NovelToon NovelToon

Azzura ( Obsesi Sang Alpha)

Azzura Dixon Azlan

Pagi itu, di sebuah meja makan yang mewah dan panjang berlapis marmer putih, keluarga Azlan sedang menikmati sarapan mereka. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, memantul pada permukaan gelas kristal dan peralatan makan dari perak.

Terlihat Zion, pria dewasa dengan aura wibawa dan ketenangan, duduk di kepala meja, membaca surat kabar digitalnya.

Di sebelahnya, Zanaya, wanita anggun dengan mata tajam dan rambut panjang gelap, menyeruput teh hangat sambil memperhatikan putranya, Zorion, yang sedang mengoles mentega di roti gandum.

Suasana tenang itu tiba-tiba berubah saat suara dari lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, dan muncullah seorang gadis remaja dengan pakaian sangat sederhana, hoodie abu-abu, celana jeans lusuh, dan kacamata besar yang tampak kebesaran. Rambut hitamnya dikuncir dua seperti anak SMP.

"Pagi," gumam Azzura dengan lesu, berjalan ke kursinya dan duduk di antara Zorion dan sang ibu. Ia langsung mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat, tanpa melihat siapa pun.

Zanaya mengangkat alis, meletakkan cangkir tehnya. "Sampai kapan kau akan mengenakan pakaian seperti ini, Azzura? Hanya demi pemuda itu?"

Azzura mendesah keras. "Apa salahnya, Mom? Kenzo pria yang baik. Dia tidak peduli soal penampilan.

Zorion hanya menahan tawa kecilnya tapi memilih bungkam. Zion hanya membalik halaman surat kabarnya, namun dari cara ia menekuk bibir, jelas ia mendengar percakapan istri dan putrinya.

Zanaya berdecak pelan, nadanya mulai meninggi. "Kalau dia pria baik, tidak mungkin dia akan memanfaatkan kamu untuk selalu mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Kamu pikir Mommy dan Daddy tidak tahu itu? Kami tahu semua yang terjadi, Azzura. Dia bukan pria yang baik, jauhi dia!"

Azzura menghentikan gerakannya, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Mommy benar-benar nggak pernah sayang Azzura," katanya pelan, namun sarat kemarahan.

Zanaya berdiri setengah dari kursinya, hendak menjawab, tapi Azzura sudah mendorong kursinya dan berdiri.

"Aku berangkat ke kampus!" serunya sambil berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Dengan membawa bekal yang sudah dia siapkan dari tadi.

Zanaya hendak menyusul, namun tangan Zion terulur dan menyentuh lembut lengan istrinya.

"Biarkan saja dulu," katanya tenang, menatap lurus ke arah pintu tempat Azzura menghilang. "Dia harus sadar sendiri, bukan karena dipaksa."

Zorion menggigit rotinya pelan, lalu bergumam, "Atau karena hatinya yang memang keras seperti batu."

Zanaya menarik napas panjang, lalu kembali duduk. Di meja yang megah itu, hanya suara alat makan yang kembali terdengar. Namun hati para penghuni rumah itu sedang bergemuruh.

🍃🍃🍃

Di Kampus Astoria, kampus mewah dengan arsitektur modern dan taman yang rapi sekumpulan mahasiswa tampak duduk santai di bangku taman tengah. Tawa dan obrolan ringan mengisi udara pagi yang cerah.

Di antara mereka ada Kenzo, pria populer dengan wajah tampan dan gaya percaya diri. Ia mengenakan jaket BEM kebanggaannya, simbol status sebagai ketua mahasiswa.

Di sampingnya, sahabatnya Boby dan Rica, si primadona kampus yang glamor, duduk santai sambil menyeruput kopi dingin.

Boby melirik Kenzo lalu berkata, "Bro, serius deh, sampai kapan lo mau mainin Azzura?"

Kenzo hanya terkekeh kecil, mengangkat alis dengan santai. "Sampai gue bosen, lah. Dia masih berguna banget, apalagi buat ngerjain tugas-tugas gue."

Rica tertawa merdu mendengar itu, lalu menimpali dengan nada mengejek. "Dia tuh bener-bener gadis paling polos sedunia. Disuruh apapun pasti nurut."

