NovelToon NovelToon

Mafia Love Journey

Crazy Girl

Waktu masih menunjukkan pukul 05:43 am waktu Denmark setempat, tapi aku harus segera bergegas untuk menemui tawanan ku. Aku pastikan kali ini tidak akan kecolongan lagi seperti tiga bulan yang lalu. Aku kalah satu langkah dalam membunuh orang tuanya, aku kalah dengan cecunguk dari negeri sakura itu.

Perjalanan dari apartemen ku ke villa memakan waktu sekitar satu jam empat puluh menit untuk ukuran normal, tapi hanya di tempuh dengan tiga puluh tujuh menit jika yang menyetir seorang G. Gerlard Dark.

Naasnya sebelum sampai villa aku diserang sekawanan bandit kiriman Yamato atau yang pantas ku sebut cecunguk Jepang. Baku hantam tak terlewatkan, aku bahkan harus mengeluarkan tujuh timah panas untuk menembus kepala sampah-sampah ini.

“****.” Umpat Ku, karena terkena cipratan darah orang yang ku tembak. Sialnya lagi dia malah ambruk menimpa tubuhku. Oh ayolah hari ini aku mengenakan kaos putih, pasti menjijikan jika aku melihat diri sendiri saat ini.

Mengalahkan penjahat kelas teri seperti ini amat mudah bagiku. Tapi sialnya lagi, orang yang menimpaku masih memiliki kesadaran 5,9% mungkin. Dengan sisa nyawa itu dia mengoyak bahu kiriku dengan pisau lipatnya. Karena kesal aku menjambak rambutnya dan ku hempaskan tubuhnya ke jalan, tak lupa aku memberi hadiah injakan di kepala menjijikannya dan kuah dari mulutku.

Gerbang terbuka, setelah memasuki villa dan menyerahkan kunci mobil kepada penjaga aku berjalan dengan angkuh. Tidak seperti biasanya Amanda tidak menungguku di depan pintu seperti anak kecil. Aku berjalan santai sembari bersiul riang sebelum kejadian terpeleset tidak elit menimpaku.

Sreett.. Gedebum!!

Dramatis sekali hidupku hari ini, siapa yang menaruh kulit pisang di tengah pintu seperti ini, membuatku terpeleset dan mendarat di lantai dengan sempurna. Akan ku pecat semua pelayan tak becus itu, sungguh memalukan kejadian hari ini.

“Hey Ji kenapa kau malah rebahan di depan pintu, bukannya masuk dan menyapa.” Tanya Amanda calon korban ku selanjutnya.

“Ji ke.. kenapa kau berlumuran darah, diam disitu jangan bergerak.” Titahnya, dilanjutkan dengan langkahnya yang terbilang berlari menghampiriku.

Amanda menarik kepalaku kemudian di letakkan ke pangkuannya. Dari bawah sini nampak matanya berkaca-kaca dan jelas raut khawatir. Aku hanya diam, menikmati kebodohannya.

“Ji katakan sesuatu, kumohon.” Pinta Amanda yang khawatir terhadap calon eksekutor hidupnya.

“Panggilkan semua pelayan disini.” Tak merespon pertanyaannya aku memberinya perintah.

“Semuanya, hello semua tolong berkumpul di pintu utama. Tuan kalian sekarat.” Jeritnya, yang ku akui melengking sekali dan terlalu sok tahu.

Kurasa Amanda belum selesai memulihkan nafas, kulihat pelayanku sudah berkumpul, dengan nafas tersengal. Dapat dipastikan mereka berlari tunggang langgang saat mendengar aku memanggil mereka. Lihatlah bahkan tukang kebun saja dengan jarak tak tertolong sampai disini dengan kondisi terbilang tidak baik.

“Kalian semua, apa kerja kalian hari ini hah?” tanyaku masih di pangkuan Amanda, bukannya aku sekarat aku hanya malas berdiri.

“Kami mengerjakan semua sesuai perintah anda tuan.” Jawab Lesi kepala pelayan disini.

“Mengerjakan semua tapi kau melewatkan kulit pisang di depan pintu, apa itu yang namanya sesuai perintah. Jawab!” Aku kesal bukan karena rasa sakitnya, tapi sedikit rasa malu terhadap Amanda yang memergoki aku terkapar disini.

“Kami minta maaf jika ada yang terlewat tuan.” Lesi menunduk diikuti semua pelayan di vila.

“Kalian ini bisanya hanya minta maaf saja kalau salah, harusnya ka..” Belum sempat selesai bicara Amanda langsung memotong ucapan ku dengan suara yang lebih keras.

“Ji sebenarnya, aku..” Ucap Amanda yang membuatmu sedikit naik pitam. Tidak ada orang yang berani memotong ucapan ku di vila ini, harusnya Amanda tahu itu.

“Diam kau wanita gila, berani sekali kau memotong ucapanku.” Bentakku pada Amanda tanpa merubah posisi.

