NovelToon NovelToon

Asmaraloka

1. Asmaraloka-Studi tour

Kelas 7A

Pagi itu suasana halaman sekolah penuh dengan keramaian. Siswa-siswi kelas 7A sedang bersiap untuk perjalanan studi tour ke Desa Asmaraloka. Di bawah sinar matahari pagi yang hangat, Bu Meli berdiri di depan barisan, memegang daftar nama dengan clipboard di tangannya.

Setelah selesai membacakan daftar tempat duduk di bus, ia melanjutkan dengan suara tegas namun penuh kehangatan, "Baik, anak-anak, sekarang tolong berbaris dulu ya. Saya akan absen."

Anak-anak segera berbaris sesuai arahan, beberapa terlihat antusias, sementara yang lain tampak masih mengantuk. Setelah selesai memanggil nama-nama siswa, Bu Meli menatap mereka dan berkata, "Ada pertanyaan sebelum kita naik ke bus?"

Keheningan menyelimuti sesaat, hingga tiba-tiba Romeo, dengan wajah polos namun sedikit jahil, mengangkat tangannya.

"Buk!" katanya dengan suara lantang yang langsung menarik perhatian semua orang, "ini sekalian kan satu kamar sama dia?"

Tangan Romeo menunjuk ke arah Tina, yang berdiri tidak jauh darinya. Semua mata langsung tertuju pada Tina.

Sejenak, suasana menjadi hening. Namun, detik berikutnya, tawa meledak di antara para siswa. Beberapa bahkan tertawa sambil memegang perut mereka. Tina, yang awalnya terpaku, kini menatap Romeo dengan mata membelalak. Wajahnya merona merah, campuran antara malu dan kesal.

"Romeo! Apaan sih kamu!" gerutu Tina dengan suara tertahan.

Bu Meli, yang juga berusaha keras menahan tawa, akhirnya menjawab dengan nada sabar, "Romeo, yang sekamar itu nanti dibagi sesuai jenis kelamin, ya. Kamu hanya duduk satu tempat di bus, bukan satu kamar."

Romeo mengangguk dengan senyum penuh kemenangan, sementara teman-teman mereka masih belum bisa berhenti tertawa. Tina menundukkan wajahnya, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Dalam hati ia bergumam, Tunggu saja, Romeo. Kamu nggak akan lolos dari balasanku nanti.

Di sisi lain, Romeo hanya berdiri santai, memasukkan kedua tangannya ke saku sambil tersenyum jahil. Baginya, membuat Tina kesal adalah hiburan pagi yang sempurna.

Tina, yang sejak awal sudah gelisah dengan pengaturan tempat duduk, melangkah masuk ke bus dengan raut wajah penuh keluhan. Ia langsung mencari sahabatnya, Dinar, yang sudah duduk nyaman di samping Danan.

"Dinar, gue nggak mau duduk sama Romeo," rengeknya, nyaris putus asa.

Dinar hanya mengangkat bahu santai. "Terus gue gimana? Gue duduknya sama Danan."

Tina mendesah frustrasi. "Mending Danan daripada Romeo."

Danan, yang mendengar percakapan itu, menoleh dengan senyum jahil. "Lagian cuma duduk di bus, Na. Nanti kan sekamar sama Dinar, bukan Romeo." Sebelum Tina sempat membalas, suara Romeo terdengar dari depan bus.

"Agus, ayo cepetan!" Romeo melangkah ke arah Tina, menarik tangannya dengan santai.

"Denger ya, lo duduk di samping gue, bukan di pangkuan gue," ujarnya sambil menyeringai jahil.

Tina mendengus kesal, tapi tak bisa menahan senyum tipis yang mulai muncul di wajahnya. Dinar dan Danan, yang melihat interaksi itu dari belakang, saling bertukar pandang.

"Liat nggak sih?" bisik Danan pelan. "Kayaknya Romeo suka sama Tina."

Dinar mengangguk sambil tersenyum kecil. "Kayaknya sih gitu."

Keduanya tertawa kecil, mengamati tingkah Romeo dan Tina yang seperti kucing dan anjing tapi diam-diam lucu. Di kursi nomor 3, Romeo sudah duduk dengan santai, sementara Tina masih berdiri canggung di sampingnya.

