NovelToon NovelToon

Cinta Setelah Perjodohan

PERJODOHAN

"Rian..., cepat masuk ke dalam mobil! Jangan mencari alasan! Papa tahu, kamu tidak sakit!"

bentak Wijaya, kepada anak semata wayangnya. Karna Adrian berpura-pura sakit, agar tidak ikut ke villa Hendra.

Brakkkk!

Bunyi suara pintu mobil di banting kasar oleh Adrian.

"I—iya. Aku ikut.., Huffttt. Papa pikir aku tidak tahu, kalo Papa mau menjodohkan ku dengan Lily..., anak Om Hendra itu. Yaakali..., aku yang jadi idola kampus mau di jodohin dengan wanita gendut itu. Asal Papa tau, dia itu korban bullyng sama teman-teman aku di kampus," gerutu Adrian, menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar.

Wijaya mendengar penolakan Adrian, seketika naik pitam. Bagaimana tidak, Lily anak santun dan cerdas itu malah di hina oleh Adrian

"Hei..., Rian. Lily mau sama kamu aja udah syukur banget, kamu itu kayak anak tidak punya masa depan. Hobby mu hanya keluyuran tidak jelas, foya-foya. Mana pernah kamu bantu Papa ngurus perusahaan, sikap mu saja masih tidak tahu sopan santun! Kalo kamu sama Lily, kali aja kamu ketularan sama sikapnya dia. Lily itu cantik Rian, kamu aja yang terlalu memilih. Lily itu anak yang mandiri, sekrang dia sedang mengelola cafe dari hasil tabungannya sendiri.Tidak seperti kamu, yang bisanya cuma ngabisi duit!" sarkas Wijaya, melirik tajam ke arah Adrian.

"Papa udah dong..., jangan marah-marah terus. Kasian kan anak kita...," bela Siska, mamanya Adrian. Sambil mengelus lembut lengan suaminya.

"Gimana Papa tidak marah-marah, Hendra sudah berangkat sejam yang lalu, kita udah ketinggalan jauh. Adrian juga pura-pura sakit, cuma karna ingin menolak perjodohan ini. Mama tau sendiri kan? kalo Papa sengaja menerima undangan liburan ke villa Hendra yang di puncak, cuma karna mau menyampaikan lamaran Adrian untuk Lily. Papa rasa itu momen yang pas Ma. Dan kamu Rian, jangan sampe kamu malu-maluin Mama dan Papa. Kalo kamu nolak perjodohan ini, semua aset yang kamu gunakan saat ini, Papa cabut!" ancam Wijaya.

"Yah..., jangan dong Pa. Apa kata teman-teman Rian di kampus? 'Adrian Wijaya jatuh miskin'. Mending Rian sekalian berhenti kuliah aja!" gerutu Adrian.

Sepanjang perjalanan Ayah dan Anak itu terus saja berdebat. Hingga tidak terasa, setelah perjalanan panjang beberapa jam, mobil Land Rover Range yang mereka kendarai memasuki gerbang sebuah villa mewah yang terletak di puncak sebuah bukit.

Nampak di sisi bagian bawah sebelah barat terdapat beberapa hektar sawah, di tengah sawah itu, mengalir sungai jernih, langsung dari pegunungan yang menjulang tinggi di hadapan Villa. Sedangkan di sisi selatan, hingga bagian utara, jejeran pegunungan berdiri kokoh, yang di tumbuhi pepohon lebat, suasan asri nan sejuk sangat terasa di villa mewah itu. Sungguh memanjakan mata yg memandangnya. Keluarga Hendra selalu berusaha menyempatkan datang ke Villa ini setiap Hari Raya tiba, Ia selalu mengajak Wijaya serta istri dan anak semata wayangnya, Adrian. Namun mereka selalu menolak, dan entah angin apa yang membuat mereka menerima ajakan kali ini.

Di halaman villa sudah terparkir 1 mobil mewah yang di kendarai keluarga Lily.

"Tuhkan..., mereka udah sampe duluan. Papa jadi tidak enak, pasti mereka udah nunggu kita dari tadi," omel Wijaya.

"Udah pah! Tuhkan.., mulai lagi ngomelnya, mereka juga pasti ngerti kok," ucap Siska.

Mereka ber tiga turun dari Mobil yg sudah di parkir di sisi mobil milik Hendra.

"Wah,wah,wah... , aku pikir kamu nyasar Wijaya." Ledek Hendra, yang tiba-tiba keluar dari villa, karna mendengar suara berisik d halaman villa miliknya. Ia memang sengaja menunggu sahabatnya di ruang depan.

