Hujan mengguyur kota sejak pagi. Rintiknya lembut, seperti isak tangis langit yang belum usai.
Di sebuah rumah mungil bercat krem pudar, Vira Sita duduk memeluk lututnya di sofa tua ruang tamu. Jendela kayu terbuka setengah, membiarkan udara lembap menyusup ke sela napasnya. Seperti biasa, hari-hari Vira sepi.
Dia seorang diri. Tak ada ayah. Tak ada ibu. Keduanya telah pergi dalam sebuah kecelakaan mobil tiga tahun silam — malam yang mengubah hidup Vira selamanya.
Ia kini bekerja sebagai penjahit rumahan. Bukan karena itu cita-citanya, tapi karena itu yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup. Tangannya cekatan, hasil jahitannya rapi, namun tetap saja, penghasilannya pas-pasan.
Hidup Vira begitu sederhana. Ia tidak punya banyak teman, dan ia bukan tipe yang suka keluar rumah. Dunia kecilnya hanya terdiri dari mesin jahit, beberapa tetangga baik, dan kenangan.
Namun hari ini, dunia kecil itu akan berubah.
---
Seseorang mengetuk pintu.
Tok tok tok.
Vira beranjak pelan. Suara hujan membuat ketukan itu nyaris tak terdengar. Ia membuka pintu, dan di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya berpakaian jas rapi, lengkap dengan jas hujan transparan.
“Selamat siang. Apakah ini rumah Nona Vira Sita?” tanyanya sopan.
Vira mengangguk, bingung. “Benar… saya Vira.”
“Perkenalkan, saya Pak Gunarto, pengacara keluarga besar Hartawan. Saya diutus untuk menyampaikan sebuah surat wasiat dari mendiang Tuan besar Hartawan—kakek dari Vito Hartawan.”
Vira terpaku. Nama itu tak asing. Vito Hartawan.
Pria yang dulu satu sekolah dengannya. Senior populer, pewaris keluarga kaya, tapi dingin dan tak terjangkau. Mereka tak pernah berbicara langsung, namun Vira tak pernah lupa caranya menatap dari jauh, saat Vito berdiri di lapangan basket. Ada ketertarikan yang diam-diam ia simpan. Cinta remaja, tak pernah tersampaikan.
“Boleh saya masuk sebentar, Nona?” tanya Pak Gunarto, memecah lamunan.
Vira buru-buru mempersilakan masuk. Ia mengambilkan teh hangat dengan tangan sedikit gemetar.
Pak Gunarto membuka map cokelat dari tas kulitnya. Lalu meletakkan beberapa dokumen di atas meja kayu kecil.
“Seperti yang tertulis di dalam surat ini, almarhum Tuan Besar menyampaikan keinginan terakhirnya, yaitu agar cucunya, Vito Hartawan, menikah dengan Anda, Nona Vira.”
Vira mematung. Matanya melebar. Suara detak hujan di luar tiba-tiba terasa jauh. Ia tidak salah dengar, bukan?
“M-menikah… dengan saya?” bisiknya lirih.
“Ya. Ini sebagai bentuk balas budi. Orang tua Anda telah menyelamatkan nyawanya di masa lalu. Dan sebagai wujud terima kasihnya, beliau ingin keluarga Hartawan melindungi Anda seumur hidup.”
Vira menatap meja, jantungnya berdebar tak karuan. Ia menunduk, air matanya mengalir diam-diam.
Selama ini ia hidup sendiri. Terlalu sering berdoa dalam kesepian agar ada seseorang yang datang, yang menghapus sunyinya, yang mencintainya. Dan kini... apakah ini jawaban dari langit?
---
Sementara itu…
Di gedung pencakar langit milik Hartawan Group, Vito menghempaskan surat wasiat ke meja kaca.
Matanya menyala marah.
“Dia pikir aku bisa dikendalikan dengan warisan? Dia pikir aku akan dengan senang hati menikahi gadis miskin itu? GILA!”
