Ruang operasi itu terang benderang, dinding putih mengilap memantulkan cahaya lampu LED yang nyaris tidak berbayang. Aroma antiseptik menyelimuti udara, tajam dan steril, seperti pertanda bahwa kesempurnaan harus lahir tanpa cela.
Dr. Carissa Neyara, dengan gerakan anggun nan presisi, merapatkan sarung tangan latex di kedua tangannya. Tidak ada ragu dalam gerakannya, hanya ketenangan mutlak seorang profesional yang telah mengukir ribuan wajah, menyentuh kulit demi kulit, dan menantang waktu dengan jarum serta pisau bedah sebagai senjatanya.
Di balik pintu kaca kedap suara, barisan pasien duduk menanti giliran mereka. Wajah-wajah gelisah, penuh harap, dan haus akan perubahan. Bagi mereka, Carissa bukan sekadar dokter. Dia adalah “dewi yang bisa menyentuh wajahmu dan menciptakan kembali takdirmu.”
“Filler bawah mata dan lifting halus di garis leher. Harusnya selesai dalam dua jam,” tutur Carissa ringan kepada asistennya, senyum profesional menghiasi bibirnya. Bagi Carissa, ini hanyalah prosedur harian, rutin, sederhana, nyaris otomatis.
Carissa adalah legenda di dunia estetika modern. Muda, memukau, brilian, dan mendirikan klinik termewah di Asia sebelum usianya menyentuh tiga puluh tahun. Orang-orang memanggilnya Dewi Transformasi, karena sentuhannya tidak pernah gagal menyulap wajah menjadi versi terbaik yang mungkin.
Namun, hari itu … ada sesuatu yang berbeda. Nyaris tak terlihat. Nyaris tak terdengar. Tetapi, Carissa merasakannya. Sebuah getaran aneh di udara, seolah-olah ruangan steril ini menahan napasnya sendiri.
Saat ia mulai menyuntikkan serum ke bawah kulit pasien, tangan yang biasanya setenang batu terasa disambut resistensi asing. Alat suntiknya yang telah digunakannya ribuan kali, bergetar halus. Lalu ... sebuah denyutan.
Jarum mikro berdenyut sendiri, seperti hidup.
Sebelum dia sempat bertanya, kilatan biru menyala dari ujung alat, lalu—
BRZT!
Satu letupan kecil, nyaris tidak terdengar, tetapi cukup untuk membuat semua sensor di ruangan berkedip. Rasa panas tiba-tiba meledak di dada Carissa. Seperti dibakar dari dalam.
Tubuhnya limbung, tangan melepas alat. Dunia berputar.
“Dokter Carissa?!”
“Panggil tim darurat!”
Teriakan, langkah tergesa, alarm medis berbunyi. Akan tetapi, suara-suara itu terasa semakin jauh. Semuanya memburam. Darah. Wajah panik. Dinding putih. Lantai yang mendadak terasa dingin.
Carissa terjatuh. Napasnya tercekat.
Kemudian … gelap.
***
Langit mendung menggantung rendah, menyimpan murka yang belum tumpah sepenuhnya. Rintik hujan turun tanpa ampun, menghantam tanah dan rerumputan bak ingin menghapus jejak dunia yang baru saja berubah. Di tengah hamparan lembab itu, terbaringlah sesosok tubuh perempuan. Diam, rapuh, dan hampir menyatu dengan kelamnya bumi.
Rambut panjangnya terurai tak beraturan, menyatu antara helai putih dan merah. Hujan terus membasahi wajah pucatnya, tetapi tidak sanggup menghapus luka menganga di dahinya, luka yang menjadi tanda bahwa dia telah melewati batas antara dua dunia. Gaun yang dikenakannya robek di banyak sisi, sobekannya liar, seperti bekas pertempuran atau pelarian.
Kemudian dari dalam kehampaan, suara asing mengalun dalam pikirannya, jernih dan bergema, seperti pantulan suara dari logam halus.
[Selamat datang di Kekaisaran Caelverin.]
[Proses penyatuan jiwa selesai.]
