pelan, cukup untuk membangunkan tubuhnya yang masih berselimut dingin Subuh. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu, dan segera menunaikan salat Subuh berjamaah bersama Umi Nyai Fatimah di masjid pesantren.
Selesai berzikir dan membaca wirid, Aila mencium tangan Uminya.
"Umi... hari ini Aila izin ya, ndak bantu di dapur. Aila dapat tugas jadi petugas upacara."
Fatimah tersenyum lembut, mengusap kepala anaknya.
"Iya, Nduk. Ndak papa. Niatkan lillahi ta'ala ya. Sekarang ndang ganti seragammu."
Aila mengangguk patuh, lalu masuk ke kamarnya. Ia memilih seragam Madrasah yang rapi dan syar’i. Tak lupa memeriksa panjang jilbabnya agar menutupi dada dengan sempurna. Ia pun menyemprotkan sedikit minyak wangi yang tak mencolok, hanya sekadar menyegarkan diri.
Pagi Senin seringkali dianggap menyebalkan bagi sebagian santri, namun tidak bagi Aila. Ia mencintai hari-hari belajar. Dalam hati ia meyakini, "Hari Senin adalah awal pekan, awal semangat untuk menuntut ilmu."
Setelah berpamitan dengan Abah Yai dan Umi Nyai, Aila duduk di teras ndalem, mengenakan sepatu. Karena terburu-buru, ujung jilbabnya sedikit tersampir di atas bahu. Saat ia berdiri, tampak seorang pria berdiri di hadapannya.
Mas Bayu.
Kedua tangan Mas Bayu-nya masuk ke saku jasnya. Tatapannya tajam namun tenang.
"Mau berangkat ke Madrasah dengan penampilan seperti itu, Aila?"
Aila terdiam. Bayu melanjutkan.
"Rapikan jilbabmu. Jangan biarkan auratmu jadi sebab dosa bagi orang lain."
Seketika Aila menunduk, menarik kembali ujung jilbabnya ke bawah hingga menutupi dada.
"Astagfirullah..." batinnya menyesal.
"Iya, Mas. Maaf. Aila buru-buru. InsyaAllah tak Aila ulangi."
"Jaga amanah sebagai santri. Bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan penampilan."
Aila mengangguk, lalu bergegas.
"Assalamualaikum."
pamit Aila cepat, malas berdebat dengan Mas Bayu-nya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Bayu lirih. Matanya mengikuti langkah sang adik dengan raut lebih tenang.
Di Madrasah, Aila bertugas sebagai pemimpin upacara. Seragam barunya, kemeja putih longgar dan rok abu model wiru yang lebar, memantulkan kesan anggun dan terjaga. Tak ada lekuk tubuh yang tampak, sesuai dengan anjuran syariat. Para guru memuji kerapian dan kedisiplinannya.
Selesai upacara, para santri kembali ke kelas. Aila duduk di sebelah Lani, temannya.
"Ustadzah Anis hari ini bawa guru baru loh," bisik Lani.
Beberapa saat kemudian, Ustadzah Anis masuk ke kelas dengan seorang pria yang penampilannya rapi, wajahnya bersih berjambang tipis. Aila yang semula menatapnya sekilas langsung menundukkan pandangan.
"Astaghfirullah... kenapa Mas Bayu bisa ada di sini?" batinnya gelisah. Aila lalu menunduk, tak berani menatap Mas-nya secara langsung, kalau tak ingin di ceramahi tujuh hari tujuh malam.
"Anak-anak, ini Ustadz Bayu Langit, Beliau ini lulusan terbaik dari Al Azhar Kairo. Beliau akan menggantikan Ustadz Malik mengajar Akidah Akhlak. Mohon kalian semua menyimak dan menghormati beliau sebagaimana kalian menghormati guru-guru lainnya. Fahimtum?"
"Fahimna, Ustadzah!" sahut para santri.
"Syukron. Silakan, Ustadz."
Bayu berdiri, membuka kitab kecil dari saku jubahnya, lalu berkata dengan suara tenang namun berwibawa.
"Hari ini kita akan membahas tentang adab bergaul dengan lawan jenis dalam pandangan Islam. Banyak yang menganggap pergaulan itu bebas, padahal Islam tidak melarang pertemuan antara laki-laki dan perempuan, asal dengan adab dan syariat."
Bayu mengutip surah Al-Hujurat ayat 13, lalu menerjemahkannya:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."