Namun, tak ada yang menjawab. Para penasihat hukum hanya menunduk takut.
Salah satu dari mereka memberanikan diri bicara.
“Maaf, Tuan Muda… Tapi jika Anda tidak menikah dengan Nona Vira sebelum ulang tahun kakek bulan depan, maka sesuai wasiat, seluruh warisan akan disumbangkan.”
Vito menghembuskan napas kasar. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela besar kantornya, memandang kota dari ketinggian.
“Siapa sebenarnya gadis itu? Apa istimewanya?”
“Kakek Anda mengatakan… gadis itu adalah anak dari pasangan yang menyelamatkannya puluhan tahun lalu. Ia berjanji akan menjaga anak mereka selamanya.”
Vito terdiam. Ia menggertakkan gigi.
“Baik. Aku akan menikahinya.”
Para penasihat terkejut.
“Tapi… setelah itu, pastikan semua warisan langsung dialihkan padaku. Setelah itu... aku bebas melakukan apa pun, bukan?”
---
Beberapa hari kemudian, Vira menerima undangan pernikahan megah. Semuanya disiapkan oleh pihak Hartawan. Ia dibawa ke butik mewah, diberi gaun pengantin mahal, bahkan diminta tinggal di hotel bintang lima selama seminggu sebelum hari pernikahan.
Vira merasa seperti mimpi.
Ia bahkan menangis saat mencoba gaun pengantin pertamanya.
“Bu… Pa… lihatlah anakmu sekarang…” gumamnya sambil memeluk gaun putih itu di depan cermin.
---
Hari pernikahan tiba.
Lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom hotel mewah. Undangan datang dari kalangan elite — pengusaha, pejabat, selebriti. Semua mata memandang Vito dan Vira sebagai pasangan ideal.
Vira masuk dengan gaun putih elegan dan riasan natural. Ia tampak seperti putri dari negeri dongeng.
Vito berdiri di pelaminan, mengenakan jas putih gading. Senyum tipis tersungging, tapi hanya di bibir. Tidak sampai ke mata.
Prosesi berjalan lancar. Ijab kabul diucap. Semua tamu bersorak. Kilatan kamera menyala di mana-mana.
Namun Vira tidak tahu… bahwa senyum suaminya adalah topeng.
---
Malam pertama.
Vira duduk di tepi ranjang. Gaun pengantinnya sudah ia gantikan dengan piyama tipis. Rambutnya ia sisir perlahan. Ia menunggu.
Tak lama, Vito masuk ke kamar. Ia tidak menatap istrinya. Ia hanya melepas jas, melonggarkan dasi, lalu duduk di sofa sambil membuka ponsel.
Vira menelan ludah. Ia memberanikan diri bertanya.
“Kamu… lelah, ya?”
Vito diam.
“Aku bisa buatkan teh... atau mungkin—”
“Tidak perlu.”
Suaranya tajam. Dingin. Jauh dari kelembutan.
Vira menunduk. Hatinya remuk.
> “Aku hanya... ingin jadi istri yang baik…” gumamnya hampir tak terdengar.
Vito bangkit, menatapnya untuk pertama kali malam itu.
“Aku tidak mencintaimu. Jangan berharap apa pun dariku.”
Vira membeku. Bibirnya bergetar. Tapi ia tidak menangis.
“Aku… mengerti,” jawabnya pelan.
Ia mematikan lampu. Membaringkan tubuh ke sisi ranjang. Menangis diam-diam, memeluk perutnya sendiri — perut yang masih kosong, hati yang kini semakin sepi.
---
Di luar kamar, langit masih hujan.
Dan tak ada yang tahu… bahwa malam itu adalah awal dari takdir panjang yang akan menelan banyak rahasia dan air mata.
Bersambung
Matahari baru saja naik dari ufuk timur, namun langit masih kelabu. Hujan semalam menyisakan embun di jendela dan aroma tanah basah yang menguar di halaman belakang vila mewah keluarga Hartawan.