"Dan dia pikir lo beneran cinta sama dia," tambah Boby, setengah geli setengah kasihan.

Kenzo menyandarkan tubuhnya ke bangku dan berkata sambil nyengir, "Biarin aja. Selama dia masih mau jadi budak cinta gue, kenapa nggak dimanfaatin?"

Tawa mereka meledak. Mahasiswa lain yang mendengar percakapan itu ikut tersenyum sinis, seakan Azzura hanyalah bahan lelucon umum di kampus Astoria.

"Azzura tuh, bener-bener bodoh," ujar salah satu mahasiswi sambil menggeleng. "Gila, bisa-bisanya dia percaya sama cowok model Kenzo."

"Cinta memang bikin buta, ya," sahut yang lain, sambil tertawa menahan geli.

"Eh, ada Azzura tuh," kata Boby, tapi Kenzo terlihat acuh.

Dari jauh, terlihat Azzura berjalan sambil menenteng sebuah kotak makan siang.

Tak sedikit yang memandangnya dari ujung mata. Ada yang menertawakan, ada pula yang mencibir pelan, tapi Azzura tak peduli.

Langkahnya mantap menuju arah taman, tempat di mana Kenzo, pria populer sekaligus ketua BEM, tengah duduk santai dikelilingi beberapa teman satu organisasinya. Wajahnya tampan, senyumnya memikat, dan setiap gerak-geriknya selalu disorot.

Azzura menarik napas, menenangkan degup jantungnya yang tak karuan. Lalu, ia berhenti tepat di depan Kenzo.

“Kenzo,” sapanya sambil tersenyum kecil, “Aku bawa bekal untukmu.”

Kenzo menoleh, melihat Azzura sekilas dengan ekspresi datar. Ia melirik kotak makan berwarna pastel yang disodorkan Azzura, lalu mendesah pelan.

"Aku udah kenyang," katanya sambil mendorong kotak makan itu kembali. "Baru aja sarapan tadi."

Azzura terdiam. Tangannya masih menggenggam kotak makan itu. Sekilas, matanya berkaca, tapi ia segera menunduk, menyembunyikan kecewanya dengan senyum yang tetap dipertahankan.

“Oh, iya. Gak apa-apa kalau gitu,” ucapnya pelan, mencoba terdengar ceria. “Kalau begitu, buat nanti aja, ya?”

Kenzo tak menjawab, malah kembali ngobrol dengan temannya. Tapi Azzura tetap berdiri di situ, masih ingin bicara.

“Ngomong-ngomong,” lanjut Azzura dengan suara yang lebih lirih, “Untuk acara kemah besok kamu ikut, kan?”

Kenzo mengangguk tanpa menatapnya. “Jelas. Aku kan ketua BEM.”

Azzura tersenyum lagi, kali ini lebih lebar walau terpaksa. “Aku senang kalau kamu ikut. Aku bantu nyiapin konsumsi juga.”

Kenzo hanya mengangguk datar.

“Oh iya, ini ....” Azzura membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. “Tugasmu yang kemarin. Udah aku kerjain semuanya.”

Kenzo baru menoleh, mengambil kertas itu sambil mengangguk tanpa mengucapkan terima kasih.

“Hmm, sini,” katanya singkat.

Azzura hanya tersenyum lagi. “Aku ke kelas dulu, ya. Semangat hari ini, Kenzo.”

Ia membalikkan badan dan berjalan menjauh, masih membawa kotak makan yang tidak disentuh itu. Di belakang, suara tawa pelan terdengar samar, dari teman-teman Kenzo.

“Dia pikir dia siapa, sih? Naksir Kenzo?”

“Udah cupu, polos, eh bawa bekal segala .…”

"Dasar gadis miskin, murahan," kata yang lain sambil terkekeh kecil.

Azzura mendengarnya cemoohan itu,tapi ia tak menoleh. Ia terus berjalan, sambil menggenggam kotak makan itu erat-erat.

**

Azzura tiba di kelasnya, membawa raut wajah datar dan langkah lelah, perhatian Sania langsung tertuju padanya.

Sania, gadis berambut ikal pendek dan wajah ekspresif, putri dari Zanders dan Nadira itu langsung menarik lengan Azzura agar duduk di bangku sebelahnya. Tatapannya penuh selidik.

