Novel ini kelanjutan dari season 1 ya! Jika ada yang bingung karena belum baca season 1, silahkan baca dulu atau langsung baca season 2 juga nggak papa. Pasti ngerti kok. 🙏🤗
Semua nampak sudah berbeda. Kehidupan Mona yang penuh rintangan dan berbagai kendala di masa remaja seiringnya waktu mulai menghilang.
Semua jalan hidup tidaklah selalu mulus, begitu juga yang Mona alami selama tiga tahun ini. Semua ada hal buruk ada pula hal baik. Setidaknya Mona mengalami itu semua, karena dalam hidup, semua perjalanan manusia pasti akan di jatuhi dengan sebuah permasalahan.
Entah itu hal ringan, berat maupun sampai di luar kendali kemampuan kita.
Pagi ini, di tengah lapangan yang sudah di dekor sedemikian rupa, sudah mulai kedatangan para wali murid yang siap menyaksikan kelulusan untuk putra putri mereka. Beberapa kursi sudah berbaris di sana, dan beberapa sudah diisi oleh para wali murid.
Di belakang sana, di sebuah ruangan, Mona yang sudah bersolek dengan riasan sederhana di lengkapi dengan baju kebaya, sudah siap untuk menyambut kelulusan sekaligus perpisahan.
Di ruangan ini, bukan hanya ada Mona, tapi lebih tepatnya ada semua murid yang hendak menjalani wisuda ala anak SMA.
Di samping Mona, tepatnya di atas meja, Fani si gadis tomboy masih sibuk mengamati dan membenahi penampilannya yang terasa aneh. Sebenarnya bukan aneh, hanya saja Fani memang tidak betah jika harus memakai pakaian wanita. Ya begitulah Fani, gadis tomboy tetaplah gadis tomboy.
Sementara di dekat jendela kaca, terlihat ada Tika yang sedang berdiri bersenderan pada dinding bercengkerama dengan teman-temannya. Mona tahu dan bisa merasakan, mata sengit milik Tika itu sudah beberapa kali melirik dirinya. Mona tak peduli. Mona hanya ingin Tika dan keluarganya juga merasakan apa yang pernah diderita Mona selama ini.
Apa maksudnya?
Setelah beberapa kali Mona dibujuk keluarganya, akhirnya Mona bersedia melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya tiga tahun yang lalu. Bukan perkara mudah untuk sekedar membujuk Mona, Mona begitu kekeh untuk tak membawa kasus ini ke ranah hukum. Menurut Mona yang lalu biarlah berlalu, setidaknya mahkota sucinya masih aman. Mona bukanlah tipe wanita pendendam.
Lain dengan Arga. Dia yang pernah sempat ingin memberi kesempatan untuk Aura nyatanya adalah pilihan yang sangat fatal. Arga sudah tertipu bagaimana wajah rubah Aura yang bisa berekspresi layaknya orang yang benar-benar menyesal telah berbuat hal keji.
Arga salah, sungguh salah! Setelah tersadar dengan kebodohannya membiarkan si penjahat berkeliaran, Arga langsung tanggap dan segera melaporkan ke pihak yang berwajib. Itupun dengan bersusah payah membujuk Mona.
Menurut Arga, selain sifat Mona yang baik hati dan bisa mencuri perasaan, Mona memiliki kelemahan yang luar bisa, yaitu bodoh dan kekanak-kanakan. Ya, Mona memang bocah bodoh, tengil dan menyebalkan. Itu sebutan Arga untuk Mona.
Lalu bagaimana kabar keluarga berhati iblis itu?
Untuk Agus, tentu saja dia sudah jatuh dan angkat kaki dari perusahaan Mona. Dia di penjara bersama putrinya, yaitu Aura. Bukan karena Arga terlalu kejam hingga memasukkan mereka ke dalam sel tahanan secara bersamaan, akan tetapi semua itu sebanding dengan apa yang selama ini di alami Mona.
Dua tahun sudah mereka mendekam di tahanan. Keluarga Agus masih beruntung, setidaknya saat ini Widya yang harus hidup bersama Tika, masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Semua bukan karena Widya mencari uang sendiri, tapi ternyata, Widya masih memilik sebuah perusahaan di kota lain tanpa sepengetahuan suaminya.
Widya tak pernah menyangka, menyembunyikan perusahaannya selama ini adalah hal yang benar.
Dan Widya, akan segera membantu suami dan putrinya untuk segera bisa terbebas dari sel tahanan. Apapun itu caranya.