"Lo mau dekat jendela?" tanya Romeo dengan nada datar.

Tina mengangguk pelan, merasa tak ada pilihan lain.

"Yaudah, sana. Gue mau tidur," ucap Romeo sambil menutup matanya.

Tina duduk dengan hati-hati di dekat jendela, berharap perjalanan ini tidak terlalu aneh. Tapi beberapa menit kemudian, ia mulai bosan dan menggoyangkan bahu Romeo.

"Romeo, jangan tidur," katanya sambil tersenyum nakal.

Romeo membuka matanya, menatap Tina tajam dengan wajah setengah mengantuk. "Apaan sih, Agus? Gue mau tidur."

Tina malah tertawa kecil, menikmati ekspresi kesal Romeo.

Sepanjang perjalanan, Tina terus mengoceh tentang hal-hal kecil—pemandangan di luar, rencana selama di Desa Asmaraloka, bahkan tentang teman-teman sekelas mereka. Romeo, yang awalnya mencoba tidak peduli, hanya bisa menghela napas panjang.

"Aduh, Agus, lo ini nggak capek ngomong ya?" keluh Romeo sambil menutup telinganya dengan tangan.

Tina malah tertawa makin keras. Dalam hati, ia merasa perjalanan ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan. Sementara Romeo, meski terlihat kesal, diam-diam tersenyum kecil mendengar ocehan Tina yang tanpa henti.

"Lo itu nggak capek apa ngomong mulu?" keluh Romeo sambil memijat pelipisnya.

Tina, dengan senyuman kecil di wajahnya, menjawab pelan, "Enggak."

Romeo menghela napas panjang, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mulai menghinggapi dirinya. Tapi di tengah-tengah ocehan Tina yang tiada henti, perutnya mulai berbunyi pelan, tanda lapar yang tak bisa ditahan lagi. Ia menatap Tina yang masih asyik bicara tanpa jeda.

"Mau makan nggak?" tanya Romeo sambil merogoh tasnya, mencari snack yang ia bawa.

Tina menggeleng cepat. "Enggak, gue masih kenyang."

Romeo memutar bola matanya, tak percaya. "Lo beneran nggak lapar? Perjalanan kita masih jauh, lho. Ntar lo pingsan gue yang repot."

Tina terkikik kecil mendengar omelan Romeo. "Santai aja, gue nggak selemah itu."

Namun, Romeo, yang tak mau mendengar alasan lebih lanjut, langsung menyodorkan bungkus snack ke tangan Tina. "Udah, makan aja. Lo ini kebanyakan ngomong, energi lo harus diisi ulang."

Tina mendesah, tapi menerima snack itu juga. "Ih, maksa banget sih."

Romeo hanya mengangkat bahu sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Gue nggak mau ada drama lo kelaparan terus pingsan di tengah jalan. Jadi makan aja."

Tina, sambil membuka bungkus snack itu, melirik Romeo dengan senyum kecil. "Lo perhatian juga ya."

"Jangan ge-er dulu, Agus," balas Romeo dengan nada datar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang ia coba sembunyikan.

Sambil mengunyah snack-nya, Tina merasa perjalanan ini mulai terasa lebih menyenangkan. Di sisi lain, Romeo menatap ke luar jendela, berharap perjalanannya dengan Tina tak akan terlalu merepotkan—meskipun, dalam hatinya, ia mulai menikmati celotehan gadis itu.

Setelah beberapa jam perjalanan yang penuh dengan celotehan Tina dan keluhan kecil Romeo, akhirnya bus berhenti di sebuah desa yang bernama Asmara Loka. Para siswa turun satu per satu, membawa barang-barang mereka, lalu berkumpul di depan sebuah gapura megah yang dihiasi bunga-bunga berwarna cerah.

Seorang pemandu dengan pakaian tradisional menyambut mereka dengan senyum hangat. "Selamat datang di Desa Asmara Loka! Sesuai dengan namanya, desa ini dikenal sebagai tempat mencari jodoh," ucapnya, memulai sambutan.

Para siswa langsung ramai berbisik-bisik, saling melirik satu sama lain, sementara beberapa guru tertawa kecil mendengar pernyataan itu.