"Ah, kamu ngagetin aja, aku besar di tempat ini, aku tidak sepikun itu, hingga bisa nyasar, sorry kita telat Ndra, tadi ada masalah dikit," ucap Wijaya yang berjalan ke arah Hendra, yang berdiri di depan pintu.

"Oh, iya..., Lily dan Dila mana? gk ikut?" Tanya Wijaya yang khawatir jika Lily tidak ikut.

"Semoga Lily ikut, agar aku bisa melamarnya untuk Adrian," batin Wijaya, sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari keberadaan Lily.

"Masuk aja dulu..., Lily sama Dila lagi nyiapin makan malam di belakang, padahal ada Bi Sari yang masak. Tapi katanya, Dila mau memasak hidangan yang spesial untuk menyambut kedatangan kalian," jawab Hendra, sembari mempersilahkan mereka masuk.

Mereka semua masuk ke dalam.

Ibu Siska ikut membantu Ibu Dila, Lily dan Bi Sari menyiapkan makan malam.

Diruang depan, Wijaya dan Hendra terlihat asyik mengobrol.

"Gimana kabarmu sekarang? Apa kesibukan mu? kudengar kau tengah berjuang, agar bisa menjalin kerja sama dengan Mr. Felix?" tanya Hendra.

"Kabar baik. Iya benar, sekarang Aku lagi sibuk menawarkan kerja sama ke perusahaan Mr. Felix di China. Mengingat, itu adalah perusahaan yg cukup terpandang dan sukses. Aku cukup yakin ndra, setelah kerja sama kami berhasil, pasti akan memberikan dampak besar ke perusahaanku. Melihat Mr. Felix hanya menjalin kerja sama dengan perusahaan yg benar-benar sukses dan berjaya di dunia bisnis, aku yakin akan mendapat banyak tawaran kerja di luar sana, setelah orang-orang tau kalau aku dan Mr. Felix menjalin kerja sama." Jawab Wijaya.

"Aku cukup kagum padamu, pemikiran mu selalu lebih cepat di banding aku, semoga kerja samamu denganya berhasil." Ucap hendra.

Adrian yg bosan mendengar pembahasan bisnis ke dua laki-laki, izin mencari udara segar di sekitar villa.

ia berjalan ke sisi kanan villa, hingga nampak kolam renang cukup besar. Adrian cukup kagum akan ke indahan dan kemewahan Villa milik keluara Lily, Adrian kemudian duduk disisi kolam renang, sambil memainkan ponselnya, mengusir kejenuhannya.

Visual Villa keluarga Hendra dari depan kolam renang

Cuaca yang sedang sejuk dan cukup terang dengan sinar bulan, mereka manfaatkan untuk makan dan ngobrol di luar Villa di samping kolam renang, seraya menikmati pemandangan malam dari puncak bukit.

Lily yang tiba-tiba datang membawa beberapa hidangan menuju ke meja makan yang ada di sisi kolam renang, di kagetkan oleh Adrian yang entah sejak kapan duduk dan bersantai di situ.

"Lah, kenapa pria menyebalkan ini bisa sampai kesini? Dia kan Adrian Wijaya, Cowok yang sombong dan nyebelin itu. Atau..., jangan-jangan dia Rian anaknya Om Wijaya? Aduh..., kok harus dia sih? Dari cerita Ayah sama Om Wijaya, Rian itu anak yang baik. Padahal gk tau aja mereka kelakuan Adrian di kampus." Batin Lily, sambil sesekali melirik ke arah Adrian.

Adrian adalah salah satu cowok yang populer dengan ketampanannya. Tapi, Ia terkenal dingin, cuek dan sombong. Ia beberapa kali melihat Lily di labrak oleh teman-teman sekampusnya, Nadia and the geng. Tapi ia acuh dan tidak peduli sama sekali.

Nadia salah satu cewek populer yang sangat matre, sombong dan selalu merasa paling cantik di kampus, Ia kesal pada Lily. Ia merasa Lily selalu lebih unggul darinya. Ia beberapa kali melihat Lily di antar oleh laki-laki tampan, padahal tanpa sepengatuhan mereka, laki-laki itu adalah sahabat-sahabat Lily yang bekerja di cafenya.

Mereka juga merasa, kampus mereka cukup populer, dan kebanyakan Mahasisiwinya terkenal karna kecantikan dan gayanya yang modis. Tapi kenapa seorang Lily tanpa rasa malu mau kuliah di sana. Penampilan Lily memang sederhana, padahal Ia mempunyai Orang Tua yang cukup kaya, itulah salah satu alasan kuat yang membuat Pak Wijaya dan Bu Siska menyukai Lily.