“Ibu!!” Suara cempreng itu membuat sosok pria yang tampan yang berdiri di depan ayah dan ibunya langsung menutup telinga dan mengerjapkan satu matanya. Sementara ayah dan ibu hanya terkekeh.
“Kemari sayang....” Santi memeluk Mona penuh kasih sayang. “Selamat ya, atas kelulusanmu,” ucap Santi sembari melonggarkan pelukannya lalu mencium pipi Mona bergantian.
“Selamat ya, sayang....” Hutomo mengusap ujung kepala Mona.
“Selamat ya, Kak Mona....”Radit mengimbuhi.
“Halah!” Arga membuang muka. “Lulus dengan peringkat 20, apa maksudnya!” cerca Arga yang langsung membuat Mona mendengus dan memanyunkan bibirnya.
“Arga!” dengan cepat, Santi menepuk keras pundak Arga hingga tubuh Arga bergeser.
“Selain pecicilan, kau memang bocah bodoh!” cerca Arga lagi.
“Huh!” Mona mengentakkan kaki lagi. “Lihatlah ibu, kenapa kak Arga jahat begitu? Aku kan sudah dewasa, kenapa terus memanggilku bocah.” Mona merajuk, menggoyang-goyangkan lengan ibunya.
“Sudah, sudah. Jangan hiraukan kakakmu. Lebih baik kita rayakan kelulusanmu,” bujuk Santi. Seketika mata Mona langsung berbinar.
“Betul!” timbruk Ayah. “Hari ini, kita makan-makan... ayah yang traktir.
“Hore!!” Mona jingkrak-jingkrak seperti bocah TK yang berhasil mendapatkan mainan baru.
Lihat, dia itu memang masih bocah! Astaga!! Arga membatin.
Tak jauh dari mereka, dua orang yang tengah berdiri dengan saling bergandengan tangan, ternyata sedari tadi mengamati kebahagiaan keluarga Hutomo. Kedua wanita itu mengeraskan rahang dengan gigi saling menggerat. Mereka sungguh tak terima melihat keluarga itu bahagia, sementara dirinya saat ini terlihat menderita.
“Tunggu dulu!” kaki Mona berhenti. Yang lain pun ikut berhenti.
“Ada apa sayang?” Santi mengerutkan dahi.
“Di mana nenek? Kenapa tidak datang?” wajah sumringah Mona langsung berubah masam. Di hari spesial kelulusannya, nenek tidak datang, tentu Mona merasa kecewa.
“Nenek sedang ada pertemuan dengan rekan kerja, dan tidak bisa di tinggalkan....”
Bibir Mona mengerucut lagi. Sementara Arga yang tak mau berlama-lama panas-panasan di luar, memilih masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Begitu juga dengan Radit.
“Apa tidak bisa di tunda dulu?” Mona semakin merengut.
“Tidak, sayang. Kau jangan khawatir, nenek sudah menyiapkan kejutan untukmu.”
“Benarkah?” Mona kembali berjikrak girang.
“Tentu saja...,” ujar Santi.
“Dasar! Sekali bocah ya tetap bocah!” di dalam mobil Arga menggerutu, sementara di belakannya, Radit hanya terkekeh geli.
“Lihatlah, Ibu!” Tika memicingkan mata ke arah keluarga Hutomo yang sedang di landa rasa bahagia. “Mereka berbahagia di atas penderitaan kita.”
“Kau benar! Mereka sangat keterlaluan!” hardik Widya dengan mengepalkan tangan.
Sampai kapan pun, yang namanya penjahat belum tobat memang tidak pernah tahu di mana letak kesalahannya. Di pikiran mereka, setelah mereka terjatuh, sebuah pembalasan dendam haruslah di lakukan. Itu yang selama dua tahun ini terpendam di dalam hati Widya dan Tika.
“Biarkan mereka tertawa sekarang. Akan ada waktunya untuk kita membuat mereka menderita lagi,” ancam Widya penuh keyakinan.
***
**Give away sudah di mulai ya! Yuk Vote sebanyak-banyaknya. pemenang akan di umumkan akhir oktober.
Silahkan berkomentar dalam tata krama yang baik. kritikan dan saran sangat aku tunggu**.
Di gedung Perusahaan Joanda Group.
Meri yang saat ini dipercaya Tian untuk mengendalikan perusahaan milik Ayah Mona, tengah melakukan pertemuan dengan beberapa staf perusahaan untuk memulai kepengurusan yang baru.
