SINOPSIS
Ari, anak laki-laki yang bisa melihat hantu dari kecil. Ari suka menggambar. Kadang dia gambar hantu yang dia lihat. Seperti keluarga hantu yang tinggal di dalam sumur samping kamarnya. Saat menggambar mereka, rasa takut yang tadinya ada perlahan menjadi keasyikan buat Ari hingga menjadi candu yang tak berhenti sampai dia dewasa.
Saat di bangku sekolah menengah pertama, Ari dibawa bapaknya ke klinik psikiatri. Bapaknya ingin Ari seperti anak normal lainnya. Bapaknya tidak mau Ari keseringan melamun, suka bicara sendiri dan diam-diam menumpuk gambar-gambar hantunya berkardus-kardus. Di klinik itu Ari bertemu dengan Tata, anak perempuan seumurannya. Awal mereka bertemu, Ari membuat Tata mengatasi rasa takutnya saat mereka melihat hantu yang berkuasa di gedung klinik. Waktu itu, seperti biasa Ari mengeluarkan buku kecilnya dan mulai menggambar di samping Tata. Gambar itu dia berikan ke Tata.
Orang tua Tata tidak mau anaknya bertemu dengan anak abnormal lainnya. Tapi Ari dan Tata selalu berusaha untuk saling bertemu. Tata suka menulis. Dia ingin seperti Ari. Saat mereka bertemu, Tata selalu membacakan tulisannya tentang hantu yang dilihatnya dan Ari memperlihatkan gambar-gambar hantunya. Suatu saat Ari menunjukkan gambar hantu paling mengerikan yang pernah dia lihat yang setiap malam mondar-mandir ke kamar orangtuanya. Setelah itu orang tua Ari sering bertengkar. Ari dibawa ibunya ke rumah neneknya. Hingga ada berita bapak Ari meninggal di dalam kamarnya. Sejak saat itu Ari tidak pernah bertemu Tata lagi.
Ari bisa masuk sekolah menengah favorit karena dulu bapaknya guru senior di situ. Di sana Ari bertemu Tata lagi. Tapi kali ini Tata seperti tidak mengenalnya. Ari melihat Tata seperti orang yang berbeda. Dan di sekolah
itu Ari tidak bisa menghentikan kebiasaannya menggambar hantu. Seperti hantu anak perempuan yang kakinya hancur, melayang di pinggir tembok, melongok ke kelas-kelas melalui lubang ventilasi. Ari menamakannya Awuk.
Kebiasaan Ari diketahui Haki teman sebangkunya. Haki mengusulkan gambar Ari untuk dimasukkan ke majalah dinding. Walau ragu, Ari mengiyakan karena dikenalkan Rida pengurus majalah dinding yang diam-diam Ari
menyukainya. Hingga Ari diajak Haki membuat vlog tentang hantu penunggu pohon beringin depan sekolah. Setelah itu sekolah jadi gempar karena gambar-gambar Ari dan vlog Haki yang menjadi viral. Saat upacara kepala sekolah mengumumkan agar murid-murid tidak percaya hal-hal seperti itu dan fokus belajar. Ari dan Haki dipanggil kepala sekolah. Guru agama mengusulkan Ari untuk dirukiyah. Jodi si bintang basket dan gerombolannya memusuhi Ari gara-gara mereka tidak nyaman bermain basket karena pohon beringin ada di sebelah lapangan. Belakangan Ari tahu Jodi dan Tata jadian. Rida tidak mau bertemu Ari lagi. Karena gambar Ari, Rida dikeluarkan dari kepengurusan majalah dinding. Ibu Ari yang bekerja sebagai staf tata usaha setelah suaminya meninggal merasa sangat malu. Dia bakar semua gambar hantu yang ada di kamar Ari.
Suatu hari Awuk benar-benar berbicara dengan Ari. Dia memperingatkan Ari mengenai rencana pembongkaran basement sekolah. Dari sinilah Ari tahu dia tidak sendirian. Ada Toha, Wira dan Nara yang tahu sesuatu bakal
terjadi jika basement sekolah jadi dibongkar. Dari awal mereka diam-diam memperhatikan Ari. Mereka bisa melihat Awuk tapi Awuk hanya mau berbicara dengan Ari. Sampai saat basement mulai dibongkar, mereka sering mendengar suara kaki kuda di teras kelas. Tapi hanya Ari yang bisa melihatnya. Dia hantu yang menggerakkan gerombolannya membuat banyak murid kesurupan saat upacara. Saat itulah Ari tahu Tata bisa melihat hantu ini. Hanya dia dan Tata. Dan Hantu ini menyukai Tata. Dia ingin menculik Tata.