Pemandu melanjutkan, "Menurut kepercayaan kami, siapa pun yang melewati gapura ini dan ada bunga yang jatuh dari atas, itu pertanda dia akan bertemu dengan jodohnya. Dan kalau kalian tersandung tali asmara—yang tak terlihat—dan bertabrakan dengan seseorang, itu tandanya dia mungkin jodoh kalian."

Sontak, suasana menjadi riuh. Beberapa siswa mulai bercanda dengan teman sebangkunya, ada juga yang pura-pura menghindari gapura.

Romeo, yang mendengar penjelasan itu, melirik Tina di sampingnya. Ia menahan senyumnya lalu berbisik pelan, "Ayo, kita di barisan paling belakang aja."

Tina mengerutkan alis, merasa bingung. "Kenapa harus di belakang?" tanyanya, mengikuti langkah Romeo tanpa sadar.

"Ya siapa tau beneran ada bunga jatuh, kan," jawab Romeo sambil menahan tawa. "Lo nggak mau, kan, tiba-tiba gue jadi jodoh lo gara-gara bunga jatuh?"

Tina memutar bola matanya sambil tersenyum kecil. "Gue lebih takut lo tersandung tali asmara itu terus nabrak gue. Bayangin aja, betapa ribetnya hidup gue nanti."

Romeo tertawa pelan. "Santai aja, Agus. Kalau beneran ada bunga jatuh, mungkin itu pertanda lo harus lebih banyak diem."

Tina mendengus. "Kalau beneran bunga jatuh buat lo, itu artinya lo harus berhenti nyebelin."

Mereka berdua tertawa kecil, sementara teman-teman mereka mulai memasuki gapura satu per satu, berharap atau takut bunga di atas benar-benar jatuh.

Tina tak bisa melepaskan pandangannya dari pemandangan di sebelah kiri desa. Hutan yang rindang terlihat seperti memiliki kehidupan sendiri. Di kejauhan, dia melihat beberapa orang berpakaian seperti bangsawan, menunggang kuda dengan gerakan anggun.

"Siang bolong begini kok bisa ada yang kayak gitu? Hantu, apa gimana?"pikir Tina, merasa bulu kuduknya meremang. Dia memperlambat langkah, matanya terus mengamati, mencoba memastikan apa yang dilihatnya itu nyata atau hanya imajinasinya.

Romeo, yang menyadari Tina tertinggal, berhenti dan menoleh. "Agus, ngapain lo diem di situ?" tanyanya, sebelum berjalan mendekat. Ia meraih tangan Tina tanpa pikir panjang dan menariknya. "Ayo, jangan kepo, nanti ketinggalan sama yang lain!"

Tina, masih terpaku pada pemandangan di hutan, akhirnya menyerah dan mengikuti langkah Romeo. "Lo nggak lihat tadi? Mereka kayak..."

"Kayak apa? Drama sejarah?" potong Romeo, setengah bercanda. "Udahlah, itu paling figuran buat turis."

...****************...

Sambil berbincang, mereka berjalan melewati gapura desa yang dihiasi bunga-bunga menggantung. Tanpa sadar, langkah mereka tiba-tiba terhenti bersamaan. Kaki mereka seperti tersandung sesuatu yang tak terlihat.

"Eh, apa ini?" seru Tina, kehilangan keseimbangan.

Romeo mencoba menahan Tina, tapi justru mereka berdua terjatuh ke tanah, tersungkur dengan posisi yang konyol. Seketika, bunga-bunga kecil mulai berjatuhan dari atas, melayang-layang di sekitar mereka seperti adegan dalam film.

Tina menatap ke atas dengan mulut ternganga, lalu menoleh ke Romeo yang sudah bangkit sambil membersihkan pakaiannya. "Ini beneran terjadi? Apa kita baru aja..."

Belum selesai Tina berbicara, salah satu teman mereka berseru dari kejauhan. "Woi! Ada bunga jatuh tuh! Wah, kalian jodoh!"

Gelak tawa pun pecah di antara siswa lain yang melihat kejadian itu. Romeo, yang awalnya ingin tetap tenang, akhirnya tersenyum jahil. Dia membungkuk untuk membantu Tina berdiri, lalu berkata dengan nada menggoda, "Yah, kayaknya tali asmara nggak bohong, Agus."