Kelopak matanya berkedut. Irama napasnya memburu, tersengal, seakan-akan paru-parunya baru saja ingat bagaimana cara bernapas. Dengan tubuh gemetar, gadis itu terlonjak bangkit dari tanah basah, matanya membelalak dalam kepanikan.
“A-Apa …? Ini di mana …?” Suara serak bercampur kebingungan. Kepalanya menoleh ke sekeliling, tetapi hanya disambut hutan berkabut dan langit kelabu. Tidak ada gedung rumah sakit. Tidak ada peralatan medis. Tidak ada suara manusia. Hanya alam liar yang terasa asing.
Tangannya meraba dahi, menyentuh darah yang nyaris berhenti mengalir, dan menyadari ini bukan mimpi.
Tubuhnya terasa berbeda. Dunia ini terasa salah.
Namun, yang paling membuatnya gentar bukanlah luka di kepalanya, melainkan fakta bahwa ia masih hidup dalam tubuh yang bukan miliknya. Dan yang berada dalam tubuh tersebut adalah Carissa.
"Siapa ... siapa sebenarnya pemilik tubuh ini?" Bola mata Carissa membulat sempurna penuh kegelisahan. Dengan jemari gemetar, dia menyentuh pipinya, lalu menyusuri garis wajah yang terasa asing di bawah sentuhan. Jemarinya merambat ke rambut, lalu berpindah ke lengan dan punggung tangan. Semuanya terasa kasar, penuh bekas luka yang tak dia kenali.
Kulit yang dulunya halus kini berubah menjadi ladang luka, penuh guratan, cekungan, serta bekas luka yang baru mengeras. Meski tanpa cermin, dia bisa merasakan ketidakseimbangan pada tulang pipi dan rahangnya. Ada bekas sayatan dalam. Ada jaringan parut tua. Ada bercak hitam memenuhi sekitar sisi muka kanan. Ada jerawat yang menyakitkan bahkan hanya disentuh angin.
Dia tahu. Wajah ini bukan miliknya. Dan bukan pula wajah yang dikenang oleh dunia.
“Tidak …,” gumam Carissa tertahan, penuh ketegangan yang meledak dalam dada. “Sungguh … aku hidup kembali di dalam tubuh orang lain? Seperti ini?” Suaranya pecah, setengah marah, setengah tidak percaya.
Carissa mengepalkan tangan. Napasnya memburu.
"Ini konyol! Ini ... tidak adil! Aku tidak bisa menerima ini!" Carissa berteriak dengan suara gemetar.
Hujan tiada henti membasahi tubuhnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan gejolak dalam hatinya. Yang dulu dokter cantik, elegan, sempurna, kini terperangkap dalam tubuh yang porak-poranda, seperti sisa perang yang belum selesai.
“Aku akan mengutuk siapa saja yang berani membuatku menempati tubuh buruk rupa ini!”
Tring!
Sebuah bunyi nyaring, ringan, dan tajam, menggema di udara kosong seperti denting kristal pecah. Mendadak, di hadapan Carissa, sebuah layar holografis muncul begitu saja dari kehampaan, melayang, berpendar lembut dalam cahaya kebiruan.
Tulisan-tulisan berwarna emas perlahan terukir di permukaannya, seakan-akan ditulis oleh tangan tak kasat mata. Kalimat demi kalimat muncul dengan irama sistematis, diiringi bunyi denting mekanis yang terasa asing di dunia tanpa teknologi ini.
Carissa terperangah. Matanya membelalak.
“A-Apa ini …?” Tubuh Carissa mundur satu langkah, dia merasa layar itu bisa menyentuh atau bahkan menelannya hidup-hidup.
[Sistem Arcane Aesthetic]
[Pemilik Sistem: Dr. Carissa Neyara]
[Status: Penyatuan Jiwa Selesai]
[Tubuh Saat Ini: Mirelsha Caelverin — tuan putri yang terbuang, tubuh dalam kondisi rusak parah.]
[Lokasi: Kekaisaran Caelverin – Kawasan terasing, Timur Berkabut.]
Carissa terpaku. Pandangannya kosong, otaknya enggan bekerja sama dengan kenyataan yang menelanjanginya begitu cepat dan kejam. Dunianya runtuh dalam sekejap, dan kini, layar mengambang di udara berbicara padanya layaknya ini semua adalah bagian dari ... program?