PROLOG
7 November 2004, hari itu Ibu Ari dibawa ke rumah sakit. Ari masih 30 minggu dalam kandungan. Ini sudah yang kedua kali. 2 tahun lalu Ibu Ari harus kehilangan janinnya. Kelainan kehamilan membuat dia harus merelakan bayinya demi keselamatannya. Tapi kali ini dia ingin bayinya selamat.
“Mas, selamatkan anak kita,” pinta ibu Ari di tengah kesakitannya pada suaminya. Dia di atas pembaringan. 2 orang suster tergopoh mendorongnya menuju ruang tindakan.
“Kamu tenang, di sini dokternya bagus,” sambil berlari kecil, bapak Ari mencoba menenangkan istrinya. Tapi suaranya menyimpan sebersit keputusasaan.
Hari menjelang gelap. Hujan deras dari tadi tidak kunjung reda. Dokter menyuruh bapak Ari menunggu di luar.
“Dokter selamatkan istri dan anak saya,” suara ayah Ari terbata.
“Kami akan usahan sebaiknya,” kata dokter menenangkan sebelum menutup pintu ruangan.
Sendirian bapak Ari duduk cemas di lorong rumah sakit. Petir terlihat menyambar di jendela. Dari sudut penglihatannya, sekilas terlihat laki-laki tua berdiri di tengah lorong. Saat dia alihkan pandangannya ke sana, tiba-tiba lampu padam. Tak sampai beberapa detik lampu menyala tanda genset dinyalakan. Lorong itu terlihat kosong, laki-laki tadi tidak ada. Belum sempat bapak Ari mencari, dokter sudah memanggilnya. Dengan suara berat, dokter memberikan pilihan yang tidak bisa ditawar, janinnya harus dimatikan.
“Tidak ada pilihan lain. Ini demi keselamatan istri bapak,” pelan dokter menjelaskan. Dia menunggu persetujuan bapak Ari.
Bapak Ari mengangguk pelan.
Di dalam ruangan, dengan sisa kesadarannya, berulangkali ibu Ari meracau agar anaknya diselamatkan.
“Tolong selamatkan anak saya, matikan saya saja, jangan anak saya,” suara ibu Ari parau. Di atas pembaringan dia ingin berontak, tapi badannya sudah terlalu lemah.
Seorang suster berusaha menenangkan ibu Ari. Yang lain sibuk melakukan preparasi. Sampai akhirnya ibu Ari tidak sadarkan diri. Sementara di luar petir masih menggelegar bersahutan. Hampir 2 jam janin itu diangkat. Ukurannya sangat kecil. Seonggok daging itu diam diletakkan di atas meja, karena kini ibu Ari harus diselamatkan. Kondisinya kritis. Sementara yang lain sibuk menangani ibu Ari, seorang suster tergesa mengambil perkakas. Saat melewati janin di atas meja, langkahnya tertahan, seperti tak percaya dia lekatkan pandangannya ke arah janin. Mahluk kecil itu bergerak. Bibirnya menganga. Dua jarinya bergerak lagi. Sontak suster itu berteriak.
“Dokter, bayinya masih hidup!”
Bayi yang hidup kembali itu kini umurnya hampir 5 tahun.
Nama lengkapnya Harindra. Ibunya memanggilnya Ari. Hari ini Ari mendapatkan sepeda
pertamanya. Sepeda roda empat yang dia kendarai di depan rumah. Seperti biasa,
sore ini anak-anak ramai bermain di jalan kampung. Ari termasuk anak yang
pendiam. Di atas sepedanya dia hanya mengamati anak seumuran lainnya bercanda dan
berlarian. Tapi dari tadi dia perhatikan seorang anak yang terus menangis.
Umurnya di bawah dia. Ari tahu kenapa dia menangis. Ada anak lain yang
mengambil mainannya. Mainan bebek plastik. Mainan itu dibawa berlarian di
antara anak-anak yang lain. Sampai ibu anak yang menangis itu datang dan menyadari
apa yang terjadi.
