NovelToon NovelToon

Istri Rahasia Tuan Davison

Bab 1. Istri Dadakan Datang

Seorang pria dengan tubuh tinggi sekitar 182 cm melangkah keluar dari ruangan kantornya. Jas hitam yang dikenakannya rapi menempel sempurna, sementara gaya comma hair-nya menambah kesan tegas sekaligus berwibawa. Ia adalah CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang F&B, sosok yang dikenal penuh ambisi dan disiplin.

Ponselnya bergetar, layar menampilkan nama neneknya. Dengan sedikit enggan, pria itu mengangkat telepon.

“Aku sudah menyiapkan kencan buta untukmu sore ini. Cepat pulang!” Suara neneknya terdengar penuh semangat dan sedikit memaksa.

“Nenek, tolong berhenti maksa Dev kencan buta,” jawab pria itu dengan nada setengah kesal.

“Kalau begitu, segera punya istri! Usia nenek sebentar lagi 80 tahun, kamu mau lihat nenek meninggal tanpa melihatmu menikah?”

Napas pria itu memburu, tapi ia mengiyakan tanpa semangat. Setelah menutup telepon, ia mencari Ari, manajer sekaligus sahabat lamanya yang sedang menunggu di ujung koridor.

“Ari, aku butuh rumah. Yang tenang, di pinggiran kota. Harus hari ini juga.”

Ari mengangkat alis penuh tanda tanya. “Kenapa tiba-tiba, Dev?”

“Aku butuh tempat sendiri,” jawabnya singkat.

Ari menghela napas, lalu menelepon seseorang. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan kabar.

“Dengar ini, dua hari lalu di rumah mertua aku ada rumah dijual. Halamannya luas, ada garasi dan dua kamar tidur.”

Tanpa ragu, pria itu mengeluarkan ponsel, mentransfer dua miliar rupiah ke rekening Ari.

“Beli rumah itu sekarang juga. Sisanya, belikan perabotan lengkap.”

Saat pria itu meninggalkan kantor, Ari menggumam, “Aku ini manajer atau pelayan, sih? Semua disuruh. Untung dia sahabat lama, kalau nggak, aku cabut.”

Davison keluar dari kantornya, langkahnya mantap menuju mobil mewah yang terparkir di halaman. Dia menyalakan mesin, lalu memutar ponsel, membaca pesan dari Ari tentang rumah yang akan dicek hari ini. Sesaat kemudian, telepon masuk.

“Dev, pemilik lama rumahnya nelpon. Katanya nggak bisa datang. Tapi nanti ada tetangga yang punya kunci dan akan bantu kamu cek,” suara Ari terdengar dari speaker mobil.

Davison mengangguk, meskipun tahu Ari tidak melihatnya. “Oke, terima kasih.”

Telepon terputus. Sesaat kemudian, ponsel bergetar lagi, kali ini dari neneknya.

“Dev, kamu ke mana? Kok jam segini belum pulang?” tanya neneknya, suaranya sedikit cemas.

Davison tersenyum tipis, menoleh ke jendela depan yang mulai menyambut senja. “Aku mau tinggal sendiri dulu, Nek.”

Suara nenek berubah jadi sedikit kesal, “Kamu beneran mau lihat nenek mati ya? Awas aja, nenek samperin kamu kalau keras kepala.”

Davison tertawa pelan, “Aduh, aku lupa bilang ke Ari, jangan sampai kasih tahu nenek soal rumah ini. Semoga dia nggak ngasih tahu letak rumah ini ke nenek.”

Dia menyalakan wiper sejenak karena hujan rintik-rintik, lalu fokus pada jalan menuju rumah baru yang sudah menunggu.

Di tengah perjalanan, mobil mewahnya berhenti sebentar di sebuah kafe kecil yang biasa ia kunjungi ketika butuh istirahat sejenak. Kafe itu terlihat sederhana, tapi punya aura nyaman yang sulit ditemukan di tempat lain. Dari balik jendela, ia memandangi jalanan yang mulai lengang dan orang-orang yang pulang ke rumah masing-masing.

Di sudut kafe, sekelompok cewek muda duduk sambil bercanda dan tertawa. Mereka sempat melirik ke arah Davison yang baru saja masuk dan memesan kopi hitam. Beberapa di antaranya saling bertukar pandang dan tersenyum kecil sambil diam-diam memperhatikan pria tinggi dengan aura karismatik itu.

