NovelToon NovelToon

TUKAR PASANGAN

BAB 1

"Aku akan menjemputmu di bandara, jadi tunggu saja sampai aku datang!"

Asha membaca lagi pesan yang dikirim Zaky dua jam lalu. Tidak— lebih tepatnya dua jam lewat delapan belas menit yang lalu. Entah sudah kali ke berapa Asha mengintip layar ponselnya.

Wanita dengan Trench Coat berwarna cokelat susu itu duduk dengan gelisah di kursi tunggu. Ia mengetuk-ngetukkan sepatu boat dengan hak tinggi yang melindungi kakinya itu di lantai, hingga suaranya samar terdengar di antara kebisingan bandara.

Asha sengaja memoles sedikit make up di wajahnya sebelum ia terbang dari Paris beberapa jam lalu. Riasan di wajahnya kini sudah hampir luntur, namun pria yang seminggu lagi akan menjadi suaminya itu belum kunjung datang.

Asha membuka lagi ponselnya mengetik pesan lagi pada Zaky, meskipun beberapa pesan yang ia kirim sebelumnya sama sekali tidak di baca oleh pria itu. Tidak— bahkan pesan yang ia kirim belum sampai pada penerimanya. Entah apa yang terjadi hingga membuat ponsel Zaky tidak dapat dihubungi.

Asha berdiri, wanita itu berjalan mondar-mandir. Kini Asha dilanda rasa khawatir. Wanita itu mencoba menghubungi sahabatnya yang menjabat sebagai sekretaris Zaky, ia perlu mengonfirmasi keberadaan Zaky agar tidak lagi memikirkan hal buruk yang terjadi pada Zaky. Pasalnya pria itu sebelumnya selalu fast respon jika Asha mengirim pesan.

"Hallo," sapa seorang wanita yang menerima panggilan telepon dari Asha.

"Kamu lagi dimana Rhea, aku perlu memastikan keberadaan Zaky. Dia bilang akan menjemputku di bandara, tapi sekarang bahkan belum kelihatan batang hidungnya."

"Ah— aku sudah di apartemen Ash. Jika dia belum datang mungkin dia sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tunggu saja!"

"Tapi ... " Belum sempat Asha melanjutkan kalimatnya panggilannya sudah diakhiri secara sepihak. Asha hanya bisa mengembuskan napasnya tanpa bisa protes. Ia kembali duduk.

Di atas ranjang yang seprainya kusut serta selimut dan dua stel pakaian yang berserakan di lantai Rhea bergelayut manja pada seorang pria yang sama polosnya dengan dirinya.

"Kamu yakin tidak ingin menjemputnya sekarang?" Suaranya yang manja lagi-lagi membuat pria itu bergairah.

"Nanti. Ini lebih penting," tunjuknya pada aset pribadinya yang kembali menegang.

"Dasar pria nakal!" Rhea memukul pelan dada bidang pria yang kini sudah berpindah posisi di atasnya. Ciuman yang berlanjut dengan lumatan dan napas yang menuntut terjadi di antara dua manusia yang dipenuhi gairah itu. Rhea bahkan mengabaikan notifikasi pesan yang muncul di ponselnya.

Asha menyimpan kembali ponselnya begitu ia mengirim pesan pada Rhea. Sudah terlalu lama ia menunggu Zaky, namun nyatanya pria itu tidak kunjung tiba. Mungkin pria itu benar-benar sedang mengurus hal yang benar-benar penting. Lagipula ia bukan wanita manja yang hanya bisa mengandalkan pasangannya, Asha memilih untuk pulang sendiri.

Asha menyeret kopernya menuju pintu keluar. Di belakangnya seorang pria dengan hodie hitam juga headphone yang menggantung di leher berjalan menuju arah yang sama. Koper di tangan pria itu menandakan jika ia sama halnya dengan Asha yang baru saja melakukan perjalanan. Bedanya pria itu langsung keluar begitu ia tiba, sedangkan Asha sudah berdiam di bandara selama hampir tiga jam.

Asha masuk ke dalam taksi yang ia hentikan. Dadanya berdegup gembira, membayangkan bisa bertemu dengan sahabatnya. Satu-satunya orang yang sangat dekat dengannya. Selain Zaky, Rhea juga alasan baginya untuk kembali ke negara kelahirannya itu.