“Tapi, Ji aku..” Amanda dengan keras kepalanya masih berusaha membantah.

“Berhenti bicara, atau ku eksekusi sekarang juga?” Kesal dengan tingkah membangkangnya membuatku semakin ingin membunuh Amanda.

Amanda bungkam. Dasar lemah ku ancam sedikit saja sudah gentar pikirku dalam hati. Syukurlah kalau dia sadar harus menurut dengan aku sebagai tuannya. Ingat aku membawanya bukan karena dia istimewa, aku membawa Amanda karena aku tidak sudi kalah saing dengan Yamato dalam hal membunuh.

“Apa gaji yang ku berikan kurang hah, kalian membuat ku terjatuh dengan kulit sialan itu.” Lanjut ku memaki pelayan.

“Ku pecat kalian sem..” Ucapan ku terhenti karena Amanda membekap mulutku dengan tangan kanannya.

“Maaf Ji tapi itu kulit pisang yang aku kelupaan taruh disitu... ” Amanda menjelaskan perkara kulit pisang di lantai itu.

“Emmm,...emmm.” Rontaku namun dia tetap tidak melepaskan bekapannya.

“Diam dulu belum selesai loh Ji, jadi waktu aku menunggu kau, aku makan pisang di depan pintu, lagipula tidak biasanya kau datang telat. Saat aku mau membuangnya aku lupa belum mematikan shower di kamar, jadi aku bergegas kesana. Waktu kembali aku menemukanmu tergeletak disini.” Jelasnya memelan di akhir kalimat, dan melepaskan tangannya dari mulutku.

Aku menghela nafas, “Kalian semua boleh bubar, aku tidak jadi memecat kalian karena kesalahan gadis gila satu ini.” Percuma aku mengeluarkan energi berteriak tadi, jika pelaku utamanya santai seolah tak terjadi apa-apa.

Hening, kemudian aku merasakan Amanda menatapku intens. Tatapannya menyiratkan ketakutan dan rasa khawatir. Aku selalu merasa aneh dengan gadis bodoh ini, bagaimanapun aku calon pembunuhnya dan bagaimana bisa dia mengkhawatirkan diriku.

“Ji, kumohon bertahanlah, jangan mati dalam waktu dekat.” Ucapnya setelah kami bersistatap.

“Bahkan aku sudah menyiapkan mati dari pertama kali menginjakkan kaki di dunia.” Jawabku mengikuti alur drama yang diciptakan Amanda dadakan.

“Tapi kalau kau mati aku harus bagaimana.” Tanya Amanda dengan muka bingungnya. Oh bodohnya manusia ini, justru kalau aku mati harusnya kau bebas.

“Ya hiduplah, mau bagaimana lagi memangnya.” Aku mulai malas beradu akting dengan Amanda si penghancur alur cerita.

“Kalau kau mati sudah tidak ada yang berusaha membunuhku lagi.” Katanya enteng, seolah rencana membunuhnya adalah candaan semata.

“Ya justru bagus jika demikian hidupmu akan tenang.” Aku tak sadar kalimat itu keluar dari mulutku.

“Tidak bisa, aku suka tantangan. Bisa saja nanti hidupku malah jadi hampa.” Gadis gila satu ini, aku bahkan tak bisa menebak jalan pikirnya, mungkin otaknya sudah berlumut karena cukup lama terlantar dan harus menyaksikan pembantaian orangtuanya oleh Yamato.

“Jadi sebenarnya kau berharap aku yang mati atau dirimu?” Tanya ku asal.

“Tidak keduanya, bertahanlah.” Amanda memohon tulus.

“Oh ayolah tolong berpikir, mana ada orang mau mati kuat untuk berdebat dengan wanita bebal sepertimu.” Akhirnya aku kalah beradu cakap dengannya.

“Kau, bahkan kau masih bisa memarahi bawahanmu ketika mau mati.” Tutur Amanda tak terima.

“Yasudah sepertinya malaikat maut sudah nampak, aku pamit ya.” Aku mulai jengah dengan drama ini, jadi mari akhiri.

“Mana, di sebelah mana malaikatnya. Aku rela memohon padanya agar memberimu lebih banyak waktu. Cepat katakan.” Paksa Amanda. Mana ada korban memohon keselamatan untuk calon pembunuhnya selain wanita gila ini.

“Aku... aku.. selamat ting..al.” Aku tidak tahu kalau aku akan bertingkah konyol hanya untuk memenuhi imajinasi gadis satu ini, mungkin ini hal baik sebelum kematiannya.

“Tidakkkkkkk. Kumohon jangan, aku tidak punya siapapun selain kau calon pembunuh ku.” Aku pusing mendengar ocehannya yang mengatakan yang terlalu enteng mengatakan aku calon pembunuhnya.

“Kau ini bagaimana sih, hiks aku.. aku.. apa yang harus kulakukan.” Tangisnya pecah, bahkan buliran air matanya menetes jatuh di pipiku.