Jantung Carissa masih berdebar tak karuan, dan untuk sesaat, dia merasa kehilangan pegangan pada kewarasan. Bagaimana mungkin seseorang bisa menerima semua ini dengan akal sehat utuh? Mati saat prosedur medis, kemudian bangun dalam tubuh asing, di tengah hujan, disambut oleh sistem holografik yang tidak masuk akal?
Tangan Carissa mengepal erat, kukunya hampir menusuk telapak tangan.
“Tenang, Carissa. Kau tidak bisa panik sekarang,” gumam Carissa, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dunia. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara lembab dan aroma tanah memenuhi paru-parunya.
"Ini ... mirip sesuatu yang pernah aku lihat.” Carissa lanjut bergumam, mencoba memusatkan pikiran. "Sistem, layar mengambang, misi … seperti game, kan? Ya ... seperti game."
Logikanya masih mencari pegangan, meski sangat tipis. Namun, justru itu yang dia butuhkan. Sedikit logika, untuk menjaga agar dirinya tidak tenggelam dalam kegilaan.
Sebelum dia bisa merangkai lebih banyak pikiran, suara baru menggema, lebih dalam, lebih menekan, seperti berasal dari benaknya sendiri.
[Proses pemindahan ingatan akan dimulai ....]
[Persiapan sinkronisasi: Pengetahuan medis → Sistem arcane aesthetic]
[Pemrosesan dimulai dalam 3... 2 ... 1 ....]
Tubuh Carissa menegang. Sepasang netranya terbelalak ketika cahaya biru dari layar menembus dahinya. Dalam sekejap, jutaan fragmen data, gambar wajah, nama senyawa kimia, prosedur medis, hingga teknik kontur wajah berputar seperti tornado di dalam benaknya. Dia terengah. Panas. Dingin. Pusing.
Kenangan hidup lamanya tidak lenyap, mereka sedang ditransformasikan bersama ingatan pemilik asli tubuh ini.
Kenangan yang bukan miliknya mengalir masuk ke dalam benak Carissa bagai air bah yang tidak bisa dibendung. Gambar-gambar kehidupan masa lalu Mirelsha berkelebat cepat dan jelas, menusuk setiap sisi kesadarannya dengan rasa getir dan luka yang nyaris tidak tertahankan.
Carissa terdiam, tubuhnya gemetar bukan karena hujan atau dingin malam, melainkan oleh rasa sakit yang tertanam dalam ingatan tubuh yang kini dia tinggali. Rentetan penderitaan hidup Mirelsha, sepanjang tujuh belas tahun menerjang dirinya tanpa belas kasihan.
Suara ibunya bergema. "Mengapa kau tak bisa secantik adikmu? Hanya membuat malu keluarga."
Sang ayah menatapnya seakan-akan dia makhluk gagal. Para pelayan berbisik dan tertawa ketika ia lewat. Beberapa bahkan tak segan menampar, menendang, atau mencelupkan air panas ke tubuhnya. Seorang kesatria pernah menahan tangannya di atas api hanya karena dia menjatuhkan gelas anggur. Segala bekas luka senjata tajam dan bekas luka lain di tubuhnya ia dapatkan dari segala penyiksaan tersebut. Tiada orang yang membelanya, bahkan orang tuanya sekali pun.
Dan di balik semua itu, wajah seorang gadis cantik bersinar dalam bayangan, Rosmara, adik kandung Mirelsha, murni, lembut, dipuja semua orang, termasuk sang tunangan yang seharusnya menjadi milik Mirelsha.
Carissa mencengkeram dadanya sendiri. Sakitnya terlalu nyata.
“Tunangannya seorang duke muda. Dia mencintai Rosmara, bahkan di hadapan Mirelsha, dia tidak menyembunyikannya. Dan tidak ada yang berpihak padanya. Tidak satu pun.”
Sebagai seorang putri kekaisaran, Mirelsha tidak pernah memiliki harga diri, kasih sayang, atau tempat pulang. Hanya cemoohan, pengkhianatan, dan kekerasan yang dia terima, hingga pada akhirnya dia menyerang balik seorang bangsawan muda yang menghinanya sebagai "sampah kekaisaran".
