NovelToon NovelToon

Putri Palsu Sang Antagonis

Zoe Aldenia

Suara peluit panjang menggema di dalam gedung olahraga nasional yang megah. Di dalamnya, tribun sudah penuh sesak oleh para pendukung dari berbagai sekolah, semua menantikan satu pertandingan bergengsi: Kejuaraan Nasional Menembak Antar Sekolah.

Satu per satu peserta menembak dengan fokus tinggi, menyasar papan target yang berdiri kokoh di ujung arena. Suasana tegang, penuh harap, dan juga sorak-sorai dari para penonton.

Di tengah-tengah riuhnya atmosfer itu, seorang gadis berdiri tenang di garis tembak. Ia mengenakan seragam putih abu-abu, rambut hitam panjangnya terikat rapi, wajahnya cantik namun dingin. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah papan sasaran itu tak lebih dari sekadar formalitas.

Dia adalah Zoe Aldenia, siswi perwakilan dari SMA Adhigana, sekolah elit yang tak hanya dikenal karena akademiknya, tapi juga karena Zoe sang bintang.

"Peserta terakhir, Zoe Aldenia dari SMA Adhigana. Silakan bersiap," ujar panitia dari pengeras suara.

Zoe melangkah maju dengan langkah yang nyaris tak bersuara. Ia mengangkat senapan angin ringan yang telah disesuaikan khusus untuknya, lalu mengambil posisi. Hening.

Jantung para penonton seakan ikut berhenti berdetak ketika Zoe mengarahkan senapan ke papan target.

Klik!

Tembakan pertama. Tepat di tengah.

Sorakan langsung meledak dari tribun.

"Serius? Itu bullseye!" teriak salah satu penonton.

"Zoe emang gila banget akurasinya!" sambung yang lain.

Zoe tak bergeming. Wajahnya tetap dingin.

Klik!

Tembakan kedua. Lagi-lagi tepat di tengah. Nyaris menindih peluru pertama.

"Dia beneran manusia?!"

"Holy ... dua bullseye berturut-turut."

Panitia bahkan melirik ke papan nilai dengan tak percaya.

Zoe mengambil nafas perlahan. Tembakan ketiga.

Klik!

Dan tembakan terakhirnya mendarat sempurna di pusat target. Tepat. Tanpa cela.

"Skor 100! Skor sempurna!" teriak juri.

Penonton berdiri. Tepuk tangan membahana. Sekolah-sekolah lain tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.

Zoe hanya menurunkan senapan pelan, menyerahkannya ke panitia tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia membalikkan badan, berjalan pergi melewati kerumunan yang bersorak seolah semua itu tak berarti apa-apa baginya.

Di lorong belakang panggung, seorang guru mendekatinya dengan wajah cerah. “Zoe, luar biasa. Skor sempurna! Kamu menyelamatkan nama sekolah!”

Zoe hanya melirik, lalu menjawab datar, “Itu cuma angka.”

“Zoe, kamu nggak mau bersyukur sedikit, gitu?” tanya temannya, Reva, yang berlari kecil mengejarnya sambil terengah. “Kamu menang, tahu? Semua orang histeris liat skor kamu barusan.”

Zoe menarik lengan seragamnya, mengusap sedikit debu.

“Menang bukan hal baru, Reva.”

“Lalu kenapa kamu ikut lomba ini lagi kalau kamu nggak peduli?” Reva masih berusaha mengimbangi langkah cepat sahabatnya itu.

Zoe menatapnya sekilas. “Supaya mereka diam. Supaya aku tetap ‘berguna’.”

Reva terdiam, tapi tetap mengikuti kemana arah sahabatnya itu pergi sambil kembali mengoceh tidak jelas. Zoe kemudian mengambil handuk dan air minumnya di loker, lalu kembali ke tribun untuk pertandingan selanjutnya.

"Zoe! Ih, kamu dengerin aku gak sih?" gemas Reva yang terus mengikuti Zoe seperti anak ayam.

Zoe lalu duduk di bangku tribun VIP bersama peserta lainnya, menunggu giliran untuk lomba panahan. Botol minum berembun di tangannya, dan matanya menatap lurus ke arena tanpa ekspresi. Angin dari pendingin ruangan perlahan berhembus, membuat anak rambutnya menari halus.