“Siapa ya yang ambil mainannya adik?” Ibu itu bertanya pada anak-anak
di situ.
Anak-anak saling celingukan. Tidak ada yang merasa mengambil
mainan.
“Nggak ada yang ngambil!” seorang anak berani menjawab.
“Jatuh ke got kali!” seorang lagi nyeletuk.
Si ibu hanya diam. Mukanya kesal sambil menggendong anaknya
yang masih menangis.
Ari tahu siapa yang mengambil. Dia ingin memberitahu ibu itu.
Tapi ibu RT datang dan menyuruh anak-anak untuk pulang.
“Ayo anak-anak, ini udah Maghrib, ayo pulang, setan-setan udah
pada dateng, ntar kalian diculik sama setan lho.”
Keesokan harinya, ibu Ari marah besar. Dia berdiri di depan
Ari. Di tangannya ada mainan bebek plastik. Katanya mainan itu dia temukan mengambang
di sumur. Rumah mereka memang ada sumurnya di samping.
“Bukan Ari yang ambil. Kemarin ada anak yang ambil,” dengan lugu
Ari mebela diri.
Ibu Ari tambah marah. Ari mendapat satu jeweran. Ibu Ari
bergegas ke rumah tetangga mengembalikan mainan itu. Ari menangis tersedu,
tersimpuh di depan pintu kamarnya.
Sore hari, seperti biasa Ari ada di atas sepedanya.
Anak-anak riuh bermain dan berlarian. Dan anak kecil itu menangis lagi. Anak
yang kemarin kehilangan mainan bebek plastik. Tangisannya semakin menjadi. Dia kehilangan
mainannya lagi. Dan Ari melihatnya anak itu lagi. Anak yang mengambil mainan.
Kali ini mainan kerincingan. Mainan itu dibawanya berputar-putar, berlarian diantara
anak-anak lainnya. Bunyi kerincingan terdengar bercampur dengan riuhnya anak-anak
bermain. Hingga anak yang menangis itu didatangi ibunya. Sambil menggendong anaknya
dia menatap Ari. Spontan Ari menunjuk ke anak yang mengambil mainan.
“Dia yang mengambil mainannya,” teriak Ari dengan polosnya.
Tapi Ari heran, ibu itu malah memandang ke anak-anak yang
lain. Bukan anak yang Ari tunjuk.
“Itu yang ambil mainannya,” suara kecil Ari lebih keras.
Jarinya kini mengarah ke tempat lain karena anak itu berlari kesana kemari sambil
membunyikan kerincingannya.
Si ibu malah melotot ke arah Ari. Dia merasa dipermainkan. Lalu
dia bawa anaknya yang masih menangis masuk ke rumahnya.
Malam itu hening. Detak jam dinding terdengar teratur di
kamar Ari. Jarum jam menunjuk angka 2 lebih. Ari pulas di dalam selimutnya. Tetapi
sesuatu membangunkannya. Dia mendengar suara gemerincing. Setengah mengantuk,
Ari terduduk di ranjang. Lama-lama Ari ingat, itu suara mainan kerincingan tadi
sore. Ari baru sadar ini masih tengah malam. Suara itu terdengar dari luar
kamar, arah sumur. Terbayang ada anak tadi sore sedang main kerencengan di
dekat sumur. Ari mulai takut. Dia turun dari ranjang memanggil ibunya. Tapi
saat melewati jendela, dia terhenti. Bunyi gemerincing itu masih disana. Ari
penasaran, apakah anak itu ada di sana? Ari buka tirai jendela. Area sumur
terlihat remang . Tidak ada orang di sana. Tapi suara gemerincing terdengar
jelas. Suara itu bergema, seperti berasal dari dalam sumur. Spontan Ari berlari
menuju kamar orangtuanya.
“Mama, Ari takut,” Ari membangunkan ibunya. Bapaknya di
sebelah ibunya mendengkur pulas.
Ibu Ari terbangun, melihat anaknya pucat pasi berdiri di
pinggir ranjang.
“Kenapa sayang?” Ibu Ari memegang tangan anaknya. Tangan itu
dingin dan basah karena keringat.
“Ari takut Ma,” wajah Ari memelas.