Setelah Agus membekam di penjara dengan selisih satu tahun dari putrinya, yaitu Aura, Perusahaan Joanda Group kembali mulai stabil dan kian berkembang pesat. Atas kendali Meri dan Subastian, semua lancar terkendali.
“Apa kau mau makan siang dulu?” tawar Tian saat pertemuan sudah usai.
Meri menyampirkan tas di lengan kiri sambil menggeleng. “Tidak. Kau kan tahu hari ini kelulusan Mona, aku tidak boleh pulang terlambat,” ujar Meri. Sepertinya Tian memang tak ingat akan hal itu.
“Aku lupa.” Tian terkekeh dengan kedua tangan membereskan berkas-berkas dari sisa pertemuan hari ini.
Meri sudah selesai. “Aku pergi dulu,” pamit Meri.
“Hati-hati... kalau jatuh, kau bangunlah sendiri.” Sontak Meri yang sudah berada di ambang pintu menoleh dengan dua picingan mata yang di kelilingi kulit keriput. Sementara Tian hanya tertawa.
Berpindah dari perusahaan, keluarga Hutomo akhirnya sampai juga di dalam rumah. Kelima orang tersebut langsung berpencar menuju tempat masing-masing. Hutomo langsung masuk ke kamar, karena harus ganti baju dan bergegas pergi lagi untuk menemui rekan kerjanya. Santi, dia memilih pergi ke dapur untuk mengambil minuman, dan Mona membuntutinya di belakang.
“Kau juga mau minum, sayang?” tanya Santi. Mona mengangguk dan langsung meraih satu botol minuman dingin.
Sementara Arga dan Radit, mereka terlihat tengah duduk di atas sofa dengan kedua kaki terangkat di atas meja. Hanya Arga, kalau Radit duduk sambil bersenderan pada dinding sofa.
“Hei kak,” Radit menyikut lengan kakaknya.
Arga menoleh. “Hemmm.... ada apa?”
“Apa Kak Arga jadi menikahi Kak Mona?” pertanyaan Radit sontak membuat Arga menurunkan kedua kakinya, lalu duduk tertegak.
Radit yang merasa risih, langsung membuang muka. “Kenapa menatapku begitu? Aku kan cuma bertanya.” Kedua tangannya sudah terlipat di depan dada.
“Memangnya kenapa, kalau aku jadi menikahi Mona?” Arga menatap Radit. Di balik bibirnya, tersimpan sebuah tawa yang Arga tahan supaya tak terlepas karena melihat betapa lucunya wajah Radit yang merengut.
“Kalian sedang ngobrol apa? Sepertinya sangat serius?” Mona ikut nimbruk dengan duduk di samping Radit.
Radit sudah hendak membuka mulut, tapi dengan cepat langsung di tangkup dengan telapak tangan Arga. “Tidak apa-apa. Hanya obrolan biasa.”
“Isht, Aw!” jerit Arga ketika telapak tangannya digigit oleh Radit. “Kau itu apa-apaan sih!” hardik Arga sambil mengibas-ngibas telapak tangannya yang terasa sakit.
Sementara Mona dan Radit, mereka justru tertawa terbahak-bahak.
“Sudah, sudah. Kalian pergilah mandi!” perintah Santi sambil berlalu masuk ke dalam kamar.
Radit yang sudah merasa ada sebuah ancaman dari kakaknya, langsung menjulurkan lidah, kemudian berlari cepat menyusul ibunya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.
“Eh!”
Mona hendak ikut berdiri, tapi lengannya langsung di tarik oleh Arga hingga terjatuh di atas pangkuannya.
“Apa sih, Kak?!” keluh Mona sambil menggerak-kerakkan badannya supaya terlepas dari dekapan lengan Arga.
“Diamlah... duduk sebentar denganku,” pinta Arga. Kedua lengannya masih dengan erat mendekap tubuh mungil Mona.
“Ya sudah, awas! Biar aku duduk sendiri.” Masih mencoba melepaskan diri.
“Diam!” Hardik Arga penuh penekanan. Mona yang awalnya masih usil, seketika berdecak dan diam.
Keduanya diam. lama-kelamaan, karena pelukannya terasa hangat, bibir Mona mulai mengembang. Arga yang terlihat memejamkan mata dengan dagu mendarat di ujung kepala Mona, begitu menikmati suasana ini.
