NovelToon NovelToon

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Arka : Pria Tanpa Identitas

Ruangan besar bergaya klasik itu dipenuhi oleh anggota keluarga besar yang mengenakan pakaian formal. Langit-langitnya tinggi, lampu gantung kristal berkilauan seperti bintang yang menggantung di malam gelap. Aroma teh melati dan parfum mahal bercampur di udara, namun tak mampu menutupi suasana tegang yang menyelimuti setiap sudut ruangan.

Semua orang di sana dipenuhi rasa penasaran sekaligus cemas, karena bukan hal biasa mendapati hampir seluruh anggota keluarga berkumpul bersama seperti ini kecuali ada hal yang sangat penting yang perlu dibahas.

Di ujung meja panjang yang dipenuhi buah, kue-kue kering, dan hidangan mewah, duduk seorang pria tua berambut putih rapi. Tatapannya tajam, penuh wibawa. Dia adalah Tuan Wijaya, kepala keluarga sekaligus pendiri kerajaan bisnis Wijaya Group. Salah satu raksasa bisnis di kota Bandung.

Semua orang di ruangan itu menunduk hormat padanya, situasi yang tidak dapat ditemukan di keluarga biasa.

Meski pun umurnya hampir tujuh puluh tahun, tidak ada satu orang pun yang ragu akan seberapa besar pengaruhnya di kota bandung bahkan indonesia.

"Kita tidak akan berlama-lama," ucap Tuan Wijaya dengan suara rendah tapi berwibawa. "Hari ini, aku ingin mengumumkan perjodohan Laras."

Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan. Beberapa wajah menunjukkan keterkejutan, beberapa lagi terlihat penasaran. Di antara mereka, duduk seorang gadis muda dengan rambut terurai panjang sedikit ikal di ujungnya. Tatapannya dipenuhi rasa bingung sekaligus terkejut. Dia adalah Laras, salah satu cucu Tuan Wijaya.

"Laras akan menikah dengan... Arka," lanjut sang kakek.

Seketika semua membeku. Termasuk Laras.

“Arka? Siapa itu?”

“Apakah diantara kalian ada yang mengenalnya?”

“Dia anak keluarga mana?”

“Aku baru mendengar namanya.”

“Apakah dia artis? Dokter? Atau bintang film yang lagi naik daun?”

Bisik-bisik mulai memenuhi ruangan itu.

Beberapa anggota keluarga saling menatap, kebingungan. Tak ada satu pun yang tahu siapa yang dimaksud. Nama itu asing. Tidak ada yang pernah mendengarnya ataupun melihatnya.

“Maaf, Ayah…”

Semua mata kini beralih pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sisi kanan meja, mengenakan kebaya krem elegan. Wajahnya terlalu cantik untuk seorang yang hampir kepala empat. Sementara matanya terlihat jelas menyiratkan kegelisahan.

Dia adalah ibu Laras. Ratna Wijaya.

“Ini… terlalu mendadak. Kami, sebagai orang tua, bahkan tidak diberi tahu apa pun tentang rencana ini. Siapa Arka? Dari mana asalnya? Apa yang membuat Ayah begitu yakin menyerahkan masa depan Laras padanya?”

Laras menatap ibunya, wajahnya seperti ingin menangis namun juga bingung.

Tuan Wijaya menghela napas pelan. “Aku tahu ini mengejutkan. Tapi aku sudah mempertimbangkan semua hal.”

Dari sisi kiri meja, seorang pria yang sejak tadi diam, berdiri dan angkat bicara. Suaranya berat dan terdengar tegas.

“Kalau memang sudah dipertimbangkan, setidaknya ayah membicarakannya terlebih dahulu dengan kami. Bagaimanapun Laras adalah anak kami” ucapnya dengan nada yang sedikit tinggi. Dia adalah Aditya Wijaya, ayah Laras.

“Kami tidak bermaksud menentang, Ayah. Tapi kami juga punya hak sebagai orang tuanya. Juga Laras bukanlah anak kecil lagi, dia berhak tau siapa orang yang akan menjadi suaminya. Lagi pula siapa Arka? Tidak ada satu pun yang disini tahu!” Nafasnya terengah-engah, harga dirinya sebagai ayah sedikit terpukul.