“Ada apa Manda, kenapa berteriak?” Itu Danda tangan kanan ku, sekaligus sepupu bejatku.

“Danda.. Danda untung kau muncul. Kumohon panggil dokter.” Amada dengan tingkah bodohnya berinisiatif meminta pertolongan Danda untukku.

“Untuk apa?” Tanya Danda santai.

“Jelas untuk menyelamatkan Jiji, dan kenapa kau nampak santai saja sedang saudaramu tak tertolong?” Ucapnya yang entah darimana asal muasal panggilan Jiji yang dia sematkan untukku.

“Kalau mau mati yasudah biarkan saja. Aku pergi.” Danda melewati ku dan bergegas entah kemana, aku tak tahu karena masih memejamkan mata.

“Tidakk, tolong kumohon. Haduh kenapa tidak ada yang peduli denganmu Ji. Kau sih terlalu banyak dosa.”Kesalnya bercampur khawatir, lucu sekali bukan tingkah gadis ajaib ini.

Selesai dengan ocehannya, Amanda dengan kurang warasnya meletakkan kepalaku di lantai dengan beringas. Ku rasakan dadaku di tekan seperti sedang di berikan CPR secara brutal. Aku rasa mungkin jika aku benar-benar terluka bukannya sembuh malah mempercepat bertemu dengan malaikat maut berkat CPR dari tangannya.

“Uhukk.” Aku tidak berdrama saat batuk, Amanda menekan dadaku dengan brutal. Aku yakin jika dia melakukan CPR pada orang lain, bukannya selamat yang ada malah tamat nyawa orang yang di tolongnya.

“Kau kembali Ji?” Tanyanya tak bersalah.

Aku berdiri dan mengabaikannya. Melangkah menuju kamarku di lantai dua. Sebenarnya aku ingin memukul ubun-ubun Amanda agar bertingkah normal, tapi aku malas meladeninya. Bukannya apa, pasti dia mengira aku mengajaknya bermain, mana ada manusia ditakuti dan dilabeli pembunuh kelas kakap sepertiku mengajak gadis seusianya untuk bermain.

“Sini aku papah Ji, pasti kau belum kuat.” Tiba-tiba Amanda merangkul dan memapahku, menaiki tangga. Ingin ku tolak tapi dia bergelayut seperti monyet di bahuku.

Jeduggg

“Shit, apa kau bodoh? Kenapa kau membenturkan kepalaku di pintu Amanda gila!!!” Hampir selamat sampai tujuan, ada saja tingkah sinting Amanda yang membuatku naik pitam.

“Maaf aku tidak sengaja Ji, Jiji tidak apa-apa kan?” Dan kemana otaknya berkata aku tidak apa-apa sedang kepalaku terbentur dahsyat.

“Ji.. Ji.. Ji.. namaku Gerlard jangan sesuka jidatmu mengganti namaku. Dan enyahlah kau dari hadapanku, aku cukup muak untuk membunuhmu hari ini.” Aku benar-benar kesal dan butuh waktu untuk berendam menjernihkan pikiran.

“Tidak mau, aku..” Tolaknya dengan tingkah sok manis.

Brukkk.

Ku tutup pintu dengan sedikit membantingnya di depan muka Amanda. Sial, sial, sial kenapa harus tidka seberuntung itu hari ini. Ah malangnya bokong dan jidatku, mana aku lapar. Sialan kau Amanda, aku bersumpah akan membunuhnya besok.

Lets Kill This Girl

Hari ini begitu cerah, dan aku berpikir Amanda harus segera ku lenyapkan. Aku sudah tak bisa menunggu hari esok untuk menghabisi gadis belia itu. Sebaiknya ku kesampingkan rasa muak ini untuk membunuhnya. Aku sudah berbaik hati memberinya makan selama tiga bulan. Jika membunuhnya dengan cara keji tak mempan, maka mari bunuh dengan cara cantik khas pecundang.

"Danda tolong siapkan aku arsenik, dan bawa ke hadapanku sekarang juga." Perintah ku melalui saluran telepon. Tanpa menunggu jawabannya, aku memutuskan sambungan.

Aku harus bergegas, tapi alasanku untuk membunuhnya masih terlalu lemah. Jika aku membunuhnya tak akan menghasilkan uang, untuk apa di bunuh. Kurasa harga arsenik lebih mahal daripada nyawanya. Tapi jika di bunuh dengan cara biasa, selalu gagal, karena dia akan berakting heboh lantas berkata aku suka saat bermain horor seperti ini. Dan menghilangkan hasrat membunuhku karena tak ada sedikitpun rasa takut dari korbanku.

Arghhhhh......

Lelah berkutat dengan isi kepala sendiri, aku memutuskan untuk mengisi lambung terlebih dahulu. Aku butuh energi ekstra untuk menghadapi satu gadis di bandingkan dengan sepuluh bandit. Aneh memang, tapi itu fakta yang harus ku hadapi. Hidup berbulan dengannya walau jarang bertemu tapi tingkah konyolnya selalu bertanya apa senyaman itu dia tinggal di vila ini.