Tiga tahun sudah gadis mungil ini menemani kesehariannya, dari yang membuat bibir tersenyum sampai dengan membuat Arga mengelus dada karena tingkahnya yang terkadang di luar kendali.
Itulah Mona, gadis yang sampai kapan pun akan berwatak demikian. Arga tak keberatan. Itu sudah resikonya karena mencintai gadis yang terkadang membuat kepalanya terasa mau meledak. Arga tetap mencintai Mona sampai detik ini, dan semoga saja apa yang sedang di rencanakan berjalan semestinya.
“Hei, kemarilah!” Hutomo memanggil istrinya yang sedang menggulung rambut dengan handuk.
“Apa?!” Santi maju mendekati suaminya yang berdiri di depan pintu sambil mengintip sesuatu.
“Apa?” sambung Santi lagi.
Hotomo mendorong pintu supaya terbuka sedikit lebar. Kedua tangannya beralih memutar kepala istrinya menghadap ke sebuah pemandangan yang sedikit mencengangkan.
“Heh?!” Santi sontak menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
Tak jauh di depan matanya, Santi dan Hutomo tengah memandangi Arga dan Mona yang kini terlihat saling mendekap. Kedua tangan Arga nampaknya masih melingkar di perut Mona, sementara Mona duduk di pangkuan Arga.
Itu yang kira-kira Santi dan Hutomo lihat. Separuh tubuh bagian keduanya terhalang senderan sofa, jadi yang nampak jelas hanya terlihat kepala Arga yang sedang terbenam di ujung di atas pundak Mona.
Setelah beberapa saat memandangi mereka dengan saksama, kedua sepasang suami istri ini kembali penutup pintu kamar. Keduanya beralih duduk berjejeran di tepi ranjang.
Masih diam. masing-masing dari mereka seperti tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius. Memikirkan hal yang memang sepatutnya harus segera di laksanakan.
“Mereka harus menikah!” ucap keduanya bersamaan. Dan keduanya terdiam sambil saling pandang.
“Apa mereka siap?” Santi merasa tak yakin. Wajah cantik penuh antusias saat ini berubah menjadi rasa khawatir.
Hutomo bergumam lirih, kemudian menghela napas. “Kalau Arga pasti siap, tapi Mona... Aku tidak tahu.”
“Kau benar, Aku juga tidak tahu. Mona juga baru saja lulus sekolah kan?” Santi menatap lekat-lekat wajah tampan suaminya yang sudah terlihat ada beberapa kerutan di beberapa bagian wajahnya.
“Tapi kalau semakin hari, keadaannya terus begitu... kita juga yang jadi merasa was-was.” Hutomo berdiri sambil melucuti kemejanya.
Santi sekali lagi mendesah. Apa yang di katakan suaminya sangat betul, Arga dan Mona sudah terlalu sangat dekat. Pengawasan mereka haruslah lebih ketat. Jika sebelumnya saja Arga pernah memaksa untuk segera menikahi Mona, apa kabar sekarang saat Mona sudah lulus?
Bukan masalah tidak mau menikahkan mereka, hanya saja mengingat kembali bagaimana watak keduanya yang masih labil, tentu sangat membuat Hutomo sebagai kepala keluarga harus mencari jalan yang paling tepat.
Jikalau dibiarkan tanpa ikatan, keduanya sungguh terlihat sangatlah dekat. Jikalau dinikahkan, apa keduanya benar-benar sudah siap?
Hanya tak mau, jika sampai kejadian di luar batas dengan belum adanya status pernikahan. Itu yang membuat Hutomo merasa sangat khawatir.
“Aku mandi dulu....” Hutomo meraih handuk di gantungan. Santi yang masih berpikir keras, hanya duduk dengan menggerak-gerakkan kakinya yang menjuntai.
“Mungkin Aku juga harus membahas masalah ini dengan ibu,” celetuk Santi. Kemudian tanpa sadar, dengan rasa penasaran tinggi, Santi mengintip dua orang sepasang kekasih itu lagi.
“Mereka sudah pergi.” Santi tak melihat mereka berdua, mungkin sudah masuk ke kamar masing-masing.
***
hai semuanya! Aku datang untuk menyapa. Dikarenakan banyak yang bilang pemainnya bodoh, sini aku jelasin. Maaf ya kalau novelku kurang berkenan. Tapi aku ambil karakter "Mona" dari kehidupan pribadiku ya. Aku termasuk wanita yang kurang pintar, dan dulu aku umur 18 tahun tidak tahu menahu yang namanya hubungan setelah menikah. So, percaya atau tidak. Ist okey! Kalian luar biasa karena sudah mengikuti ceritaku sampai sejauh ini. Terimakasih.