"Islam tidak menghapus interaksi, tetapi mengaturnya. Ada lima adab utama dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan,
Tidak berkhalwat (berduaan),
Menjaga pandangan.
Menjaga adab bicara.
Menghindari pembahasan yang memicu syahwat.
Menutup aurat dengan sempurna."
Bayu memfokuskan bahasan pada poin kedua. menjaga pandangan.
Ia mengutip surah An-Nur ayat 30, lalu menjelaskan maknanya.
"Mata yang dijaga dari pandangan haram, maka akan diberi cahaya iman oleh Allah. Barang siapa memalingkan pandangannya dari hal-hal yang mengundang syahwat karena takut kepada Allah, maka Allah gantikan itu dengan manisnya iman."
Bayu menguatkan penjelasannya dengan hadis riwayat Bukhari-Muslim tentang zina mata, zina hati, dan zina tangan.
"Zina mata dimulai dari pandangan. Karenanya, Rasulullah menyebutkannya pertama. Pandangan yang tak dijaga akan menuntun hati, dan hati akan mengajak tubuh melakukan yang lebih jauh. Maka jaga mata, jaga hati."
Para santri terdiam merenung.
Lalu Bayu menunjuk ke arah Aila.
"Aila, apakah sudah paham?"
Aila terperanjat. Ia merasa belum fokus tadi. Dengan gugup ia menjawab, "InsyaAllah faham, Ustadz..."
"Bagus. Tolong sebutkan lima adab tadi."
Aila menoleh ke Lani, dan sahabatnya langsung memberi isyarat cepat membuka catatan.
Aila membacanya pelan dan lancar. Bayu mengangguk, tapi suaranya tetap tegas.
"Jangan hanya lancar membaca. Amalkan ilmunya, karena ilmu tanpa amal akan menjadi hujjah yang memberatkan."
Aila menunduk dalam-dalam. Ia tahu, hari-harinya di Madrasah tak akan sama lagi. Mas Bayu kini bukan sekadar kakak cerewet, tapi guru agama yang akan terus menegur dalam diam, lewat ilmu yang menyentuh hati.
Aila pulang dari Madrasah dengan langkah ringan, meskipun dadanya masih sesak memikirkan bagaimana Mas Bayu bisa tiba-tiba muncul sebagai guru di kelasnya. Tapi semua itu ia tutup dengan tawa-tawa kecil bersama Lani sebelum berpisah di depan ndalem.
Setibanya di rumah, ia langsung ganti baju dan rebahan di kamar. Ponselnya berbunyi, panggilan video dari Abian. Wajah Aila berubah cerah seketika. Ia duduk bersandar di ranjang, menyampirkan kerudungnya sembarangan hanya menutup sebagian kepala. Pipinya memerah saat wajah Abian muncul di layar.
"Assalamualaikum, Mas Abi..."
"Waalaikumussalam, Dek Aila..." suara di seberang terdengar lembut.
"Mas kangen, Dek... Lihat wajah kamu, bikin pengen cepat pulang ke Indonesia."
Aila tertawa pelan, pipinya makin memerah.
"Aila juga kangen Mas Abi..." jawabnya dengan suara manja, matanya mengecil dan ekspresinya menggemaskan.
Tanpa ia sadari, Bayu Langit baru saja melewati lorong kamar menuju rak buku di ruang tengah. Suaranya terdengar jelas, dan saat mendengar nada bicara Aila yang lembut menggoda itu, Bayu langsung berhenti melangkah. Ia menoleh sekilas ke arah kamar Aila dengan dahi mengerut.
“Jaga suaramu. Nada bicaramu itu memancing syahwat.”
Suara Bayu muncul tiba-tiba dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Aila terkejut, refleks mematikan video call dan bangkit dari tempat tidur.
“Mas! Ini privasi Aila! Jangan asal nyelonong dan komentar!”
Bayu menatapnya datar dari ambang pintu.
“Aku tidak masuk ke kamar. Tapi suara kalian terdengar sampai luar kamar. Gaya bicaramu barusan itu tidak pantas,Aila. Bisa menarik perhatian laki-laki, termasuk orang lain yang tidak sengaja mendengarnya.”
Aila mendekat dengan wajah memerah, antara malu dan kesal.
“Tapi Aila cuma ngobrol sama Mas Abi. Kami tunangan, Mas! Wajar dong kalau rindu dan saling sapa.”