Taksi berhenti di area parkir apartemen yang lebih dari empat tahun Asha tinggalkan. Sejak neneknya meninggal dunia Asha memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Dua tahun lalu Asha bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan sebagai copy writer. Ia mencintai pekerjaannya, namun ia harus pulang dan melangsungkan pernikahannya dengan Zaky. Dua bulan lalu Nyonya dan Tuan Andara secara pribadi terbang ke Paris hanya demi melamarnya untuk menikah dengan Zaky pria yang di menjadi kekasihnya sejak delapan tahun lalu.

Asha menghirup dalam-dalam udara kota yang sangat ia rindukan sebelum ia benar-benar masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju lantai delapan. Lantai yang sengaja ia pilih karena menyukai angka delapan. Apartemen tempat ia dan Rhea tinggali sebelum ia melanjutkan studinya di Paris.

Denting indikator suara berbunyi, penanda lift telah sampai di lantai yang dituju. Asha lagi-lagi menyeret kopernya, kali ini langkahnya dipercepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk memeluk sahabat yang ia rindukan.

Jemari lentiknya memasukkan kode pintu, namun begitu pintu terbuka ia sama sekali tidak melihat keberadaan Rhea, pintu kamar Rhea tertutup rapat. Mungkinkah ia sedang pergi? Asha terpaksa menelan rasa kecewanya. Kakinya berjalan lebih jauh ke dalam menuju kamar miliknya pintunya terbuka separuh.

Asha dengan jelas melihat seorang pria yang tengah bergumul dengan Rhea di atas ranjang miliknya. Pria itu mengerang bersamaan dengan Rhea yang melenguh puas. Pinggul pria itu berhenti bergerak namun ia tidak kunjung melepaskan diri.

"Aku masih ingin. Ayo lakukan lagi!" Suara yang familiar terdengar begitu jelas di telinga Asha.

Asha menegang hingga akhirnya tubuhnya bergetar. Tubuhnya merespon lebih dulu dibandingkan dengan pikirannya yang masih menolak untuk menerima kenyataan.

"Kamu benar-benar nakal, Zaky. Calon istrimu menunggu di bandara bukankah kamu harus menjemputnya?"

Zaky menghentakkan pinggulnya, membuat aset miliknya yang masih berada di dalam inti Rhea semakin masuk. Desahan kencang lolos dari bibir Rhea yang bengkak. Zaky melumat kasar bibir bengkak itu.

"Diamlah! Jangan membahas wanita yang bahkan tidak bisa membuatku puas!" Zaky terdengar kesal. Sementara Rhea mengalungkan tangannya dengan manja di leher pria itu.

"Baiklah, lakukan dengan pelan!"

"Bukankah kamu menyukai yang cepat? Kamu tadi memintaku untuk mempercepat durasi," sahut Zaky yang moodnya sudah kembali normal.

Asha masih berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya tidak bisa bergerak selain gemetar karena marah dan kecewa yang bercampur. Air matanya tiba-tiba luruh dengan derasnya, di hadapannya Zaky mengerang bersahutan dengan Rhea yang mendesah, keduanya saling menyebut nama dengan manja.

Gerakan pinggul Zaky yang liar, suara-suara yang menjijikkan semuanya membuat Asha mual. Perutnya seperti diaduk-aduk, air mata yang tidak kunjung berhenti— Asha benar-benar kacau. Dering ponsel milik Rhea membuat Asha tersadar ia harus pergi dari sana. Sebelum pergi, Asha berharap Zaky menyebut namanya meskipun sedang bergumul dengan Rhea. Asha berharap Zaky melakukan itu hanya karena mabuk. Namun, sampai ia benar-benar menjauh pria itu tetap menyebut nama Rhea di sela-sela gerakan dan erangannya.

Asha berlari menyeret koper yang tadi ia tinggalkan di dekat pintu apartemen. Di lobi Asha berpapasan dengan Abiyan, pria itu menyeret koper dengan satu buket bunga di tangannya. Namun, jangankan peduli dengan sapaan basa-basi Asha menyeret kakinya dengan langkah cepat dengan wajah yang kacau.