Setelah bercengkerama sebentar dengan Mona tadi, Arga beralih masuk ke dalam kamar, begitu juga dengan Mona. Bedanya, jika Arga langsung pergi mandi terlebih dahulu, sedangkan Mona justru langsung membanting tubuhnya di atas kasur dan langsung larut dalam mimpi siang menjelang sore.
Di dalam kamar mandi, Arga terlihat berdiri dengan satu tangan menekan dinding, sementara dari atas, Air dari dalam shower terus mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sudah tiga tahun Arga menjalin kasih dengan Mona. Tidak ada kata cium maupun sebuah cumbuan sebelum keduanya menikah. Itu yang pernah Arga janjikan untuk Mona. Dan sekarang, tiga tahun itu sungguh sudah berlalu. Apa yang akan Arga lakukan.
Hanya sekitar 10 menitan saja Arga bertapa di dalam kamar mandi. Ia keluar dari dalam sena, tepat sekitar pukul tiga sore. Karena perutnya yang tiba-tiba terasa lapar, setelah berganti pakaian Arga langsung pergi ke lantai satu untuk mencari makanan.
Sebelum sampai di anak tangga, kedua kaki Arga berhenti melangkah di depan pintu kamar Mona. Pintu itu tidak tertutup rapat, mungkin melompong sekitar 10 cm. Satu tangan memegang gagang pintu lalu Arga memiringkan kepala mengintip sosok penghuni kamar.
Sepi. Tak ada suara dari dalam sana. Arga bisa melihat ada gundukan daging berbalut kain yang tak terlihat wajahnya. Itu Mona, dia sedang tertidur dengan posisi tengkurap.
Sesaat Arga hanya mendesah, lalu perlahan mundur sambil menarik gagang pintu hingga pintu tersebut tertutup.
Arga berjalan kembali dan kini sudah menuruni anak tangga. “Apa aku benar-benar mencintai bocah itu?” tanya Arga dalam gumaman di hati.
Bagaimana perubahan pesat pada diri Mona memang sangat cepat. Bukan perubahan dalam sifat maupun wataknya, melainkan bagaimana bentuk dan postur tubuhnya saat ini. Mona yang dulu terlihat tengil dan selalu berpenampilan layaknya seorang bocah, kini sudah tidak lagi, dia sudah berbeda tampilan.
Mulai dari kakinya yang sangat indah, beralih ke atas pada gundukan besar yang entah sejak kapan sudah terlihat kencang dan menggiurkan, lalu di tambah pinggang ramping dan perutnya yang datar, Sungguh membuat Arga selalu menelan ludahnya sendiri.
Jangan lupakan bagian dadanya. Dua gundukan sintal yang dulu sempat Arga lihat karena tak kesengajaan, kini sudah lebih mengkal dari sebelumnya. Di ibaratkan seperti buah apel hijau yang mungil berubah menjadi apel merah yang besar.
Arga pria normal, tentu saja akan tergoda jika selalu berdekatan dengan Mona. Apalagi wajahnya yang dulu imut-imut menggemaskan kini justru terlihat sangat cantik. Dan sekali lagi, sangat menggoda birahi seorang Arga. Tidak salah kan? Mengingat umur Arga yang menjelang 29 tahun bulan depan, tentu saja hasrat kejantanannya semakin bertambah. Apalagi sang calon mempelai wanita sudah berada dekat selalu di sampingnya, memangnya siapa yang tahan?
Tak terasa kaki Arga sudah menapak di lantai satu. Ruang utama yang di tuju adalah dapur. Sesampainya di sana, Arga langsung menghampiri sebuah kulkas yang berdiri tegak di dekat washtafel, lalu membukanya dan segera mencari cemilan pengganjal lapar di sore hari.
“Arga....” Suara ibu mengagetkan Arga. Setelah mendapatkan apa yang di inginkan, Arga langsung menutup pintu kulkas.
Santi sudah suduk di kursi ruang makan. Arga ikut duduk dengan menenteng satu botol jus dan keripik. “Ada apa, Bu?” Arga bertanya.
Santi diam sejenak, pandangannya lurus mengamati jari-jemarinya yang bergerak-gerak. Setelah menghadap ke arah Arga, Santi mulai berkata. “Apa kau sungguh mencintai Mona?”
Arga yang sudah mengangkat botol, dan hendak meneguk isinya, urung dan menarik kembali botol itu turun.