Seketika, wajah Tina berubah serupa tomat matang. "Lo mimpi kali, Romeo!" balasnya, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Namun, semakin dia menyangkal, semakin teman-temannya bersorak dan menggoda. Romeo hanya tertawa kecil, menikmati situasi canggung itu. "Gue sih santai. Kalau beneran jodoh, ya nggak apa-apa," katanya sambil mengedipkan mata, membuat Tina semakin salah tingkah.

2. Kutukan dimulai

Romeo, dengan senyum jahil di wajahnya, memonyongkan bibirnya ke arah Tina. "Muach," candanya sambil menahan tawa.

Tina yang sudah kesal, langsung mencubit hidung mancung Romeo. "Romeo! Jangan bercandaaaa..." serunya dengan nada penuh keluhan. "Liat nih, kaki gue memar," tambahnya sambil menunjuk lututnya yang terlihat memerah.

Romeo menatap lutut Tina sebentar, lalu menghela napas panjang. "Dasar Agus, dramatis!" gumamnya, meski nada suaranya lebih lembut kali ini. "Yaudah, sini gue bantu."

Sebelum Tina sempat membalas, Romeo tiba-tiba membelakanginya lalu membungkuk, "Cepetan Gus, atau Lo gue tinggal?"

Tina yang tadi terduduk di tanah ia mulai berdiri walaupun memarnya tidak begitu besar tapi itu lumayan perih.

"Eh! Gue masih bisa jalan!" protes Tina, wajahnya memerah.

"Gak percaya!" jawab Romeo dengan nada lembut.

Dengan terpaksa Tina menerima bantuannya. Suara sorakan dari teman-temannya membuatnya lebih malu. Dinar dan Danan menghampiri Tina.

"Udah diem aja," jawab Romeo sambil terus berjalan menuju arah Bu Meli. "Kita cari Bu Guru trus minta P3K. Lo kan nggak bisa diem kalau nggak diurus."

Tina hanya bisa terdiam, terkejut dengan sikap Romeo yang mendadak perhatian. Meskipun hatinya sedikit terenyuh, dia tetap memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.

Di belakang mereka, teman-teman yang melihat kejadian itu hanya tertawa dan menggoda, menambah rasa malu Tina. Tapi Romeo tampak santai, seolah tidak peduli dengan keributan kecil yang mereka buat. "Pegangan yang bener, Agus. Jangan sampai jatuh lagi," katanya sambil melirik Tina dengan senyum kecil.

Tina, yang akhirnya menyerah, hanya bisa bergumam pelan, "Iya, makasih."

...****************...

Sebenarnya Tina dan Romeo tidak pernah dekat, mereka hanya teman sekelas. Hanya saja mereka bicara kalau ada perlu, tetapi ia tak menyangka kalau ini terjadi.

Lapangan desa Asmara Loka dipenuhi tenda-tenda kecil dan tikar yang sudah disiapkan untuk siswa duduk santai menikmati pertunjukan nanti malam. Sebelum acara dimulai, semua siswa diminta bertukar makanan dan camilan yang mereka bawa untuk dimakan bersama-sama.

Romeo, yang terlihat lapar sejak perjalanan, dengan sigap mengeluarkan semua camilan dari tasnya. "Romeo, jangan semuanya dikeluarin, satu aja dulu," tegur Tina sambil terkekeh melihat antusiasme cowok itu.

"Kenapa? Gue lapar, tau!" protes Romeo, meskipun akhirnya ia menuruti kata Tina dan menyimpan sebagian camilannya.

Tina mengeluarkan sepotong roti bakar dan dua kotak jus buah dari tasnya. "Nih, cukup kan?" katanya sambil menyerahkan makanan itu ke Romeo.

Romeo menerima makanan itu dengan senyum lebar. "Lumayan lah," jawabnya, sambil mulai makan. Sementara itu, Tina kembali melanjutkan kebiasaannya mengoceh tentang hutan misterius yang mereka lewati tadi dan cerita legenda Desa Asmara Loka yang ia temukan di internet.

