NovelToon NovelToon

Kutu Buku Mendapatkan Sistem

Episode 1

Seorang lelaki terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya pucat dan tak berdaya.

Meskipun mengalami kecelakaan mengerikan dengan kereta api yang melaju kencang, secara ajaib tubuhnya masih utuh. Namun, dampak keras yang dialami oleh kepalanya membuatnya terbaring di sana, seolah dunia telah meninggalkannya.

Di samping ranjang, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih dan wajah yang tampak letih, duduk di kursi sambil memegangi tangan sang lelaki dengan erat. Tangisan pilu dan gumaman yang tidak jelas terdengar menggema di ruangan tersebut, menciptakan suasana yang pilu dan mengharukan.

Wanita itu, seorang ibu yang hanya memiliki satu putra, merasa seolah jantungnya hancur melihat nasib tragis yang dialami putranya. Setiap detik yang berlalu, dia merasakan kepedihan yang semakin dalam, mengingat betapa berharganya putra yang dia cintai. Namun, di tengah keputusasaan, dia tak bisa berbuat apa-apa

Selain membenci keadaan yang telah menimpa mereka.

"Nak, mengapa kamu melakukan ini?

Apakah kamu merasa hidup itu tidak berarti?

Apakah kamu tidak kasihan pada Ibu?" Air mata wanita tua itu berlinang, suara isak tangisnya menggema di dinding bangsal.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan seorang perawat cantik bersama dokter berjalan masuk. "Bu, biarkan kami memeriksa putra Ibu agar dapat menemukan cara untuk menyembuhkannya," ujar perawat itu dengan nada dingin dan sinis.

Wanita tua bernama Sandria itu menyingkir sambil menarik napas dalam-dalam, menyerahkan nasib putranya pada kedua sosok profesional di hadapannya.

Setelah menempelkan stetoskop di dada pemuda berusia dua puluh tahun tersebut, dokter mengernyit sejenak sebelum menyentuh nadinya. Dengan ekspresi muram, dia menggeleng. "Anak Ibu tidak memiliki harapan untuk sembuh. Sebaiknya Ibu bawa pulang saja dan persiapkan peti mati untuk mengurus pemakamannya," ucap dokter itu

Tanpa belas kasihan, lalu segera meninggalkan ruangan.

Perawat itu melepaskan berbagai alat yang menempel di tubuh pemuda malang itu.

Suasana sunyi dan air mata pilu menghantui hati Sandra yang hancur tak berdaya menatap putra tercintanya yang terbaring lemah.

"Ini tidak mungkin," gumam Sandria tercekat, mata berkaca-kaca. Ia bersandar pada dinding rumah sakit, tangannya bergetar saat menyeka air matanya yang membasahi pipi.

Suara dokter tadi, seperti sambaran petir yang membuncah dengung di kepala, menghantam relung hatinya hingga remuk.

Perawat mencoba menenangkan, "Ibu harus kuat. Sebaiknya Ibu segera membayar biaya administrasi dan segera membawa anak Ibu pulang. Kami akan berusaha memberikan diskon untuk mengurangi beban Ibu."

"Bayar biaya?" gumam wanita tua itu lirih. Hatinya kembali tersayat, bagai dililit pilu yang semakin mengguris. Untuk makan saja, mereka harus mencari uang dengan susah

Payah. Lalu bagaimana mesti membayar biaya rumah sakit ini? Dengan apa? Dari mana dia akan mampu mengais?

Jika saja dia tahu nasib mereka akan berujung pada pertaruhan ini, dia tak akan ragu menahan orang yang bawa putranya ke rumah sakit. Dan sekarang? Nasib malang hampa membelenggu hati.

Sandria menghela napas berat, "Baiklah, aku akan memberitahu ayahmu, bahwa putranya sedang berjuang melawan penyakit yang mengancam nyawanya. Semoga saja, kali ini dia berkenan peduli." Dia bersiap melangkah, namun tangan anaknya berusaha menggenggam erat tangan ibunya, bagai tak ingin melepaskan sekalipun tenaga mulai jauh memudar.

Merasa genggaman hangat di tangannya, Sandria segera tersadar dan menoleh. Dalam kebingungan, dia melihat putranya, Jansen Gillard, sedang tersenyum padanya. Wanita itu mengusap matanya berkali-kali, merasa seolah sedang bermimpi, namun ketika ia membuka matanya kembali, wajah putranya yang sebelumnya pucat perlahan pulih kembali warnanya.