Itulah titik akhir segalanya.
Hukuman dijatuhkan. Tidak melalui pengadilan. Tidak dengan belas kasihan.
Mirelsha, Tuan putri Kekaisaran Caelverin, diasingkan ke kastil tua di tengah hutan gelap, diseret seperti tahanan oleh para kesatria dan pelayan yang sama sekali tidak menganggapnya manusia.
Mirelsha ditinggalkan di sana dalam keadaan luka parah, tanpa pengobatan, tanpa makanan.
Hujan deras mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga napas terakhirnya lenyap tanpa suara, tanpa siapa pun yang peduli.
Dan di sinilah Carissa membuka mata. Dalam tubuh yang telah dikubur oleh dunia bahkan sebelum ia mati.
Carissa jatuh berlutut. Air mata membaur dengan hujan. Napasnya tercekat, seakan-akan seluruh penderitaan itu terpatri langsung ke jiwanya.
“Aku ... tidak percaya ada orang yang hidup sekejam ini …,” gumam Carissa.
Dia menatap tangannya, tangan yang bukan miliknya, tetapi sekarang melekat erat pada tubuh dan takdir baru.
“Dan semua orang menyalahkannya hanya karena wajahnya.”
Diam sejenak. Kemudian, perlahan tetapi pasti, sorot matanya berubah.
Rasa marah yang semula ditujukan pada nasibnya sendiri kini berubah arah.
Menjadi api kecil, membakar dadanya dengan keyakinan.
“Tidak ... Mirelsha tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tidak ada seorang gadis pun yang pantas dibuang hanya karena dia tidak sempurna di mata dunia.”
Carissa mengepalkan tangan. “Kalau dunia ini membuangnya hanya karena rupa, maka aku akan buat dunia ini belajar, bahwa kecantikan adalah kekuatan, dan kekuatan itu kini berada di tanganku.”
Dia bangkit perlahan, hujan masih membasahi tubuhnya. Akan tetapi, kini Carissa berdiri lebih tegak.
“Carissa Neyara telah mati di dunia lama. Namun, di dunia ini Mirelsha akan hidup kembali. Sebagai diriku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjaknya lagi.”
Sementara hujan mengguyur dengan deras di luar kastil yang terletak di ujung hutan terpencil, suasana di dalam bangunan tua itu justru dipenuhi dengan gelak tawa dan aroma makanan mewah. Di aula utama yang dulunya megah, kini mulai usang oleh waktu, para pelayan dan kesatria yang seharusnya melayani sang tuan putri, justru tengah bersenang-senang tanpa rasa bersalah.
Hidangan daging panggang, roti lembut, dan anggur merah memenuhi meja panjang yang terbuat dari kayu oak tua. Mereka makan dengan lahap, mulut mengunyah rakus sambil bercakap penuh ejekan.
“Siapa sangka, mengawal tuan putri terbuang bisa semenyenangkan ini,” ujar seorang pelayan pria, menyeka mulutnya dengan serbet linen. “Bayaran kita bahkan lebih tinggi daripada saat kita bertugas di istana utama.”
“Ya! Dan yang terbaik, tidak ada bangsawan sok suci yang mengawasi kita!” sahut lainnya, mengangkat gelas anggurnya tinggi-tinggi.
“Tentu saja,” kata seorang kesatria sambil tertawa sinis. “Selama si buruk rupa itu tetap diam dan tak mengganggu, kita bisa menikmati hidup kita di tempat terkutuk ini. Lagipula, dia bahkan tidak pantas disebut ‘tuan putri’.”
“Tuan putri?” Salah satu pelayan wanita menyahut dengan nada mengejek. “Dia bahkan lebih pantas dipanggil kutukan berkaki! Lihat saja wajahnya ... aku lebih rela memeluk kambing daripada melihat dia setiap hari.”
Tawa meledak di seisi ruangan. Suara mereka menggema di dinding batu, menjadi simfoni keji yang mencerminkan kejahatan mereka. Akan tetapi, tawa itu mendadak terputus.