Romeo mendengarkannya sambil terus mengunyah. "Daripada gue larang dia ngoceh, mending gue diem aja," pikirnya sambil tersenyum kecil tanpa sepengetahuan Tina.

Tak lama kemudian, Bu Meli datang sambil membawa kotak P3K. "Tina, Romeo, ini kotak P3K-nya. Silakan diobati ya, Tina," katanya dengan lembut.

Romeo langsung menyambar kotak itu dengan semangat. "Biar Romeo aja, Bu, yang obatin!" katanya sambil tersenyum lebar.

Bu Meli hanya tersenyum penuh arti, lalu berkata, "Baiklah, Bu Guru mau cek teman-teman yang lain dulu, ya." Ia pun meninggalkan mereka berdua di tikar.

Romeo membuka kotak P3K dan mulai membersihkan luka di lutut Tina dengan hati-hati. "Sakit gak?" tanyanya, memastikan Tina tidak merasa kesakitan.

Tina menggeleng pelan, meskipun ia sedikit meringis ketika perban ditempelkan. "Enggak, gak terlalu sakit. Makasih, Romeo," jawabnya pelan, menatap Romeo yang tampak serius mengobatinya.

Romeo hanya mengangguk kecil, tapi tak bisa menahan senyum tipis di wajahnya. "Udah selesai. Jangan banyak gerak biar gak makin luka."

Tina tersipu malu mendengar nada perhatian Romeo. "Iya, Romeo. Gue janji gak bakal jatuh lagi," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Romeo hanya tertawa kecil, "Bagus deh. Tapi kalau jatuh lagi, bilang aja. Gue kan sedia buat nolongin lo."

Tina hanya bisa tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.

Malam itu semakin dingin, tetapi suasana di lapangan desa Asmara Loka tetap meriah. Pertunjukan tari tradisional memukau semua siswa, dan sambutan dari kepala sekolah menambah semangat mereka. Namun, ketika acara selesai dan siswa mulai bersiap kembali ke tenda untuk istirahat, langit yang gelap membawa hawa yang sedikit berbeda.

Tina duduk bersandar di sudut tenda bersama Dinar. Kelelahan dari perjalanan panjang dan aktivitas seharian mulai terasa. "Na, gue ke toilet dulu ya," kata Dinar sebelum pergi bersama Tika, meninggalkan Tina sendirian.

Awalnya Tina menikmati waktu sendirinya, tapi perasaan aneh mulai merayap di hatinya. Seperti ada yang memperhatikannya dari kejauhan. Ia melirik sekeliling tenda, mencoba memastikan, namun tidak menemukan siapa pun.

Sementara itu, Romeo, yang berada di tenda sebelah, tengah sibuk merapikan barang-barangnya. Begitu selesai, ia berjalan ke arah tenda Tina dan melihatnya duduk termenung. "Lo udah beres-beres belum?" tanya Romeo, mendapati Tina yang hanya menggeleng pelan.

Tina tidak menjawab banyak. Ada hawa dingin yang membuatnya merasa tidak nyaman. Romeo mulai merasa ada yang aneh dengan ekspresi Tina.

Tiba-tiba, lampu di area tenda mati mendadak, meninggalkan semuanya dalam kegelapan total. Jeritan kecil terdengar dari beberapa siswa. Guru-guru bergegas menenangkan situasi dan menyalakan lilin untuk memberi sedikit penerangan.

Tina, yang sudah merasa tidak nyaman sebelumnya, menjadi sangat panik. Dalam kegelapan, ia tanpa sadar bergerak mendekati Romeo dan memeluknya erat. "Ahh! Romeo!" teriaknya sambil gemetar.

Meskipun Romeo terkejut, mencoba menenangkan Tina. "Eh, jangan takut. Gue di sini," katanya lembut, meskipun dalam hati dia juga merasa canggung.

Setelah beberapa detik, Tina menyadari bahwa ia masih memeluk Romeo. Cepat-cepat ia melepas pelukannya, wajahnya memerah karena malu. "Maaf, refleks," gumamnya pelan sambil menunduk, menghindari tatapan Romeo.