Adrian yang melihat kedatangan Lily hanya mendengus kesal dan membuang muka. Adrian memang sudah tau tentang Lily, dan pernah melihat Lily saat mengantar Pak Hendra pulang karna perintah Ayahnya.

"Oh, iya..., Lily kenalin ini anak semata wayang Tante, namanya Adrian panggil Rian aja biar lebih akrab." Ucap Bu Siska yang tiba-tiba datang dan menghampiri Adrian.

"I—iya tante," ucap Lily gugup.

Lily kembali menyiapkan makan malam di bantu beberapa pelayan di villa. Lily anak yang rajin, dia selalu berusaha mengerjakan pekerjaan rumah meskipun ia memiliki pelayan. Dan tak lupa, itu memang didikan dari Ibu Dila yang selalu membimbing anaknya menjadi wanita yang cerdas dan terampil.

Saat semuanya sudah siap, mereka berkumpul dan menikmati hidangan yg tersaji, dengan mengobrol dan bercandaria. Suasana hangat tercipta di antara mereka, sesekali mereka tertawa karna perdebatan kecil antara Pak Wijaya dan Pak Hendra yang sama-sama tak mau mengalah. Meskipun hanya dalam hal berdebat yg tidak cukup penting. Berbeda dengan Adrian dan Lily yang sama-sama tidak nyaman berada di situasi ini.

Tiba-tiba Wijaya menghentikan makannya.

"Hendra, ada yang ingin aku sampaikan,"

ucap wijaya pelan.

Pak hendra melihat raut wajah serius sahabatnya, langsung menghentikan makannya.

"Ada apa?" tanya Pak Hendra.

"Aku berniat melamar Lily untuk Adrian. Aku ingin persahabatan kita terjalin lebih dekat, aku ingin kita menjadi besan, aku sudah cukup tau kepribadianmu dan keluarga mu. Aku takut Adrian salah memilih pasangan." Jawab Pak Wijaya pelan.

Uhukk!

Uhukkkk!

Lily yang sedang minum itu sangat kaget hingga tersedak

"Yang benar saja, aku tak mau, aku akan menolak perjodohan ini" batin Lily

"Kamu srius? jangan bercanda lagi. Perut ku sudah sakit karnamu yang terus membuatku tertawa." Tanya Pak Hendra, Ia menatap manik sahabatnya itu.

"Hei..., Apa kau tak bisa melihat keseriusan di mataku? Apa wajahku terlihat seperti orang yang bercandah?" ucap Wijaya tegas, manatap tajam ke arah Pak Hendra.

Tiba-tiba mereka semua diam,

Ibu Dila dan Pak Hendra saling berbisik satu sama lain entah apa yang mereka bahas. Tiba-tiba Pak Hendra kembali membuka obrolan.

"Hmm..., setelah kami pertimbangkan, aku dan Dila menerima perjodohan ini. Kami pun lega, bila suatu hari harus melepas Lily untuk ikut dengan kalian, yang sudah menyangi Lily sejak kecil. Dan Kamu Lily, Ayah dan Ibu tidak pernah meminta apapun padamu, Nak. Tapi kali ini, kami mohon, jangan menolak perjodohan ini!" Jawab Pak Hendra tegas, sambil menghadapkan wajah nya ke arah Lily.

Degg!

Jantung Lily berdetak sangat cepat, air matanya langsung menetes, nafsu makannya hilang seketika, yang ada di pikirannya hanya penderitaan yang entah di mana ujungnya.

Ia tahu betul orang seperti apa Adrian.

Pak Hendra dan Pak wijaya cukup senang dengan lamaran anak mereka.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang memandang mereka dari kejauhan. Sepasang mata itu memerah. Terlihat jelas dendam yang membara di matanya.

"Aku akan membunuh mu Hendra, takkan kubiarkan kau bahagia, aku sudah terlalu lama diam dan membebaskan mu, waktu mu sudah habis. Akan ku antar kau ke gerbang neraka." Ucapnya sambil mengepalkan kedua tangannya.

Orang misterius itu, berjalan perlahan ke arah mobil mewah milik Pak Hendra, entah apa yang Ia lakukan dengan mobil. Hingga

beberapa menit berlalu, pria itu kembali dengan senyum yang merekah, yang seolah menggambarkan kepuasan di hatinya.