Di sampingnya, Reva duduk sambil terus mengoceh tanpa henti, seperti radio rusak yang tidak bisa dimatikan.

"Zoe, kamu harus banget baca novel ini!" ujar Reva antusias sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Cover-nya mengilap dengan gambar siluet dua perempuan yang saling membelakangi.

Zoe tidak menoleh. Ia hanya meneguk air minumnya.

Reva tidak menyerah. “Sumpah, ini novel laris bulan ini. Semua orang di sekolah udah baca. Judulnya ‘The Real Heiress’. Ceritanya tentang dua gadis … satu putri asli, satu putri palsu. Seru banget!”

Zoe tetap diam. Tatapannya kosong, menatap papan target panahan yang akan jadi lawan berikutnya.

Reva memutar bola matanya, lalu menyikut Zoe pelan. “Eh, kamu tahu nggak nama tokoh antagonisnya siapa?”

Zoe melirik sekilas. “Nggak tahu, dan nggak tertarik.”

“Zoe Aldenia!” kata Reva dramatis, menunjuk namanya sendiri di halaman pertama buku.

Zoe mengangkat alis. “Oh.”

“Oh, hanya itu?” Reva memekik. “Maksudku, kamu nggak penasaran sama sekali? Di novel ini, Zoe Aldenia itu tokoh jahat yang ngerasa dirinya pewaris keluarga kaya, tapi ternyata cuma putri palsu. Dia nyebelin banget. Manja, bodoh, ceroboh. Pokoknya ngeselin. Terus, tahu nggak nasibnya gimana?”

Zoe memutar tutup botol pelan. “Mati?”

“Ya ampun … iya, bener banget! Dia mati tragis di tangan cowok psikopat yang jatuh cinta sama putri asli. Zoe Aldenia si putri palsu dianggap gangguan. Sadis banget. Tapi serius, novelnya tuh ada plot twist gila di akhir.”

Zoe meneguk minumnya lagi tanpa ekspresi. “Fiksi.”

Reva memelototi sahabatnya. “Ya iyalah fiksi, tapi tetep aja, keren gitu loh. Kamu tuh hidupnya kayak di film, Zo. Harusnya kamu relate sama karakter-karakter begini. Masa jadi anak SMA dingin banget kayak es batu. Sekali-kali kamu itu senyum, biar cantik.”

Zoe menarik napas pendek. “Aku di sini buat lomba, bukan buat dengerin kamu ceramahin karakter yang kebetulan namanya sama kayak aku.”

Reva mencibir merasa kesal mendengar jawaban sang sahabat. “Bahkan nama tokohnya aja Zoe Aldenia. Itu bukan kebetulan, itu panggilan takdir.”

Zoe bangkit dari duduknya, merapikan sarung tangan panah yang melilit di pergelangan tangan kanannya. “Aku ke arena. Lomba panahan mulai sepuluh menit lagi.”

“Hei! Aku belum selesai ngomong!” teriak Reva, mendongak.

Zoe sudah berjalan menjauh, langkahnya tenang dan mantap.

Reva menatap punggung sahabatnya sambil menggerutu. “Dasar teman durhaka … dengerin orang aja males. Zoe, aku kutuk kamu masuk ke dalam novel itu! Jadi si Zoe Aldenia yang bodoh dan dibenci satu dunia!”

Zoe hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. “Kamu drama.”

“Drama tuh jalan hidupku!” balas Reva sambil menutup bukunya dengan suara keras.

***

Suasana di dalam gedung megah itu pecah oleh suara riuh tepuk tangan dan sorakan yang menggelegar. Di atas podium juara, tiga orang berdiri dengan bangga. Di tengah, berdiri seorang gadis berwajah dingin yang tetap tak tersenyum meski sorotan lampu dan kamera mengarah padanya.

Zoe Aldenia.

Langkahnya tenang saat menaiki podium juara. Nomor satu lagi.

Seorang panitia menghampirinya, memasangkan medali emas ke lehernya, dan menyerahkan piala kristal tinggi yang memantulkan cahaya dengan indah.

"Selamat, Zoe Aldenia. Kamu juara umum tahun ini," ucap pembawa acara dengan nada penuh kekaguman.