CREEEAAAK
Pintu utama kastil tua tersebut terbuka perlahan, menimbulkan suara nyaring yang bergesekan dengan engsel berkarat. Angin malam yang dingin menyelinap masuk, membawa serta aroma tanah basah dan darah yang nyaris mengering.
Mereka menoleh serempak dan mendadak dunia seperti terhenti.
Di ambang pintu berdiri sosok yang tidak mereka sangka akan kembali berdiri. Basah kuyup dari ujung kepala hingga kaki, tubuhnya lemah, tetapi matanya menyala tajam.
Mirelsha.
Tuan Putri yang mereka kira telah mati di bawah hujan. Yang mereka tinggalkan berdarah di tengah hutan. Yang mereka hina, siksa, dan buang seolah tak lebih dari sampah kekaisaran.
Malam itu ... dia berdiri di ambang pintu dengan aura yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Tatapan matanya menusuk seperti bilah es, wajahnya yang rusak oleh luka tidak lagi terlihat menyedihkan, tetapi menyeramkan. Seolah-olah luka-luka itu bukan lagi cacat, melainkan tanda kebangkitan.
“Apa kalian bersenang-senang?” Suara itu rendah, dingin, dan penuh tekanan tak kasat mata. Kalimat sederhana, tapi menggetarkan udara.
Tidak ada yang menjawab. Suasana beku. Beberapa pelayan menelan ludah. Kesatria yang tadinya tertawa paling keras kini menggenggam gagang pedang dengan gugup.
“Teruskan saja makannya,” tutur Mirelsha atau lebih tepatnya, Carissa yang kini berdiri dalam tubuhnya. “Karena ... itu akan menjadi suguhan terakhir kalian di dunia ini.”
Mirelsha menyeringai. Kehadiran Mirelsha malam itu tidak seperti biasanya. Langkahnya pelan dan bergema, bunyi sepatunya yang basah menyentuh lantai batu kastil yang dingin, menciptakan denting menyeramkan di tengah keheningan yang tegang. Hujan masih mengguyur di luar sana, tetapi malam terasa lebih dingin di dalam.
Langkah Mirelsha bergema pelan namun penuh wibawa ketika dia mulai menaiki anak tangga batu yang mengarah ke lantai atas, menuju kamar yang dulunya lebih mirip ruang pengasingan ketimbang kamar bangsawan. Gaun basah Mirelsha masih meneteskan air, tanpa mengurangi sedikit pun kewibawaan yang kini terpancar dari setiap geraknya.
Sebelum berbelok di tikungan tangga, Mirelsha menoleh untuk terakhir kalinya.
Tatapan matanya menyapu seluruh ruangan, dingin, dalam, dan tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Dalam sorot tersebut, tertanam peringatan diam-diam bahwa dirinya yang dulu telah mati dan yang berdiri di hadapan mereka sekarang bukan lagi tuan putri yang bisa dihina seenaknya.
Tidak satu pun dari mereka berani bergerak. Bahkan, napas pun terasa berat ditarik. Aura Mirelsha menekan mereka tanpa harus mengangkat satu jari pun.
Setelah sosoknya menghilang di balik dinding, keheningan yang mencekam perlahan pecah oleh bisik-bisik gugup.
“H-Haha ... apa yang baru saja terjadi?” Salah satu pelayan mencoba tertawa, meski nada suaranya terdengar kaku. “Dia ... sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya.”
Seorang pria lainnya menunduk, ekspresinya masih pucat. “Tetapi ... kau sendiri yang bilang dia sudah mati. Aku melihatnya tidak bergerak, tubuhnya berdarah di bawah hujan .…”
“Lalu kenapa dia bisa muncul ... berdiri seperti itu? Dengan sorot mata yang—”
Dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya sebab firasatnya kian terasa memburuk.
Tanpa mereka sadari mimpi buruk tengah berjalan perlahan menghampiri mereka. Gadis yang mereka buang ke hutan… telah kembali, bukan sebagai korban, melainkan sebagai ancaman yang baru bangkit dari neraka.