Salah satu dari mereka, dengan rambut panjang dan wajah yang sedikit lebih percaya diri, berbisik, “Lihat tuh, cowok itu keren banget, ya? Gaya rambutnya rapi, kayak CEO atau orang penting gitu.”

Yang lain mengangguk setuju, “Iya, aku juga ngerasa dia itu tipe yang susah ditemuin. Gak cuma tampang, tapi aura dia tuh beda.”

Sementara itu, Davison duduk sendiri di meja dekat jendela, sesekali menatap ke arah mereka. Dia bisa merasakan tatapan mereka, tapi tak menunjukkan reaksi berlebihan. Dalam hatinya, ia sadar bahwa ini bukan hal baru baginya. Banyak orang yang memandangnya karena status dan penampilannya, tapi tidak banyak yang benar-benar mengenalnya.

Dia menyesap kopi hitam perlahan, mencoba meredam ketegangan yang mengendap di dada. Ada rasa lelah yang dalam, bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena tekanan sosial yang selama ini menghimpitnya.

“Kenapa aku harus peduli sama pandangan mereka?” pikirnya. “Aku cuma butuh tempat tenang. Tempat yang jauh dari semua itu.”

Sejenak, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi, membasahi jalanan yang berkilau oleh lampu kota. Suasana yang tenang itu seperti menyambutnya untuk memulai sesuatu yang baru.

Setelah beberapa menit menikmati suasana dan kopi, Davison bangkit dan kembali menyalakan mobilnya. Pikiran tentang rumah baru itu bercampur dengan rasa cemas yang ia pendam sejak lama. Dia sudah lelah dengan rutinitas di kota besar yang penuh tekanan dan gosip bisnis yang tak pernah berhenti. Tempat itu diharapkan menjadi pelarian sekaligus ruang baru untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

Sesampainya di pinggiran kota, suasana berubah drastis. Jalanan yang dulu ramai, kini berganti dengan pepohonan hijau yang rindang dan udara segar yang jarang ia hirup. Lampu jalan yang remang-remang menciptakan bayangan panjang di sepanjang trotoar. Suara burung malam dan angin yang berhembus pelan menemani langkahnya mendekati rumah baru.

Pria itu tiba di rumah baru yang dibelinya. Terletak di pinggiran kota yang tenang, jauh dari keramaian. Rumah sederhana dengan halaman hijau dan pagar putih yang rapi menyambutnya.

Ketika ia membuka pintu mobil, seorang wanita muda keluar dari balik pagar. Rambutnya panjang tergerai rapi, wajahnya tampak profesional tapi ramah.

“Halo, saya Sheina Andara. Saya akan tunjukkan kondisi rumahnya, Pak,” katanya sambil tersenyum.

"Saya Davison Elian Sakawira," balas Davison.

"Ah baik Pak Davison, mari kita lihat rumahnya, saya tunjukkan."

Pria itu mengangkat alis, malas berinteraksi.

“Kalau begitu, saya mau langsung kuncinya. Nggak perlu tunjuk-tunjuk segala,” ujarnya dingin.

Sheina mengerutkan dahi, jelas kesal.

“Aduh, Pak! Kalau nanti ada masalah, Bapak bisa sewot ke pemilik lama rumah. Nanti merasa ditipu.”

Pria itu menghela napas panjang. “Saya rasa nggak perlu. Apa pun kerusakan, saya bisa perbaiki.”

Sheina mundur sedikit, jengkel saat pria itu meraih tangannya untuk mengambil kunci.

“Jangan main-main dengan saya,” katanya serius.

“Loh, Pak, saya nggak main-main. Saya cuma mau memastikan supaya nggak ada masalah,” balas Sheina dengan nada tinggi.

Pria itu akhirnya pasrah, membiarkan Sheina membuka pagar dan pintu rumah.

Tiba-tiba, saat Sheina membuka pintu utama, ia terpeleset hampir jatuh. Pria itu cepat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tak terjatuh.

Di saat itu, dari kejauhan, nenek pria itu bersama Ari kebetulan lewat dan melihat kejadian itu.

“Ya ampun, Dev!” suara neneknya penuh keterkejutan dan sedikit kesal. “Nenek nggak nyangka selama ini kamu nolak perjodohan karena diam-diam sudah punya istri! Rumah ini kamu beli buat hidup sama dia, ya?”

Pria itu panik, langsung merangkul Sheina.

“Iya, Nenek. Dia istriku,” ucapnya tegas.