“Ditolak lagi makanannya?” tebak Sania, setengah serius, setengah iba.

Azzura tidak menjawab. Ia hanya meletakkan kotak bekal di bawah meja, lalu mengeluarkan buku catatannya dengan gerakan pelan. Kepalanya menunduk, berusaha menghindari mata Sania.

Sania menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Azzura dengan ekspresi lelah tapi peduli.

“Sampai kapan kau akan terus seperti ini, Ra?” tanyanya pelan tapi tegas. “Sudah jelas Kenzo itu cuma mempermainkan kamu. Benar apa yang Tante Zanaya katakan.”

Azzura mengangkat wajahnya, dan untuk sesaat matanya menyala. Ia menatap Sania tajam.

“Kau tidak tahu apa-apa, San,” ucap Azzura datar.

Sania mengangkat alis, sedikit menahan diri.

“Justru karena aku tahu, makanya aku ngomong begini. Sudah berapa kali? Dia nolak bekalmu, gak pernah ucapin terima kasih, tapi kamu tetap ngejar dia. Sampai kapan kamu mau bikin dirimu terlihat bodoh di depan semua orang?”

Azzura mengepalkan tangannya di bawah meja. “Aku gak bodoh.”

Sania menatapnya dengan lirih. “Tapi kamu membiarkan dirimu disakiti, Ra. Dan itu lebih menyakitkan buatku, tahu?”

Azzura mengalihkan pandangan ke luar jendela. Angin pagi meniup tirai tipis kelas.

“Aku cumn, pengen dia lihat aku. Walau cuma sebentar,” bisiknya.

Sania diam, hatinya mencelos mendengar ucapan sepupunya itu.

“Kau tahu gak, Ra?” lanjut Sania pelan. “Kalau yang kayak dia itu gak akan pernah lihat kamu sebagaimana kamu lihat dia. Kamu ngasih semua yang kamu punya, sedangkan dia bahkan gak anggap kamu ada. Dia itu cowok brengsek.”

Azzura menggigit bibirnya, matanya berkaca. Tapi ia menoleh lagi pada Sania, suaranya pelan, lirih, seperti anak kecil yang tersesat.

“Apa aku gak cukup baik, San?”

Sania terdiam sesaat. Hatinya remuk melihat sepupunya yang biasanya kuat, kini begitu rapuh.

“Kamu baik, Ra. Terlalu baik. Tapi kamu kasih kebaikanmu ke orang yang salah.”

Azzura menunduk lagi. Tak ada yang ia bisa katakan. Semua yang Sania katakan benar. Tapi hati tidak pernah bisa dipaksa logika.

Perkemahan

Pagi itu, pelataran depan Kampus Asteria sudah dipenuhi suara ramai mahasiswa. Mereka berdiri berkelompok, mengobrol, tertawa, dan bersenda gurau sambil menunggu dua bus pariwisata yang akan membawa mereka ke lokasi kemah tahunan.

Di tengah keramaian itu, Azzura berjalan tergesa, tubuhnya sedikit membungkuk menahan berat tas ransel yang besar di punggungnya, serta dua tas jinjing lain di tangan kanan dan kiri. Napasnya memburu, rambutnya sedikit berantakan oleh angin pagi, tapi tak sedikit pun ia berhenti.

“Azzura! Itu tas makananku ketinggalan! Di atas meja aula!” teriak Kenzo, berdiri santai di bawah pohon sambil memainkan ponselnya.

Azzura langsung mengangguk sambil tersenyum, meski wajahnya sudah dipenuhi keringat. “Iya! Aku ambil sekarang!”

Beberapa mahasiswa di dekatnya menoleh, memperhatikan pemandangan itu dengan berbagai ekspresi. Salah satunya Boby, sahabat Kenzo yang berdiri bersama Rica, mahasiswi sosialita dengan gaya tajam dan komentar pedas.

“Kau lihat itu?” bisik Boby, terkekeh. “Dia bahkan bawa tas Kenzo yang segede itu sendirian. Gila.”

Rica melipat tangan, menahan tawa. “Lebih gila lagi, dia tetap tersenyum. Disuruh-suruh kayak pembantu juga senang banget.”