Di dalam kamar utama, Vira duduk memeluk lutut di tepi ranjang. Malam tadi adalah malam pertamanya sebagai istri sah seorang Vito Hartawan. Namun bukan malam yang penuh kehangatan dan cinta seperti yang dibayangkannya, melainkan malam yang dingin dan membisu. Ia tidur membelakangi suaminya yang duduk di sofa, tertidur tanpa menyentuh ranjang.
Tak ada ucapan selamat malam. Tak ada kecupan dahi. Tak ada pelukan. Yang ada hanya jarak yang lebih terasa daripada tembok vila ini.
---
Pagi itu, Vira bangun lebih dulu. Ia mengganti bajunya dengan dress sederhana warna biru muda, lalu berjalan pelan ke dapur. Tak ada pembantu di rumah ini, hanya satu pengurus rumah tangga paruh waktu yang datang sore hari. Vira memutuskan memasak sarapan sendiri.
Ia menyiapkan roti panggang, telur mata sapi, dan segelas jus jeruk.
Ia tahu kesukaan Vito. Ia masih ingat saat SMA, pria itu selalu memesan menu yang sama di kantin sekolah: telur setengah matang, dan jus jeruk tanpa gula.
Saat Vito turun dengan pakaian kerja rapi, Vira berdiri kikuk di samping meja makan.
“Selamat pagi…” sapanya pelan.
Vito melirik meja. “Apa ini?”
“Sarapan. Aku… masak sendiri.”
Tanpa menjawab, Vito duduk dan mulai makan. Tidak mengucapkan terima kasih, tidak menatap Vira, bahkan tidak menunjukkan ketertarikan. Vira duduk perlahan di seberang meja, mencicipi sedikit roti. Diam.
---
Suara sendok dan garpu menjadi satu-satunya suara yang terdengar.
“Jika kamu ingin sesuatu, jangan sungkan bilang padaku, ya…” ucap Vira akhirnya, mencoba memecah keheningan.
“Aku hanya ingin kamu tidak terlalu ikut campur dalam hidupku.”
Perkataan itu seperti pisau tumpul yang menusuk lambat-lambat.
Vira menunduk. “Maaf…”
---
Hari-hari selanjutnya berjalan hampir serupa.
Vira bangun pagi, menyiapkan makan, membersihkan rumah. Sore hari ia menyulam atau membaca. Malam hari, ia tidur lebih dulu. Vito sering pulang larut malam, terkadang tanpa menyentuh makanan yang disiapkan. Beberapa kali ia bahkan tidak pulang.
Vira tidak bertanya. Ia tidak ingin membuat suaminya makin membenci dirinya.
Namun ia tetap mencoba. Setiap hari, ia berusaha mencintai dengan tenang. Menjaga perasaan. Ia menaruh bunga segar di ruang makan. Menyulam taplak meja. Memasak menu berbeda tiap minggu. Ia tetap menaruh harapan kecil dalam hati.
“Mungkin suatu hari, Vito akan melihat usahaku…”
---
Pada suatu sore, Vira keluar dari rumah dan pergi ke supermarket terdekat. Ia membeli beberapa bahan makanan dan kebetulan melihat seorang wanita muda cantik sedang memilih anggur merah. Wajahnya familiar.
“Oh… Sonia?” sapa Vira dengan ramah.
Sonia menoleh. Sejenak ia terlihat terkejut, tapi kemudian tersenyum manis.
“Vira! Wah, sudah lama sekali. Selamat ya, aku dengar kamu menikah dengan Vito Hartawan!”
Vira tersenyum kecil, mengangguk malu-malu. “Iya, terima kasih… kita jadi tidak sempat ketemu, ya.”
Sonia meraih tangan Vira dan menggenggamnya erat. “Kita harus ngopi bareng. Nostalgia zaman SMA. Aku senang banget lihat kamu.”
Vira mengangguk polos. “Tentu. Aku kangen ngobrol sama kamu.”