Bayu tetap berdiri tegak dengan wajah tanpa ekspresi.
“Justru karena kalian belum halal, adabnya harus lebih dijaga. Nada bicaramu manja. Tertawamu menggoda. Kau kira syahwat laki-laki hanya dipicu oleh sentuhan? Tidak, Aila. Bahkan suara bisa jadi pemicunya.”
Aila mengepalkan tangan, merasa geram.
“Mas Bayu selalu saja cari kesalahan Aila. Selalu dingin dan nyebelin! Bahkan Mas Abi saja gak pernah komplain. Kenapa sih Mas gak pernah bisa lihat Aila senang, atau mengerti sedikit aja? Aila juga perempuan, punya rasa pengen dimanja, Mas!”
Bayu menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar, sebelum menatap mata adiknya dengan sorot tajam.
“Aku tidak ditugasi untuk memanjakanmu, Aila. Tugas seorang kakak, apalagi di ndalem pesantren, adalah menjaga. Kalau sikapku keras, itu karena aku tidak ingin kamu menjadi gadis yang ‘sok lucu-lucu’ tapi menjerumuskan. Kau calon istri seseorang. Kalau sekarang saja kau menggoda dengan suara, bagaimana setelah menikah nanti? Laki-laki tidak hanya butuh manja, tapi butuh istri yang tahu batas.”
Aila tercekat. Ucapan Bayu seperti tamparan dingin.
Bayu melangkah menjauh tanpa menunggu balasan. Suaranya masih terdengar saat punggungnya berbalik.
“Besok subuh, ikut kajian tafsir. Mungkin kamu butuh lebih dari sekadar ilmu fiqih.”
Pintu lorong kembali hening. Aila menatap lantai kamarnya, jantungnya berdetak cepat. Dadanya penuh amarah, malu, bercampur jadi satu. Ia meraih ponselnya, membuka chat Abian, tapi kemudian menutupnya kembali. Malam itu, Aila diam dalam selimut panjang pikirannya sendiri.
Dan Mas Bayu... tetap seperti biasa. Tak banyak bicara, tapi sekali berkata, menohok.
Adzan subuh berkumandang, para santri bergegas ke masjid pondok. Udara pagi itu begitu menggigit. Namun Bayu Langit, sudah siap dengan kemeja abu dan sarung rapi dipadu peci.
Masjid Pondok Pesantren Al-Fattah mulai dipenuhi para santri karena salat subuh berjamaah skan segera dimulai. Suara angin fajar berdesir melewati jendela kayu yang terbuka setengah, membawa aroma tanah basah dari pelataran masjid.
Di sisi tirai putri, para santriwati telah duduk rapi di belakang tirai putih. Aila duduk di barisan depan, membawa buku catatannya. Gamisnya kini longgar dan rapi, dipadu kerudung syar’i yang ia kenakan dengan lebih sadar dari sebelumnya.
Di depan para santri putra, Bayu Langit duduk di atas mimbar kecil dari kayu jati. Di hadapannya terbuka kitab kuning Fathul Qarib dengan coretan-coretan kecil beraksara Arab di tepinya. Suaranya terdengar tenang namun tegas, khas gaya pesantren yang menyejukkan namun sarat makna.
"Bismillahirrahmanirrahim. Subuh kemarin kita sudah bahas bab penting dalam fiqih, yaitu tentang 'Ahkam al-Mar'ah fi al-Taharah wa al-Libas'. Hukum wanita dalam bersuci dan berpakaian."
Suasana hening. Semua menyimak.
"Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan, bahwa wanita memiliki hukum-hukum khusus dalam bersuci, mulai dari haid, nifas, hingga istihadhah. Tapi malam ini kita fokuskan dulu pada materi kita pada aurat wanita."
Bayu menjeda sejenak, menatap para santri, lalu melanjutkan.
Dan saya ingin menyampaikan sesuatu yang jarang disinggung secara serius, yaitu tentang suara wanita.”
Para santri putri langsung saling melirik, beberapa terlihat menahan napas. Aila mengecup buku catatannya, lalu mulai menulis.
Bayu melanjutkan, “Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman.
‘Wahai istri-istri Nabi, kamu tidak seperti wanita-wanita yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara, sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.’”
Bayu berhenti sejenak. Suasana menjadi hening.