Bab 2. Pernikahan Pura-Pura

“Ya ampun, Dev!” suara neneknya meledak, nada terkejut campur kesal. “Nenek nggak nyangka selama ini kamu nolak perjodohan karena diam-diam sudah punya istri! Rumah ini kamu beli buat hidup sama dia, ya?”

Pertanyaan itu menghantam seperti petir, dan seketika wajah Davison membeku.

Dalam sepersekian detik, otaknya langsung dipenuhi potongan-potongan kenangan. Satu demi satu perempuan yang dikenalkan neneknya dulu melintas begitu cepat, seperti slide yang diputar di layar.

Perempuan pertama, anak konglomerat, bajunya mencolok, aksennya dicampur-campur. "I nggak mau punya anak. Kalau you mau childfree nggak?"

Waktu itu, selesai makan siang, Davison langsung menelpon neneknya. "Dev nggak mau yang ini, Nek."

Perempuan kedua, terlalu pendiam. Cuma senyum dan ngangguk setiap ditanya.

"Ikut kencan buta karena kemauan orang tua?"

Gadis itu mengangguk.

"Sebelumnya sudah pernah pacaran?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya.

Tidak ada obrolan yang nyambung. Davison merasa dia seperti wawancara batu.

Perempuan ketiga, tomboy, duduknya ngawur, makannya berantakan. Ngomongnya sok cool.

"Jadi yah males dandan, ribet. Lo kenapa si mau ikut kencan buta? Ngeribetin banget," ucapnya menatap Davison malas.

Davison cuma tahan setengah jam.

Perempuan keempat, terlalu seksi. Dadanya nyaris terbuka penuh. Dengan percaya diri dia bilang, “Laki-laki pasti suka dada besar.”

Davison langsung berdiri dan bilang ke nenek, “Nek, Dev serius, bukan nyari tontonan.”

Lima, enam, tujuh, semua ditolak. Entah karena terlalu banyak nuntut, terlalu dramatis, atau terlalu dibuat-buat.

Dan yang terakhir, perempuan kedelapan. Wajahnya manis, senyumnya lembut. Tapi kalimat pertama yang keluar darinya adalah, “Aku sakit kanker. Umurku udah nggak lama lagi. Tapi aku mau bahagiain orang tuaku sebelum aku pergi. Jadi aku ikut kencan buta ini biar bisa menikah.”

Davison masih ingat jelas rasanya waktu itu, terharu, bingung, sekaligus sedih. Tapi akhirnya dia bilang, “Daripada nyenengin orang tuamu soal pernikahan, lebih baik pentingin kebahagiaan kamu dulu. Cari kebahagiaan yang penting selain itu. Pasti ada kok.”

Dan sejak hari itu, Davison tidak pernah mau lagi ikut kencan buta. Dia lelah. Neneknya terus mencoba, tapi dia diam-diam menghindar.

Kini, berdiri di depan nenek yang marah sekaligus kecewa, dan Sheina yang bengong tanpa tahu harus berbicara apa, Davison justru menemukan celah.

Mungkin ini cara untuk mengakhiri semuanya. Mungkin ini satu-satunya jalan agar nenek berhenti mencari pasangan aneh-aneh lagi untuknya.

Davison menarik napas. Lalu menatap lurus ke mata neneknya.

“Iya, Nek. Dia istriku,” ucapnya dengan nada mantap.

Sheina membeku. Matanya melebar, menatap Davison dengan sorot tidak percaya. Tapi belum sempat protes, Davison sudah membungkuk sedikit dan berbisik di dekat telinganya.

“Berpura-puralah. Nenekku sakit parah. Umurnya nggak lama lagi.”

Sheina menelan napasnya. Dalam hitungan detik, senyumnya terbentuk. Ia mengangguk, membiarkan tangan Davison merangkul pundaknya. Dalam hati, ia berpikir, ini cuma sebentar, sebentar saja.

“Iya, Nek. Saya istrinya Pak Davison,” ucap Sheina sambil tersenyum sopan.

Wajah sang nenek langsung bersinar. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan Sheina, lalu menoleh ke Davison dengan senyum menggoda.

“Kamu cantik sekali. Sudah berapa lama Dev menyembunyikan pernikahan kalian dariku? Dimana kalian bertemu? Nakal ini, nggak pernah kasih kamu nafkah ya?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur cepat.

Sheina melirik Davison, wajahnya kikuk, meminta bantuan. Davison buru-buru menyambung.