Hampir sampai di meja makan sayup ku dengar suara manusia sedang menangis. Isak tangis itu ku dengar di dekat tangga. Abaikan saja itu sudah pasti si pencari perhatian. Ah sial mulut ku gatal untuk tidak berkata-kata, "Apa menangisi kebodohanmu adalah keharusan setiap harinya?" Dan suara ku memecah konsentrasi otak Amanda dalam mengeluarkan air mata menjadi respon terhadap suara. Yap dia menengok ke arahku.

"Hiks sebenarnya mataku sudah panas menangis, tapi aku tak bisa berhenti." Lihat dari jawabannya saja kita dapat menilai seberapa bodoh dirinya.

"Ingin ku beri saran?" Sedikit memainkan mentalnya terdengar menyenangkan bukan.

"Hmm, apa?" Tanggapnya penuh harap.

"Matilah." Ucapku sarkas.

"Tapi aku lapar." Dimana letak sinkronisasi ucapan ku dengan kondisi lambungnya, tolong beri aku sedikit pencerahan.

Baru kali ini aku menjumpai manusia sebodoh ini, "Kalau lapar makan, bukan menangis, itu akan membuatmu tambah lapar"

"Salah mu Ji, membuatku sedih dan menangis sampai mataku kering." Lihat dia yang menangis dan aku yang tak tahu menahu harus menjadi tersangka.

"Aku berencana membunuhmu kau santai saja, baru ku bentak sedikit sudah menangis, apa dibunuh terdengar lebih baik di gendang telingamu." Sarkasme yang ku keluarkan agar dia kembali ke alam sadarnya, karena kurasa dia sedang mengigau.

"Bodoh sekali kau. Siapa yang menangis karena di bentak. Aku sedih karena kau belum diobati tapi ngambek, kekanakan sekali." Memang selalu melenceng dari topik semua jawaban yang keluar dari mulut kecilnya.

Otak ku mulai merencanakan pembunuhan tersadis yang akan ku lakukan. Untuk permulaan aku dengan santai menendang kaki kursi yang sedang diduduki olehnya. Alhasil, Amanda terjerembab dan meringis nyeri, ekspresinya terlihat lucu. Tapi mari abaikan rengekannya yang seperti kentut kambing. Ayo mengisi perut, sebelum lambungku marah dan menolak untuk makan.

"Kenapa mengikutiku?" Apa semua gadis Indonesia memiliki sikap tak waras seperti dia. Jika iya, aku batal untuk berbisnis disana.

"Katanya suruh makan." Percaya diri sekali jawabnya.

"Tidak harus makan bersamaan dengan ku." Mungkinkah aku yang salah dalam pemilihan kata saat berdialog dengannya.

"Yasudah, aku duluan kalau begitu." Ucapnya seringan angin. Gadis ini seakan lupa siapa tuannya disini.

Mendengar perkataannya, kaki ku reflek menjegalnya, dan ya mohon maaf Amanda harus rela terjerembab dua kali pagi ini. Tak ku buang kesempatan, segera aku berlari ke meja makan.

Mulailah makan dengan minum segelas air putih itu yang sedang ku lakukan dan harus terhenti karena tingkah tak beradab Amanda," uhukk.. Kenapa memukul gelasnya ?"

"Pembalasan." Tukasnya ketus.

Bosan mendengar suara sumbang Amanda, aku memutuskan untuk menyantap sajian tanpa berucap. Sampai tibalah pengganggu kedua yang membuatku ingin cepat-cepat meninggalkan vila ini.

"Woahh woah woah, romantisnya kalian berdua, sarapan bersama seperti pengantin baru saja." Danda baru datang dan malah gencar menggoda kami yang sedang sarapan dengan jarak kursi lumayan dekat.

"Danda ayo makan juga, sini duduk disini." Amanda menepuk kursi di samping kirinya, apa maksudnya, mungkin Amanda ingin duduk diapit oleh kita.

"Baiklah kalau memaksa." Ujar Danda menimpali Amanda.

"Mana pesanan ku?" Aku bertanya sambil tetap fokus dengan satap pagi.

Danda berjalan ke arah ku yang duduk di sebelah kanan Amanda, kemudian memberikan barang pesananku. Setelahnya dia sibuk bercengkrama dengan Amanda. Aku menyeringai, saat Amanda lengah dan terus menambahkan lauk di piring Danda, aku meneteskan arsenik di air minumnya, dan mari mulai berhitung.

Aku mulai menghitung dengan ketukan sendok disisi piringku, hitungan ke sembilan Amanda mulai terbatuk, dan nampak dehidrasi. Terbukti dengan tandasnya air minum dalam sekali teguk. Dalam diam ku bersorak, semakin habis minuman itu semakin bagus reaksi yang ditimbulkan.