Mata Jansen menatap tegak ke langit-langit rumah sakit, dan Sandria tak tahu apa yang sedang dilihatnya di sana. Jantungnya terasa seakan hendak pecah saat ia melihat air matanya kembali mengalir deras, sementara kilatan ketakutan melintasi matanya. Dia teringat pepatah, "jika seseorang akan meninggal, maka dia bisa melihat malaikat yang akan mencabut nyawanya." Firasat buruk langsung menyelimuti hatinya, mengingat para perawat dan dokter sudah mengatakan bahwa Jansen sudah tidak ada harapan hidup.

Sementara itu, Jansen tengah menatap layar hologram yang muncul tepat di depan matanya, dan inilah sebabnya dia menatap ke langit-langit. Ia tidak menyangka bahwa saat dia terlempar menuju kereta, sesuatu tiba-tiba menghantam tubuhnya lebih dulu dan itu ternyata sebuah sistem.

Sebelum kejadian.

Jansen orang yang cerdas dan dia berhasil berkuliah di Universitas Gadjah berkat beasiswa, selama ini hidup serba sedikit, tak punya teman, dan sering dijauhi karena latar belakang keluarganya yang miskin. Selain itu, dia juga dikenal sebagai

Kutu buku dengan kacamata tebal. Pagi itu, seorang wanita cantik tersandung, dan Jansen yang kebetulan lewat berusaha menolong dengan refleks. Namun, saat itulah keberuntungannya seakan berbalik. Tidak hanya dia juga terjatuh, tapi posisi jatuhnya begitu menguntungkan baginya sehingga membangkitkan amarah seorang pria kaya yang menyaksikannya.

Namun, si pemuda kaya tidak langsung melampiaskan kemarahannya saat itu, melainkan menunggu kesempatan untuk balas dendam. Saat Jansen pulang, serangan yang tak terduga itulah yang akhirnya menjerat hidupnya.

Jansen Gillard diculik oleh sekelompok orang dan disekap di sebuah gudang dekat rel kereta api. Di sana, dia dipukuli dengan brutal tanpa belas kasihan. Alasan kejamnya perlakuan ini adalah karena Jansen telah tanpa sengaja menyentuh seorang wanita populer di Universitas Gadjah.

Wanita itu adalah Lorenza Webster, mahasiswi Universitas Gadjah yang terkenal karena kecantikan dan popularitasnya. Banyak pria, baik yang diam-diam maupun secara terang-terangan, mengaguminya. Namun, tak

Satupun dari mereka berhasil mendekati Lorenza, yang terus bersikap dingin dan angkuh. Suatu hari, saat ia terjatuh, seorang lelaki yang dianggap pecundang oleh sekelilingnya berhasil menolongnya. Lorenza tersenyum manis padanya, membuat jantung para pria pengagumnya seakan berhenti.

"Kamu mencoba untuk mengambil keuntungan dari situasi itu, kutu buku," ujar Doni sambil menginjak kaki Jansen yang sedang terikat di kursi. "Tunggu saja, tubuhmu akan hancur dalam tanganku!" Dony murka, karena wanita pujaannya malah tersenyum pada Kutu Buku ini.

Jansen merasa ketakutan mendalam, kehilangan kacamata yang memecah membuat pandangannya kabur. Namun, ia masih bisa mengenali penculiknya, Dony. "Bawa dia dan lemparkan ke dalam kereta!" perintah Dony. Beberapa orang mengejek dan tertawa saat mengeksekusi perintah tersebut.

"Kamu akan mati," ejek Nando, menambah rasa putus asa yang melilit Jansen. Dunia terasa gelap, namun Jansen bersumpah, jika ia berhasil keluar dari situasi ini, ia akan balas dendam. Tapi dia tahu, bahwa jika tubuhnya dilemparkan ke kereta

Yang melaju dengan cepat. Dia pasti akan mati.

Saat kereta berkecepatan tinggi melintas, Nando bersama kawan-kawannya menghempaskan Jansen ke rel.

Brak!

Tubuh Jansen terpental dengan keras.

Episode 2

Nando tak menyempatkan diri untuk memastikan, sebab dia yakin bahwa nasib malang telah menimpa Jansen.