Melihat penampilan Asha yang kacau Abiyan mengurungkan niatnya untuk menyapa, Abiyan menarik kembali tangannya yang semula terangkat. Tak lagi ambil pusing Abiyan kembali melangkah, ia harus segera menemui kekasihnya.

Abiyan berdiri dengan jantung yang berdebar-debar di depan pintu dengan nomer 808. Abiyan merasa janggal dengan pintu apartemen yang terbuka sedikit, mungkinkah ini di sebabkan oleh Asha yang ia temui tadi atau karena sebab lain? Entahlah Abiyan merasa perlu memeriksa ke dalam. Ia sengaja masuk tanpa menekan tombol bel.

Kaki Abiyan terus melangkah dengan mantap, namun tetap waspada hingga terhenti di depan pintu kamar dengan nama Ash tergantung di daun pintunya. Pintu yang terbuka separuh menampilkan dengan jelas pemandangan di dalam kamar. Suara Rhea yang melenguh panjang juga erangan Zaky yang begitu puas dengan permainan mereka membuat mata Abiyan membelalak nyalang.

Pria itu mendorong kencang pintu kamar hingga menimbulkan bunyi benturan yang keras antara daun pintu dengan tembok itu membuat dua insan yang masih tumpang tindih itu terlonjak kaget.

Rhea yang pertama kali menyadari keberadaan Abiyan. Wajahnya berubah pucat. "K–kka kamu, kapan datang Abi?" Rhea turun dari ranjang berniat menghampiri Abiyan, ia bahkan lupa jika kini tubuhnya masih telanjang.

Abiyan mengabaikan Rhea yang akhirnya mematung di tempat. Pria itu memutari sisi sebelah ranjang, matanya tajam dan wajahnya begitu nyalang. Dengan brutal ia melayangkan tinju ke wajah Zaky. Rhea berteriak histeris, namun teriakannya seolah menjadi penyemangat bagi Abiyan. Pria itu menghujani wajah Zaky dengan pukulan bertubi-tubi. Wajah Zaky memar tanpa bisa melakukan perlawanan.

Wajah Zaky memar dan berdarah di beberapa bagian. Abi menatap wajah Zaky dan Rhea secara bergantian. Tubuh keduanya yang polos tanpa tanpa satu helai kain pun membuat Abiyan geram sekaligus jijik.

Pria itu mendengus kesal, "Wah— kalian benar-benar luar biasa."

Rhea berniat menjelaskan pada Abiyan, namun pria itu menolak dengan keras. "Berhenti di sana! Kau benar-benar membuatku jijik."

Rhea mematung, wajahnya pucat. Ia menunduk kecewa namun akhirnya tersadar jika ternyata kini tubuhnya benar-benar masih polos. Ia berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan kedua tangannya.

Abiyan mendecih. "Tidak perlu berpura-pura malu, lagipula aku tidak akan bernafsu meski kamu memamerkannya dengan jelas sejak tadi. Kamu benar-benar menjijikkan Rhea."

"Tidak— bukan hanya Rhea, kamu juga kak. Kamu bahkan lebih menjijikkan dari wanita itu," tunjuk Abiyan pada Rhea. "Kamu tahu dia kekasihku tetapi masih menidurinya, seminggu lagi kamu bahkan akan menikahi sahabatnya. Apakah kalian masih bisa di sebut manusia?" teriak Abiyan. Entah mengapa wajah kacau Asha terlintas di benaknya.

Ah— jadi Asha kacau seperti itu setelah melihat ini semua. Wanita itu terlalu baik atau karena terlalu naif? Hingga membiarkan ini berlalu begitu saja.

"Bagaimana jika Asha tahu perbuatan kalian?" Abiyan seperti bicara pada tembok. Kedua orang di depannya sama sekali tidak ada yang menyahuti pertanyaannya. Ia mendengus kesal.

Buket bunga yang tergeletak di lantai ia injak dengan sepatunya, menggilasnya pelan hingga kelopaknya hancur satu per satu. Abiyan berlalu meninggalkan dua orang yang masih berada di posisi semula mereka. Ia menyeret koper yang ia tinggalkan di depan pintu. Langkahnya gontai, ledakan perasaan di hatinya benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Apa yang harus ku lakukan?