“Kamu mimpi buruk ya?” tanya Ibu Ari yang mulai iba melihat
anaknya
Ari hanya mengangguk. Dia tidak tahu bagaimana
menjelaskannya.
Malam itu Ari tidur ditemani Ibunya. Ibunya pulas di
sebelahnya. Tapi Ari belum bisa tidur. Suara gemerincing itu masih keluar dari
dalam sumur.
Ari terbangun. Matanya masih terbuka setengah. Tapi dia bisa
lihat ibunya duduk di samping ranjang, menunjukkan sesuatu di tangannya. Mainan
kerincingan.
“Mama nggak tahu harus gimana, mau bilang apa lagi sama ibu
sebelah,” wajah ibu Ari marah, Tapi tidak seperti kemarin. Sekarang dia agak
pasrah.
“Bukan Ari yang ambil, kemarin sore ada anak yang ambil,”
suara kecil Ari masih serak.
“Udah ini yang terakhir. Kalau kamu ambil mainan lagi, lalu
kamu buang ke sumur, seminggu kamu nggak boleh main di luar!”
Lalu Ibu Ari keluar kamar. Sepertinya dia ingin segera
mengembalikan mainan itu. Sendiri Ari masih terbaring di ranjangnya. Kali ini
dia tidak ingin menangis. Karena yang ia bayangkan adalah sumur di samping
rumah. Dengan langkah masih gontai dia menuju ke sumur. Makin dekat ke sumur
langkah Ari makin pelan. Selangkah lagi dia bisa melihat ke dalam sumur. Sampai
di pinggir sumur, Ari melongokkan kepalanya. Di dalam sumur ada seorang anak.
Anak yang mengambil mainan. Dia duduk di atas air. Ari lari terbirit menuju
kamarnya. Di kasur dia tutupkan bantal di kepalanya.
Tak lama ibu Ari datang. Dia temukan anaknya terisak di
kasur. Badannya menggigil.
“Kamu kenapa nak? Kamu sakit?”
Kini ibu Ari begitu cemas. Sebersit dia begitu menyesal
telah memarahi anaknya. Anak yang pernah hampir dia tidak miliki.
Sejak Ari dibelikan peralatan gambar, dia selalu berada di
mejanya. Dia sudah jarang memegang sepedanya. Keseringannya Ari menggambar anak yang suka mengambil mainan,
yang dia lihat di dalam sumur. Karena akhir-akhir ini anak itu sering muncul di
kamarnya. Seperti malam ini, saat Ari sudah berada di dalam selimutnya. Matanya
hampir terpejam. Dia setengah tidur. Masih bisa dia lihat ruangan kamarnya. Dan
anak itu muncul di sana, di tengah ruangan. Biasanya setelah itu Ari tidak
ingat lagi sampai dia terbangun. Tapi kali ini Ari ingin benar-benar terjaga.
Dia berusaha untuk duduk. Dia lihat anak itu berdiri di depannya. Anak itu
memakai baju dan celana putih. Rambutnya jarang, giginya tonggos, mata dan telinganya
lebar. Kakinya agak panjang dan banyak bulunya. Di dua tangannya dia memegang
sesuatu. Itu mainan Ari. Mainannya yang sudah lama hilang. Setelah itu Ari
tidak ingat lagi sampai ibunya membangunkannya.
“Bangun Ari, itu susu kamu sudah di meja,” kata ibu Ari
sembari membereskan selimut.
Ari mengusap matanya. Dia masih sedikit ngantuk.
“Lho ini mainan kamu yang lama kok ada di sini?” Ibu Ari
heran memandang ke lantai. Tapi setelah itu dia berjalan ke pintu membawa baju
kotor Ari.
“Nanti siang ada simbok baru datang ke sini,” kata ibu Ari
lagi sambil menutup pintu.
Ari cepat-cepat duduk. Dia pandangi lantai kamarnya. Ada dua
mainan di sana. Mainan pesawat terbang dan mobil-mobilan. Tadi malam anak itu
berdiri di situ membawa mainan ini. Ari bergegas ke mejanya. Dia buka buku
gambar dan mulai mencorat-coretkan pensilnya. Kali ini dia begitu serius
menggambar. Anak yang suka mengambil mainan itu begitu jelas dalam pikirannya.