Dony buru-buru pergi dari tempat itu, hendak menghilangkan jejak kekejaman mereka. Begitu pula dengan yang lainnya, mereka meninggalkan Jansen seorang diri.

Di tengah kesadarannya yang meredup, Jansen mendengar bisikan misterius.

Ding...

[Sistem akan segera terpasang]

1%... 5%... 25%... Kesadaran Jansen kian menyusut dan lenyap bersama pesan tersebut.

Ketika sadar kembali dia sudah berada di

Ranjang rumah sakit, Jansen merasa berbeda setelah proses pemasangan berhasil.

[Selamat, Anda mendapatkan Hadiah Pemula: Ramuan Kebangkitan. Silahkan baca deskripsi untuk mengetahui cara penggunaannya.]

Ding... Suara berdenting terdengar di kepala Jansen.

Nama: Jansen Gillard.

Poin Utama:

100

Poin yang diperlukan untuk Peningkatan: 300.

Kekuatan:

50

Kelincahan:

50

Semangat:

50

Keterampilan: Tidak ada.

Inventory: Ramuan Kebangkitan.

Jansen mengangkat tangannya, meraih

Sesuatu di udara yang tak tampak oleh mata; aksi itu disaksikan oleh ibunya. Air mata Sandra mengalir deras, dan gempuran emosi yang menggelayuti hatinya membuatnya tak kuat lagi. Akhirnya, dia pun pingsan.

Serentak, sebuah benda misterius muncul di udara, tepat di genggaman Jansen dengan tutup terbuka. Serasa tak ada pilihan lain, ia segera meneguknya. Gluk! 'Potion Kebangkitan' habis seketika masuk ke dalam tenggorokannya.

Dalam sekejap, tubuhnya merasakan guncangan hebat, dan rasa sakit yang tak terkendali menyerbu seluruh tubuhnya. Sebelumnya, dia tak bisa merasakan kedua kakinya akibat patah karena pukulan Doni. Hansen menggigit erat-erat besi di samping ranjang rumah sakit, berusaha tahan menahan jeritan yang ingin keluar.

Tubuhnya lemas, peluh mengucur deras, dan matanya tak henti-henti berkelip, memperjuangkan apa yang terjadi padanya. Siapa sangka, Potion Kebangkitan bekerja dari dalam, meregenerasi setiap sel yang rusak untuk menghidupkan kembali semangat yang nyaris padam itu.

Jansen menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, perlahan dia merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya.

Tubuhnya terasa lebih kuat dan pandangannya jauh lebih jernih daripada sebelumnya. Bahkan, dia dapat melihat wajah ibunya dengan sangat jelas meski tanpa kacamata.

Dengan penuh kelembutan, dia menggendong ibunya dan meletakkannya di ranjang yang dulu ia tempati. Waktu mereka di rumah sakit sudah tidak bisa lebih lama lagi, namun Jansen sadar bahwa dia harus memiliki uang untuk biaya keluar rumah sakit. Dia bukan orang yang bodoh.

Jansen sudah memahami cara kerja Sistem yang ada padanya.

Dia menanyakan pada dirinya sendiri, "Apakah aku bisa menukar Poin Utama dengan uang?"

Dan dengan tegas, Sistem menjawab, [Semua hal bisa menjadi mudah dengan

Sistem Kekayaan].

Jansen semakin percaya diri, "Katakan padaku berapa nilai tukar Mata Uang Negara Indonesia dengan Poin!" Tegas Jansen dalam hati.

Sistem segera memberikan informasi, [1 Poin \= 100.000.00].

Tanpa ragu, Jansen pun memutuskan, "Tukar semua Poin Utama dengan uang!" Dan dengan sekejap, Sistem pun menjalankan proses yang diinginkan Jansen,

[Proses dilakukan].

Jansen meraih ponselnya yang bergetar dan mendapati notifikasi penerimaan uang sebesar Sepuluh Juta. Mungkin bagi orang kaya jumlah itu tak begitu berarti, namun bagi Jansen, itu adalah harta yang sangat berharga. Selama ini, ia terus hidup berhemat, seringkali hanya memakan satu potong roti dalam sehari sebagai pengganjal perutnya.