BAB 2

Asha tenggelam dalam kenangan yang pernah ia lalui bersama Zaky. Kenangan saat pertama kali ia berdebar meski hanya dengan menatap wajah Zaky kembali berputar dalam ingatannya. Semua kenangan kebersamaannya dengan Zaky tampak jelas seolah itu terjadi di depan matanya. Asha tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi, bahkan di depan matanya sendiri.

Sebelumnya hubungannya dengan Zaky baik-baik saja. Meskipun jauh dari kata romantis, namun pria ia itu tidak pernah berbuat buruk pada Asha. Bahkan saat keduanya menjalani hubungan jarak jauh, Zaky selalu fast respon saat membalas pesan-pesan yang dikirim Asha. Juga panggilan vidio, tidak pernah sekalipun pria itu melewatkan barang sehari pun.

Asha masih begitu denial dengan apa yang terjadi, pasalnya Zaky tidak pernah menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan sebelumnya. Wanita itu duduk di atas sebuah bangku yang dicor beton, di bawah pohon flamboyan yang bunganya sedang mekar di setiap batangnya. Kulit pahanya yang tidak terlindung rok pendek sama sekali tidak merasakan dinginnya permukaan bangku. Seolah seluruh indera di tubuhnya menjadi mati rasa.

Ingatannya kembali berputar di mana Asha saat itu menyatakan perasaannya dan langsung Zaky terima tanpa berpikir dua kali. Asha menyimpulkan jika pria itu benar-benar memiliki perasaan yang sama padanya. Asha sama sekali tidak pernah berpikir kemungkinan jika Zaky akan mengkhianati perasaannya. Hubungannya yang hampir tidak pernah sekalipun berselisih membuat Asha bersyukur dengan hal itu.

Namun, siapa sangka hubungan damai yang ia jalani kini diterpa badai yang sangat dahsyat, hingga hatinya tak mampu menopang gelombangnya.

Kakinya masih bergetar hebat. Sungai air mata mengalir deras tanpa kendali. Waktu yang Asha rasakan seolah melambat dan berjalan mundur kembali pada beberapa saat lalu dimana matanya menangkap pengkhianatan calon suaminya bersama sahabat yang begitu ia sayangi melebihi apa pun.

Asha merasa dirinya menjadi titik fokus saat itu dimana semua bergerak secara samar namun ia hanya berdiam diri di tempat dengan dimensi waktu yang seolah enggan bergerak.

"Hai calon kakak ipar." Abiyan tiba-tiba saja sudah berjongkok di hadapan Asha.

Terkejut, tentu saja. Asha masih kalut dengan perasaannya sendiri namun kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa pria yang seharusnya menjadi adik iparnya itu memergoki kondisinya yang kacau.

Asha menyeka kasar air mata yang membanjiri pipinya. Hidung dan matanya tampak semerah udang rebus. "Ian, sejak kapan?" Dari sekian banyaknya orang yang memanggil nama Abiyan dengan panggilan Abi akan tetapi, sejak pertama kali mereka bertemu Asha memilih memanggil Abiyan dengan panggilan Ian, menurutnya nama itu lebih mudah diucapkan dan Abiyan sendiri tidak pernah mempermasalahkan hal itu.

"Cukup lama, mungkin beberapa saat sebelum kamu menyedot lagi ingus yang keluar dari hidungmu, Ash." Abiyan tersenyum jahil.

Mata Asha membelalak, terkejut dengan apa yang diucapkan Abiyan. Bukan bualan semata namun Asha memang sempat menyedot ingusnya beberapa saat lalu. Jadi, saat ini Asha benar-benar merasa malu.

"Mengapa wajahmu memerah Ash, jangan katakan kamu sekarang merasa malu? Padahal tadi kamu sangat bersemangat saat menyedot ingusmu. Bahkan bunyinya—"

"Tutup mulutmu, Ian!" pekik Asha. Lalu dengan suara pelan yang lebih seperti berbisik Asha bergumam, "Rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri saat ini." Asha menutup matanya rapat-rapat. Wanita itu tidak berani menatap Abiyan.