“Nenek, berhenti. Istriku nggak bisa diserbu pertanyaan sebanyak itu.”

“Aku cuma pengen tahu hubungan kalian. Kalian bisa-bisanya menyembunyikan ini semua dariku.”

Sheina langsung mengambil celah. Kepalanya menoleh ke arah nenek, suaranya dibuat khawatir.

“Nenek tau nggak? Dev nggak pernah cerita soal nenek. Dia bilang dia udah nggak punya nenek lagi,” ujarnya sambil menggenggam tangan sang nenek erat. “Aku sempat kaget lihat nenek di sini. Dev bilang neneknya sudah tiada.”

Mata nenek membulat. Ia langsung menoleh ke Dev dan tanpa basa-basi memukul lengannya.

“Dev! Bisa-bisanya kamu! Dasar cucu durhaka!”

Dev mendelik ke Sheina yang kini tersenyum puas, seakan memenangkan satu ronde penting dalam permainan ini.

“Siapa namamu?” tanya nenek sambil mengelus punggung tangan Sheina dengan lembut.

“Sheina, Nek,” jawabnya pelan.

"Nama yang bagus," puji sang nenek.

"Terima kasih nek."

“Ayo masuk ke dalam, Nenek pengen lihat rumah kalian.”

Sheina buru-buru menimpali, “Rumahnya baru dibeli, Nek. Belum ada perabotan. Kami baru mau mulai bersih-bersih dan ngisi barang-barangnya. Jadi belum bisa duduk nyaman.”

“Oh begitu,” gumam nenek, menoleh ke sekeliling.

Sementara itu, Ari berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya penuh tanda tanya. Sebelum Ari sempat bertanya kepada Davison, Davison lebih dahulu mendekati Ari

“Kenapa bawa nenek ke sini?” tanya Davison

“Dia tiba-tiba nyamperin ke kantor. Bawa pasukan segala. Katanya pengen lihat cucuknya mau kawin,” jawab Ari, napasnya berat.

Ari tergelak. “Siapa tuh cewek?”

“Orang yang kamu bilang, yang nunjukin rumah."

Ari menyipitkan mata. “Kirain istri rahasia kamu.”

“Ini terpaksa. Biar nenek diam. Tapi tuh cewek malah makin jadi.”

Nenek masih menggenggam tangan Sheina erat.

“Nenek masuk mobil aja ya, rumah ini belum ada tempat duduknya. Takut nenek kecapekan,” ujar Sheina lembut, tulus.

Nenek tertawa kecil. “Nenek masih kuat. Tapi nenek tetap mau lihat rumah kalian. Bener nggak Dev?”

Davison mendesah, lalu berbisik ke Ari, “Lihat, langsung kuat. Kalau nyuruh nikah, baru ngomong sakit.”

Lalu ia menoleh ke nenek. “Nenek, pulanglah dulu ya. Kalau rumahnya udah selesai, aku janji bakalan ajak nenek ke sini.”

“Serius?” Mata nenek berbinar. “Nenek senang sekali lihat kamu Sheina. Oh ya, Sheina, kasih nomor kamu ke nenek.”

Sheina mengangguk dan mengetik nomornya ke ponsel nenek Davison.

“Terima kasih, Sheina. Nenek pulang dulu. Ayo, Ari.”

Setelah mobil nenek pergi menjauh, Davison menghela napas panjang. Menoleh ke arah Sheina yang senyumnya mulai luntur.

“Kamu? Kenapa sih ngaku-ngaku ke nenek saya?” Davison bertanya dengan nada datar.

Sheina menatapnya, sebal. “Loh, yang mulai siapa? Bapak duluan bilang saya istri bapak. Saya cuma bantuin akting yang sudah Bapak mulai.”

Dev menghela nafas. “Sudah. Mana kuncinya. Hari ini selesai. Anggap aja nggak pernah terjadi.”

Sheina menyerahkan kunci rumah dengan ekspresi kesal. “Ya ya ya ya. Awas aja complain soal rumah ini. Nggak bakalan saya gubris lagi.”

Tanpa menunggu tanggapan, Sheina melangkah cepat keluar pagar rumah Dev. Sepatu flat-nya menghantam paving pelan tapi mantap. Begitu sampai di depan pagar rumahnya sendiri yang bersebelahan, ia membuka pintu pagar dan masuk sambil menggerutu keras, cukup agar Davison mendengar.

“Kesel banget! Dasar aneh! Meskipun ganteng tetep aja aneh! Nyebelin!”