Dengan langkah berat dan napas tertahan, Mirelsha meraih penutup cermin rias yang tertutup debu. Jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh permukaannya, cermin itu menyimpan rahasia yang selama ini enggan dia hadapi. Jauh di dalam hati, Mirelsha belum benar-benar siap untuk melihat bayangan dirinya yang sekarang. Wajah baru. Tubuh baru. Diri yang bukan dirinya ... atau justru versi dirinya yang paling jujur?
Mirelsha menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan-lahan mendorong penutup cermin hingga terbuka.
Cahaya remang kamar memantul samar dari permukaan cermin tua, menampilkan sosok yang membuat jantung Mirelsha atau Carissa di dalamnya berdegup keras. Dengan hati-hati, dia maju satu langkah, lalu menutup mata. Dia menunggu. Napasnya tersengal, tubuhnya terlihat tahu betapa menyakitkannya kenyataan yang akan ia lihat.
Saat Mirelsha membuka matanya perlahan, dunia seakan-akan berhenti. Pantulan itu ... mengerikan.
Wajah di cermin tidak hanya asing, tetapi seperti hasil dari sebuah tragedi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kulit Mirelsha dipenuhi bekas luka, beberapa mengeras membentuk jaringan parut yang tak simetris. Ada bercak hitam memenuhi sebagian muka, luka lama di rahang, serta bekas luka lain samar yang menodai kulitnya. Bahkan kini, meski luka-luka tersebut tampak sudah tidak aktif, bekasnya cukup untuk menjelaskan mengapa semua orang menjauhi Mirelsha.
“Sungguh … ini lebih parah dari yang kubayangkan,” kata Mirelsha, nyaris tanpa suara. “Tidak heran anak-anak kecil menangis ketakutan saat melihat wajah ini.” Tubuh Mirelsha bagaikan ironi kejam dari para dewa.
Di tengah kehancuran visual tersebut, terdapat anugerah-anugerah tersembunyi. Tubuh Mirelsha tinggi dan semampai, lekuknya halus dan menggoda, proporsinya sempurna, hidung mungil dan mancung, bibir lembut berwarna merah muda alami, serta sepasang mata merah terang yang bersinar tajam dari balik poni panjangnya. Bisa saja dia menjadi model kerajaan jika wajahnya tidak seperti ini
Kemudian Mirelsha menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah, memperlihatkan kedua matanya sepenuhnya. Kilau kristal merah menyala terpancar dari iris mata Mirelsha. Apabila wajah ini tak rusak, mata tersebut bisa menjadi daya pikat luar biasa. Keindahan yang nyaris tragis karena tersembunyi di balik keburukan yang tidak diminta.
Dan rambut panjangnya, sedikit ikal, jatuh menjuntai hampir ke paha. Warnanya unik, putih lembut di bagian atas, lalu perlahan memudar menjadi merah tua di ujung-ujungnya. Paduan yang mencolok, eksentrik, serta menghipnotis.
“Sungguh sia-sia semua keindahan ini ….”
Mirelsha memalingkan pandangan dari cermin, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Muak, marah, bingung, dan juga tergelitik oleh semangat kecil yang mulai menyala di dalam dirinya.
“Aku harus melakukan sesuatu. Hanya saja aku tidak tahu apa pun tentang dunia ini.”
Dengan langkah tergesa dan napas berat, Mirelsha mulai mondar-mandir di dalam kamar. Rasa frustasi membuncah, tetapi di tengah kekacauan pikiran itu ….
Tring!
Sebuah suara nyaring kembali bergema, familiar, dan tetap membuatnya tersentak. Di hadapan Mirelsha, layar hologram biru kembali muncul, perlahan membentuk tulisan-tulisan yang bersinar keemasan. Kali ini, layar itu menampilkan sesuatu yang baru yakni status diri.
[STATUS AKTIF - PENGGUNA: MIRELSHA CAELVERIN]
[Umur: 17 tahun]
[Identitas: Putri Pertama Kekaisaran Caelverin (Status: Diasingkan)]
[Job: Alkemis Kecantikan]
[Skill Aktif: Alkimia, Penilaian Kulit Dasar, Penglihatan Bahan Berharga]
[Kondisi Fisik: Luka Aktif 12%, Luka Parut 78%, Stabilitas Tubuh Lemah]
Mirelsha terdiam.