"Bagus, marah jauh lebih baik Ash. Menangis sangat tidak cocok denganmu. Tersenyumlah!"

Asha membuka matanya, mengintip sedikit pada ekspresi yang Abiyan tunjukkan, tidak ada senyum jahil seperti sebelumnya. Melainkan sikap tenang yang benar-benar terlihat tulus.

Asha dan Abiyan tenggelam dalam pikiran masing-masing, tidak ada lagi kalimat yang saling menyahut seperti yang sudah terjadi.

Setelah kebisuan cukup lama menelan mereka, tiba-tiba Abiyan bangkit. Tubuhnya yang jangkung membuat Asha terpaksa mendongak untuk menatap wajah pria itu.

Setelah Asha perhatikan Abiyan memiliki rambut hitam pekat dengan potongan rambut messy wolf cut yang jatuh berantakan dengan poni panjang yang membingkai wajah tegasnya. Membuat tampilan Abiyan terlihat liar namun tetap memikat. Sorot mata yang tenang seolah menghipnotis Asha untuk tetap berada dalam jangkauan pandang pria itu. Ada kilat sendu yang samar di wajahnya meski ia sembunyikan sebaik mungkin.

Asha sadar pria itu juga telah mengetahui perihal perselingkuhan Rhea dan Zaky, namun meskipun Asha menunggu nyatanya Abiyan tidak mengatakan sepatah kata pun tentang hal itu. Dan Asha cukup tahu diri untuk tidak membahasnya lebih dulu. Lagipula yang berselingkuh dengan kekasih Abiyan tak lain adalah calon suaminya.

Setelah mengembuskan napas yang cukup panjang pria itu menarik sudut bibirnya sedikit. "Bangunlah! Aku akan mengantarmu pulang."

"Pulang?" Pertanyaan Asha menggantung di udara, wanita itu memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan lebih memilih untuk diam dan mengalihkan pandangannya ke samping.

"Keluarga kami, memiliki beberapa apartemen dan aku rasa sudah sewajarnya kamu bisa tinggal pada salah satunya. Aku akan mengantarmu ke sana, Ash," jelas Abiyan seolah tahu apa yang sedang dikhawatirkan oleh Asha.

Asha kembali menatap Abiyan namun kali ini pria itu yang berusaha menghindar. Asha tahu saat ini adalah saat-saat yang sulit bagi dirinya maupun bagi Abiyan. Ia butuh istirahat setelah perjalanan jauh namun kembali ke apartemennya sendiri itu jauh tidak mungkin lagi, Asha tidak bisa membayangkan jika harus beristirahat di ranjang miliknya dipakai untuk bercinta oleh Rhea dan Zaky. Asha akhirnya menyetujui tawaran dari Abiyan.

Asha duduk di samping Abiyan dalam mobil roadster milik pria itu. Mobil yang sangat cocok dengan style pria itu. Meski Abiyan dan Zaky adalah kakak beradik namun segala hal tentang mereka begitu berbanding terbalik. Abiyan dengan tampilan liarnya dan Zaky dengan tampilan tenangnya. Namun malam ini pandangan Asha terhadap dua pria yang saling terhubung itu berubah drastis. Pria yang disangka-sangka liar dan nakal ternyata jauh lebih baik dari pria yang terlihat tenang itu. Zaky yang tenang ternyata mampu membuat badai yang begitu ribut bagi Asha. Bahkan membuatnya merasa ditenggelamkan dengan paska dalam alur yang disusun Zaky untuknya.

"Aku ingat terakhir kali rambutmu pendek sebahu dan style berpakaianmu juga um— sedikit tomboy. Tapi aku rasa kau sudah banyak berubah rambutmu jauh lebih panjang dan penampilanmu terlihat lebih feminim." Abiyan berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari kemudi.

"Hei— ayolah! Kau tahu kakakmu sangat tidak menyukai style seperti itu. Eh— lupakan! Aku bahkan tidak sadar sudah sejak kapan aku mengubah style." Asha mengalihkan pembicaraan. "Berusaha melakukan hal yang tidak disukai ternyata memang sia-sia, ya?" tanya Asha lirih, wanita itu lebih seperti merutuki dirinya sendiri.