Davison mendengarnya jelas. Ia menoleh sekilas, tapi hanya menggeleng pelan. Lalu masuk ke dalam rumah kosongnya dengan ekspresi bingung.

"Sheina Andara," gumam Davison sembari menutup pintunya. "Perempuan yang cukup aneh."

Bab 3. Luka Sheina Di Masa Lalu

Sheina masih merasa kesal, mood-nya sudah berantakan karena bertemu Davison hari ini. Ia membuka pintu rumahnya. Televisi menyala di ruang tengah, menampilkan sinetron yang entah sudah berapa lama ditonton sang ibu. Ayahnya duduk di sofa, satu tangan memegang gelas kopi, tangan lainnya sibuk menggulir layar ponsel. Sementara adik laki-lakinya belum juga pulang.

Sheina membuka ponsel, ada notifikasi dari mobile banking. Rp1.000.000 masuk ke rekeningnya, bagian dari hasil penjualan rumah depan. Rekeningnya kini berisikan nominal Rp12.980.000.

Dia tersenyum tipis. Kakinya melangkah pelan ke arah ruang tengah, duduk di sebelah ibunya.

“Pak, Bu,” katanya, suaranya datar tapi cukup jelas, “rumah di depan udah berhasil dijual.”

Kedua orang tuanya menoleh bersamaan.

“Loh, cepet banget,” kata ayahnya sambil memalingkan pandangan dari ponsel. “Padahal baru seminggu dijual. Harganya juga bapak denger dari pemilik lamanya itu satu miliar. Orang kaya pasti yang beli.”

Ibunya ikut nimbrung, “Ngapain ya orang kaya beli rumah di sini? Rawan maling yang ada.”

Sheina tidak menjawab. Dia hanya menatap layar televisi yang terus berganti adegan. Ibunya akhirnya melirik.

“Dapet berapa dari yang punya?”

“Sejuta."

Ibunya mengangguk pelan, “Bagus. Simpan buat kamu nikah nanti. Jangan diabisin buat jajan.”

Sheina menoleh pelan ke arah ibunya, lalu berdiri dan berjalan menaiki tangga. Terdengar hela nafas kecil dari dirinya.

“Sheina nggak menikah nggak apa-apa, yah Pak, Bu? Capek banget.”

Ibunya menoleh ke arah ayahnya, agak terkejut. Walau itu bukan pertama kalinya mendengar ucapan seperti itu dari putrinya, tetap saja rasanya mengganggu.

“Umurnya tu udah dua puluh lima tahun,” gumamnya ke suaminya. “Masih aja belum punya pacar. Nah sekarang udah mikir nggak mau nikah. Padahal cantik, kenapa tu anak?”

"Udah Bu, Sheina memang kebiasaan kayak gitu. Diemin aja," sanggah ayahnya.

Sheina mendengarnya dari atas tangga. Tapi dia tak menanggapi. Dia masuk ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dunia di luar dia biarkan tertutup.

Di dalam lemari kecil, ada satu kotak yang selalu dia simpan di pojok paling belakang. Dia tarik perlahan, diletakkan di pangkuan. Tangannya membuka satu per satu isi kotak itu, surat-surat yang menguning, boneka kecil berdebu, gelang tangan kusam, dan beberapa foto masa putih abu-abu.

Wajahnya menegang saat melihat salah satu foto. Lalu ingatannya mulai muncul.

“Sheina, aku sayang banget sama kamu. Aku janji nggak akan ninggalin kamu. Kita akan bisa kuliah bareng, tamat, nikah, punya anak. Pasti lucu banget.”

Napas Sheina tercekat.

Potongan ingatan lain menyusun satu persatu di dalam kepalanya. Sheina kembali mengingat masa lalu yang sangat ingin dia lupakan.

“Aku capek berhubungan sama kamu, Sheina. Aku capek.”

“Kata kamu, kamu nggak akan ninggalin aku,” ucap Sheina pelan, menahan tangis.

"Aku mau egois sedikit. Aku mau mentingin diri aku. Sheina aku nggak mau hubungan ini lagi.”

Air mata Sheina tumpah begitu saja. Ia menutup kotak itu dengan tangan gemetar, tubuhnya terhuyung lalu tenggelam dalam tangis sesenggukan. Semua luka itu belum benar-benar sembuh.

“Udah lewat tujuh tahun, Sheina,” bisiknya lirih, “kenapa kamu nggak bisa lupain sakit itu? kenapa?”