“Alkemis … kecantikan?”
Kata-kata itu terasa asing, aneh, sekaligus sangat akrab. Dunia ini jelas bukan tempat biasa, Kemampuan-kemampuan yang tertulis di sana menggetarkan nadi-nadi lamanya sebagai dokter kecantikan.
“Aku bisa menyembuhkan wajah ini? Dengan sihir?”
Mirelsha menatap kembali ke cermin, kini dengan sorot berbeda. Bukan hanya kesedihan atau amarah, tetapi tekad.
“Kalau sistem ini benar-benar bekerja, maka aku tidak hanya akan menyembuhkan wajahku, aku akan membangun ulang segalanya. Nama. Harga diri. Bahkan ... kekaisaran ini.”
Dengan kilau merah menyala di matanya, Carissa dalam tubuh Mirelsha akhirnya mulai menerima kenyataan. Ini bukan sekadar kebangkitan. Ini awal dari revolusi. Dan ia, sang Dewi Transformasi, akan membuat dunia ini menyesali perlakuannya.
***
Keesokan pagi, sinar mentari pucat menyusup malu-malu melalui jendela kaca tinggi kastil tua. Di tengah hawa dingin yang masih menggantung di udara, Mirelsha melangkah menuruni tangga menuju dapur.
Perutnya keroncongan sejak fajar, baru sekarang dia sempat keluar kamar sesudah menghabiskan waktu membereskan ruangannya yang seperti tidak pernah disentuh tangan manusia selama berbulan-bulan. Bahkan, hingga saat itu, tak satu pun pelayan datang untuk menawarkan bantuan atau sekadar mengantarkan sarapan, dia benar-benar tidak diakui sebagai penghuni kastil.
Begitu tiba di ambang dapur, suara riuh tawa dan obrolan menyambut Mirelsha. Sekelompok pelayan wanita tampak duduk santai di meja panjang, menikmati sarapan lengkap dengan roti hangat, potongan daging asap, dan anggur manis. Saat menyadari kehadiran Mirelsha, percakapan mereka terhenti sejenak, hanya untuk digantikan oleh cemoohan yang lebih tajam dari pisau dapur.
“Lihat siapa yang datang ... si makhluk malam akhirnya kelaparan,” ujar salah satu pelayan, bibirnya menyeringai lebar.
“Monster buruk rupa itu ternyata masih hidup, ya?” sahut yang lain, tawa mereka menggema sinis.
Ejekan demi ejekan meluncur tanpa rasa bersalah. Mirelsha tidak menanggapi. Wajahnya datar, tenang, dan tidak menunjukkan amarah sedikit pun. Dia berjalan melewati mereka dengan langkah ringan dan kepala tegak, seakan-akan tidak ada yang mengganggunya.
Dengan gerakan anggun, ia mengambil sepotong roti gandum dari rak, mengolesinya perlahan dengan selai cokelat, lalu duduk di meja kosong di sudut ruangan. Mirelsha menikmati sarapannya dalam diam, tidak satu pun dari tatapan merendahkan itu ia balas. Mirelsha memilih untuk menjaga wibawa dirinya sendiri, bahkan ketika dunia memperlakukannya sebagai sampah.
Akan tetapi, ketenangan itu justru menyulut amarah mereka.
“Dia pikir siapa dirinya? Bisa-bisanya duduk dan makan tanpa izin?”
“Kau pikir dengan bersikap elegan seperti itu, wajahmu jadi tidak menjijikkan?”
Salah satu pelayan mendekat dengan langkah congkak, menatap Mirelsha dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan jijik.
“Hm ... bau busuk apa ini? Sepertinya dari arah meja ini,” tutur dia keras-keras agar semua orang mendengar.
Pelayan lain menyusul, membawa ember logam berisi air yang entah dari mana asalnya, bau amis dan kotor menguar dari dalamnya.
“Kalau begitu, biar kubantu kau mandi, Tuan Putriku.” Dia menuangkan seluruh isi ember itu ke atas kepala Mirelsha.
SPLASH!