Yang tidak ia tahu, saat mereka berpelukan singkat, mata Sonia menatap ke arah lain dengan ekspresi dingin yang nyaris tak terlihat.
---
Di rumah, malam itu, Vira memasak makanan favorit Vito: nasi goreng sapi lada hitam. Ia menata meja dengan rapi, menyalakan lilin kecil di tengah meja. Ia bahkan menyemprotkan sedikit parfum mawar kesukaannya ke rambut.
Ia menunggu.
Jam 7. Tak pulang.
Jam 9. Belum ada kabar.
Jam 11 lewat… baru suara pintu depan terdengar.
Vito masuk dalam keadaan sedikit mabuk, masih mengenakan jas kerja. Ia melirik Vira yang berdiri di dekat meja makan.
“Kamu nungguin aku makan?”
“Iya… aku masak spesial. Mau cicip—”
“Aku sudah makan di luar. Jangan ganggu aku.”
Vira diam. Ia melihat makanan yang masih hangat itu perlahan kehilangan uapnya.
Hatinya menghangatkan air mata, tapi ia memilih menyimpannya sendiri.
“Baik… selamat istirahat.”
---
Vira berjalan ke kamar tidur. Tapi malam itu ia tidak bisa tidur. Ia berdiri lama di balkon, memandangi langit kota yang kosong. Tangan kirinya mengelus perut, walau belum ada kehidupan di sana.
“Apa aku terlalu berharap? Atau aku memang tidak pantas dicintai…”
---
Beberapa minggu kemudian, keluarga Hartawan mengadakan makan malam keluarga untuk menghormati pernikahan mereka. Keluarga besar Vito datang—beberapa dari luar kota. Sepupu-sepupu, bibi, bahkan nenek dari pihak ibunya.
Vira berdandan rapi. Ia memakai kebaya pastel lembut dengan rambut disanggul manis. Ia berdiri di sisi Vito sepanjang acara.
Di depan semua orang, Vito bersikap manis. Merangkul pundaknya, memanggil “Sayang” dengan senyum tipis, menyuapinya kecil saat makan malam.
Semua orang memuji mereka. “Pasangan yang serasi!” “Vira cantik dan sopan sekali.” “Vito beruntung mendapatkan istri seperti dia.”
Tapi semua itu hanyalah sandiwara.
Begitu pintu kamar tertutup dan lampu mati, Vito kembali menjadi asing. Ia tak bicara sepatah kata pun. Ia bahkan tidur di sofa dengan posisi membelakangi.
Vira menangis malam itu. Tapi seperti biasa… tanpa suara.
---
Suatu pagi, Vira melihat Vito meninggalkan rumah lebih awal dari biasanya. Ia curiga dan diam-diam mengikuti dengan taksi sewaan.
Ia melihat Vito bertemu dengan seorang wanita… dan wanita itu adalah Sonia.
Mereka duduk di kafe, tertawa-tawa, berbagi makanan, dan—yang paling menyakitkan—Sonia mencium pipi Vito dengan mesra saat mereka berpisah.
Vira berdiri kaku di balik dinding kaca kafe, tak sanggup bergerak. Tubuhnya gemetar, dan untuk pertama kalinya, hatinya terasa benar-benar… patah.
---
Malam itu, Vira tidak menyambut Vito dengan makanan atau senyum. Ia hanya diam, duduk di ruang tamu dengan wajah lelah.
Vito menatapnya datar. “Kenapa menatapku seperti itu?”
Vira ingin bertanya. Ingin memaki. Tapi ia tahu semua itu tidak akan mengubah apa pun.
“Aku cuma ingin tahu…” ucapnya pelan, “apa kamu pernah benar-benar ingin menikah denganku?”
Vito terdiam sejenak. Lalu tersenyum miring.
“Tidak. Tapi kamu sudah jadi istriku. Jadi diam dan jalani saja peranmu.”
Vira mengangguk pelan.