Tatapan Tuan Wijaya sedikit mengeras.

“Diam!”

“Di sini aku tidak berniat meminta restu atau pun pendapat kalian, Aku memberi perintah!”

Aditya mengepalkan tinjunya, dia menarik nafas pelan seraya kembali duduk dengan wajah yang tidak puas. Aditya tau di sini yang paling berkuasa adalah ayahnya, dia tidak berani menentang lebih jauh.

Sementara Ratna menggenggam erat tangan putrinya, dia juga tidak berani kembali bersuara.

Semua terdiam. Kini ruangan itu kembali hening.

Tepat setelah itu pintu ruangan berderit pelan. Seorang pelayan masuk sembari membungkukkan badanya.

“Tuan, beliau sudah datang.”

Semua orang menoleh, tidak ada satupun orang di sana yang tidak penasaran. Tentu saja kecuali Tuan Wijaya.

“Suruh dia masuk.” Ucapnya sembari mengangguk.

Semua orang memfokuskan pandanganya ke arah pintu. Bahkan beberapa tidak sedikit pun mengedipkan matanya.

Perlahan suara langkah kaki mulai terdengar.

Seorang pemuda melangkah masuk. Tubuhnya tegap, dengan setelan jas hitam sederhana tanpa hiasan mencolok. Wajahnya yang tampan terlihat tenang, namun menyimpan sorot mata dingin yang tak bisa dibaca. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, seolah ia tidak terlalu peduli pada penampilan.

Langkah-langkahnya mantap, tanpa ragu. Meskipun semua mata tertuju padanya, dia sama sekali tidak terlihat gelisah.

Pemuda itu menunduk sedikit, memberi hormat dengan tenang pada Tuan Wijaya, lalu pada seluruh ruangan. Tidak ada senyum di wajahnya, tidak pula kesombongan. Yang ada hanyalah kesan percaya diri serta sorot mata yang sedikit misterius.

“Nama saya Arka.” Ucapnya singkat memperkenalkan diri. Membuat semua orang yang ada disana semakin penasaran.

“Hanya Arka? Siapa nama keluargamu? Kamu berasal dari mana?” Ucap salah satu wanita yang merupakan bibi Laras, dengan nada sedikit menekan dan tatapan merendahkan.

“Juga apa pekerjaan kamu?” Sahut Melati bibi laras yang lain.

Arka hanya diam, matanya menyapu seluruh ruangan dan berhenti pada tatapan laras. Mereka saling berpandangan beberapa saat membuat jantung laras sedikit berdegup kencang.

Laras mengalihkan pandanganya, bertanya pada diri sendiri dengan apa yang dia rasakan.

Tatapan itu... Laras seolah merasa tidak asing dengannya. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Laras sama sekali tidak ingat.

Tatapan yang dingin. Tapi Laras merasakan sesuatu seperti kehangatan di baliknya.

Namun sebelum Laras bisa mencari jawaban atas kegelisahan dalam hatinya, suara tajam kembali terdengar dari meja seberang.

“Jadi... tidak ada keluarga? Tidak jelas asal usulnya? Ini sungguh memalukan, Ayah,” ucap Gunawan Wijaya, adik kedua dari Aditya, sambil menatap sinis ke arah Arka. “Kita ini keluarga terpandang. Nama besar Wijaya Group tidak bisa sembarangan disatukan dengan seseorang yang bahkan tak punya asal-usul.”

Melati, istri Gunawan, ikut menimpali, “Laras itu pantas mendapatkan seseorang yang setara. Lihat anak kita, Rafael. Baru saja menyelesaikan S2 di Inggris, tampan, cerdas, dan jelas darah Wijaya. Mengapa bukan dia saja yang dijodohkan dengan Laras?”

Bisik-bisik yang sempat mereda kembali menguat. Nama Rafael disebut-sebut sebagai cucu kebanggaan yang sering dipamerkan ke kolega bisnis.

Sementara itu, Laras duduk membeku di tempatnya. Ia bisa merasakan ketegangan dari setiap sudut ruangan. Semua seperti menekan dirinya dan lelaki itu.

Arka masih berdiri tegap. Sorot matanya tenang, seolah tidak terpengaruh oleh hinaan yang dilontarkan ke arahnya.