"Terima kasih," jawab Zoe singkat, suaranya datar namun berwibawa.

Dari kejauhan, terdengar suara jeritan familiar.

"Zoeeee! Ya ampun! Kamu gila banget! Gila, keren!" Reva melambai-lambaikan tangan dari tribun penonton, wajahnya merah karena kegirangan. "Tembakannya sempurna! Panahannya juga! Kamu tuh, robot ya?!"

Zoe hanya mengangguk tipis, nyaris tak terlihat dari jauh.

Panitia mempersilakan para juara turun dari podium. Namun sebelum Zoe sempat melangkah, sesuatu terasa aneh.

Tiba-tiba terdengar suara gemeretak aneh dari atas panggung. Seperti besi beradu. Suara itu membuat kepala sebagian besar penonton mendongak. Suara histeris langsung terdengar.

"Awas!"

"Zoe!"

"Ada yang jatuh dari atas!"

Zoe mengerutkan kening, menoleh ke arah kerumunan yang menatapnya dengan mata terbelalak. Beberapa orang mulai berlari panik, menunjuk ke langit-langit.

Zoe mendongak, seketika, pupil matanya mengecil.

Sebuah besi panjang penahan rig lampu besar telah terlepas dari gantungannya dan meluncur jatuh lurus ke arahnya.

Waktu seakan melambat.

Zoe mematung. Kakinya tak sempat bergerak. Kepalanya kosong. Dunia tiba-tiba sunyi.

‘Seriusan? Begini caraku mati?’ pikir Zoe, heran pada dirinya sendiri yang justru merasa tenang.

Ia memejamkan mata.

Bruaaakkk!

Suara logam berat menghantam lantai keras bergema ke seluruh penjuru gedung.

Jeritan membelah udara. Reva yang melihat kejadian itu menjerit paling keras. “Zoooeeee!”

Debu mengepul. Orang-orang segera menghambur ke arah panggung. Beberapa panitia berteriak memanggil petugas medis. Semuanya kacau..

Zoe tergeletak di bawah reruntuhan besi, tubuhnya tertimpa sebagian besar kerangka logam. Medali emasnya terlepas dan menggelinding di lantai.

Piala kristalnya pecah berkeping-keping.

Wajah Zoe tampak tenang, seolah ia memang sudah siap menghadapi akhir.

Tapi yang tak dilihat siapa pun adalah kilatan cahaya lembut yang perlahan menyelimuti tubuhnya. Seakan-akan ia sedang diambil dari dunia ini.

Dari antara kerumunan yang menangis dan panik, satu suara yang tadinya hanya bercanda mulai terasa menakutkan.

“Aku kutuk kau masuk ke novel itu.” suara Reva terdengar berdenging di telinga gadis cantik itu.

Terjebak Dalam Novel

Zoe membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan cahaya lembut dari jendela yang terbuka menyilaukan retina. Udara di sekitarnya harum wangi mawar dan vanila yang menyatu.

Ia mengerjapkan mata. Langit-langit putih gading dengan ornamen ukiran klasik, lampu gantung kristal, dan tirai pink pastel menjuntai di kedua sisi jendela besar. Dinding ruangan dihiasi wallpaper bunga dan rak-rak penuh boneka porselen.

Zoe mengerutkan kening. Tangannya bergerak ke pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia baru menyadari ada perban melingkar di kepalanya.

“Ugh! Aku ... di mana?” gumamnya pelan. “Ini ... kamar siapa?”

Tiba-tiba sebuah suara menyela dari samping ranjang.

“Akhirnya lo sadar juga?”

Zoe menoleh cepat.

Di dekat ranjang, berdiri lima orang empat di antaranya menatapnya dengan ekspresi penuh ketidaksukaan, dan satu gadis tampak gelisah. Di antara mereka.

Seorang pria dengan kaos hitam dan kacamata di atas kepala, bersedekap sambil mendengus. Dua pria kembar identik dengan seragam SMA, lengan baju mereka dilipat seenaknya.

Seorang pria berambut pirang kecokelatan, memakai hoodie abu-abu dan mengenakan anting kecil di telinga kiri.

Dan seorang gadis berambut cokelat sebahu, mengenakan seragam SMA putih abu-abu dengan dasi merah. Wajahnya terlihat sedih, namun tatapannya terfokus pada Zoe dengan campuran rasa kasihan dan canggung.