"Apa yang terjadi Manda, apa kau makan sambal?" Cemas Danda, yang kurasa mulai tertular kebodohan akut Amanda.

"Tidak perut ku sakit, aku mual dan rasanya haus sekali." Rinci Amanda tentang kondisinya sekarang.

"Biar ku bunuh pelayan yang menyajikan hidangan pagi ini. Kau bertahan, aku akan menelpon dokter." Kata Danda yang mungkin memang bodoh kuadrat entah sejak kapan.

Rasa makanan yang ku sesap bertambah nikmat ribuan kali lipat. Aku suka raut khawatir Danda, aku suka mimik kesakitan Amanda. Dari mereka berdua aku bisa mempelajari ekspresi manusia dalam jarak pandang dekat. Bukankah ini seperti praktik kondisi gawat darurat dan cara penangananya.

"Gerlard stop makan dan bantu aku membawa Manda ke kamar." Kesenanganku terganggu karena Danda mulai khawatir berlebihan, dan mulai berani memerintahku.

"Aku belum kenyang, dan stop membuang-buang makanan. Mubazir." Komentar ku tak yakin.

"Persetan dengan makananmu. Setidaknya bantulah aku." Ujar Danda dengan nada lumayan tinggi bagi seorang bawahan bicara dengan tuannya. Tapi ku abaikan mengingat ada darah keluarga mengalir di tubuhnya.

"Uhukk, Danda aku ingin berbaring." Amanda yang mulai terkulai lemas meminta pertolongan Danda dengan lirih.

Selesai Amanda berucap, Danda membopong tubuh mungil Amanda ke kamar terdekat. Aku menghentikan acara mari menikmati sarapan pagi dengan kesenangan hati. Aku menyempatkan diri mengikuti mereka ke kamar, rugi rasanya melewatkan setiap momen menyakitkan gadis ini.

"Kalau sampai terjadi hal buruk terhadap Manda, akan ku penggal semua pelayanmu." Ucap Danda mulai seenaknya, aku yang membayar mahal mereka dan dia yang mengambil kuasa bukankah itu tidak adil.

"Hey, itu bukan salah mereka. Nyatanya aku dan kau baik-baik saja. Dan sejak kapan kau dekat dengan korbanmu." Tuntut ku tidak sabar.

"Berhenti mengoceh Ge, kau tidak tau malangnya hidup gadis ini. Mana tega aku melihatnya kesakitan." Jelas Danda, sambil mengelus kening Amanda yang mulai mengeluarkan keringat.

Bodoh, kalau mau menyalahkan seseorang, harusnya dia memenggal kepala sendiri. Danda kontributor terbesar dalam kasus murahan ini. Banyak bergaul dengan Amanda membuat Danda selalu berusaha membujukku agar tidak mengeksekusi Amanda. Entah mantra apa yang diucap Amanda sehingga membuat luluh hati Danda si keji yang ku kenal.

"Danda jariku kesemutan, dan jantungku seperti akan meledak." Keluh Amanda.

"Bersabar Manda, dokter akan segera sampai. Ingat kau masih banyak hutang padaku jangan mati." Motivasi paling membangun yang pernah ku dengar.

Selang delapan menit dokter datang dengan perlengkapan di tangan kanannya. Setalah cukup mengambil nafas dokter siap untuk melakukan tugasnya.

"Tuan, bisa menyingkir sebentar saya akan memeriksa keadaan nona ini." Titah dokter, agar Danda beranjak dari posisinya, yang masih betah bersimpuh di samping Amanda.

Proses pemeriksaan selesai. Kurasa dokter telah menyuntikan anti racun bersamaan dengan terlelapnya Amanda. Aku tak berharap banyak arsenik bisa membunuhnya mengingat dosis yang ku berikan cukup kecil. Aku hanya sedikit bermain dengannya, karena aku merasa cukup bosan hari ini.

"Apa yang salah dok?" Tanya Danda yang masih tidak tahu dengan apa yang telah terjadi dengan Amanda.

"Nona ini keracunan zat arsenik tuan. Untung segera di tangani, lagipula dosisnya tidak tinggi makanya bisa tertolong tuan." Jelas dokter keluarga kami.

"Ah, anda yakin dokter?" Danda tampak tak yakin, dan memastikan sekali lagi.

"Tentu tuan. Dan saya mohon diri, jika ada gejala buruk lainnya silahkan hubungi saya kembali." Pamit sang dokter karena tidak ada keperluan lagi.

Tuk tuk tuk

Entah mengapa gesekan antara sepatu sang dokter dengan lantai terdengar jelas di telingaku. Apa karena suasana kamar begitu hening sehingga setiap momennya begitu terasa. Aku tidak sadar kapan Danda berjalan menghampiriku hingga aku merasakan tangganya mendarat di tubuhku.

Bug...

"Aishh, ada apa denganmu bodoh. Kenapa meninjuku?" Bisakah Danda mencari titik lain selain sudut bibir, karena sungguh ini masih nyeri.