*****

Assalamu Alaikum. Halo kakak, ini Novel pertama Author. Maaf kalo masih ada yang Typo. 😁😁 mohon kalo ada yang harus di perbaiki atau saran dari kakak pembaca jangan sungkan komen aja😘!

TRAGEDI

*Malam hari, pukul 22:45, di villa Hendra.

Mereka masih bersantai sambil mengobrol bersama. Setelah beberapa jam, Pak Hendra memanggil seorang Pelayan.

"Bi, tolong antarkan, Pak Wijaya, Bu Siska, dan Nak Adrian ke kamar tamu di atas. Nampaknya, calon besan dan calon mantuku sudah ngantuk," sahut Hendra dengan nada mengejek.

"Calon besan ku benar-benar Orang yang pengertian, aku sangat lelah. Hampir satu hari ini, terus meladeni celotehan mu. Lagi pula, kita harus pulang besok sepagi mungkin, agar tidak terkena macet, Ini masih musim mudik. aku pamit ke atas dulu, aku ngantuk Ndra." Ucap Wijaya, Ia sudah melangkahkan kaki ke atas tangga di ikuti oleh Anak dan Istrinya.

Hanya di balas senyum oleh Hendra.

Di dalam kamar Adrian.

"Aku harap ini hanya mimpi buruk. Dan semoga aku segera terbangun dari mimpi yang nampak sangat nyata ini" gumam Adrian .

***

Keesokan paginya, mereka berencana langsung berangkat setelah sarapan. Semuanya sudah berkumpul di meja makan kecuali Lily.

"Loh..., kok calon mantuku gk ikut sarapan?" tanya Siska, seraya mengedarkan pandangan mencari Lily.

"Ntar dia nyusul, katanya sih, tadi kurang enak badan," jawab Dila sambil mengunyah sisa makanan di mulutnya.

"Wah, gk bisa nih! Atau kita tunda keberangkatan kita hari ini? Sampe Lily benar-benar pulih," tanya Siska dengan nada panik

"Gk usah tante, Lily cuma pusing dikit," sahut Lily, yang tiba-tiba muncul ke dalam ruang makan.

Semua mata mengarahkan pandangan ke arah Lily, termasuk Adrian.

"Matanya bengkak, seperti habis nangis semalaman. Sepertinya bukan cuma aku yang tertekan dengan dengan perjodohan ini," batin Adrian , kemudian melanjutkan makannya.

''Ya sudah, makan dulu gih..., habis itu, kamu langsung minum obat yah, wajah kamu pucat banget sayang," ucap Siska penuh perhatian.

"Iya tante," jawab Lily singkat sambil tersenyum ke arah Siska.

"Mulai sekarang, kamu panggil kami Mama dan Papa yah sayang, kayak Rian. Bentar lagi kan, kamu jadi istrinya Adrian," ucap Wijaya pelan, sambil tersenyum manis ke arah Lily.

"Mmm, I—iya pa," ucap Lily ragu.

Semuanya melanjutkan sarapan masing-masing, mereka makan dengan tenang tanpa banyak pembahasan di meja makan. Pak Wijaya dan Pak Hendra tidak lagi banyak berdebat.

Adrian sengaja makan dengan lambat, seraya menunggu waktu yang pas untuk bicara dengan Lily. Satu persatu dari mereka meninggalkan ruang makan kecuali Lily dan Adrian. Saat Lily berdiri dan hendak mengambil kotak obat, dia kaget karna Adrian menahan nya.

"Hei, Gendut! Dengar! Aku tak mau orang-orang di kampus sampe tahu, kalau aku di jodohkan dengan wanita gendut sepertimu, bisa rusak reputasi ku sebagai cowok tampan di kampus kalo mereka tahu." Ancam Adrian sambil menatap tajam ke arah Lily.

"Iya, tenang saja. Aku juga gk mau mereka tahu, kalo aku di jodohkan dengan orang yang selalu merasa sempurna dan selalu menertawakan kekurangan orang lain sepertimu," sarkas Lily, dengan cepat Ia mengayungkan kakinya meninggalkan Adrian menuju ke tempat penyimpanan obat.

"Hah, apa katanya? Aku selalu merasa sempurna? hei Gendut..., Aku memang sempurna. Kaya dan Tampan. Kurang apa lagi aku? Banyak wanita yang tergila-gila padaku, aku saja yang tidak suka meladeni wanita murahan yang mau menawarkan dirinya. Harusnya Si Gendut itu bersyukur bisa menikah dengan ku," Celoteh Adrian, yang terus melirik Lily yang sudah berjalan keluar ruang makan.