“Apa ... siapa kalian?” tanya Zoe, duduk pelan di ranjang.

Pria berkacamata mendengus. “Oh, tolong deh. Nggak perlu akting drama ala sinetron amnesia segala. Ini bukan pertama kalinya kamu pura-pura lupa.”

Pria kembar yang berdiri di kanan kiri saling melempar pandang, lalu yang di kanan berkata ketus, “Drama macam apa lagi yang lo mainkan sekarang, Zoe?”

Yang kiri menimpali, “Kita nggak sebodoh itu untuk tertipu lagi.”

Zoe mengerutkan alis dalam. “Apa maksud kalian? Aku beneran nggak tahu ini di mana ... dan kalian siapa?”

Gadis di belakang mereka yang sejak tadi diam maju setengah langkah, wajahnya ragu. “Kak Zoe … kau yakin tidak ingat apa-apa? Aku … Alicia.”

Zoe menatapnya. Nama itu asing tapi anehnya menimbulkan rasa tidak nyaman di dadanya.

“Zoe Aldenia,” pria berkacamata menatap tajam. “Putri keluarga Wiratmaja, putri palsu lebih tepatnya. Baru kemarin kamu hampir membuat Alicia jatuh dari tangga. Dan sekarang kamu berpura-pura amnesia? Heh?! Dasar ratu drama.”

“Putri … keluarga?” Zoe bergumam.

Otaknya berputar cepat. Nama-nama itu, sikap mereka, ekspresi jijik, ruang tidur mewah berwarna pink semuanya terasa tidak asing. Terlalu tidak asing.

‘Alicia … Zoe Aldenia … putri palsu .…’

Zoe terdiam. Matanya membelalak.

“Tunggu ... ini ... ini cerita dalam novel yang Reva tunjukkan .…”

Ia menatap tangan dan tubuhnya sendiri. Masih dirinya, tapi juga terasa berbeda.

Pria pirang bersuara, nadanya dingin, “Kau benar-benar cari perhatian, Zoe. Sekarang mau main jadi gadis baik-baik, ya?”

Zoe mengepalkan tangan di atas selimut. “Aku … bukan Zoe Aldenia dari cerita kalian. Aku bukan—”

“Kau bahkan tidak malu menyebut namamu sendiri seolah itu bukan kamu,” kata si kembar.

Zoe berdiri pelan, masih sedikit limbung. Ia menatap mereka satu per satu.

“Aku … aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Tapi aku bukan dia. Aku bukan Zoe yang kalian bicarakan,” ucapnya pelan, serius.

Mereka terdiam sejenak.

Keempat pria di hadapannya menatap dengan ekspresi datar, sebelum akhirnya tawa sinis mulai terdengar.

“Hah! Lihat tuh!” si pria berkacamata mendengus sambil tertawa kecil. “Sekarang lo jadi orang baru? Kepribadian ganda? Gila juga kamu, Zoe.”

“Kasihan ya, saking malunya karena kelakuanmu sendiri, kamu sampai ngarang cerita konyol begini,” ujar si kembar yang berdiri bersedekap.

“Jangan-jangan ini trik baru buat dapat simpati dari kami semua?” ucap si pirang, melipat lengan dengan sinis. “Gila … sebegitu desperate-nya kamu, ya?”

Zoe menghela napas. Ia masih duduk di ranjang, matanya mulai berkunang. Denyut nyeri menjalar dari pelipis ke belakang kepala. Tangannya memegangi perban, sementara suara mereka makin menusuk telinga.

“Kamu pikir dengan pura-pura lupa ingatan, kami bakal memaafkan kamu setelah semua yang kamu lakukan?” bentak si kembar satunya lagi.

“Eh, ingat waktu kamu sengaja tuang jus ke seragamnya di depan semua orang? Atau waktu kamu ngunci Alicia di ruang seni?”

“Belum lagi waktu kamu—”

“Cukup,” potong Zoe pelan, nada suaranya rendah tapi menekan.

Namun mereka terus mencaci.

“Drama kamu udah basi, Zoe. Semua orang tahu kamu tuh—”

“Keluar.” Kali ini nada suara Zoe naik, matanya tajam, rahangnya mengeras.