“Aku tidak punya keluarga,” jawabnya datar. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membungkam semua pembicaraan. “Dan aku tidak datang ke sini untuk menjelaskan siapa aku. Aku datang karena Tuan Wijaya memintaku.”

Kalimatnya sederhana, namun cukup untuk membuat beberapa orang menelan ludah.

Tuan Wijaya menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya menyatukan jari-jemari dengan tenang. “Cukup!” ucapnya singkat.

“Tapi...” Melati masih ingin protes, namun kali ini tatapan tajam Tuan Wijaya membuatnya bungkam.

Laras menatap Arka sekali lagi. Jantungnya masih berdebar tidak karuan. Pemuda itu terlalu misterius.

Dan saat tatapan mereka kembali bertemu, untuk sepersekian detik, Laras melihat senyum kecil yang sangat samar. Begitu halus dan cepat, hingga ia sendiri tak yakin apakah itu nyata atau hanya perasaannya saja.

“Mulai hari ini, Arka akan tinggal di rumah paviliun belakang,” ujar Tuan Wijaya. “Dalam satu bulan pernikahan akan diadakan!”

Kalimat itu adalah akhir dari segalanya. Tak ada yang bisa menentang.

Laras hanya bisa menatap meja di depannya. Hatinya berkecamuk. Dia tidak mengenal lelaki itu. Tapi seperti ada sesuatu yang membuatnya merasa familiar.

Satu persatu orang yang ada di sana mulai meninggalkan ruangan. Hanya menyisakan Arka dan tuan Wijaya di sana.

“Sebaiknya kita mengobrol di ruanganku.” Ucap tuan wijaya,kini dengan suara yang lebih lembut.

Awal Dari Penantian

Langkah kaki Arka terdengar pelan menyusuri koridor panjang yang menghubungkan ruang utama dengan ruang kerja Tuan Wijaya. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan tua dan foto-foto keluarga.

Arka melangkah masuk. Langkahnya tidak terburu-buru, tapi pasti. Begitu pelayan menutup pintu, suasana mendadak sunyi. Sunyi yang aneh.

Tuan Wijaya mempersilakan Arka duduk di kursi kulit cokelat di seberang meja besar dari kayu jati. Lampu gantung di atas mereka tidak terlalu terang, menciptakan suasana yang lebih tenang dan pribadi.

“Jujur aku masih tidak percaya...” Tuan Wijaya mengawali pembicaraan. Memecah keheningan di antara mereka. “Kenapa Laras? Kenapa Cucuku yang bahkan tidak tau siapa dirimu?” Ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Kekhawatiran akan masa depan cucunya, juga keluarganya.

Dia tahu sosok seperti apa Arka. Seseorang yang bahkan keluarganya sendiri tidak bisa dibandingkan dengannya.

Sebelumnya Tuan Wijaya tidak pernah mengira akan ada hari dimana dia didatangi secara langsung oleh sosok yang sangat berpengaruh di dunia. Dan lebih dari itu, dia meminta laras, cucu kesayangannya untuk dijadikannya istri.

Tuan Wijaya menatap wajah Arka dalam-dalam. Tatapannya bukan lagi milik kepala keluarga Wijaya yang ditakuti banyak orang. Tapi seorang pria tua yang duduk di hadapan kekuatan yang jauh melebihi genggaman tangannya.

 Arka bersandar sedikit, kedua tangannya menyatu di atas paha. Sorot matanya tetap tenang, suaranya pelan tapi jelas, seperti suara air yang mengalir di antara batu-batu.

“Karena dia satu-satunya yang pernah melihatku sebagai manusia.”

Tuan Wijaya terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi mengandung luka. Atau mungkin… kenangan yang belum pernah ia bayangkan datang dari sosok seperti Arka.

“Waktu itu aku bukan siapa-siapa. Tidak punya nama, tidak punya rumah, bahkan tak pantas disebut anak manusia. Tapi dia…” Arka menunduk sesaat, lalu mengangkat kepala. “Dia datang membawa roti yang bahkan dia sendiri belum tentu kenyang kalau memakannya. Tapi dia memberikannya padaku.”