***

Keluarga Wijaya sudah memasuki mobilnya dan melaju lebih dulu meninggalkan Villa. Sedangkan keluarga Hendra baru memasukkan barang bawaan mereka ke dalam mobil. Tiba-tiba, pelayan villa itu keluar dengan tergesa-gesa,

"Tuan sepertinya ini Ponsel milik Tuan Wijaya, dari tadi terus berdering," kata Pelayan itu sambil menyodorkan tangannya yg memegang ponsel itu.

"Wah..., ini panggilan dari Mr. Felix. Bisa-bisanya Wijaya melupakan ponselnya. cepat naik! Ayah ingin menyusul mereka. Kita harus segera memberi ponsel ini pada Wijaya. Ini telpon penting." Ucap Hendra dengan menutup pintu mobil dan memastikan Anak dan istrinya sudah masuk ke dalam mobil . Ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengejar Pak Wijaya yang sudah berangkat beberapa waktu lalu.

Setelah menempuh jarak sekitar 4 Km, jalan yang masih berada di sekitar perbukitan mulai berkelok dan menurun , mobil Adrian pun sudah nampak dari kejauhan. Pak Hendra mulai menormalkan laju kendaraannya mengingat jalan yg cukup berkelok, dan disisi jalan terdapat jurang yang cukup dalam.Tiba-tiba Ia panik,

"Aduh, Gawat! Remnya Blong, mana jalannya juga cukup curam," ucap Pak Hendra panik.

"Hati-hati Ayah, Fokus!" ucap Ibu Dila yang berusaha menenangkan suaminya.

Saat hampir mendekati mobil Adrian, Pak Hendra berniat menyalip mobil Adrian, tapi dari arah berlawanan muncul mobil Pick Up dari balik tikungan dan melaju cukup kencang.

Pak Wijaya yang di kejutkan oleh mobil Pick up itu spontan berusaha menghindari tabrakan dengan mobil itu dan membanting stir ke arah kiri, dan tiba-tiba....

Brukk!

Mobil Adrian terpental hebat terkena senggolan mobil Pak Wijaya. Mobil Adrian jatuh ke jurang, sedangkan mobil Lily ikut terbanting ke arah depan dan menghantam mobil Pick Up tadi.

Beberapa menit kemudian, tempat itu sudah sangat ramai. Beberapa Ambulance dan mobil polisi sudah terlihat di TKP, semua orang yang ada di mobil Lily mau-pun Adrian sudah tidak sadar. Hantaman keras kendara'an mereka, membuat mereka terluka cukup parah, terlebih Adrian dan keluarganya yang mobilnya sudah hancur tidak berbentuk. Sedangkan pengemudi mobil Pick Up masih sadar meskipun menahan sakit di bagian kepala, darahnya terus mengucur deras.

Satu persatu dari mereka sudah di angkat ke dalam Ambulance dan di larikan ke rumah sakit.

***

Di rumah sakit, Lily yang sudah di tangani oleh dokter terbaring lemah dengan luka yang hampir terdapat di semua bagian tubuhnya.

"Ibu..., Ayah...," Ucap Lily pelan.

"Dokter... Pasien sudah sadar." panggil seorang perawat wanita yang memasang perban di lengan kanan Lily.

"Syukurlah, Anda sudah sadar Nona" kata seorang wanita paruh baya, yang memakai Almamater khas Dokter.

"Bagaimana keada'an Orang Tua saya Dok?" tanya Lily yang sesekali meringis menahan sakit di lengannya yang masih di perban oleh perawat.

"Mereka masih belum sadar Nona. Tapi, tenang saja luka mereka tak cukup parah, hanya saja sepertinya kaki Ibu Anda patah," ucap Dokter sambil tersenyum kepada Lily.

"Berbeda dengan mobil yang jatuh di jurang, kasihan sekali mereka. Istrinya meninggal di tempat kejadian, sedangkan Suaminya meninggal setelah mendapat perawatan selama 30 menit, dan Anda tau Nona? Anaknya terluka cukup parah mungkin karna mobilnya terpental cukup jauh dan terbentur keras hingga akhirnya jatuh ke jurang. Aku khawatir melihat kondisinya, dia masih koma." Ucap Dokter itu pelan, terlihat raut kesedihan di wajahnya.

Tangis Lily pecah seketika.