Romeo tersenyum kecil, mencoba mengurangi kecanggungan. "Gak apa-apa,Gue jagain kok, tenang," jawabnya sambil menepuk bahu Tina pelan, membuat Tina sedikit lebih tenang meskipun wajahnya masih panas karena malu.

Di luar tenda, lilin-lilin mulai menerangi suasana lagi, tetapi malam itu meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi Tina dan Romeo.

"Daaaaar"

Romeo semakin kesal dengan keisengan Jovan. "Van, jangan gitu napa sih?" gerutunya, menatap tajam ke arah Jovan. Namun, sebelum Jovan bisa menjawab, Tina tiba-tiba menatap ke belakang Jovan dengan mata penuh ketakutan. Wajahnya pucat, dan tanpa peringatan, ia berteriak histeris.

"Tina, kenapa?" tanya Romeo, tapi Tina sudah berlari keluar dari tenda, dikejar rasa takut yang tak bisa dijelaskan.

Romeo, panik melihat Tina berlari di tengah hujan yang mulai turun, segera mengejarnya. "Tina, tunggu!" teriak Romeo sambil berlari menyusul, diikuti Jovan dan dua teman mereka yang bingung dengan apa yang terjadi. Hujan semakin deras, membuat jalanan semakin licin dan gelap.

Mereka berlari di bawah hujan, terpisah dari kelompok. Sementara itu, wali kelas mulai panik karena beberapa siswa, termasuk Romeo dan Tina, tidak hadir saat pengecekan terakhir. Hujan deras memaksa guru-guru dan siswa lain untuk berlindung di dalam bus.

Beruntung, setelah berlari dalam kegelapan, Romeo akhirnya berhasil menemukan Tina yang sedang berdiri di bawah pohon besar, terengah-engah dan gemetar. "Tina!" panggilnya sambil berlari mendekat.

Tina menatap Romeo, air matanya bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. "Gue... gue takut banget, Rom," katanya dengan suara gemetar.

Romeo langsung memeluk Tina erat, berusaha menenangkannya di tengah hujan. "Gue di sini. Lo aman, jangan takut," bisiknya.

Setelah beberapa saat, mereka berjalan berdua kembali ke arah tempat parkir bus. Hujan semakin deras, namun mereka berhasil menemukan jalan.

Wali kelas yang panik akhirnya lega ketika melihat Romeo dan Tina, meskipun keduanya basah kuyup dan tampak lelah. "Kalian darimana saja? Cepat masuk ke bus!" perintah wali kelas, memastikan semuanya aman di dalam sebelum mereka berangkat menuju hotel.

3. Menuju Hotel

...****************...

Hujan deras terus mengguyur saat Romeo dan Tina masuk ke dalam bus dengan pakaian basah kuyup. Para siswa lain, yang sudah berlindung di dalam bus, memandang mereka dengan rasa ingin tahu bercampur kekhawatiran. Wali kelas memeriksa kondisi mereka dengan cepat sebelum akhirnya membiarkan mereka duduk dan menghangatkan diri.

Romeo dan Tina duduk di bangku paling belakang, masih terengah-engah setelah kejadian barusan. Tina membungkus dirinya dengan jaket yang diberikan Romeo, masih bergetar, bukan hanya karena dinginnya hujan tetapi juga karena rasa takut yang masih membayangi pikirannya.

Romeo menatap Tina dengan serius. "Tina, lo tadi kenapa sih? Gue nggak pernah lihat lo sekaget itu," tanyanya dengan nada lembut, mencoba membuat Tina lebih tenang.

Tina menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawab. Akhirnya, ia berkata pelan, "Gue nggak tau, Rom. Gue ngerasa ada sesuatu... di belakang Jovan. Gue nggak yakin itu nyata atau bukan, tapi... itu bikin gue takut banget."

Romeo menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang Tina alami. "Mungkin cuma bayangan atau refleksi cahaya, ya? Desa ini kan banyak cerita mistis, jangan-jangan itu cuma beban pikiran Lo aja." katanya mencoba menenangkan.

Tina hanya menggeleng pelan. "Enggak tau, Rom. Gue cuma nggak mau kejadian kayak tadi terulang lagi."