Tuan Wijaya menarik napas perlahan. “Dan kamu ingin membalasnya dengan pernikahan?”

“Tidak,” jawab Arka cepat. “Aku ingin melindunginya. Bukan karena dia lemah.” Arka sedikit memejamkan matanya, membiarkan kepalanya bersandar pada kursi. “Mungkin aku benar-benar ingin memilikinya.”

Ruangan kembali sunyi. Detik jam di dinding kembali terdengar.

“Baik, aku mengerti,” ujar Tuan Wijaya akhirnya, suaranya lebih dalam, nyaris seperti bisikan. “Tapi kau harus tahu, Arka… menyakiti cucuku bukan hal sepele. Aku rela melawan siapa pun demi dia, bahkan jika itu adalah kamu.”

Arka tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Tapi senyumnya bukan senyum ramah. Ada kesedihan dan ironi di dalamnya.

“Aku sudah melawan seluruh dunia, Tuan Wijaya. Tapi kali ini… aku akan berdiri di sisinya. Bukan untuk berperang, tapi untuk tinggal.”

Tuan Wijaya mengangguk pelan. Sorot matanya berubah menjadi sayu. Entah karena kagum, takut, atau mungkin... lega.

“Kalau begitu, aku titipkan Laras padamu. Anggap rumah ini layaknya rumahmu sendiri.”

Arka menatap sekeliling ruangan. Dinding-dinding tua itu seolah menyimpan sejarah yang panjang.

“Terima kasih,” katanya pendek.

Sebuah percakapan pendek. Tapi dunia di antara mereka bergeser.

Dan di luar, malam semakin larut. Tapi bagi Arka, inilah awal dari semua penantian yang ia tunggu-tunggu  selama bertahun-tahun.

Sebuah awal untuk membayar utang… pada seorang gadis kecil dengan senyum paling tulus yang pernah ia lihat di dunia yang penuh kebencian.

______

Sementara itu, di lantai atas rumah besar keluarga Wijaya, Laras terbaring menyamping di atas ranjangnya yang luas. Selimut tipis menutupi kakinya, dan di pelukannya ada boneka beruang cokelat besar.

Laras memeluk boneka itu erat-erat, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang putih bersih. Lampu gantung kecil menyala lembut, cukup untuk mengusir gelap, tapi tak mampu menghapus kekusutan pikirannya.

“Uhhhh, kenapa kakek tiba-tiba jodohin aku dengan orang asing sih.” Bagaimana pun laras berpikir dia tidak bisa menemukan jawabannya.

“Terus nanti aku harus ngomong apa ke temen-temen...” Laras mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar tidak habis pikir.

Dan sekarang, Laras tak bisa tidur. Dadanya terasa sesak oleh pertanyaan yang tak berjawab. Bukan karena dia marah, atau membenci keputusan itu. Hanya saja... semuanya terlalu cepat, terlalu sunyi, terlalu asing.

Matanya menatap keluar jendela. Di luar, malam telah larut. Hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi kaca jendela dan memantulkan cahaya dari taman belakang.

“Aku bahkan belum tahu siapa dia,” ucapnya lagi, lirih.

Boneka beruang itu dipeluk lebih erat, seolah bisa memberinya jawaban.

Laras tak pernah menyangka hidupnya akan berubah seperti ini. Dia bukan gadis yang suka berpesta, bukan juga tipe yang haus popularitas. Di kampus pun dia cenderung diam, hanya memiliki beberapa teman dekat, dan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan atau membantu kegiatan sosial kecil yang disukainya.

Dia tumbuh dalam keluarga terpandang, Namun hatinya selalu merindukan kesederhanaan. Dunia yang tidak penuh dengan aturan, tuntutan, dan sorotan.

Sementara pikirannya masih berkecamuk, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dua kali.

“Laras...” Suara lembut terdengar dari balik pintu. “Boleh Mamah masuk?”

Laras buru-buru duduk di atas ranjang. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menyembunyikan kekalutan di wajahnya sebisa mungkin.

“Iya, Mah... Masuk aja,” jawabnya pelan.

Pintu terbuka perlahan. Ratna, melangkah masuk dengan gaun tidur panjang berwarna lembut, rambutnya terikat longgar. Wajahnya terlihat cemas, tapi tetap menyimpan kelembutan khas seorang ibu yang tahu anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Ratna duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Laras lembut.