"Ti—tidak mungkin, Mama Siska dan Papa Wijaya. Gk mungkin mereka pergi secepat ini Hikksss..." Lily menangis tersedu-sedu.Ia tidak lagi merasakan sakit pada luka-lukanya , Ia bangun dan nekat turun dari hospital bed.

"Tolong antarkan saya ke tempat mereka" Pinta Lily memohon, dan mulai melangkah ke arah dokter dengan kaki pincang.

"Hati - Hati Nona! mari saya antar," sahut perawat yang tadi melilitkan perban di lengan Lily, yang dengan cekatan segera mengambil kursi roda yang ada di sudut ruang perawatan Lily.

Lily naik perlahan, dan mulai di dorong keluar oleh perawat itu.

Setelah sampai di kamar jenazah. Lily mulai membuka penutup mayat Pak Wijaya dan Ibu siska, tangis Lily kembali pecah. Perawat yang mendorong kursi roda Lily tak kuasa menahan tangis melihat pemandangan sedih yang ada di hadapan nya.

"Mama Siska, Papa Wijaya. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa kalian, menerima amal ibadah kalian dan memberi tempat yang terindah untuk kalian, semoga Adrian juga segera sadar. Aku akan berusaha terus ada di samping Adrian, untuk menemaninya, dan menghilangkan kesepiannya." Ucapnya sendu, Ia kembali menghapus air matanya

"Suster tolong, antarkan saya keruang perawatan Orang Tua saya," ucap Lily spontan. Ia baru ingat belum melihat keadaan orang tuanya.

"Baik Nona," sahut perawat itu sopan.

Lily keluar dari kamar jenazah dengan mata sembab, Kursi rodanya melaju pelan melawati lorong demi lorong dari rumah sakit itu, dan tibalah di salah satu kamar perawatan yang ternyata tak jauh dari Ruang perawatannya tadi.

Ceklekk!

Lily membuka pelan pintu ruang perawatan itu terlihat ibunya masih terbaring lemah dan belum sadar, Sedangkan Ayahnya ternyata sudah sadar beberapa waktu lalu.

Like dan komen yah kakak,

Jangan lupa kasih saran dan Vote juga 🙏

WIJAYA DAN HENDRA

Lily yang melihat Ayahnya sudah sadar segera menghampiri hospital bed Ayahnya.

"Bagaimana keadaan mu, Nak?" tanya Pak Hendra, dengan mata merah, menahan tangisnya.

"Lily baik-baik saja Ayah, bagaimana keadaan Ayah?" tanya Lily, menatap sendu Ayahnya.

"Ayah juga baik-baik saja, hanya beberapa luka sobek di lutut dan lengan Ayah. Tapi sudah di jahit dan di tangani oleh perawat. Harusnya kau mengkhawatirkan dirimu, Nak.

Kau jauh lebih terluka. Lihatlah, beberapa perban di kaki, lengan, dan di kepalamu." Jawab hendra sambil menunjuk luka-luka yang ada di tubuh Lily, dengan raut wajah khawatir.

"Aku gk papa, Ayah! Sungguh! Ta—tapi Papa Wijaya dan Mama Siska... Hikss.. Hiks.. " Lily sudah tidak sanggup meneruskan ucapannya, tangisnya kembali terdengar sangat memilukan.

"Ayah sudah tahu, Nak. Kau anak yang kuat. Kau tau? Ayah bahkan tidak sanggup melihat keadaan mereka saat ini, Ayah terlalu pengecut melihat jenazah sahabat Ayah yang selalu menemani Ayah sejak kecil. Sungguh Nak, saat ini, Ayah benar-benar rapuh. Ayah akan segera mengurus pemakaman mereka, karna Ayah dengar, kondisi Adrian saat ini masih keritis. Jadi, Ayah berinisitif memakamkan Wijaya dan Siska di pemakaman keluarga mereka, di samping makam Pakde Kusuma, mendiang Kakek Adrian." Ucapnya pelan, dan masih berusaha menahan air mata yg selalu memaksa untuk jatuh.

"Iya Ayah. Lily cukup tahu kesedihan Ayah," timpal Lily sambil menggenggam tangan Ayahnya.

"Ini lebih dari sekedar rasa sedih nak, Ayah sangat kehilangan Wijaya. Kau tahu nak? kami dulunya bukan orang berada, jangan kan untuk jajan, untuk membeli alas kaki saja Ayah tak mampu. Bahkan untuk makan pun sangat susah. Hingga suatu hari saat umur Kami 17 tahun, Ayah melihat seorang anak makan coklat, terlihat sangat enak, Ayah tanpa sadar berkata padanya 'Wijaya bagaimana sih rasanya coklat? nampaknya sangat enak yah, kapan yah kita bisa makan coklat?' tak lama setelah Ayah bertanya, Wijaya diam dan meninggalkan Ayah di pinggir sungai yang cukup ramai.