Melihat Tina yang masih pucat, Romeo mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Tina. "Lo nggak usah takut. Gue di sini buat jagain lo. Apa pun yang lo lihat, gue nggak bakal ninggalin lo sendirian," katanya dengan tulus.

Tina menatap Romeo dengan mata yang mulai sedikit tenang. "Makasih, Rom. Gue nggak tau apa yang bakal gue lakuin kalau lo nggak ada tadi," katanya lirih.

Perjalanan menuju hotel akhirnya dimulai lagi, dengan suasana di dalam bus yang mulai tenang. Namun, di tengah keramaian siswa lain yang sibuk mengobrol, Tina dan Romeo menyadari bahwa pengalaman barusan meninggalkan sesuatu yang tak terlupakan di hati mereka berdua.

"Jangan ceritain lagi Tina, kalau Lo gak siap dan masih takut." kata Romeo yang menenangkan Tina gadis itu mengangguk pelan. Dinar yang pindah ke tempat dan bertukar dengan Romeo.

 "Gue aja yang temenin dia." Romeo setuju dengan Dinar.

Romeo mengangguk, menyerahkan tempat duduknya kepada Dinar yang sudah menatap Tina dengan penuh perhatian. "Gue di depan aja, biar Dinar yang nemenin lo," kata Romeo pelan sebelum berdiri.

Tina menggenggam jaket Romeo erat-erat, seperti enggan melepas kehadirannya. Namun, ia tahu Dinar bisa menjadi teman yang tepat untuk menenangkannya. "Oke... makasih, Rom," jawab Tina dengan suara pelan, masih terdengar lelah.

Romeo tersenyum kecil, menepuk bahu Dinar. "Tolong jaga dia, Din. Gue di depan kalau ada apa-apa." Dinar mengangguk penuh keyakinan, lalu duduk di samping Tina.

...****************...

Setelah Romeo pergi ke kursi depan, Dinar langsung memandang Tina dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Lo kenapa sih, Tin? Kok sampai segitunya?" tanya Dinar, suaranya lembut, tak ingin membuat Tina semakin tertekan.

Tina menghela napas panjang, menatap keluar jendela yang dipenuhi tetesan hujan. "Gue nggak tau, Din. Gue cuma merasa ada sesuatu... di belakang Jovan tadi. Rasanya kayak bukan cuma bayangan atau halusinasi biasa," katanya dengan suara yang hampir berbisik.

Dinar mengangguk pelan, mencoba memahami situasi yang dialami temannya. "Udah, nggak usah dipikirin dulu, ya. Lo butuh istirahat. Kalau lo terus mikirin, nanti malah makin parah," ujarnya sambil meraih tangan Tina, mencoba memberi rasa tenang.

Tina mengangguk kecil, mengerti maksud Dinar meskipun hatinya masih diliputi rasa takut. Ia bersandar di kursi, mencoba mengosongkan pikirannya.

Sementara itu, Romeo yang duduk di depan hanya bisa mencuri pandang ke belakang sesekali, memastikan Tina baik-baik saja. Dalam hati, ia berharap kejadian tadi tidak meninggalkan bekas trauma yang mendalam bagi gadis itu.

Tina, yang mulai bisa mengendalikan dirinya setelah hampir sampai di hotel, akhirnya membuka mulut. "Tadi... tadi... gue lihat orang besar banget, serem banget, Naar. Gue beneran takut," ceritanya, suaranya gemetar, mengingat kejadian yang membuatnya berlari histeris.

Dinar mengerutkan kening, bingung. "Orang besar? Maksud lo apa?"

Sebelum Tina bisa menjelaskan lebih lanjut, Romeo datang dari kursi depannya dan menyerahkan handuk kecil kepada Tina. "Udah kalau gak bisa diceritain jangan dulu.Nih, Tina. Lo kedinginan," kata Romeo, suaranya lembut.

Tina menerima handuk itu dengan tangan yang masih gemetar, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. "Makasih, Rom," ucapnya sambil mengelap wajah dan tangannya yang basah.

Dinar menatap Romeo sejenak sebelum kembali ke Tina. "Mungkin lo kecapekan, Na, makanya lo jadi kayak gitu. Tapi gue di sini, tenang aja," kata Dinar sambil merangkul sahabatnya, mencoba menenangkan.