“Kenzo gak kasihan apa ya?” gumam Boby, tapi lebih ke sarkasme. “Ah, siapa yang aku bohongi? Dia nikmatin itu.”

Kenzo menoleh pada mereka dengan senyum puas. “Lumayan lah. Dia bantu banget, kok.”

Tak lama kemudian, Azzura kembali dengan napas tersengal, membawa kotak makan dan tambahan satu tas kecil.

“Nih … makanannya,” ucap Azzura sambil menyerahkan kotak itu dengan kedua tangan. Senyum lelah tapi tulus menghiasi wajahnya.

Kenzo hanya mengangguk dan menyerahkannya begitu saja ke Boby. “Taruh di bagasi, sana.”

Boby hanya menerima tanpa komentar, sesekali melirik Azzura dengan ekspresi tak tega yang tertahan.

Azzura berusaha merapikan nafas dan senyum, meskipun pundaknya nyaris roboh. Ia lalu berdiri di dekat Kenzo, seolah menunggu instruksi lain.

“Kamu udah makan belum?” tanya Kenzo, mendadak dengan suara datar.

Azzura menggeleng pelan. “Belum, tapi gak apa-apa.”

Kenzo menunjuk kantin yang sudah hampir tutup. “Yaudah, sana beli roti dulu. Kamu gak mau pingsan di jalan, kan?”

Azzura tersenyum kecil, senang diperhatikan walau hanya sekilas. “Oke … aku cepet kok.”

Ia berlari kecil menuju kantin.

Rica mencibir sambil mengaduk kopi dalam tumbler-nya. “Dia pikir kamu peduli, padahal kamu cuma gak mau repot kalau dia tumbang, ya?”

Kenzo hanya mengangkat bahu, lalu tertawa. “Kalau dia pingsan, siapa yang bawain barangku?”

*

Langkah Azzura cepat, roti masih di tangan, napasnya terengah. Matanya mencari-cari Kenzo di antara kerumunan mahasiswa yang sudah mulai mengantri naik bus.

Tapi belum sempat ia mendekat, Sani sepupunya tiba-tiba muncul di depannya, berdiri tegak dengan tangan menyilang di dada. Wajahnya keras, penuh emosi yang ditahan-tahan.

“Kamu bawa semua barang-barangnya?” tanya Sania tajam, matanya melirik ransel besar di punggung Azzura dan dua tas lain yang masih digenggam.

Azzura sedikit terkejut, tapi cepat-cepat tersenyum kecil, mencoba menenangkan.

“Iya ... dia minta tolong, kok,” jawabnya pelan.

Sania mengepalkan tangan. “Tolong? Itu bukan ‘minta tolong’, Ra. Itu nyuruh!”

Azzura berusaha melangkah ke sisi, tapi Sania memotong langkahnya. Matanya kini menatap lurus ke arah Kenzo, yang tengah bersandar santai di dekat bus sambil berbicara dengan Rica.

“Aku gak tahan lagi lihat dia perlakukan kamu kayak gitu!” gumam Sania, mulai berjalan ke arah Kenzo.

Tapi Azzura buru-buru menarik lengan Sania, memeluknya dari samping. “Sudah, San … jangan … please.”

Sania berbalik dengan ekspresi marah dan tak percaya. “Sudah? Kamu serius? Ra, dia perlakukan kamu kayak pembantu kampus, dan kamu masih … masih bela dia?”

“Aku gak bela dia,” bisik Azzura lirih. “Aku cuma … gak mau ribut di sini. Lagian, ini gak berat kok.”

Sania menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi masih terlihat geram.

“Ra, kamu tahu kita ini gak selemah kelihatannya. Kita dilatih bela diri dari kecil, kamu tahu sendiri. Tapi bahkan dengan latihan itu pun, bawa tas segede itu tetap bikin bahu sakit, otot ketarik. Kamu bukan robot!”

Azzura tersenyum kecil, matanya mulai berkaca. “Tapi ini pilihanku, San. Aku yang minta bantu dia, aku yang bilang aku gak apa-apa.”

Sania memandangi Azzura, lama. Wajahnya melembut, tapi nadanya masih tegas.

“Kadang kita harus berhenti pura-pura kuat, Ra. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita pantas diperlakukan lebih baik.”