"Bajing*n kau Ge, hina sekali tindakanmu. Kenapa kau seberengsek ini, apa kau sudah tidak tau norma membunuh yang kau pegang? Ku ingatkan kau tidak pernah serendah ini." Sebagai pembunuh aku memang memiliki ciri khas dan alasan kuat dalam membunuh.

"Tidak ada satu pun yang salah dari ucapanmu Danda. Apa salahnya mencoba metode baru." Bela ku tak mau kalah.

"Selamat dengan metode baru bodohmu. Di mata ku kau nampak konyol sekarang." Sirat kecewa tampak jelas diraut wajah Danda.

"Berhenti merendahkan ku D." Aku sedikit kesal karena dia membantahku demi seorang gadis tak jelas asal usulnya.

Bed*bah, Danda nampak tak mendengar ucapan ku. Dia sibuk membopong Amanda, lantas melewati ku, seolah aku tak tampak dalam penglihatannya.

"Letakan kembali, atau kau ku pulangkan ke Eropa." Aku jengah dengan ikut campur Danda dalan kesenanganku hari ini.

"Sound good, aku akan membawa Manda bersamaku." Bukannya tahu tempat, Danda bertindak semakin melawanku.

"Bawa saja, maka kepala Eliza akan sampai di hadapanmu nanti malam." Ancam ku bersungguh-sungguh, untuk informasi Eliza nama mantan yang disematkan di anjing kesayangan Danda.

Kini balik aku yang meninggalkan Danda bersama Amanda, karena aku yakin dia tau tindakan apa yang harus di ambil. Aku hanya heran, Danda tidak pernah menentang ku sekalipun aku menginginkan jari tangannya. Apa Amanda melakukan guna-guna. Karena terdengar mengerikan jika alasannya salah Danda telah jatuh hati pada Amanda.

Jealous

Tragedi arsenik sudah berlalu sejak empat hari yang lalu. Sayang sekali aku tidak dapat memantau perkembangan kondisi Amanda. Bukan, bukan karena aku khawatir, hanya mencari kesenangan semata kurasa. Kesenangan melihatnya menderita tentu saja. Urusan pekerjaan membuat ku harus terbang ke Korea Selatan empat hari belakangan ini. Sebenarnya aku enggan ambil andil jika tidak dalam kondisi tertentu.

"Bos sebaiknya kita apakan manusia ini." Tanya Jason saat aku sedang asik melamun.

"Kau tau kesukaan ku Jason, kau adalah orang paling tahu cara membuat ku senang." Jawabku, karena sebenarnya aku sedang malas berpikir, aku hanya ingin segera menyelesaikan urusan disini.

"Okey, aku akan meminta yang lain menyiapkan air mendidih, mengikatnya secara terbalik dan mari menikmati rintihannya di depan malaikat maut." Jelas Jason membuat ku menyeringai, anak ini selalu kejam dalam semua agenda membalas dendam.

Aku memutuskan meninggalkan persiapan acara mari membantu malaikat mengambil nyawa seorang penjilat. Ku lihat arloji menunjuk angka 12:30 jadi ada baiknya aku mengisi perut terlebih dahulu. Posisi ku yang berada di mansion pribadi, mempermudah untuk memuaskan lambungku. Sesampainya aku di meja makan, semua menu favorit khas Korea sudah tersaji dengan apiknya.

Entah mengapa saat di meja makan aku malah memikirkan Amanda. Aku suka melihat wajah kesalnya saat semua lauk yang dia suka ku santap semua. Mendengar umpatannya yang seperti lebah mencari rumah baru. Tanpa sadar aku tersenyum.

"Sebegitu senangnya kah bos berhasil menangkap Daniel, sampai-sampai tersenyum lebar seperti itu." Sial kenapa Jason menyadari tingkahku, dan kenapa dia membuntuti ku.

"Siapa yang menyuruhmu mengamatiku, dan kenapa kau ikut duduk di meja makan sedang aku masih disini." Ku balas pertanyaan Jason dengan pertanyaan juga, aku hanya meredakan rasa kaget.

"Kau selalu minta ku temani jika lupa. Dan aku berhenti memanggil mu bos jika hanya berbagi makanan saja pelit sekali." Jason memang bukan bagian anak buahku, dia jelmaan adik angkat yang terobsesi menjalani kehidupan dunia gelap, dan bertingkah seperti Danda saat sedang ada misi.

"Kali ini aku sedang ingin sendiri, bisakah kau meninggalkanku." Aku mengusir Jason dengan halus.

Jason mengabaikan perintahku, mengambil piring menuang nasi dan mengambil beberapa lauk, meminum air putih terlebih dahulu setelahnya mulai mengunyah baru berkata," Terlambat aku tidak mungkin meninggalkan makanan, itu tidak adil untuk makanan itu sendiri."

Dasar licik, ciri khas turunan G. dan sialnya aku termasuk di dalamnya. Kenyang usai acara santap siang. Aku berencana menghubungi Danda si penghianat kepa*rat. Sepupu gila itu membebankan urusan kali ini ke Jason karena dia sibuk mengurus Amanda.