Abiyan tahu pertanyaan Asha bukanlah sebuah pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban melainkan hanya sebuah pertanyaan yang mengandung kekecewaan pada Zaky. Sama halnya dengan dirinya yang juga merasa kecewa pada Rhea. Abiyan mencengkeram kemudinya dengan sangat erat, kuku jarinya bahkan sampai menancap. Pria itu menoleh ke arah Asha yang menatap ke luar jendela. Entah apa yang di pikirkan wanita itu, namun sepertinya itu bukan saatnya Abiyan bertanya. Ia kembali menghadap ke depan dan fokus pada kemudi.

Begitu sampai di apartemen, Abiyan bahkan membawakan koper milik Asha hingga ke lantai teratas. Asha mengikuti Abiyan dalam diam. Sebuah penthouse mewah yang rapi dan bersih membuat Asha membelalak begitu masuk ke dalamnya.

"Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau, Ash. Anggap saja rumah sendiri!"

"Mana mungkin aku begitu, Ian. Aku hanya akan tinggal di sini selama beberapa hari saja."

"Hei— Ayolah! Kita bahkan bukan orang asing, Ash."

Asha tertawa getir, "Aku terima kebaikanmu Ian, tapi aku tidak enak hati dengan nyonya dan Tuan Andara jika tinggal di sini lebih lama."

Abiyan menggaruk tengkuknya. "Sebenarnya penthouse ini milikku pribadi. Aku takut kamu akan menolaknya jika tahu jadi aku tadi mengatakan bahwa ini milik keluargaku."

Asha tampak terkejut, namun tidak ada kemarahan meskipun sudah dibohongi. "Tetap saja Ian, aku akan tetap menerima niat baikmu, dan sampai aku menemukan tempat tinggal baru aku akan meninggalkan penthouse ini."

Alis Abiyan terangkat sebelah. "Tempat tinggal baru? Bukankah apartemen yang di tempati Rhea itu milikmu?"

Asha menyunggingkan senyum di wajahnya lalu mengangguk.

"Apa kau hanya akan diam saja ketika Rhea menyabotase apartemen milikmu?"

"Akan aku pikirkan nanti saja perihal itu, Ian!"

"Lalu kau mau pergi ke mana? Apakah masih di kota ini atau akan pergi jauh?"

BAB 3

"Lalu kamu mau pindah ke mana?" Abiyan menuntut Asha dengan pertanyaannya.

Asha tersenyum kecil. "Aku akan memberitahumu nanti, aku lelah."

"Ah— baiklah, Ash. Beristirahatlah aku akan pulang!"

Dengan langkahnya yang tegap Abiyan meninggalkan penthouse agar Asha bisa beristirahat dengan tenang. Setidaknya ini hal yang bisa ia lakukan untuk membuat Asha sedikit nyaman. Abiyan merasa perlu melakukan sesuatu karena wanita itu terluka oleh kakaknya.

Asha tidak ingat ia tidur sudah berapa lama, yang jelas saat ini cahaya mentari sudah sangat terik. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Baterai ponselnya habis entah sejak kapan, ia menyalakan ponselnya bersamaan dengan mengisi daya.

Notifikasi panggilan dan pesan menumpuk di ponselnya beberapa di antaranya dari Rhea dan selebihnya semuanya berasal dari nomor Zaky. Asha tertawa getir. "Kamu seolah peduli padaku Zaky." Asha kembali meletakkan ponselnya, mengabaikan semua pesan dan panggilan dari Zaky dan memilih untuk pergi mandi.

Asha memakai sebuah gaun yang sengaja ia beli sebelum kembali dari Paris, gaun pastel dengan panjang selutut membalut tubuhnya. Sedikit riasan natural ia poles di wajahnya yang memang sudah cantik meskipun tanpa make up.

Sepatu bot berhak tinggi beradu dengan lantai marmer milik keluarga Andara. Di depannya seorang asisten rumah tangga menuntun Asha masuk ke dalam ruang tamu. Di sofa Nyonya Andara menyambut Asha dengan senyuman hangat seperti biasa. Agak disayangkan wanita yang hangat dan ramah itu memiliki putra yang perilakunya sedikit kurang bermoral. Ya, kurang bermoral. Pria itu bercinta dengan wanita lain seminggu sebelum pernikahannya.