“Baik. Aku akan jalani. Tapi suatu hari… kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan hatiku.”
bersambung
Pagi itu cerah. Langit tampak bersih untuk pertama kalinya setelah berhari-hari hujan. Tapi tidak dengan hati Vira. Matahari mungkin bersinar terang di luar, namun di dalam hatinya, kabut kelabu tetap enggan pergi.
Vira duduk di ruang makan, menyandarkan dagu pada telapak tangan. Di hadapannya dua piring nasi goreng seafood buatan sendiri masih hangat, lengkap dengan irisan mentimun dan tomat yang ditata rapi di sisinya.
Namun kursi di seberangnya kosong.
Seperti biasa.
---
Sudah hampir satu jam ia menunggu. Vito belum turun. Biasanya, jika tidak pergi subuh-subuh tanpa pamit, Vito akan turun sekitar jam delapan pagi. Tapi hari ini sudah lewat.
Vira berdiri. Pelan-pelan menaiki tangga menuju kamar mereka. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di lantai marmer dingin.
Pintu kamar sedikit terbuka. Vira mengintip dan mendapati Vito masih tertidur di sofa panjang di sisi jendela. Jasnya terlempar sembarangan ke lantai, dasinya tergulung di atas meja kopi. Di dekatnya, sebotol kecil minuman keras nyaris kosong.
Hati Vira mencelos.
Ia membuka pintu sepenuhnya dan masuk dengan pelan. “Vito…” panggilnya lembut, hampir seperti bisikan.
Tak ada respons.
“Vito, kamu belum makan…” lanjutnya lagi.
Vito menggeram pelan dan menggeliat. Ia membuka mata, mengerjapkan sebentar, lalu menatap Vira dengan tatapan kosong yang perlahan berubah menjadi jengkel.
“Apa sih…”
“Aku sudah siapkan sarapan. Nasi goreng seafood, pakai cabai rawit seperti yang kamu suka waktu SMA,” ucap Vira sambil tersenyum canggung.
Vito duduk, menyandarkan punggung. Ia menggosok wajahnya kasar, lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi tanpa menjawab.
Vira menunduk, menatap karpet bulu yang dingin di bawah kakinya.
> Dia tak ingat? Atau pura-pura lupa kalau dulu suka nasi goreng cabai rawit?
---
Di ruang makan, Vira menunggu lagi. Ia mengaduk sendoknya pelan. Lima belas menit berlalu, suara langkah terdengar menuruni tangga. Vito muncul dengan kemeja putih baru, dasi tergantung longgar di leher, rambut masih setengah basah.
Ia melewati Vira tanpa menoleh.
“Vito…”
Laki-laki itu berhenti di ambang pintu.
“Aku… boleh temani kamu hari ini? Mungkin ke kantor, atau… makan siang?”
Vito menoleh pelan. Wajahnya datar, tanpa emosi.
“Aku nggak butuh istri yang ikut-ikut kegiatanku. Kamu cukup di rumah. Jangan ikut campur.”
Vira menggigit bibirnya. “Maaf… aku cuma ingin lebih dekat…”
“Sudah cukup dekat. Kita tidur di rumah yang sama, kan?”
Ucapan itu bagai palu godam menghantam dada.
Vira mengangguk kecil, pura-pura kuat. “Iya. Hati-hati di jalan…”
Tanpa sepatah kata pun, Vito melangkah pergi. Pintu tertutup dengan dentuman pelan.
---
Hari itu Vira menghabiskan waktunya duduk di taman belakang. Di tangannya ada kain putih, benang, dan jarum sulam. Ia menyulam bunga mawar di sudut taplak meja yang sudah ia kerjakan selama dua minggu.
Tangannya lincah, tapi matanya berkaca.
Ia teringat kata-kata Vito pagi tadi.
“Cukup dekat. Kita tidur di rumah yang sama, kan?”
Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti kutukan.
“Apakah semua ini salahku? Aku hanya mengikuti wasiat kakekmu… aku mencintaimu, bahkan sebelum kau tahu namaku.”