Azzura menggigit bibirnya, tak bisa berkata-kata. Ia tahu Sania benar. Tapi hatinya tetap menolak melepaskan harapan itu.

“Terima kasih, San,” ucap Azzura akhirnya. “Tapi, kali ini, biar aku tanggung sendiri.”

Sania menatap Azzura dalam-dalam. Kemudian, dengan helaan napas berat, ia mengangguk. “Baik. Tapi kalau dia berani lagi, aku gak akan diam.”

*

Bus akhirnya berhenti di sebuah area terbuka di pinggir hutan. Udara segar menyambut para mahasiswa yang turun satu per satu, membawa barang dan peralatan masing-masing.

Terlihat hamparan tanah berumput luas dengan beberapa tenda panduan sudah didirikan di bagian tengah sebagai tempat perlengkapan dan logistik.

Azzura turun paling akhir, memanggul ransel besar milik Kenzo sambil menenteng dua tas lainnya. Matanya menyapu area kemah, mencari tempat kosong.

“Zura!” seru Kenzo dari bawah pohon besar. “Pasangin tendaku di pojok sana ya, yang deket logistik. Gue mau ke briefing panitia dulu.”

Azzura mengangguk. “Oke ....”

Ia berjalan terseok ke arah yang ditunjuk, meletakkan tas-tas berat di tanah. Tangannya mulai sibuk membuka gulungan tenda milik Kenzo, membentangkan kain dan menyusun tiang-tiang penyangga. Angin berhembus lembut, tapi matahari mulai menyengat, membuat keringatnya mengalir di pelipis.

Beberapa mahasiswa lain sudah bekerja sama mendirikan tenda berdua, bahkan bertiga. Tapi Azzura sendirian. Ia menancapkan pasak dengan sepatu, lalu menarik tali pengikat dengan kekuatan yang nyaris menguras tenaganya.

Setelah tenda Kenzo berdiri, barulah ia membuka tendanya sendiri di sisi agak jauh. Tangan gemetar, lututnya berdebu. Tapi ia tetap bekerja, tanpa mengeluh.

Sania datang dengan membawa botol minum.

“Kamu belum selesai juga?” tanyanya, lalu mengulurkan air ke Azzura.

Azzura menerima dengan senyum lemah. “Tenda Kenzo ribet banget, tali-taliannya kusut semua.”

Sania mendengus, lalu menatap tenda besar yang sudah berdiri rapi.

“Kamu bahkan belum sentuh tendamu sendiri, ya?” katanya tajam.

Azzura mengangguk pelan. “Baru mau.”

Sania menghela napas, lalu ikut jongkok membantu. “Udah, biar aku yang pasang pasak. Kamu tarik talinya aja.”

Azzura menatap Sania sejenak, lalu tersenyum lebih hangat. “Makasih, San.”

Tak lama kemudian, panitia mulai meniup peluit, memanggil semua peserta untuk berbaris.

Mereka segera berkumpul di lapangan terbuka, berdiri dalam barisan masing-masing kelompok. Absensi dilakukan satu per satu oleh panitia.

“Kelompok 3 Sania, hadir. Azzura, hadir.”

Setelah absen selesai, seorang panitia perempuan berbicara melalui pengeras suara.

“Baik teman-teman, kalian boleh beristirahat sampai sore. Jam tujuh malam nanti, kita akan mulai Games Malam Survival. Jangan lupa makan dan kumpulkan energi!”

Riuh sorak-sorai terdengar, lalu barisan pun dibubarkan.

Xavier

Udara malam di area perkemahan mulai terasa dingin. Setelah games survival selesai, peserta mulai kembali ke tenda masing-masing. Beberapa masih berkumpul di dekat api unggun, tertawa dan berbincang santai. Namun, Azzura tampak berbeda wajahnya cemas, matanya menatap sekeliling, mencari seseorang.

“Kenzo, ke mana sih?” gumamnya.

Ia berjalan cepat ke arah tenda panitia, lalu menghampiri seorang mahasiswa BEM.

“Maaf,” Azzura memanggil pelan, “Kamu lihat Kenzo? Tadi dia barisan kelompok kita.”

Cowok itu menggeleng sambil menyesap air mineral. “Tadi sempat di dekat api unggun, tapi sekarang gak tahu, sih. Mungkin ke toilet?”