Setelah 2 hari berlalu si brensek itu datang, dengan berlari kencang ke gubuk reot ayah

yang terletak di puncak sebuah bukit, dan Ia mengeluarkan 1 buah coklat yang sudah di bagi 2. Saat Ayah bertanya dari mana dia bisa dapat uang untuk membeli coklat? Dia hanya menjawab, makan saja bodoh, tugas mu hanya menikmatinya'. Dan besoknya saat kami berangkat ke sekolah, ayah melihat dia tak makai alas kaki yg baru ia beli sepekan sebelumnya, dari upah jadi buruh tani. Ternyata si brensek itu menjual alas kakinya di pasar loak, hanya karna sebuah coklat untuk kami.

Flashback On.

Pagi itu merek berdua berjalan ke sekolah yang berjarak 3 Km dari kediaman Hendra.

"Wijaya kemana alas kaki mu?" tanya Hendra, sambil melirik ke arah kaki Wijaya yg bertelanjang kaki.

"Aku menjualnya kemarin di pasar loak, biar bisa beli sebungkus coklat, aku memang sengaja menjualnya. ini namanya solidaritas. Kau pun tidak punya alas kaki bukan? " Ucapnya sambil terkekeh.

"Solidaritad kata mu...? Hei..., Aku tak punya karna gk mampu beli, sedangkan kamu udah punya, malah di jual," ucap Hendra, menatap tajam ke arah Wijaya

"Sudahlah! Ayo! pagar sekolah sudah nampak disana, kita akan segera sampai, berhenti mengoceh." Balas Wijaya, mengabaikan tatapan tajam Hendra, sambil terus mengayungkan kakinya ke arah sekolah.

Tiba-tiba dari jauh, mereka melihat 4 orang anak berseragam sekolah dengan rapi dan lengkap. Berjalan ke arah mereka, lalu menghalau jalannya.

"Hei..., Kalian berdua mau kemana, dengan seragam lusuh dan tanpa Alas kaki seperti ini?" tanya salah satu anak dari mereka berempat, dengan nada berteriak.

"Mungkin mereka ingin ke sawah jadi buruh tani lagi, Udin" Ejek seorang anak, yang menjawab pertanyaan temannya , bernama Udin itu.

"Hentikan omong kosong mu! kami ingin sekolah, jangan halangi jalan kami!" bentak Hendra, menatap tajam kepada 4 anak di depannya.

Seorang anak dari mereka berdua maju dan berkata,

"Tidak salah kalian ingin sekolah? mending kalian ke Sawah bantu bapak kalian yang menggarap sawah ku, orang kayak kalian percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga tetap jadi buruh tani, kayak orang tua kalian. Kalian gk punya masa depan!" sambil meludah ke arah Wijaya.

"Sombong sekali kalian." bentak Wijaya yang sudah mengepalkan tahannya, tapi berusaha menahan dirinya.

"Kenapa kalo kami sombong? Kami sombong karna memang ada yang pantas kami sombongkan tak seperti kau. Ibu pun tak punya, mending kau segera pulang dan berbaring di dekat makam ibumu, siapa tau tak lama lagi giliran." Ejek seorang anak, yang bernama Udin dan melihat Wijaya dengan tatapan jijik, di iringi gelak tawa dari teman-temannya.

Wijaya yang mendengarkan hinaan mereka langsung naik pitam, terlebih lagi mereka mebawa-bawa mendiang Bi siti ibunya yang wafat 2 tahun lalu.

Bruukk!

Wijaya meninju Wajah Udin.

Tiba-tiba hendra berteriak.

"Hati-hati Wijaya!" Hendra melihat salah satu dari mereka menggenggam batu sebesar mangkok dan mulai mengayungkan nya ke arah Wijaya.Tapi dengan sigap Hendra mendorongnya. Dan....

Brukkk!

Bunyi benturan antara kepala Hendra dan batu yang di ayungkan oleh salah satu dari mereka.

" Hendraaaa..." Teriak Wijaya yang melihat Hendra sudah ambruk di tanah dengan darah yang mengali di dahinya.

Ke empat anak-anak itu segera pergi dan meninggal kan mereka berdua, setelah melihat Hendra pingsan.