Kini, dengan sepuluh Juta di rekeningnya, Jansen merasa seolah telah menjadi orang kaya baru. Ia tak dapat menahan sukacita yang

Menggebu, segera menggendong ibunya yang telah lanjut usia. Kendati ada kursi roda, Jansen menolak menggunakannya. Baginya, ini adalah anugerah yang tak ternilai; di masa kecilnya, dia kerap digendong ibunya dan diangkat tinggi-tinggi, kini giliran dia yang menggendong wanita yang melahirkannya. Tentu saja, Jansen tidak melempar ibunya ke udara seperti saat ia masih kecil.

Sesampainya di kasir, kebetulan perawat yang merawat Jansen melihat adegan tersebut. Terkejut luar biasa, dia menutup mulutnya seakan-akan melihat hantu. Pingsanlah perawat itu seketika. Tapi Jansen tak menyadari kejadian itu, fokusnya tertuju pada pembayaran dan kebahagiaan yang telah lama ia nantikan.

Biaya rumah sakit hanya 1 Juta saja.

Itupun hanya meliputi biaya kamar dan lainnya tidak dibebankan. Cukup mahal memang hanya untuk kamar yang tidak begitu lama ditinggali.

Semua perawat yang mengetahui kondisi Jansen sebelumnya tercengang ketika melihatnya berjalan melintasi koridor.

Kondisi Jansen Mengkhawatirkan dan sepertinya sudah tidak ada harapan lagi

Mereka ketakutan seakan melihat hantu yang berjalan. Seorang dokter yang baru saja memeriksa Jansen untuk terakhir kali bertanya pada salah satu perawat, "Ada apa denganmu? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?"

Jansen memang sebelumnya berada dalam "Itu, Dok, orang yang Bapak periksa sebelumnya di kamar dua ratus satu," perawat itu menunjuk ke arah Jansen yang tengah menggendong ibunya. Walaupun hanya melihat punggungnya saja saat ini, dokter itu tetap mengenali pakaian yang dikenakan Jansen masih belum berganti.

Apalagi, ada bukti tak terbantahkan: seorang wanita dalam gendongannya, yang tak lain adalah ibunya. Dokter itu pun merasa gempar dalam hatinya, ia tidak percaya dan ragu akan kenyataan yang sedang dilihatnya. "Mana mungkin dia bisa hidup dan berjalan?" gumam dokter itu dengan penuh keheranan dan ketakjuban.

Rumah sakit itu seketika menjadi gempar.

Sementara itu, orang yang menjadi pusat perhatian tengah membawa ibunya dan naik taksi. Dia mengerti dari keadaan ibunya saat ini bahwa ia hanya mengalami tekanan mental dan tak perlu dirawat di rumah sakit. Selama ada sistem, menurutnya hal itu mudah dilakukan. Dia harus memanfaatkan keberadaan sistem dengan sebaik-baiknya.

Taksi berhenti di depan rumah kontrakan.

Jansen turun, kemudian tiba-tiba beberapa barang dilemparkan dari dalam rumah. Wajahnya terbelalak, tangannya bergetar, dan hatinya berdegup kencang. Meski begitu, tubuh ibunya yang terguncang sama sekali tidak terpengaruh. Ia berlari dengan kelincahan, seakan mengejar waktu yang hilang.

Jansen merasakan darah mendidih dalam nadinya, menegangkan otot-otot kakinya.

Dalam sekejap, ia menempuh jarak lima belas meter dan tiba di depan pintu, dengan tubuh yang masih tegang dan mata nanar.

Melihat ada orang yang datang, wanita tua yang ada di dalam rumah segera berteriak pada Jansen. "Aku sudah memberi waktu tiga minggu pada kalian untuk membayar sewa. Tapi masih saja tidak ada. Aku sudah muak,

Aku sudah tak tahan lagi. Enyah saja dari sini!" Kata-katanya menusuk, dan Jansen merasa seolah pisau yang tajam menusuk hatinya. Ia terdiam, dan kembali, dunia seolah menertawakannya.

Dahulu kala, ketika dia dimarahi seperti ini, dia hanya bisa menunduk pasrah, terpanggil oleh takdir yang memang tidak memihaknya. Ibunya bekerja di pabrik pengolahan rotan dengan penghasilan yang serba pas-pasan; hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Episode 3

Sementara itu, Jansen, di waktu senggangnya, mencari nafkah tambahan sebagai pengantar makanan. Dengan motor butut pemberian ibunya, ia bekerja keras demi memperoleh persentase penghasilan dari setiap pengantaran paket yang ia lakukan.

