NovelToon NovelToon

The Villain Wears A Crown

Prolog: The Day Her Name Died

...“The execution of a noble name is not done with blades—It is done with whispers, ink, and a lie too beautiful to resist.”...

Langit di atas Kastil Ravennor malam itu tidak berbintang. Langit seolah berduka.

Elara Verndale berdiri di tengah halaman istana, dengan gaun putih yang ternoda lumpur dan darah. Di sekelilingnya, para bangsawan menyaksikan diam, wajah-wajah mereka menampilkan belas kasihan palsu seakan mereka tidak menikmati kehancuran keluarga terhormat yang satu ini.

Di sebelah Elara, tergeletak tubuh ayahnya. Kepala keluarga Verndale. Dahulu penasihat utama raja, kini hanya mayat yang dingin di atas batu istana. Ibunya pingsan di pelukan penjaga, dan adik lelakinya… dibawa entah ke mana, mungkin untuk "diperbaiki" — kata mereka.

“Elara Verndale,” suara algojo bergema. “Atas nama pengkhianatan terhadap kerajaan dan konspirasi terhadap tahta, seluruh hak bangsawanmu dicabut. Kau akan dibuang. Nama keluargamu akan dilenyapkan dari sejarah Ravennor.”

Elara tidak menangis. Tidak lagi. Air matanya telah habis sejak malam ketika istana mereka dibakar. Sejak para penjaga, yang dahulu membungkuk hormat, memaksa masuk dan menyeret mereka keluar dengan tuduhan yang mereka bahkan tak mengerti.

Pengkhianatan?

Padahal keluarganya adalah pengabdi setia.

“Bunuh aku sekalian,” gumamnya pada algojo.

Pria itu menatapnya. “Tidak, Lady Elara. Kematian adalah kehormatan yang tidak pantas kau terima. Kami lebih suka melihatmu hidup… dan dilupakan.”

Tujuh tahun kemudian…

Musim semi mekar di Ravennor.

Dan seorang wanita muda turun dari kereta kuda berwarna obsidian, mengenakan gaun hitam berhias renda keemasan. Ia membawa angin tenang, suara lembut, dan senyum mematikan.

Namanya sekarang bukan Elara.

Dia adalah Lady Seraphine —calon tunangan Pangeran Caelum Alistair, pewaris tahta.

Dan di bawah gaun megah itu, tersembunyi dendam yang telah membusuk selama tujuh tahun.

“Let the kingdom forget Elara Verndale.

But let them never forget what she came back to do.”

📢 HALOOO PARA PEMBACA TERSAYANG!!

Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!

Jadi jangan lupa:

💥 Siapkan hati.

💥 Siapkan cemilan.

💥 Siapkan mental buat gregetan.

⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB

🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum Alistair.

➕ Jangan lupa:

❤️ Vote

💬 Komen

🔁 Share

🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~

Chapter 1: The Mask and the Crown

Kereta kerajaan berguncang perlahan di atas jalan berbatu, menuju gerbang utama Istana Ravennor. Di dalamnya, duduk seorang wanita dengan punggung tegak, mata terarah ke jendela meski ia tak sungguh-sungguh melihat pemandangan. Jemarinya yang bersarung renda putih menggenggam kipas hitam keemasan, dan wajahnya tak menunjukkan sedikit pun rasa cemas.

Namun di balik tatapan tenangnya, hatinya menyimpan bara. Bara yang telah menyala selama tujuh tahun lamanya.

Lady Seraphine nama yang kini dipanggil orang padanya mengambil napas dalam. Udara pagi ini dingin, tapi tidak sebeku hatinya saat mengingat apa yang akan ia lakukan. Di sinilah semuanya dimulai lagi: di istana tempat keluarganya dihancurkan, namanya dihapus dari sejarah, dan hidupnya dipecah menjadi sebelum dan sesudah malam pengkhianatan itu.

Dan sekarang… dia kembali, bukan sebagai korban.