Namun keempatnya malah tertawa kecil. Mereka benar-benar membenci Zoe, karena sikap gadis itu selama ini.

“Wah, mulai ngamuk, nih. Zoe yang dulu balik lagi?”

“Berarti amnesianya cuma akting—”

Bugh!

Tiba-tiba Zoe bangkit dan menendang dada si pria berkacamata hingga dia tersungkur ke belakang, jatuh menghantam lemari kecil.

Ketiga pria lainnya melongo.

Zoe berdiri tegak, rambutnya tergerai ke depan sebagian, wajahnya dingin. Tatapan matanya menusuk, aura di sekelilingnya terasa asing. Bukan Zoe yang mereka kenal Zoe yang biasanya cengeng, caper dan dramatis, kali ini berbeda.

“Dengar baik-baik.” Suara Zoe rendah, dingin seperti es. “Aku sudah cukup sabar menahan kepala yang hampir meledak karena ocehan kalian.”

"Heh!? Berani banget lo—"

Zoe menoleh pada si kembar.

Bugh!

Satu tendangan ke arah kaki si kembar kanan, membuatnya tersungkur ke lantai.

“Arrgh! Kau gila, ya?!”

“Zoe!” si kembar kiri reflek maju, tapi Zoe menangkap kerah bajunya dan mendorongnya keluar pintu kamar dengan satu gerakan cepat.

Sementara si pria pirang masih terpaku, tak percaya dengan apa yang dia lihat. “Lo … lo gila .…”

Duagh!

Sebuah tendangan keras menghantam perutnya, membuatnya membungkuk dan Zoe mendorongnya keluar menyusul yang lain.

Keempat orang itu kini tergeletak di lorong depan kamar Zoe, masih belum bisa memproses kejadian barusan.

Kini tinggal Alicia yang berada di kamar itu. Gadis itu berdiri mematung, wajahnya pucat. Tangannya mengepal di sisi rok seragamnya. Matanya menatap Zoe dengan campuran syok, bingung, dan takut.

Zoe perlahan memalingkan wajah, menatap Alicia dengan pandangan tajam seperti pisau yang baru diasah.

"Sekarang tinggal lo."

Suara Zoe datar, tenang namun justru karena itu menakutkan.

Alicia tersentak, bibirnya bergerak-gerak mencoba mencari kata.

Zoe melangkah pelan mendekat, sinar matanya menusuk. "Lo mau keluar sendiri... pakai kaki sendiri ...." Dia berhenti tepat satu langkah di depan Alicia. "atau gue seret lo keluar sekarang juga?"

Alicia terbelalak. Gadis yang selama ini dia kenal sebagai Zoe manja, keras kepala, tapi mudah ditebak telah lenyap. Di hadapannya sekarang, berdiri seseorang yang terasa asing. Tatapannya tajam, suaranya dingin, dan tubuhnya memancarkan aura ancaman yang nyata.

“A—aku … aku cuma ingin memastikan kau tidak apa-apa .…” ucap Alicia terbata, mencoba bertahan.

Zoe tidak mengedip. "Keluar."

Satu kata itu, cukup untuk membuat Alicia mundur selangkah.

“Aku … maaf … aku akan pergi,” kata Alicia cepat-cepat, dan segera memutar tubuh.

Zoe memperhatikan dengan dingin saat gadis itu melangkah keluar. Dia berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak, wajahnya datar.

“Mulai sekarang, jangan masuk kamarku tanpa izin. Sekali lagi kalian menginjakkan kaki di sini, aku pastikan kalian nggak bisa jalan keluar.”

Pintu dibanting keras.

Braakk!

Keluarga Wiratmaja

Setelah mengusir keempat pria yang ia sebut "nyamuk pengganggu" dan menghalau Alicia keluar, Zoe kembali terduduk di atas ranjang mewah bernuansa pink itu.

Ruangan itu terlalu manis. Terlalu feminin. Terlalu bukan dirinya.

Zoe mendesah pelan. Pandangannya kosong menatap ke langit-langit, lalu beralih ke sekeliling kamar yang penuh boneka dan perabotan mewah berwarna pastel. Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu berdiri.

Langkahnya perlahan menuju ke arah cermin besar yang menempel di dinding.