“Para ulama menafsirkan bahwa suara wanita bukanlah aurat secara mutlak. Artinya, wanita boleh berbicara, menjawab salam, berdiskusi, berdakwah, namun... jangan melembutkan suara, jangan memanjakan intonasi, jangan dibuat-buat untuk menarik perhatian.”
Ia melanjutkan sambil menatap lurus ke arah tirai bagian santri putri.
“Berbicara boleh, tapi dengan wibawa dan kehormatan. Kita tidak tahu siapa yang sedang mendengar, siapa yang di hatinya ada penyakit. Jangan sampai kita menjadi sebab turunnya dosa bagi orang lain, hanya karena ingin terdengar lucu, manja, atau menarik.”
Aila menunduk. Telinganya terasa panas. Kata-kata Bayu seperti datang menampar. Pria itu seakan tengah menyindirnya, secara terang-terangan.
Bayu kembali membuka lembar kitab di hadapannya, lalu membacanya lantang.
“Imam Nawawi menjelaskan, jika suara wanita disuarakan dengan kelembutan dan godaan, maka itu haram. Tapi jika dengan niat yang bersih dan suara yang biasa, maka itu diperbolehkan. Jadi ukuran utamanya adalah niat, bentuk suara, dan konteks.”
Ia kemudian mengangkat kepalanya, menutup dengan pernyataan tegas.
“Saudariku, adik-adiku para santri-santriku, suara kita akan dimintai pertanggungjawaban, kelak di akherat. Bahkan bisikan yang disangka biasa, bisa mencuri hati orang yang tidak halal.
Dan jika itu terjadi, bukan hanya dia yang berdosa… tapi kamu pun akan menanggung bagian dari khilaf itu. Suara wanita secara umum bukan aurat, namun perlu diperhatikan adab dan niat dalam penggunaannya. Jika suara tersebut digunakan untuk tujuan yang baik, maka diperbolehkan, namun jika digunakan untuk tujuan yang dapat menimbulkan fitnah atau maksiat, maka hukumnya haram.
Sunyi. Hanya suara lembut kipas angin yang terdengar memutar di langit-langit masjid. Aila menggigit bibirnya pelan. Kali ini bukan karena kesal, tapi karena malu. Ia teringat kembali nada bicaranya saat menelepon Abian… dan semua itu terngiang dalam ingatannya dengan lebih jernih malam ini.
Bayu kembali melanjutkan kajiannya.
"Dan kalian harus tahu, Aurat wanita itu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan bukan hanya menutup, tapi harus dengan pakaian yang sitrun li al-jasad, yang bisa menutupi bentuk tubuhnya, tidak tipis, tidak ketat, tidak menyerupai laki-laki."
Di balik tirai, beberapa santri putri mulai saling lirih, merasa tertampar.
"Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa menjaga aurat bukan sekadar fiqih syari’at, tapi juga bentuk adab kepada Allah dan penjagaan terhadap kehormatan diri. Maka, tidak layak seorang santriwati keluar dengan pakaian yang membentuk tubuhnya, meski merasa sudah menutup aurat."
Suara Bayu mengalir dengan ketegasan lembut. Aila yang mendengarkan dari balik tirai terdiam. Ia menunduk dalam, merasa hatinya seolah digenggam oleh kalimat-kalimat itu. Ingatannya melayang ke hari kemarin, perdebatan kecilnya dengan Bayu soal rok sempit. Ia mulai mengerti. teguran itu bukan sekadar cerewetnya seorang kakak, tapi bentuk tanggung jawab yang dibalut ilmu.
Bayu Langit pun kembali menegaskan.
"Sebagian ulama mengatakan, wanita itu pusat fitnah dunia. Tapi ketika wanita menjaga dirinya, ia bukan lagi sumber fitnah, melainkan sumber ketenangan. Bahkan menjadi penjaga cahaya keluarga dan masyarakat."
"Maka tugas kita sebagai santri, baik putra maupun putri, adalah belajar, menata diri, dan menjaga adab. Bukan hanya tampilan luar, tapi niat dan kesungguhan kita dalam menjalani syariat."
Setelah kajian selesai Bayu menutup kajiannya.
Doa pun dilantunkan di akhir kajian, dengan suara lirih para santri yang mengamini dari segala penjuru masjid. Tirai putih itu menjadi saksi, bagaimana seorang kakak menyampaikan ilmu, dan seorang adik mulai memahami makna teguran dengan mata hati yang baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!