Malam-malam berikutnya Ari tidur pulas. Anak itu sudah tidak
datang lagi. Hingga suatu saat Ari terbangun dari tidurnya. Suara dari arah
sumur membangunkannya. Suara sapu lidi. Sepertinya ada yang menyapu pakai sapu
lidi di sumur. Pelan Ari turun dari ranjang, dia pikir ini sudah pagi, simbok
yang baru sudah mulai menyapu. Tapi saat lihat jam dinding, ternyata masih jam
2. Langkah Ari tertahan. Dia lirik jendela. Di balik tirai itu gelap\, tanda
lampu di area sumur tidak dinyalakan. Ari masih berdiri. Apa mungkin simbok menyapu
malam-malam dengan lampu padam? Penasaran, Ari membuka tirai. Memang bener, di
remang area sumur ada mbok-mbok sedang menyapu pakai sapu lidi. Seperti simbok
yang baru itu. Pakai jarik dan kebaya. Tapi yang ini rambutnya tergerai. Dan
kakinya panjang dan berbulu. Spontan Ari berlari menuju ranjangnya. Dia tutup
kepalanya dengan bantal. Suara sapu lidi itu masih terdengar. Ari berusaha
memejamkan matanya. Dia paksa untuk tidur. Hingga pagi ibunya membangunkannya. Saat
Ari meminum susunya dia mendengar percakapan ibunya dan simbok di sumur. Simbok
mengadu ke Ibunya, sudah 3 kali sapu lidi selalu tergeletak di pinggir sumur,
padahal dia selalu menyimpannya di depan pintu dapur.
“Saya nggak pernah makai Mbok, Simbok kali lupa,” kata ibu
Ari sembari menaruh baju kotor.
“Saya selalu simpen di depan pintu Bu, ya mana mungkin ada
tikus bisa narik sapu ke sumur,” kata simbok serius.
“Kok bau rokok ya mbok?” kata Ibu Ari saat berdiri di
sebelah sumur.
“Bapak kali Bu, tadi ngrokok? Kata simbok asal tebak.
“Bapak dari dulu nggak pernah ngrokok Mbok,” jawab ibu Ari
sembari melangkah ke dapur.
Dan simbok masih saja membahas masalah sapu lidi. Ari tahu
siapa yang memakai sapu lidi. Mbok-mbok kaya simbok. Tapi kakinya panjang dan
berbulu.
Besoknya simbok minta ijin keluar dari pekerjaannya.
Gara-gara tadi Subuh dia melihat perempuan pakai jarik dan kebaya masuk ke
sumur. Kata bapak Ari, mungkin simboknya tidak betah. Dia hanya cari-cari
alasan untuk keluar.
Tapi setelah simbok keluar dan diganti mbak-mbak yang lebih
muda, Ari tidak mendengar suara sapu lidi lagi. Malam-malam dia tidak
terbangun. Hingga suatu pagi ibu Ari membangunkannya.
“Ini susu kamu diminum keburu dingin,” ibu Ari meletakkan
segelas susu di meja Ari.
Ari masih membiasakan matanya dengan terang pagi.
“Ini gambar orang kok kakinya kayak monyet?” Ibu Ari masih
berdiri di sebelah meja Ari. Sepertinya dia sedang memperhatikan sesuatu di
meja.
Ari berusaha duduk. Dia belum nyambung apa kata ibunya tapi ibunya sudah keluar kamar. Dan
ada yang aneh, kenapa gambar Ari ada di atas meja. Ari tidak pernah
meninggalkan gambarnya sana. Semuanya dia masukkan ke laci. Ari mendekat ke
meja. Dia bertambah heran. Gambar anak yang suka mengambil mainan tergeletak di
mejanya. Dan di kanan kiri gambar anak itu ada coretan-coretan tidak jelas
seperti benang kusut. Dan pensil Ari ada di sebelahnya. Terbesit Ari
membayangkan ibunya iseng mengeluarkan gambarnya dari laci dan mencorat-coret
dengan pensilnya. Atau mbak-mbak pembantu barunya? Dengan kesal Ari menghapus
coretan-coretan di gambarnya. Gambar itu dia masukkan ke laci.
Hari berikutnya, kejadian itu selalu terjadi di pagi hari. Gambar
yang sudah Ari masukkan ke laci, paginya sudah tergeletak di atas meja, ada
coretan di kanan kirinya dan ada pensil di sampingnya. Sampai di satu pagi Ari
bertanya pada ibunya.