Azzura mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih, tapi hatinya tak tenang. Ia berjalan mengelilingi kemah, memeriksa tiap sudut gelap, tapi sosok Kenzo tak terlihat.

Langkahnya kemudian membawanya semakin menjauh dari keramaian. Tanpa sadar, ia mulai mendekati area pinggiran hutan, tempat yang awalnya dilarang untuk didekati. Pepohonan tinggi menjulang dan cahaya lampu kemah tak sampai ke sana.

Namun di antara kesunyian, ia mendengar suara sayup, pelan, dan sesekali diselingi tawa kecil dan desahan samar.

Azzura menahan napas. Ia melangkah perlahan, menepi ke balik semak, mengikuti suara itu.

Semakin dekat, semakin jelas suara dua orang yang berbicara dalam nada intim.

Hingga akhirnya, dari balik pohon besar dan batu yang tertutup semak, terlihat Kenzo dan Rica berdiri sangat dekat, tubuh mereka bersandar di batu, tangan saling menyentuh, bibir mereka hampir bersatu.

Dunia Azzura seketika berhenti.

Tubuhnya kaku, tapi telinganya terus mendengar dan yang ia dengar, menghancurkan sisa hatinya.

“Kamu yakin gak akan ketahuan?” bisik Rica sambil menggoda, jari-jarinya menggulung rambut Kenzo.

Kenzo tertawa pelan, santai. “Tenang aja. Zura itu gampang banget dikendalikan. Kasih sedikit perhatian, langsung nurut kayak anak anjing.”

Rica terkekeh, “Dia masih kasih kamu uang juga, kan?”

Kenzo mengangguk, santai. “Iya, dia beri semua duit beasiswanya, ke aku. Siapa yang menolak, bukan? Lumayan buat dimanfaatkan.”

Azzura menggigit bibirnya. Matanya mulai panas, tangannya gemetar. Tapi ia tak bisa bergerak. Seolah bumi menahannya untuk mendengar semuanya.

“Dan soal tugas?” tanya Rica lagi.

Kenzo mendesah, “Lah, jelas dia yang ngerjain semua tugas gue. Tinggal minta, dia pasti lakuin. Pintar sih, tapi sayangnya bodoh, tapi aku gak peduli sih, toh siapa lagi yang bisa gue manfaatin?”

Tawa mereka menggema pelan di antara semak. Dan Azzura perlahan mundur, tubuhnya lemas. Air mata jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Terdengar Rica dan Kenzo mulai melakukan sesuatu yang terlarang yaitu berhubungan intim, membuat Azzura semakin sakit.

Azzura berbalik berlari jauh ke dalam hutan. Langkah Azzura menembus pekat malam. Hatinya remuk, dadanya sesak oleh pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan.

Kenzo. Rica. Semua kebodohannya. Semua kepercayaannya. Semua cintanya.

“Bodoh … aku bodoh!” isaknya, berlari semakin dalam ke hutan yang membentang luas.

Air mata jatuh tanpa henti. Tapi langkahnya tidak goyah. Ia tidak peduli lagi ke mana kakinya membawanya. Hutan itu gelap, dingin, dan liar tapi tidak lebih mengerikan dari kenyataan yang baru saja menghantamnya.

Azzura merasa bersalah pada orang tua, kakak dan orang-orang yang peduli padanya. Tapi dia dengan bodohnya menyakiti perasaan mereka.

Di sekelilingnya, dedaunan mulai bergetar. Akar-akaran mencuat dari tanah, ranting-ranting menjulur liar seperti tangan-tangan yang hidup. Angin mendesir cepat, berputar mengelilingi tubuh Azzura.

Tubuhnya kini dilingkupi oleh aura samar, berkilauan dalam warna emas kehijauan. Nafasnya berat. Tapi di balik air mata dan keputusasaannya sesuatu dalam dirinya bangkit.

Darah keturunan Zanaya, sang penguasa seluruh elemen, dan Zion, raja dari zaman kuno mulai menyala.

Sihir darah murni.

Api kecil menari di ujung jari. Angin menggulung di sekitarnya seperti pelindung tak terlihat. Tumbuhan liar mendesis, menunduk pada pemiliknya yang baru sadar akan dirinya sendiri.