Sesampainya di sana, Zoe berhenti. Ia menatap sosok dalam cermin dengan ekspresi datar. Gadis dalam pantulan itu memang dirinya tapi bukan dirinya yang asli.

Rambut panjang berkilau, kulit putih mulus tanpa cacat, dan wajah cantik sempurna dengan tatapan yang dulu sering dilabeli, "arogan dan dingin". Semua masih dirinya, tapi berbeda.

Pelan-pelan, Zoe mengangkat tangan dan menyentuh pipinya sendiri. Jemarinya menelusuri garis rahang, alis, hingga ke bibirnya.

"Bagaimana bisa aku terjebak di sini?" gumamnya pelan.

Matanya menajam. "Jangan-jangan ... karena kutukan Reva?"

Zoe mendengus sinis, lalu menggeleng perlahan. "Enggak mungkin. Itu cuma celetukan iseng, mana bisa kutukan jadi nyata ....”

Ia terdiam sejenak.

Lalu, matanya melirik sekeliling kamar itu lagi. Semua detail terlalu sempurna, terlalu hidup. Bahkan rasa sakit di kepalanya tadi, terlalu nyata untuk hanya sebuah mimpi.

"Ini ... benar-benar konyol," katanya, setengah tidak percaya. "Cerita yang aku kira fiksi, ternyata nyata."

Ia menunduk, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi matanya menyimpan beban besar. "Dan baru kali ini ... aku nyesel."

Zoe menghela napas berat. "Nyesel karena satu hal, gak baca novel sialan itu."

Ia memejamkan mata sejenak, menahan rasa frustrasi yang mulai mendesak di dadanya.

"Kalau aku tahu jalan ceritanya, mungkin aku bisa menyiasati semuanya. Tapi sekarang? Aku bahkan gak tahu bab berapa, atau karakter siapa saja yang akan muncul."

Tiba-tiba, satu kalimat terngiang di telinganya. Suara Reva.

"Akhirnya dia tewas … di tangan antagonis pria yang tergila-gila pada putri asli."

Zoe membuka matanya perlahan. Tatapannya berubah dari bingung menjadi tajam dan dingin.

"Jadi akhir ceritaku adalah kematian ... dibunuh oleh pria psikopat karena aku menghalangi kisah cinta mereka?"

Ia terkekeh kecil. “Lucu. Gila. Klasik.”

Lalu ia menatap cermin dengan penuh keyakinan."Kalau aku ingin tetap hidup." Zoe menatap pantulan dirinya. "Aku harus mengubah alurnya."

Zoe melangkah mundur dari cermin. Tubuhnya kini tegap, sorot matanya tajam seperti anak panah.

"Cari tahu siapa orang tua kandungku yang sebenarnya."

"Keluar dari bayang-bayang si putri asli."

"Dan jauh-jauh dari jalur kematian."

Ia menoleh ke jendela, memandangi cahaya senja yang perlahan masuk dari sela tirai.

"Ya. Itu harus."

Zoe mengepalkan tangannya.

"Siapa pun penulis novel ini .…"

"Sorry, tapi aku gak bakal ngikutin skripmu."

"Aku masih ingin hidup lebih lama. Dan aku gak akan mati cuma demi bikin akhir cerita kalian lebih dramatis."

Dengan langkah mantap, Zoe berjalan kembali ke meja rias. Ia menarik kursinya dan duduk.

"Permainan dimulai sekarang."

**

Malam itu, ruang makan keluarga Wiratmaja tampak hangat dengan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung megah di langit-langit.

Meja makan panjang berhiaskan lilin, porselen mahal, dan aneka hidangan kelas atas. Keenam anggota keluarga telah duduk rapi di kursi masing-masing semua kecuali satu.

Kursi di ujung kanan kosong. Kursi milik Zoe.

Terlihat di kursi kepala keluarga, Joe Wiratmaja dengan wajah datar. Di samping kanannya terlihat sang istri, yaitu Tina Wiratmaja, wanita paruh baya yang masih terlihat anggun dengan rambut tersanggul rapi dan setelan formal mewah, mengerutkan kening saat matanya menangkap kekosongan itu.