“Kamu belum tidur?”

Laras hanya menggeleng. “Nggak bisa... terlalu banyak yang muter di kepala.”

Ratna menghela napas. “Mamah juga.” Tangan halusnya merapikan helai rambut di pipi laras.

“Maaf ya, Nak...” Ratna menggenggam tangan Laras. “Mamah benar-benar tidak tahu tentang rencana kakekmu. Sama sekali nggak dikasih kabar.”

Laras hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi genggaman ibunya membuatnya sedikit tenang. Meski tak ada jawaban pasti, setidaknya dia tidak sendirian.

“Apa Mamah... nggak setuju?” tanyanya akhirnya, pelan dan ragu.

Ratna menarik napas dalam. “Bukan masalah setuju atau nggak. Mamah Cuma... takut. Kamu masih muda, Laras. Masih banyak hal yang belum kamu alami. Dan tiba-tiba kamu harus menikah dengan seseorang yang bahkan kamu nggak kenal.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi Ratna menahannya.

“Tapi Mamah juga tahu... kalau Ayahmu tidak akan bisa melawan keputusan Kakek. Di keluarga ini, keputusan tertinggi Cuma satu.” Nada suaranya melemah.

Laras mengalihkan pandangan ke jendela. Hujan masih turun rintik-rintik. Di luar sana, lampu taman berkedip pelan tertutup kabut tipis.

“Mah... tadi aku lihat matanya...” ucap Laras tiba-tiba.

“Mata siapa?”

“Arka.”

Ratna diam.

Laras melanjutkan, suaranya pelan. “Entah kenapa... matanya dingin, tapi... aku ngerasa pernah lihat tatapan kayak gitu. Bukan persis orangnya. Tapi rasa di dalamnya kayak hangat... tapi dingin. Arghh aku juga bingung...”

Ratna memandangi anaknya dengan raut bingung. Tapi dia tidak menertawakan. Dia tahu firasat Laras bukan hal sepele. Sejak kecil anak itu memang peka terhadap sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

“Mungkin itu sebabnya kamu nggak langsung menolak, ya?” tanya Ratna pelan.

Laras menggigit bibir bawahnya. “Aku... bingung, Mah. Aku takut, tapi juga penasaran.”

Ratna menghela napas, lalu mencium kening putrinya.

“Mamah tahu kamu gadis yang kuat, Laras. Nanti mamah coba ngomong lagi ama kakek yah.”

Laras mengangguk pelan.

“Mah... kalau suatu hari aku harus memilih... dan aku milih sendiri jalan hidupku... Mamah bakal marah?”

Ratna tersenyum lembut. “Mamah Cuma ingin kamu bahagia. Bukan hidup buat menyenangkan keluarga ini.”

Malam itu, Laras tidur dengan dada yang masih berat, tapi sedikit lebih hangat.

________

Dan di luar sana, di paviliun kecil di belakang rumah utama yang kini jadi tempat tinggal Arka, pemuda itu duduk sendiri di kursi kayu dekat jendela. Tangan kirinya memegang sebuah kalung kecil berbentuk bintang  hitam yang sudah sedikit berkarat.

Matanya menatap keluar, ke arah jendela kamar Laras yang samar terlihat dari kejauhan.

“Waktu itu... kamu satu-satunya cahaya,” bisiknya lirih. “Dan kali ini, aku akan pastikan tidak ada yang bisa meredupkan mu lagi.”

 

Pagi Yang Gelisah

Pagi datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menembus tirai tipis kamar Laras. Udara masih dingin sisa hujan semalam, menyisakan embun di jendela dan aroma tanah basah yang menyegarkan.

Laras membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit sejenak, lalu duduk. Kepalanya masih terasa berat. Kegelisahan semalam belum juga pergi. Ia menoleh ke boneka beruangnya, mengelus kepalanya pelan.

 “Uh... Hari ini  ada kuis ekonomi lagi... terus makalah filsafat juga belum kelar,” gumamnya lirih. Rasanya dia tidak ingin melakukan apa-apa.