Asha membuang napasnya pelan, ia perlu menyiapkan diri sebelum berhadapan dengan sosok wanita yang selalu memperlakukannya dengan baik.

Nyonya Andara memeluk Asha, dengan lembut tangannya mengusap-usap punggung Asha. Menuntunnya duduk berdampingan di sofa.

"Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk membatalkan pernikahan antara saya dan Zaky, Nyonya." Asha berkata dengan sangat hati-hati, lalu dari dalam tasnya ia mengeluarkan kotak cincin yang tadinya diberikan Nyonya Andara saat melamarnya.

"Apa maksudnya Asha. Pernikahan kalian tinggal enam hari lagi, dan semua persiapan sudah hampir selesai. Bercandamu terlalu berlebihan, Asha."

Asha meremas ujung gaunnya. "Maaf Nyonya, ini bukan sebuah candaan. Saya benar-benar serius mengatakannya."

Wajah Katerine Andara berubah. Ada kecewa dan bingung yang bercampur dalam satu waktu. "Katakan alasannya, Asha! Jangan membuatku bingung! Lagipula mengapa kamu berbicara formal? Kita bukan orang asing, Asha. Panggil aku ibu seperti biasanya."

Asha tersenyum getir, dadanya terasa sesak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ia memang sangat sulit mengambil keputusan ini. "Saya tidak bisa begitu, Nyonya. Saya membatalkan pernikahan, mana mungkin hubungan kita masih bisa seperti dulu?"

"Apa alasannya?" Suara wanita paruh baya itu terdengar bergetar.

"Untuk alasannya biarkan Zaky yang menjelaskan. Maaf saya harus pergi." Asha berdiri lalu membungkuk hormat setelahnya berbalik dan pandangannya bertemu dengan Abiyan yang baru saja turun dari lantai dua. Pria itu hanya memakai kaos polos dan celana pendek. Pria itu menguap pelan, tanpa dijelaskan dengan kata-kata pun semua orang pasti tahu jika ia baru saja bangun tidur.

"Berhenti Asha! Kamu harus menjelaskan alasannya!"

Asha berhenti melangkah, air matanya lagi-lagi menetes. Dari tempatnya Abiyan dapat melihat dengan jelas hal itu. Asha yang menangis, ibunya yang terlihat syok lalu sebuah kotak cincin di atas meja. Secara garis besar Abiyan dapat menyimpulkan apa yang tengah terjadi.

"Dia pasti punya alasan Ibu, lagipula Ibu juga perlu membahas hal ini dengan putra Ibu, bukan?"

"Tapi— "

"Ibu hanya perlu memanggil Zaky, bukan?" Abiyan melanjutkan langkah. Asha terselamatkan oleh kalimat Abiyan, ia memilih untuk segera angkat kaki dari kediaman Andara.

"Dasar anak nakal! Panggil kakakmu dengan benar!" omel Nyonya Andara. Tangannya menekan tombol panggilan pada nomer Zaky. Berulang kali, namun tidak di angkat sekali pun.

Menyerah dengan usahanya yang sia-sia Nyonya Andara menggebrak meja kaca depannya. Abiyan duduk di samping ibunya dengan kaki yang masih menyilang, ekspresinya datar sama sekali tidak terusik dengan perubahan perasaan ibunya.

Abiyan tahu ibunya sangat menyayangi Asha. Dan kini wanita itu memutuskan untuk membatalkan pernikahan, bahkan memberi jarak pada keduanya. Ibunya pasti merasa kecewa dan sedih. Jujur saja Asha adalah wanita yang ceria ia bahkan bisa dengan mudah merebut hati ibunya pada pertemuan pertama mereka. Zaky— pria bodoh itu membuang berlian yang begitu berharga, rupanya.

Abiyan berdiri, "Di jam ini dia pasti ada di kantornya, Ibu," ucap Abiyan.

"Kalau begitu, antar ibu ke perusahaan sekarang!"