Meski begitu, hasilnya hanya 5 Ribu untuk setiap perjalanan yang ia tempuh.

Hari ini, berbekal kepercayaan diri yang tumbuh subur di dadanya, Jansen menatap wanita tua itu dengan penuh tekad. "Bu, aku akan melunasi sewa rumah untuk tiga bulan sebelumnya dan menyewa kembali untuk periode yang sama dengan bayaran lunas di muka. Berikan aku nomor rekening kamu, aku

Akan mentransfer uangnya sekarang!" ujar Jansen, lantang.

Wanita tua itu terkejut mendengar perkataan Jansen yang terdengar begitu yakin dan percaya diri, membuatnya tersentak dan tertegun sejenak. "Hah?!" Serunya, kaget.

"Darimana kamu mendapatkan uang sebesar Tiga Juta, hah? Mencuri? Apakah tanganmu itu sudah mulai nakal dan tak bisa lagi tahan pada kemiskinan?" tanya wanita tua pemilik kontrakan, seraya mengerutkan kening, skeptis.

"Bukan, Bu," jawab Jansen dengan tenang. "Aku mendapatkan berkah sebelumnya, aku menang ketika memasang lotre. Jadi sekarang aku memiliki sedikit uang untuk melunasi utang dan juga membayar kontrakan bulan depan, agar Ibu tidak perlu cemas lagi!" jelas Jansen dengan semangat, berharap wanita itu akan percaya padanya.

"Bah, ada hal seperti itu. Aku tidak percaya!" sanggah Ibu Kontrakan, sinis. Namun, dia tetap memberikan nomor rekeningnya dengan enggan. Tidak lama kemudian, notifikasi uang masuk diterima

Oleh sang Ibu pemilik kontrakan. Matanya membelalak, dan rasa kaget bercampur takjub membuatnya hampir tak bisa berkata-kata. Uang sebesar Tiga Juta benar-benar masuk ke rekeningnya.

Kontrakan itu seharga lima Ratus Ribu per bulan. Karena Jansen sudah menunggak selama tiga bulan, dia harus membayar 1,5 Juta. Ditambah dengan tiga bulan kedepan, total biaya yang harus dibayarkan Jansen mencapai 3 Juta.

Total uang yang dimiliki Jansen kian menipis, setelah terpaksa mengeluarkan 1 Juta untuk biaya kamar rumah sakit dan 3 Juta untuk membayar kontrakan.

Kini, di tangan, ia hanya memiliki 6 Juta Rupiah saja. Setelah sang ibu kontrakan pergi, dengan hati-hati Jansen menaruh ibunya di kasur yang tidak layak pakai, kasur keras yang seolah-olah ingin menambah beban sakit yang dialami ibunya.

Setelah itu, dia merapikan semuanya yang sebelumnya diacak-acak oleh ibu kontrakan. Nafasnya terengah-engah, meski tidak dapat mengeluh.

Selesai, dia memanasi air agar ketika ibunya terbangun, bisa langsung minum air hangat. Kasih sayang yang meluap tak terbatas tergambar pada genggaman tangannya yang penuh perhatian.

"Ibu, aku akan membalas setiap jengkal kebaikan yang engkau taburkan dalam langkahku. Aku juga akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia yang memiliki putra paling membanggakan."

Setelah menatap ibunya, perasaan sayu menyelimuti Jansen saat ia keluar dan bersandar di kursi depan rumah. Dia merenung dalam-dalam sambil menatap layar hologram yang hanya bisa dilihat olehnya, mencari jawaban dari hidup yang begitu getir ini.

Jansen terbangun dari tidurnya dan segera memeriksa Sistem yang ada di dalam kepalanya. Di sana, ia melihat sebuah jam yang terus berputar, menunjukkan waktu yang sama dengan dunia nyata. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul dengan suara berdenting yang menggema di dalam kepalanya.

DING...

[Selamat, Anda telah melakukan Cek-in dan mendapatkan dua puluh Poin]," ucap suara itu dengan semangat.

Jansen, yang terkejut dengan notifikasi tersebut, langsung melompat dari tempat tidurnya dan duduk tegak. Dengan perasaan penasaran dan tergesa-gesa, ia mulai memeriksa status dirinya yang ada di dalam Sistem.