Ia memeluk lututnya, mencoba meredam gelisah yang sejak semalam membebani dadanya. Jantungnya masih berdebar tanpa alasan jelas. Dia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Dengan enggan, ia pun bangkit dari tempat tidur. Kakinya menapaki lantai dingin, membuatnya meringis kecil. Ia berjalan menuju kamar mandi, membuka pintu sambil menghembuskan napas dalam-dalam.

“Ayo, Laras... Jangan lemah. Kamu harus semangat” Ucapnya, sembari menepuk kedua pipinya pelan. Mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Sementara itu di ruang makan utama, keluarga besar Wijaya sudah berkumpul. Ayah Laras duduk dengan sikap tegas, sementara Ratna di sampingnya, terlihat lebih tenang dibanding semalam.

Sebagian besar kerabat yang lain sudah tidak terlihat. Kebanyakan dari mereka tidak tinggal di rumah utama bahkan banyak dari mereka tinggal di luar kota. Hanya beberapa orang yang masih tinggal termasuk Tante Melati dan Tante Mira yang sejak semalam menunjukkan ketidak sukaan nya kepada Arka secara terang-terangan.

Laras turun perlahan dari tangga, mengenakan dress putih sederhana dan cardigan abu-abu yang menambah kesan hangat. Rambutnya diikat setengah, menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di pipi. Wajahnya polos tanpa riasan, Namun kecantikannya yang alami tidak hilang sedikit pun.

Sesampainya di lantai bawah, ia menarik napas dalam-dalam. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum.

“Pagi, Semua.” Sapanya pelan.

“Pagi, Sayang.”  Jawab Ratna sambil tersenyum lembut.

Aditya hanya tersenyum hangat dan menganggukkan kepalanya.

Tante melati dan Tante Mira juga menjawab dengan sapaan manis. Namun tatapan dari keduanya terasa seperti jarum-jarum halus menusuk kulit Laras.

 “Kamu nggak takut, Ras?” Celetuk Tante Mira dengan nada setengah mencemooh. “Tiba-tiba dijodohin sama laki-laki yang bahkan kita nggak tahu asal usulnya.”

 “Dia bahkan bukan siapa-siapa, asal-usulnya aja gak jelas.” gumam Tante Mira, cukup keras untuk didengar semua orang. “Keluarga kita ini harusnya lebih selektif...”

“Aku juga gak nyangka banget, Kak Laras bakal tiba-tiba dijodohin begini. Apalagi dengan orang asing. Yah walau pun wajahnya emang tampan sih.” Rasta, sepupu Laras ikut menggoda. Dia merupakan anak kedua dari Melati. Umurnya hanya berjarak satu tahun dengan Laras.

Aditya yang sedari tadi hanya diam mengetuk meja pelan. “Cukup. Bukankah ini masih terlalu pagi buat perbincangan yang gak perlu?”

Seketika suasana hening. Tapi ketegangan masih terasa menggantung.

Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang. Semua kepala menoleh.

Arka masuk.

Ia mengenakan kaos putih polos dan celana hitam sederhana. Tidak ada merek mewah, tidak ada jam tangan mahal. Tapi caranya berjalan...tenang, tegap, dan penuh percaya diri. Membuat ruangan yang tadi ribut menjadi hening seketika.

Laras menahan napas. Ini pertama kalinya dia melihat Arka dari dekat di siang hari. Jantungnya kembali berdebar, tanpa alasan yang ia pahami.

Arka menghampiri kursi kosong di ujung meja, tanpa melihat siapa pun terlalu lama. Namun ketika pandangannya bertemu mata Laras, dia berhenti sejenak. Tatapannya penuh kehangatan. Berbeda dengan tatapan malam sebelumnya.

“Selamat pagi,” ucap Arka pelan. Suaranya tak meninggi, tapi cukup jelas terdengar ke seluruh ruangan.

“Pagi,” jawab Aditya kaku.

Melati melipat tangan di dada. Matanya menelisik dengan tajam. Tampak tidak nyaman dengan kehadiran Arka. Menurutnya laki-laki itu terlalu tidak sopan dengan seenaknya bergabung bersama mereka.

Emangnya kamu siapa? Seenaknya duduk di sini! Pikirnya.