Tangis Sheina perlahan mereda. Dia duduk bersandar di sisi ranjang, menatap dinding kamarnya yang penuh tempelan mimpi-mimpi lama, foto kampus impian, catatan kecil tentang cita-cita, bahkan tempelan bertuliskan “jangan menyerah” yang sekarang terasa seperti ironi. Semua itu tampak jauh. Seolah bukan lagi miliknya.

Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di lantai. Beberapa notifikasi masuk dari grup keluarga, iklan marketplace, dan satu pesan dari nomor yang tak dikenal.

“Terima kasih, Sheina, telah membantu menemani hidup cucuku," ujar Sheina membaca isi pesannya.

Sheina membaca pesan itu tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Nama pengirim tidak muncul, hanya nomor asing yang ia yakini bukan dari Davison, melainkan dari perempuan tua yang tadi sempat bicara padanya. Nenek itu terlalu halus, terlalu ramah. Berbanding terbalik dengan cucunya yang dingin dan sinis.

Ia meletakkan kembali ponselnya di meja tanpa membalas. Ia tak sedang ingin sopan, atau menunjukkan rasa hormat. Hari ini terlalu melelahkan.

Dia menatap bayangannya lagi di cermin, mata sembap, napas berat.

“Aku ngga kenal cucumu, Nek,” gumamnya pelan, “dan aku juga ngga pengen kenal. Aku nggak mau kenal siapapun, nggak mau."

Dengan tubuh berat, Sheina mandi dan berganti pakaian, lalu duduk di rias. Pikirannya tetap menyala, mengenang luka, menghindari harapan, dan berusaha bertahan dengan sisa-sisa logika yang masih ia genggam.

Langit mulai meremang jingga, senja pelan-pelan turun di atas atap-atap rumah. Angin sore membawa bau tanah yang lembap dan sisa suara burung yang belum sepenuhnya diam.

Sheina membuka pintu balkon kamarnya, membiarkan cahaya oranye menyapu wajahnya. Dengan tangan kiri menggenggam cangkir teh yang sudah mulai dingin, ia melangkah ke kursi di sudut balkon dan duduk. Pandangannya iseng mengarah ke rumah seberang. Matanya membelalak pelan.

Mobil hitam itu masih ada. Mobil mewah Davison ada di depan garasi rumah itu. Pagar masih tertutup.

Masih di situ? Jangan bilang dia tidur di dalam rumah kosong itu?

Sheina menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Rumah itu gelap, tak ada lampu yang menyala. Tapi jelas mobil itu tidak pernah bergerak sejak tadi sore.

Sementara itu, di dalam rumah sebelah, Davison sedang berdiri di ruang tengah. Tangan kirinya menggenggam tablet, matanya fokus pada laporan singkat yang muncul di layar, hasil pemantauan cepat terhadap kondisi rumah.

Pintu dapur rusak. Cat dinding mulai kusam. Tapi selain itu, aman. Tidak ada kerusakan besar. AC belum terpasang.

Ia berjalan ke depan rumah, duduk sebentar di kap mobilnya. Langit senja memantulkan cahaya ke rambutnya yang sedikit berantakan. Ia menekan nomor di ponsel.

"Besok pagi jam delapan. Ganti pintu dapur, cat ulang seluruh ruang tengah dan ruang tidur. Putih semua. Pasang AC sekitar tiga Ac. Uang sudah saya transfer."

Setelah memutus telepon, Davison menatap layar ponselnya sejenak sebelum menyelipkannya ke saku. Tapi langkahnya terhenti saat merasa seolah sedang diawasi. Ia mendongak pelan. Melihat Sheina yang tengah berdiri di balkon dan mengawasinya.

Matanya langsung bertemu dengan pandangan dari atas.

Sheina.

Gadis itu berdiri di balkon dengan raut wajah yang sedikit kaget. Mata mereka saling bertemu hanya beberapa detik, cukup untuk membuat jantung Sheina terasa tak nyaman. Dengan canggung, Sheina buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura meminum tehnya sambil menoleh ke arah lain.

Davison hanya memandangi sejenak, sebelum akhirnya berbalik menuju mobil dan pergi tanpa berkata apa pun.

Sheina menghela napas keras.

"Ganteng si, tapi terlalu sombong dan menyebalkan."

Sheina memutarkan bola matanya, kesal dengan yang terjadi. "Istrinya? Wah, dia sudah gila. Aku nggak mau jadi istrinya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!