Romeo, yang juga masih khawatir, memandang Tina dengan serius. "Apa yang lo lihat tadi? Mungkin itu cuma bayangan atau efek dari lampu-lampu di desa tadi," tambahnya, mencoba memberikan logika di tengah-tengah rasa takut yang dirasakan Tina.

Namun, Tina hanya menggeleng pelan, masih merasa takut dengan sosok yang ia lihat. "Gue gak tau, Rom... tapi tadi gue ngerasa bener-bener ada yang ngikutin kita."

Suasana di dalam bus menjadi hening sejenak setelah pengakuan Tina. Dinar merangkul Tina lebih erat, mencoba memberi rasa aman. "Udah, Na. Kita udah aman sekarang. Apa pun yang lo liat tadi, gak akan bisa ngapa-ngapain lo di sini," kata Dinar dengan nada meyakinkan.

Romeo, yang tetap berdiri di samping mereka, menghela napas pelan. "Gini aja, nanti kita ceritain ke Bu Guru atau siapa pun yang ngerti soal daerah ini. Kalau ada sesuatu yang aneh, mereka pasti tahu gimana ngatasinnya," usulnya.

Tina menatap Romeo dengan mata berkaca-kaca, merasa sedikit lega mendengar perhatian dari teman-temannya. "Iya... mungkin gue cuma terlalu capek," jawabnya pelan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.

Dinar tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Gue yakin setelah makan malam, tidur di kasur hotel, lo bakal lupa sama kejadian ini, Na. Apalagi kalau kita nonton film bareng nanti malam," katanya dengan nada ceria.

Romeo menimpali, mencoba mengikuti suasana yang mulai lebih ringan. "Asal bukan film horor ya. Kalau horor, Tina bisa lari lagi tengah malam," candanya, membuat Dinar terkekeh. Tina hanya memutar mata, meski sudut bibirnya mulai terangkat sedikit.

Di balik percakapan ringan itu, Romeo diam-diam tetap waspada. "Kalau memang ada sesuatu, gue harus jaga Tina dan anak-anak lain," pikirnya dalam hati, sambil kembali ke kursinya. Ia memutuskan untuk lebih memperhatikan apa yang terjadi di sekitar mereka selama perjalanan ini.

Karena suasananya sudah stabil lagi kini Wali kelas berdiri di depan bus, menyampaikan pengumuman dengan suara tegas. "Anak-anak, besok kita akan melanjutkan wisata lagi di Desa Asmaraloka karena ada studi banding di sana. Mereka sudah menyiapkan villa dan tempat peristirahatan untuk kita, jadi ibu harap kalian bisa mematuhi peraturan di sana," katanya, sambil menatap seluruh siswa.

Anak-anak yang duduk di kursi mereka tampak mendengarkan dengan seksama, beberapa terlihat lelah setelah perjalanan panjang.

Wali kelas melanjutkan, "Baik, sekarang kita sudah sampai di hotel. Kalian akan diantar oleh pegawai hotel ke kamar masing-masing. Tolong istirahat dengan baik karena besok akan menjadi hari yang cukup sibuk."

Begitu bus berhenti di depan hotel, para siswa mulai bergerak perlahan, mengambil tas mereka dan keluar dari bus. Tina, yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi, berjalan dengan hati-hati di samping Dinar dan Romeo. Romeo masih membawa handuk kecil yang diberikan kepada Tina sebelumnya.

"Besok kita bakal balik lagi ke desa itu, ya?" tanya Tina dengan nada cemas pada Dinar.

"Iya, tapi lo santai aja, Na. Kita bakal di villa, gak bakal ada yang aneh-aneh," jawab Dinar, mencoba menenangkan.

Romeo yang berjalan di belakang mereka ikut menambahkan, "Gue yakin besok bakal lebih aman. Gue sama lo, jadi gak usah takut."

Mereka pun masuk ke hotel, disambut oleh pegawai yang mengarahkan mereka ke kamar masing-masing. Meskipun suasana sudah mulai tenang, Tina masih merasa ada sesuatu yang ganjil di Desa Asmaraloka, tapi ia berusaha menyembunyikan rasa cemasnya dan mengikuti teman-temannya masuk ke kamar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!