Dia meletakkan garpunya perlahan di sisi piring. “Di mana Zoe?” tanyanya datar, tapi jelas terdengar nada tidak senang di balik suaranya. “Bukankah sudah jelas makan malam wajib dihadiri semua anggota keluarga?”

Alicia yang duduk di sebelahnya baru saja membuka mulut untuk menjawab, namun lebih dulu dipotong oleh suara salah satu si kembar.

“Dia lagi sibuk pura-pura amnesia,” ucap Arya, si kembar kanan, sambil menyendok sup dengan malas.

“Iya,” timpal Arvan, si kembar kiri. “Drama barunya hari ini jadi manusia baru, katanya. Katanya dia lupa semua kelakuan dia sebelumnya.”

Tina mendesah pendek dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Hmph ... dia memang selalu cari perhatian,” gumamnya.

Meski Tina membenci Zoe, tapi tetap saja. Dia yang merawatnya dari bayi ketika putri mereka tertukar.

Jesper, anak keempat yang dikenal paling cerewet, meletakkan gelasnya di meja.

“Sampai kapan sih dia bakal pakai alasan amnesia itu? Hari ini tendang Arya, tendang Arvan, terus ngusir kami dari kamarnya. Besok pasti mulai berulah lagi. Tunggu aja.”

Alicia yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara pelan, tapi tegas. “Kak, gak boleh ngomong kayak gitu.” Ia menunduk sopan.

“Bagaimanapun juga, Zoe itu adik kalian juga, sama seperti aku.”

Semua mata melirik ke arah si sulung, Varo, pria berusia awal dua puluhan yang duduk di ujung meja dengan postur tegap dan wajah serius. Ia meletakkan garpu dan pisau makannya, lalu menatap Alicia lurus-lurus.

“Dia bukan adik kita, Alicia.”

Suasana meja makan langsung tegang.

“Kamu satu-satunya adik kandung kami.” lanjut Varo dengan suara dingin. “Zoe itu cuma putri palsu. Seandainya saja kalian tidak tertukar waktu itu, mungkin kita tidak akan pernah mengenal Zoe dan Zoe mengganggu hidup kami.”

Alicia terlihat terkejut, tapi tidak membalas. Tangannya mengepal di pangkuannya.

Arya berseru sambil tertawa kecil, “Akhirnya ada yang ngomong juga.”

Arvan mengangguk setuju, “Iya. Capek juga dengerin orang terus-terusan pura-pura Zoe itu bagian dari kita.”

Jesper menyeringai, “Dia cuma numpang hidup. Bukan darah kita.”

Tina tidak menyela. Ia hanya mengaduk supnya perlahan, lalu berkata pelan, “Aku tidak akan menyalahkan kalian atas apa yang kalian rasa.”

Ia menatap Alicia. “Tapi ingat, Zoe memang bukan darah kita, tapi selama dia masih berada di bawah atap ini dia tetap tanggung jawab keluarga ini.”

Alicia mengangguk kecil, meski wajahnya masih terlihat murung.

Varo meneguk anggurnya, lalu berkata dingin,

“Tapi jangan salahkan kami kalau suatu hari nanti dia mendapat apa yang pantas dia terima.”

Sang kepala keluarga yang hanya diam dari tadi. Namun kali ini, suara beratnya akhirnya terdengar. “Cukup.”

Semua orang langsung menoleh ke arah Joe. Bahkan Varo, si sulung yang biasanya paling disegani, ikut menghentikan gerakannya.

Joe meletakkan sendok garpu di piringnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursi.

“Jika dia berulah lagi, maka Daddy sendiri yang akan mengusirnya dari rumah ini.”

Nada suaranya tegas, dingin, tanpa emosi.

Alicia terkejut. “Daddy .…”

Joe melirik sekilas ke arah putrinya yang satu-satunya. “Kita sudah cukup bersabar. Selama ini, kita berikan dia fasilitas terbaik, pendidikan terbaik. Tapi kalau akhirnya dia tetap tidak tahu diri ....”

Dia menatap semua anaknya satu per satu.

“maka dia tidak pantas tinggal di bawah atap keluarga Wiratmaja.”

Jesper langsung tersenyum puas. “Akhirnya! Ini baru keputusan yang rasional, Dad.”

Arvan ikut mengangguk setuju. “Satu masalah hidup kita bakal selesai.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!