“Ma, mama ya yang keluarin gambar Ari,” tanya Ari di depan
mejanya. Ibunya sudah mau membuka pintu kamar.
“Gambar itu? Mama nggak tahu. Bukannya kamu yang nggambar.
Lagian gambar apa sih itu. Serem amat. Orang kok kakinya kayak monyet,” lalu
ibu Ari keluar membawa pakaian kotor.
Ari masih terpaku di depan mejanya. Sepertinya kali ini dia
tidak akan menghapus coretan-coretan itu.
Malam itu, Ari sudah bersiap tidur. Matanya yang setengah
ngantuk masih bisa melihat mejanya. Gambar itu sengaja dia tidak masukkan ke
laci. Dalam posisi terbaring, Ari mencium bau yang tidak biasa di kamarnya.
Seperti bau asap rokok kalau tetangganya sedang merokok. Tidak lama, Ari merasa
ada orang masuk kamarnya. Ada tiga orang. Tapi mereka tidak masuk dari pintu.
Mereka keluar dari tembok yang mengarah ke sumur. Mereka berdiri di depan Ari. Ari
memang tidak sedang berniat bangun. Tetapi dengan kepalanya masih menempel di
bantal, dia ingin mengamati apa yang ada di depannya. Yang di tengah, Ari sudah
sangat kenal. Anak yang suka mengambil mainan. Tapi kini dia sedang menggenggam
pensil Ari. Di sebelah kirinya perempuan tua seperti simbok. Tapi rambutnya
tergerai. Dia membawa sapu lidi. Di sebelah kanannya laki-laki tua memakai
caping seperti petani. Di jari tangannya terselip sebatang rokok. Kaki mereka
semua panjang dan banyak bulunya. Ari tidak sedikitpun bergerak mengubah
posisinya. Dia hanya ingin mengamati lekat-lekat apa yang ada di depannya.
Sampai kantuk membuat dirinya tak sadar.
Pagi hari, seperti biasa ibunya membangunkannya. Biasanya
Ari susah untuk segera bangun. Kali ini dia bergegas menuju mejanya. Gambar dan
pensilnya masih di sana. Ibunya sedikit heran melihat anaknya yang mulai
menggambar. Saat mau keluar, ibunya berhenti. Dia lihat ada sapu lidi tersandar
pada tembok kamar yang mengarah ke sumur.
“Lho ini sapu lidi kok ada di sini,” ibu Ari heran. Dia
memandang ke Ari. Anak itu masih sibuk dengan gambarnya. Tapi ibu Ari mulai
berpikir. Tidak mungkin anaknya membawa sapu itu ke sini. Pintu dapur yang mengarah
ke sumur kalau malam dikunci. Ari tidak akan bisa membukanya karena posisi
kuncinya terlalu tinggi.
“Ijah, sini jah!” ibu Ari memanggil mbak pembantu. Dia tanya
kenapa sapu lidi ada di kamar Ari. Si embak tidak merasa menaruh sapu di situ.
Tapi ibu Ari sepertinya tidak percaya. Dia suruh pembantunya menaruh sapu itu
di depan pintu dapur.
Lalu ibu Ari mendekat ke jendela. Dia merasa ada bau
sesuatu.
“Bau apa sih ini? Kok seperti bau rokok?” ibu Ari memajukan
hidungnya. Dia hirup udara di sekitar jendela. Lalu dia keluar dan kembali lagi
membawa pengharum ruangan. Dia semprotkan ke sudut-sudut kamar, terutama yang
ada di dekat jendela.
Ari masih tak bergeming dengan gambarnya. Dia tak peduli
dengan kesibukan ibunya. Apa yang ada di otaknya kini begitu jelas. Dia ingin
tumpahkan semuanya ke kertas gambar.Karena dia tahu, gambarnya kurang lengkap.
Setelah menghapus coretan benang kusut dia mulai menggambar dua sosok di kanan
kiri gambar anak yang suka mengambil mainan. Hampir setengah jam Ari mencorat
coret kertasnya. Setelah selesai dia merasa puas. Ini gambar terbaik yang
pernah dia bikin. Gambar keluarga yang tinggal di dalam sumur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!