 “Jadi, sekarang kamu tinggal di paviliun belakang? Enak banget yah bisa numpang gratis.” Celetuknya dengan nada sinis.

“Iya, semua berkat Tuan Wijaya.” Jawab Arka singkat. Sebenarnya dia terlalu malas untuk menjawab. Dia mengambil sepotong roti, mengolesinya dengan mentega. Berusaha tidak memperdulikan  cemoohan yang diarahkan padanya.

“Namamu Arka kan? Kalau boleh tau keluarga kamu berasal dari mana?”  Kali ini giliran Tante Mira yang bertanya. Dia juga sangat penasaran dengan asal-usul Arka.

Kali ini Arka terdiam cukup lama. Menatap sekitarnya, sebelum dengan tenang menjawab.

“Aku udah gak punya keluarga.”

“Apa? Gak punya Keluarga? Jadi asal-usul kamu gak jelas?” Kali ini Tante Melati tidak bisa menahan diri. Wajah kesalnya tidak lagi bisa disembunyikan. “Astaga... Apa sih yang ayah pikirkan dari orang seperti kamu?” Lanjutnya.

Sebelum Arka sempat membalas, Laras sudah terlebih dahulu berdiri.

“Tante, bukankah itu sudah berlebihan?”

Semua mata langsung tertuju pada Laras. Suaranya memang tidak keras, tapi nadanya cukup tegas, jauh dari sikap biasanya yang lembut dan penurut.

 Laras sendiri terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia menggenggam ujung cardigan-nya erat-erat, mencoba menenangkan detak jantung yang makin tidak beraturan.

"Aku... aku cuma merasa ini nggak adil," lanjutnya, lebih pelan. "Baru satu hari, dan kalian semua sudah menilai dia seolah-olah tahu segalanya."

Ia mengalihkan pandangannya ke arah Arka yang masih duduk tenang, tanpa ekspresi. Tapi justru ketenangan itulah yang membuatnya makin tidak tenang. Ada sesuatu dalam tatapan Arka yang membuatnya ingin bicara. Entah apa. Ia tidak tahu.

"Aku juga belum mengenalnya," lanjut Laras. "Tapi bukan berarti kita bisa bicara seenaknya.”

Hening sesaat. Bahkan suara burung dari taman belakang pun terasa lebih nyaring daripada ruang makan itu sekarang.

Melati mendesah, tapi tidak berkata apa-apa.

Tante Mira mendecak pelan. “Laras, kamu terlalu lugu. Ini semua demi kebaikan kamu.”

Mendengar itu, Laras menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih. Lebih karena... marah. Pada dirinya sendiri yang tidak bisa memahami semua ini. Marah karena perasaannya campur aduk sejak semalam. Dan marah karena orang-orang terdekatnya membuat pagi itu terasa seperti medan perang yang dingin.

“Sudah, sudah. Tidak ada baiknya pagi-pagi ribut begini.” Aditya mencoba menenangkan. Dia sedari tadi hanya diam, karena bingung harus bersikap seperti apa.

Ratna menggenggam tangan laras lembut. Dia berusaha menenangkan anaknya. Mengajaknya duduk kembali melanjutkan sarapan.

Laras perlahan duduk kembali, tapi tubuhnya terasa kaku. Sendok di depan piringnya hanya disentuh sebentar lalu diletakkan lagi. Nafsu makannya hilang.

Arka masih tenang seperti semula, seolah cemoohan tadi hanya angin lalu. Tapi tanpa bicara pun, keberadaannya cukup membuat seluruh ruangan seperti dipenuhi pertanyaan siapa dia sebenarnya, dan kenapa dia rasanya tidak terusik sama sekali?

“Terima kasih, Laras,” ucap Arka tiba-tiba, pelan.

Laras menoleh, nyaris refleks. Tapi Arka tidak menatapnya. Ia hanya berkata sambil menyesap teh hangat di tangannya, dengan sikap biasa saja, seolah ucapan itu hanya untuk dirinya sendiri.

Dan entah kenapa... kalimat sederhana itu justru membuat dada Laras terasa makin penuh.

Ia tidak menjawab. Tapi diam-diam, genggaman di pangkuannya mengendur.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Laras merasa  sesuatu dalam hidupnya sedang bergeser pelan-pelan.

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!