Air kotor itu mengguyur rambut panjang dan gaun lusuh Mirelsha. Cipratannya menyebar ke lantai, membasahi roti di tangan gadis tersebut, dan membasahi kulit pucatnya yang dingin oleh udara pagi. Para pelayan pun meledak dalam gelak tawa.
“Ups ... maaf! Aku lupa itu air bekas cucian panci dapur semalam!” seru mereka penuh olok-olok. “Tetapi jangan khawatir, paling tidak sekarang bau busuknya lebih merata!”
Tawa mereka memekakkan telinga. Namun, Mirelsha tak bergeming. Dia meletakkan roti yang telah basah ke piring dengan sangat perlahan. Kemudian dengan tenang, dia berdiri. Air menetes dari ujung rambut dan gaunnya, membentuk genangan kecil di lantai batu.
[Misi Hari Ini: Tegakkan harga dirimu. Lukai wajah pelayan yang baru saja menyiramkan air kotor ke badanmu.]
[Hadiah: Ensiklopedia Alkemis Kulit & Kecantikan.]
Suara khas dari sistem kembali menggemakan notifikasinya di telinga Mirelsha. Kalimat yang terpampang membuat sudut bibirnya perlahan terangkat. Kali ini, tidak ada kemurahan hati. Tidak ada pengampunan. Misi ini datang di saat yang sangat tepat, seolah-olah semesta pun mulai mengakui kemarahannya.
Mirelsha menyeringai seraya bergumam, “Sangat menyenangkan, sistem tahu apa yang kuinginkan.”
Tanpa sepatah kata pun, Mirelsha melangkah pelan ke meja dapur terdekat. Tangannya terulur anggun, mengambil sebilah pisau dapur. Cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela memantulkan kilau tipis dari logamnya.
Mirelsha melangkah cepat ke arah pelayan yang tadi mengguyur air kotor padanya. Tanpa menunggu aba-aba, Mirelsha mengayunkan gagang pisaunya dan ujung tajam pisau tersebut berhasil menciptakan luka dalam di wajah pelayan itu.
“AAAAARGHHH!!”
Pelayan itu jatuh terduduk, memegangi pipinya yang mulai mengucurkan darah. Tangisnya pecah karena sakit serta syok yang dia terima. Sementara itu, pelayan lain tidak ada yang berani bergerak. Gelak tawa tadi mendadak berubah menjadi ketegangan.
“Kenapa menangis? Padahal aku belum selesai mengukir wajah indahmu. Tenang saja, aku akan membuat wajahmu menjadi sangat indah dan menarik.”
Pelayan tersebut beringsut mundur, berupaya menjauhi Mirelsha.
“T-Tidak … Y-Yang Mulia, ampuni saya. Tolong ampuni saya.”
“Hah? Apa? Aku tidak bisa mendengarmu.”
Sungguh, ekspresi Mirelsha terlihat begitu kejam. Mereka tidak pernah menyaksikan Mirelsha seperti ini. Kini atmosfer ruang dapur terasa amat berat. Mirelsha tak menunjukkan sedikit pun belas kasihan.
“Saya akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan—”
“Omong kosong!” Sekali lagi Mirelsha melukai wajah pelayan tersebut.
Sekali, dua kali, hingga tiga kali. Mirelsha berhasil menorehkan banyak luka mengerikan di permukaan wajah si pelayan sampai membuatnya menjerit kesakitan lalu pingsan di tempat akibat kehabisan darah.
“Senang sekali rasanya,” ucap Mirelsha tertawa lega.
Kemudian lirikan mautnya berganti arah ke para pelayan lain yang sedang mematung karena takut. Mirelsha memandang mereka satu per satu sembari mengarahkan ujung pisaunya.
“Dengar baik-baik! Aku bukan lagi putri cacat yang bisa kalian injak sesuka hati. Sekali lagi ada yang mempermainkanku, maka akan aku buat kalian menjadi seperti dia, bahkan bisa lebih dari ini.”
Kemudian Mirelsha meletakkan pisau kembali ke meja dengan bunyi logam pelan yang justru terdengar lebih mencekam dibanding jeritan tadi.
[Selamat! Anda telah menyelesaikan Misi: Tegakkan Harga Dirimu.]
[Hadiah telah diterima.]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!