---
Malam harinya, Vira menunggu lagi. Makan malam sudah tersaji di meja, lilin kecil menyala, dan rumah harum aroma sup ayam ginseng yang ia pelajari dari internet.
Jam 9 malam.
Vito belum pulang.
Jam 10 lewat. Tak ada kabar. Ponselnya tak aktif.
Vira menatap meja makan yang sudah mulai dingin. Ia duduk sambil menopang dagu, memandangi piring kosong di depannya.
“Apa aku bodoh?”
Pikirannya melayang jauh. Kenangan masa lalu berkelebat di pelupuk mata.
Ia masih ingat bagaimana ia duduk di tribun sekolah, memandangi Vito bermain basket. Ia bukan siapa-siapa saat itu. Baju seragamnya kebesaran, rambutnya dikucir dua, dan matanya penuh rasa kagum yang ia sembunyikan.
Ia selalu membawa bekal lebih, berharap bisa berbagi ke Vito. Tapi tak pernah berani menghampiri.
Sekarang, ia ada di rumah yang sama. Menjadi istri sah Vito Hartawan. Tapi terasa jauh… lebih jauh daripada dulu saat hanya bisa mengaguminya dari bangku penonton.
---
Malam itu, Vira tertidur di sofa ruang tamu, masih mengenakan apron memasak.
Sekitar jam 2 pagi, suara pintu terbuka perlahan. Vito masuk, langkahnya terhuyung. Ia melihat sekilas ke arah ruang tamu, mendapati Vira tertidur dengan kepala menyandar di sisi sofa, tangan kanan masih menggenggam kain sulaman.
Ia mendengus pelan. “Bodoh…”
Tapi untuk sesaat, hanya sesaat… ia menatap Vira agak lama, sebelum akhirnya naik ke kamar tanpa membangunkannya.
---
Beberapa hari kemudian, Sonia datang berkunjung.
Vira menyambutnya dengan hangat. “Senang banget kamu datang!”
Sonia memeluknya. “Akhirnya aku bisa lihat rumah Hartawan dari dalam. Dan lihat kamu, Vira! Cantik banget!”
Vira tertawa. “Aku masih belajar jadi istri yang baik. Kadang gagal… seringnya malah bikin Vito makin marah.”
Sonia tersenyum manis. “Laki-laki memang sulit ditebak.”
Mereka duduk di teras, menikmati teh dan kue yang dibuat Vira sendiri. Sonia banyak bertanya. Tentang Vito, tentang rumah, tentang kebiasaan mereka.
Vira menjawab dengan tulus. Kadang senyum, kadang gugup. Tapi ia tak menyadari, setiap kata yang ia ucapkan menjadi pisau-pisau kecil yang akan digunakan Sonia kelak.
---
Malam itu, saat sendiri di kamar, Vira membuka laci meja rias dan mengeluarkan buku hariannya.
Ia menulis dengan tinta biru:
“Hari ini aku sadar… bahwa cinta mungkin bukan hal yang cukup untuk membuat seseorang tinggal. Tapi aku masih ingin mencoba. Aku ingin jadi istri yang baik. Kalau suatu hari ia mencintaiku, aku ingin itu karena aku tak pernah menyerah.”
---
Di tempat lain, di kamar apartemen mewah, Vito menatap layar ponselnya.
Sonia bersandar di lengannya, membisik, “Dia benar-benar polos. Dia percaya padamu sepenuh hati.”
Vito menyeringai. “Biarkan saja. Semua ini hanya sementara.”
Sonia mencium leher Vito. “Kamu yakin akan terus bertahan di rumah itu?”
“Aku harus. Sampai semua properti dan saham resmi atas namaku. Setelah itu… aku bebas.”
Tak ada satu pun dari mereka yang tahu… bahwa Tuhan sedang mencatat segalanya. Dan Vira… akan bangkit. Tapi belum sekarang.
Untuk saat ini, ia masih bertahan. Dalam diam. Dalam luka.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!