"Maaf Ibu, tapi aku masih jet lag. Minta supir untuk mengantarmu!" Abiyan mengecup pipi ibunya. "Semoga berhasil, Ibu! Aku harap putramu yang satu itu menjawab dengan jujur dan memberikanmu jawaban yang kau inginkan."

Abiyan berlalu, pria yang rambutnya masih acak-acakan itu kembali melangkah ke lantai atas. Bersamaan dengan itu Nyonya Andara membawa langkahnya menuju garasi, ia perlu bergegas menuju perusahaan. Tempat suami dan anaknya bekerja.

Setelah menanyakan keberadaan Zaky pada resepsionis wanita, Nyonya Andara membawa langkah kakinya cepat ke ruang rapat. Wanita itu mendorong pintu rapat dengan keras. Peserta rapat termasuk suami dan anak sulungnya menaruh atensi mereka pada wanita yang tampak marah itu.

Tuan Andara terkejut ini kali pertama istrinya berbuat seperti itu, ia terburu-buru menghampiri wanita yang menjadi ratu dalam istana rumah tangganya. "Ada apa sayang?"

"Duduklah! Aku ada urusan dengan berandal itu." Nyonya Andara menunjuk putra sulungnya dengan emosi yang meletup-letup.

"Apa yang sudah terjadi, mengapa Asha tiba-tiba datang ke rumah dan membatalkan pernikahan?"

"Apa maksud Ibu?"

"Jangan mencoba membodohi ibu, Zaky! Sudah pasti ada masalah di antara kalian. Asha berkata kau akan memberi tahu ibu alasan mengapa kalian bisa membatalkan pernikahan."

Kemarahan Nyonya Andara benar-benar tidak terkontrol sampai ia tidak menyadari jika anggota rapat masih belum pergi dari sana. Sehingga kasak-kusuk mulai terdengar dari beberapa karyawan. Mereka mulai membicarakan topik panas tersebut.

Tersadar situasinya menjadi semakin serius Zaky meminta semua peserta rapat termasuk Rhea yang terlihat sangat syok mendengar berita tersebut untuk keluar meninggalkan ruang rapat. Kini dalam ruangan itu hanya ada mereka bertiga— Zaky, Tuan dan Nyonya Andara.

Wanita itu melipat tangannya di dada, mencoba mengintimidasi. "Jadi katakan! Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Aku bahkan baru mendengar hal ini, Ibu. Aku belum bertemu dengannya sejak ia kembali dari Paris."

"APA? Bukankah kemarin kamu menjemputnya?"

"Itu— aku ada urusan saat dia tiba di bandara. Aku terlambat menjemputnya dan ketika aku sampai di bandara, Asha sudah tidak ada di sana."

"Ya Tuhan Zaky, ibu sudah mengingatkanmu untuk selalu bersikap baik padanya. Kita punya hutang budi yang besar pada Asha. Aku tahu pekerjaanmu penting, tapi Asha juga penting Zaky. Jadi tolong segera minya maaf padanya!"

Tangan Zaky terkepal, wajahnya datar namun kemarahan jelas tergambar jelas di matanya yang tajam. Zaky keluar dari pintu ruang rapat, menghampiri Rhea ke meja sekretaris. "Aku akan ke apartemen, perlu membahas hal penting dengan Asha."

"Asha bahkan belum kembali sejak kemarin. Aku menelepon dan mengiriminya pesan namun ia tidak membalasnya barang sekali pun."

"Jadi ke mana wanita itu?" Zaky melonggarkan dasinya, ia merasa sesak dan marah.

Rhea mendekat lalu berbisik pelan. "Jadi, benarkah Asha membatalkan pernikahan kalian?"

Zaky melirik Rhea. Tatapannya dingin, ia seperti akan menelan Rhea saat itu juga. Namun meski ditatap dengan dingin Rhea tidak serta merta mundur, justru wanita itu mengerlingkan matanya. Dengan terang-terangan menggoda pria yang sudah berkali-kali menghangatkan ranjangnya.

Zaky berbisik pelan. "Jangan macam-macam di dalam masih ada orang tuaku. Tunggu nanti malam! Kau pasti akan mendapat hukuman dariku."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!