Telingaku muak mendengar jawaban tak memuaskan dari operator. Beraninya Danda mengabaikan teleponku. Lihat saja aku akan membuat perhitungan saat kembali ke Denmark.

"Ge kenapa kau aneh sekali, tadi tampak bahagia kenapa setelah kenyang tampak kesal. Apa kau serius dengan tidak ingin ku ganggu saat makan siang?" Jason mulai kurang kerjaan karena terlalu mengamati perubahan raut wajahku.

"Jangan mengada-ada aku tidak kesal Jas." Aku menyangkal sebisa mungkin.

"Kau meremas ponselmu hingga retak, lihat tangan mu sekarang mengeluarkan darah. Apa tubuhmu mati rasa?" Jelas Jason melihat apa yang aku alami.

Sial, aku baru menyadari kebenaran ucapan Jason. Kenapa tubuh ku seolah bergerak tanpa komando. Tidak mungkinkan kalau seorang Gerlard sedang di santet.

"Sulit memang berbohong kepadamu. Ku akui ucapanmu sepertinya benar." Aku harus mengaku pada akhirnya jika aku sedang kesal saat ini.

"Kenapa kau terdengar ragu dengan ucapanmu sendiri Ge?" Jason dengan sikap keingintahuannya yang tinggi membuatku teramat menyesal berkata jujur padanya.

Bagaimana aku tidak ragu, aku si pemilik tubuh saja tidak tau apa yang kurasakan. Mana mungkin aku kesal berlebihan karena Danda mengabaikan teleponku. Aku tidak mungkin kasmaran dengan Danda bukan. Orientasi seksual masih lurus dan tidak ada kemungkinan menyimpang.

"Sampai mana persiapan mu, apa sudah bisa mencari kesenangan." Lupakan sejenak rasa kesal ku, aku harus mencari cara memperbaiki suasana hatiku sendiri.

"Sudah siap sejak lima belas menit lalu." Ucapnya, kemudian sekilas menatapku dan berkata," Tidak ingin mengobati lukamu dulu."

"Untuk apa, ini bukan masalah bagiku. Luka hanya akan memperindah setiap potongan tubuhku." Aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri.

"Kurasa kau benar-benar gila Ge, obsesi ku lebih terdengar indah daripada bualanmu tentang luka." Cibir Jason mengingat aku sangat benci hal yang kotor, dan luka itu membuat tanganku sedikit kotor dengan darah.

Dimana letak lebih baiknya, jika obsesinya adalah membunuh, bergelut dengan bisnis haram, bermain wanita. Sungguh ironis mendengar Jason menyombongkan diri lebih dariku.

"Kudengar mommy akan berkunjung ke Denmark bulan depan, bersiaplah kebusukanmu terbongkar Jas." Sedikit mebalas Jason dengan membuatnya gentar.

"Kau bukan penggosip Ge, dan berhenti mengusik kesenanganku." Lihat sifat kekanak-kanakan Jason akan muncul jika menyangkut mommy.

"Mommy ingin anak baik, makanya mengadopsi mu. Dan lihatlah betapa bejatnya dirimu." Aku terus membuatnya tak jenak dengan kelakuannya.

"Kau sendiri bodoh sekali, tidak menyembunyikan kebusukan dengan cantik, membuat ku penasaran dan berakhir seperti ini." Dan sifat bungsunya yang menyebalkan, selalu menyalahkan aku sebagai kakaknya.

"Jangan mencari-cari alasan, dan memutar balikan fakta seolah aku mengajakmu bergabung dengan duniaku." Bahkan aku berprinsip cukup diriku yang busuk, jangan dengan keluargaku.

"Mommy pasti lebih percaya aku ketimbang kau." Suatu fakta yang tidak dapat dilawan meski bumi sedang tidak baik-baik saja.

"Itu jelas mengingat kau tukang hasut, dan jangan lupa perenggek akut." Aku membiarkannya ambil bagian, karena tak kuat dengan rengekan sepanjang kereta miliknya.

"Sudah puas mengocehnya? Air mendidihnya sudah banyak menguap gara-gara kau mengoceh tiada henti." Sewot Jason tak terima dikatai oelhku.

Jason berjalan dengan menghentak kaki sepanjang menuju ruang bawah tanah. Lihat tingkah kekanakannya, siapa percaya dia pembunuh. Aku mengikuti Jason dalam diam. Sampai tiba-tiba dia berbalik, dan merengek," awas mengadu, aku tak mau mengurus Leon lagi."

"Iya iya, cerewet sekali." Iyakan saja untuk sekarang, besok beda cerita.

Di ruang bawah tanah aku melihat semua sudah sedia di tempat masing-masing. Aku memperhatikan tawananku sejenak, kemudian duduk santai di depannya. Dia adalah orang yang sama beberapa tahun lalu yang memintaku untuk percaya padanya, dan bertaruh nyawa padaku. Mari lihat apa yang membuatnya berani ingkar kepadaku.