"Bertahanlah Hendra. Aku akan segera membawa mu pulang." Ucapnya dengan wajah khawatir, sambil menaikkan Hendra ke punggungnya dan membawanya pulang.

Saat malam tiba, sekitar pukul 01:38, Hendra mulai membuka matanya perlahan. Ia bangun dan merasa kepalanya cukup pusing, Ia meraba kepalanya dan merasa ada luka. Dia tersadar seketika dan mengingat kejadian tadi siang. Saat ingin turun dari ranjang besi miliknya, Ia heran ternyata di Seblahnya sudah ada Ibunya yang tertidur pulas, tapi Ia lebih heran lagi melihat di lantai samping ranjangnya terbaring 3 orang laki-laki. Ternyata Pak kusuma( Ayah Wijaya) dan Wijaya rela menginap di rumah Hendra hanya untuk memastikan Ia baik-baik saja. Mereka tidur melantai, bersama Ayah Hendra. Di rumah hendra hanya ada 2 Ruangan yaitu kamar dan Dapur. dia tidak punya ruang tamu terlebih lagi kamar tamu.

Hendra bangun perlahan dari ranjangnya untuk mengambil pelita, di bawa kaki Wijaya, sebai penerangan. Ia ingin ke halaman belakang buang air kecil. Tapi langkahnya tiba-tiba di percepat ke arah kaki Wijaya, yang terkena cahaya dari pelita itu.

Terlihat beberapa titik luka di kedua kaki Wijaya.

"Aku cukup yakin, ini pasti luka yang ia dapat tadi pagi saat menggendongku pulang," gumam Hendra, dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Hendra perlahan bediri dan berjalan ke arah halaman belakang menuju kamar kecil di sana, tapi sebelum sampai di sana air matanya menetes deras mengingat pengorbanan sahabatnya itu.

"Hei kenapa kau menangis cengeng?" tanya Wijaya yang entah sejak kapan berdiri di belakang Hendra, dan menepuk lembut bahunya.

"Ah tidak papa, mataku perih terkena asap pelita ini," Ucapnya pelan, Ia segera berbalik menghadap Wijaya dan terdengar masih berusaha menaha air matanya.

"Jangan bohong! Apa kau merasa aku bukan pendengar yang baik?" tanya Wijaya, karna merasa Hendra sedang tak jujur padanya.

"Aku tidak papa, Aku hanya terharu melihat ketulusan mu pada persahabatan kita," ucapnya pelan sambil menangis, karna sudah tidak mampu menahan air matanya.

Mendengar perkataan Hendra, membuat Wijaya mendekatkan langkahnya ke arahnya dan memeluknya erat, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Wijaya mulai berbicara dengan tatapan yang bersemangat.

"Kita harus jadi orang sukses Hendra, Aku tak mau anak cucu kita bernasib sama seperti kita, hanya selalu di rendahkan dan di hina.

Kita harus bisa jadi orang kaya dan meninggalkan keterpurukan ini. Belajarlah yang rajin, aku cukup yakin, usaha kita pasti tak sia-sia. Kita akan tinggal di kota dengan anak dan istri kita kelak. Dan meninggalkan tempat yang mengukir terlalu banyak kisah sedih untuk kita."

Flashback Off

"Lalu Ayah, kenapa sekarang kalian bisa sekaya ini?" tanya Lily penasaran.

"Beberapa tahun setelah kematian Pakde Kusuma, serombongan orang memakai beberapa delman datang ke gubuk kami. Karna setelah kematian Pakde Kusuma, Kakek dan Nenekmu tidak mengizinkannya tinggal sendiri. Ayah cukup yakin, orang yang datang ini orang kaya. karena dulu hanya orang kaya yang mampu membeli Delman, mereka mencari Wijaya. Ternyata, mereka adalah utusan dari orang tua Bi Siti. Ayah pun baru tahu ternyata Bi siti adalah orang kaya yang rela meninggalkan ke kayaannya untuk hidup dengan pakde Kusuma, yang saat itu di tentang keras oleh keluarga Bi siti. Setelah Ia tahu bahwa Bi Siti dan Pakde Kusuma wafat, dan meninggalkan seorang putra membuat mereka iba. Mereka memutuskan untuk mencari keberadaan cucu mereka, dan menjemputnya. Sebelum Wijaya pergi, Ia memeluk Ayah erat dan berjanji akan kembali membawa banyak coklat dan menjemput Ayah untuk tinggal di kota," ucap Hendra yang tersenyum tipis, sambil menyeka air matanya yang mengalir, saat mengenang momen bersama mendiang sahabatnya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!