Namun Azzura tak menyadarinya. Yang ia tahu ia ingin pergi. Menjauh dari dunia. Dari semua kebohongan.

“Aku ingin menghilang.”

Suara itu keluar dari bibirnya dengan getir. Dan tanpa sadar langkahnya menyeberangi batas yang tak pernah seharusnya ia lewati.

Batas hutan larangan.

Di balik garis tak terlihat itu, dunia berubah. Udara menjadi berat, tanah terasa berdenyut di bawah kaki.

Kabut ungu menyelimuti jalur pohon-pohon tinggi yang tampak lebih tua, lebih menyeramkan. Sunyi. Tak ada suara burung, jangkrik, atau angin. Hanya detak jantungnya yang terdengar. Tiba-tiba..

Bugh!

Azzura jatuh tersungkur di tanah basah, akar pohon besar menjulur kasar di bawah tubuhnya. Ia tak peduli pada rasa sakit di lutut atau kotoran yang menempel di bajunya.

Tubuhnya gemetar. Napas tersengal. Tangisnya pecah seketika, seakan tak bisa lagi ia tahan.

“Kenapa, semuanya harus seperti ini?” isaknya pelan. “Daddy … Mommy … kalian benar … kalian sudah peringatkan aku ... tapi aku terlalu bodoh .…”

Tangannya mencengkeram rumput liar, air mata terus mengalir tak terbendung. Dunia terasa terlalu sunyi, terlalu dingin. Tapi kemudian ...

“Arrgh!”

Suara rintihan kesakitan memecah kesunyian itu.

Azzura mendongak cepat, matanya melebar.“S—siapa?” tanyanya gemetar, menahan napas.

Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lemah, seperti seseorang yang berjuang tetap sadar. Dengan hati-hati, Azzura berdiri, menyibak semak berduri dan mengikuti sumber suara.

Dan di balik pohon besar berselimut lumut, terbaringlah seorang pria.

Tubuhnya penuh luka. Robekan dalam di dada, lengan, dan punggungnya, terlihat jelas seperti bekas cakaran makhluk buas. Darahnya mengalir, menggenangi tanah di bawahnya.

Matanya setengah tertutup, rambut coklat gelapnya menempel di kening karena keringat. Tapi wajahnya…

Begitu tampan dan asing, seperti pangeran.

“T—Tolong .... ” rintih pemuda itu lemah.

Azzura segera berjongkok di sampingnya. “Kamu terluka parah.”

Tangannya gemetar, ingin menolong, tapi ia tak tahu harus apa.

“Aku … harusnya cari bantuan, tapi aku sendiri gak tahu jalan kembali ke luar hutan.”

Lalu, tanpa sadar telapak tangannya bersinar lembut. Warna keemasan berkilauan dari kulitnya, mengalir hangat, menyelimuti udara dingin malam.

Elemen cahaya.

Salah satu dari kekuatan yang diwarisi Azzura dari ibunya—Zanaya, sang pengendali seluruh elemen.

Kilauan itu perlahan menyentuh tubuh sang pemuda. Luka-luka yang menganga mulai menutup, darah berhenti mengalir. Nafasnya membaik.

Pemuda itu perlahan membuka mata dan terbelalak menatap Azzura.

“Kau,” bisiknya, “kamu … bukan manusia biasa .…”

Azzura tersentak. “A—apa?”

“Tanganmu … cahaya itu … kau penyembuh? Kau … pakai sihir barusan?”

Azzura langsung sadar, dia baru saja memperlihatkan sihirnya pada seorang pria asing. Kekuatan yang selama ini disimpan rapi yang hanya diketahui oleh keluarganya.

"Kau ... kau mungkin salah lihat," kata Azzura gugup.

Pemuda itu menatapnya lama, lalu tertawa kecil, walau wajahnya masih pucat. “Sihir di dunia ini sudah nyaris punah, itu hanya ada di zaman kuno. Tapi kamu … kamu menggunakannya seolah itu nalurimu sendiri.”

Azzura mengerutkan kening. “Siapa kamu sebenarnya?”

Pemuda itu menatap langit sebentar sebelum menjawab, “Namaku … Xavier.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!