"Buka tutup mulut bed*bah itu Jas" Aku memberi Jason perintah karena dia sangat suka dalam keterlibatannya sekecil apapun itu.

Tanpa menjawab, Jason bergerak sesuai perintah. Ingat sikap penurutnya hanya keluar jika hal itu sangat disenanginya. Jason tergolong manusia yang mudah berhianat, aku tak sekali dua kali dihiatinya di depan mommy.

"Hai Daniel, senang bertemu denganmu kembali." Sapa ku permulaan.

"Tuan, kumohon lepaskan aku. Aku memiliki anak dan istri yang menungguku. Kumohon tuan." Mohonnya masih dengan nada yang sama beberapa tahun silam.

"Memohon, terdengar seperti lawakan di akhir hayatmu. Kemana saja saat menikmati uangku hah?" Aku murka dengan sikapnya yang selalu memohon padahal kesalahan tak terampuni.

"Aku tidak bermaksud begitu tuan" Wow sungguh tak bermaksud seorang Daniel sampai separah itu.

"Wah, hebat sekali sikap tak bermaksudmu itu. Menggelapkan 2,7 miliar won tak sengaja heh." Ejekku dengan intonasi rendah.

"Aku terpaksa tuan, istri dan anakku butuh dana lebih." Ungkapnya seolah bekerja di bawah naunganku tak berbayar.

"Kau pikir berapa gaji yang ku berikan pada setiap karyawan ku? Standar gaji yang ku tawarkan 3 kali lipat dari perusahaan lain. Dan kau masih mengeluh?" Sifat wajar manusia, tamak.

"Tuan, aku.."

Aku memberi isyarat untuk menurunkan katrol tali bed*bah ini agar kepalanya lebih segar dalam berpikir, jadi aku berbaik hati mencelupkannya ke air mendidih. Siapa tahu air mendidih bisa membuat kepalanya lebih ringan dalam berpikir.

"Apa sudah bisa berpikir dengan baik, ku tanya sekali lagi apa motivasi mu?" Sekali celup wajahnya tampak kacau dan merintih penuh sakit.

"Tuan aku mohon ampun, aku diberikan imbalan oleh Yamato untuk melakukan itu." Akunya bersalah.

Tak seru sekali, baru sekali celup selesai sudah acara. Jika seperti ini aku tidak bisa memberi pertunjukkan keren untuk malaikat maut. Mungkin malaikat maut juga sudah malas melihat manusia sejenis Daniel berlama-lama di dunia.

Niat ku bermain-main dengan be*ebah ini menghilang. There was no good scene when killing him. Bagiku hal mendebarkan saat membunuh adalah ketika korban terus mengelak dan aku memiliki banyak kesempatan menganiaya. Disitulah perasaanku membuncah. Jika seperti ini aku mana sudi mengotori tanganku yang memang sudah kotor ini.

"Urus sisanya, dan persiapkan anggota untuk menyerang Yamato." Perintahku mutlak.

Teriakan demi teriakan mengiringi langkahku meninggalkan ruang bawah tanah. Teriakan yang membuatku miris, kehilangan orang cerdas sekaligus bodoh. Bodoh karena menggadaikan kesetiaannya dengan Yamato.

Baru akan membuka pintu untuk keluar, telepon genggamku memberi notifikasi sebuah pesan. Dengan malas, kuambil telepon seluler di saku dalam jasku.

Ukuran bola mataku melebar tanpa komando. Untuk apa Danda mengirimi foto kebersamaan dengan Amanda. Mereka bahkan tampak sedang berlibur, **** **** ****, perasaan apa ini aku benci melihat foto itu apa lagi membaca isi pesannya.

*Kau tenang saja, Amanda sudah sembuh total. Berhenti menggangu acara liburan kami.*

"Jason," Teriakku kalap. "Pesankan aku tiket ke Denmark sekarang juga." Pikiran ku kacau aku tak dapat berpikir dengan jernih, apa-apaan Danda seenaknya membawa Amanda berlibur btanpa persetujuan aku selaku pemilik Amanda.

"Yak kenapa berteriak kencang sekali sih, kenapa ke Denmark, bukannya ke Jepang?" Jason menjawab sambil mengelus kupingnya seperti habis mendengar petir saja.

"Cerewet pesankan saja." Aku malas menjelaskan, karena aku juga bingung harus menjelaskan apa.

"Kau punya pesawat sendiri jika lupa, kenapa harus repot." Jelas Jason mengingatkan.

Aku bahkan lupa akan hal itu. Ku tinggalkan Jason tanpa jawaban, dalam benakku hanya bagaimana kembali secepatnya. Aku tak senang melihat kedekatan mereka. Kedekatan tawananku dengan keluargaku. Tawanan harus tawanan selama belum di bunuh, kurasa itu alasanku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!