Ding... Suara berdenting kembali terdengar, kali ini menampilkan informasi mengenai status Jansen.

Nama: Jansen Gillard.

Poin Utama: 20

Kekuatan: 50

Kelincahan: 50

Semangat: 50

Keterampilan: Tidak ada.

Inventory: Tidak ada.

Dana: 6.000.000.00.

Jansen sangat bahagia dan dia lekas mandi untuk pergi ke pasar.

Pagi hari itu, Jansen terlihat tampan dengan jaket, sibuk berkeliling pasar untuk membeli beberapa sayuran dan daging segar.

Suara tawar-menawar dan keramaian pasar tak mengurangi semangatnya untuk mencari bahan-bahan terbaik. Sesampainya di rumah, dia segera menggantung jaketnya dan mengenakan celemek.

Sebagai anak tunggal yang mandiri,

Jansen memang selalu dituntut oleh ibunya untuk bisa memasak dan mengurus diri sendiri. Hal ini dilakukan agar mengurangi beban biaya yang dikeluarkan, terutama karena mereka bukan keluarga yang mampu. Makan daging, misalnya, adalah hal yang jarang mereka lakukan kecuali pada hari-hari besar saja.

Sementara itu, Sandria yang baru saja siuman dari tidurnya, mencium aroma masakan yang menggugah selera. Meskipun tak setingkat dengan masakan ahli koki bintang lima, namun masakan Jansen tetap membuat perutnya keroncongan. Sandria pun segera bangkit dari tempat tidurnya dan mengikuti aroma tersebut.

Di dapur, Jansen tampak begitu serius mengaduk kuah gulai daging yang sedang dimasaknya, sambil menambahkan beberapa rempah untuk menambah cita rasa. Raut wajahnya yang fokus dan tatapan mata yang tajam membuat Sandria terpesona. Dia tak menyangka, lelaki yang biasanya terlihat santai dan cuek itu ternyata memiliki keahlian memasak yang tak terduga.

"Sedap sekali aromanya, Jansen. Aku tak sabar ingin mencicipinya," puji Sandra sambil

Tersenyum manis. Jansen yang mendengar pujian itu, tersenyum kecil sambil menatap Sandria.

"Terima kasih, ibu. Aku harap rasanya juga sesuai dengan harapanmu," balas Jansen dengan nada rendah dan lembut. Ketika masakan itu selesai, mereka pun duduk bersama di meja makan, saling menatap dan menikmati masakan Jansen yang lezat dan menghangatkan hati. Momen itu menjadi salah satu kenangan manis dalam hidup mereka, saat-saat sederhana yang penuh kebahagiaan.

Sandria baru saja menyelesaikan hidangan malam yang lezat bersama Jansen di meja makan. Setelah menghabiskan beberapa suap terakhir, dia menyadari sesuatu yang aneh. Dengan tatapan curiga, dia menatap Jansen dan bertanya, "Darimana kamu mendapatkan uang untuk membeli bahan-bahan makanan ini? Selain itu, bukankah kita seharusnya diusir dari kontrakan?"

Jansen, yang merasa terpojok, terpaksa berbohong untuk menyembunyikan kenyataan. "Bu, sebenarnya sebelum kecelakaan itu, aku menang lotre senilai 10 Juta!" ucapnya dengan nada terbata-bata,

Berusaha meyakinkan ibunya. Dia tahu bahwa mengungkapkan sumber uang sebenarnya, yaitu sistem yang telah membantunya, akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan.

"Benarkah, apa kamu tidak berbohong?" tanya Sandria dengan ekspresi ragu. Wajahnya memerah, mencoba menilai kejujuran putranya.

"Percayalah, Ibu," jawab Jansen sambil tersenyum tipis, berusaha menenangkan kecurigaan ibunya. Untuk meyakinkan Sandria, dia segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan menunjukkannya. "Lihat, inilah hasil kemenangan lotre."

Sandria memeriksa uang itu dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda pemalsuan. Setelah yakin uang itu asli, dia menghela nafas lega dan menatap putranya dengan senyuman lembut. "Baiklah, aku percaya padamu. Tapi jangan lupa untuk menggunakan uang ini dengan bijak, ya. Kita harus menghemat dan berusaha mencari pekerjaan agar bisa bertahan hidup."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!