Arga menghela napas. “Tentu saja aku mencintai Mona. Bukankah selama ini aku sudah setia menunggunya sampai dewasa? Itu kan yang ibu inginkan?”
Santi nampak menarik dagu ke dalam, dua alisnya sudah saling menaut. “Kenapa jadi Ibu? Memang Ibu menginginkan apa?” Santi sungguh tidak mengerti.
Arga berdecak lalu menaruh botol di atas meja dengan sedikit keras hingga air di dalamnya sedikit meluber. “Kan ibu yang menyuruhku menunggu Mona sampai lulus sekolah, dan aku sudah melakukan itu.”
“Lalu???” Santi menatap lekat-lekat wajah Arga.
“Lalu... tentu saja aku akan segera menikahinya.”
Seketika itu Santi langsung menelan salivanya. Ini memang hal yang Santi inginkan, tapi melihat bagaimana raut wajah Arga yang nampak sangat serius, membuat Santi sedikit merinding. Entah kenapa, hanya saja Santi sedikit merasa takut dan ragu.
“Apa kau serius??” Santi kembali menatap Arga. “Ini sebuah pernikahan, jadi kau jangan main-main!” Santi berbicara penuh penekanan.
“Astaga!” Arga membuang napas. “Memangnya siapa yang main-main, Ibu? Aku sangat serius.”
Mendengar kata serius, membuat Santi nyengir dan segera menggaruk tengkuknya. Arga yang merasa aneh langsung menjulingkan mata, segera beranjak dengan menenteng botol dan camilannya menuju ke ruang samping.
“Arga, tunggu!” Santi ikut berdiri. “Ibu sedang bicara denganmu, kau malah pergi.”
“Memangnya apa yang mau ibu bicarakan lagi?” Arga duduk di ranjang dengan busa tipis di atasnya yang berada tak jauh dari kolam renang.
“Geser!” Pinta Santi. Setelah Arga bergeser, Santi pun ikut duduk.
“Kita bahas soal kemauanmu yang ingin menikahi Mona.”
“Baiklah....” Arga menjawab dengan enteng sembari mengunyah camilannya.
“Apa kau sungguh serius?”
“Serius apa?”
“Arga!” Spontan Santi menjitak kepala Arga dan menjambret bungkus camilan dari tangan Arga.
“Ish!!” Arga meraih lagu bungkusan itu. “Sakit tahu!!” imbuh Arga lagi dengan nada menggerutu.
“Kau itu sudah hampir kepala tiga, kenapa kau masih sangat bodoh!” Sungguh Santi rasanya ingin sekali menjambak rambut Arga yang sudah mulai gondrong.
Sampai detik ini, Santi masih tak mengerti dengan jalan pikiran Arga yang sangat lambat dan kurang pandai dalam menangkap sebuah pembicaraan. Entah itu hanya sekedar di buat-buat atau tidak, tapi Santi benar-benar geregetan menghadapi Arga.
Pada akhirnya Arga mengela napas panjang. Meletakkan bungkusan cemilan di samping botol minuman di atas meja. Kemudian posisi duduknya memutar menghadap ke arah ibunya dengan dua tangan menangkup satu telapak tangan ibunya.
“Dengar... Aku sangat mencintai Mona. Aku tidak main-main dengannya. Aku cuma masih bingung....” Kalimat Arga terhenti.
“Bingung kenapa?” Santi bertanya.
“Apakah Mona siap menikahi Arga atau tidak.” Suara lembut itu mengejutkan keduanya.
Meri yang ternyata sudah berdiri di belakang mereka sekitar satu menit yang lalu, mendengarkan pembicaraan mereka berdua dan langsung menimbruk ketika Santi tak mengerti dengan ucapan Arga. Paperbag berukuran sedang ia letakkan di atas meja, begitu juga dengan tas selempangnya.
Dan Arga pun membuang napas kasar. Kedua tangannya sudah melepaskan telapak tangan ibunya dan berpindah meraup wajahnya sendiri.
Yang di jawab Meri ternyata benar adanya. Arga hanya takut Mona belum siap. Dan lagi, dia juga baru saja lulus dari SMA. Parahnya lagi, Mona masih jauh tidak mengerti soal pernikahan. Tingkah kekanak-kanakannya belum sepenuhnya menghilang. Arga bisa melihat jelas akan hal itu, itu sebabnya Arga belum berani membicarakan hal serius ini dengan Mona.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!