Tapi sebagai calon istri sang pangeran.

Para penjaga istana menunduk saat pintu kereta dibuka. Seraphine melangkah keluar dengan anggun, gaun hitam berbordir emas menjuntai di belakangnya seperti bayangan malam. Mahkota kecil bertatahkan obsidian menghiasi kepalanya perhiasan yang ia pilih sendiri, sebagai simbol: bahwa ia datang sebagai tamu, tapi dengan niat seorang ratu yang jatuh.

“Lady Seraphine,” suara pelayan pria menyambut. “Selamat datang di Istana Ravennor. Pangeran Caelum menunggu Anda di taman selatan.”

Seraphine menoleh pelan, senyumnya tipis. “Taman selatan… Ah. Sungguh tempat yang indah untuk perkenalan pertama. Bahkan burung pun bernyanyi tanpa tahu bahwa musim dingin akan kembali datang.”

Pelayan itu ragu-ragu. “Maaf, milady?”

“Tidak apa.” Ia melangkah, menyusuri koridor yang telah berubah sedikit sejak ia terakhir kali berada di sana. Lukisan-lukisan baru menggantung di dinding, wajah-wajah bangsawan yang menggantikan mereka yang dihukum. Tapi langit-langit itu masih sama. Ia pernah melihatnya saat tertelungkup di lantai batu, mendengar suara cambuk di kejauhan.

Kini ia berjalan di bawahnya, dengan kepala tegak.

Taman selatan dipenuhi bunga-bunga mawar dan anggrek putih. Angin membawa aroma manis bercampur sejuknya embun. Di tengahnya, seorang pria berdiri membelakangi danau kecil, mengenakan jas kerajaan berwarna biru tua dengan emblem singa bersayap di dadanya.

Seraphine berhenti beberapa langkah darinya.

“Yang Mulia.”

Pangeran Caelum Alistair berbalik.

Tatapan pertama mereka adalah diam. Seperti dua pedang yang saling mengukur sebelum bertarung.

Caelum lebih muda dari yang Seraphine bayangkan—meski telah berusia dua puluh lima tahun, wajahnya menyimpan kelembutan yang tidak cocok dengan istana ini. Tapi mata kelamnya menyiratkan sesuatu yang lain. Luka. Rahasia. Dan kehati-hatian.

“Lady Seraphine,” ucapnya, suaranya dalam dan tenang. “Akhirnya kita bertemu.”

“Benar, akhirnya.” Ia tersenyum. “Apakah Anda puas dengan pilihan yang dibuatkan oleh dewan pernikahan untuk Anda, Yang Mulia?”

Sebuah senyum samar muncul di wajah Caelum. “Saya lebih tertarik melihat apakah Anda puas menjadi calon ratu.”

“Menjadi ratu bukanlah tentang kepuasan,” Seraphine menjawab. “Tapi tentang bagaimana bertahan tanpa kehilangan diri sendiri.”

Caelum terdiam sejenak. “Jawaban yang bijak.”

Seraphine menunduk sedikit, membiarkan permainan kecil ini dimulai.

Beberapa jam kemudian, Seraphine berjalan di galeri istana bersama Lady Mirella, sepupu pangeran, yang ditugaskan sebagai “pendamping istana” selama dia tinggal di sana.

“Kau sungguh berbeda dari yang kudengar,” kata Mirella pelan, setelah memastikan tak ada pelayan di dekat mereka.

“Oh?” Seraphine menaikkan alis.

“Mereka bilang kau… terlalu dingin. Terlalu pendiam. Bahkan beberapa mengatakan kau menyimpan niat gelap.”

Seraphine tersenyum. “Mungkin itu benar. Tapi bukankah semua wanita kerajaan menyimpan niat gelap? Kita hanya tidak selalu mengakuinya.”

Mirella terkekeh. “Aku menyukai kejujuranmu. Tapi berhati-hatilah. Di sini, kejujuran sering dianggap sebagai kelemahan.”

Seraphine menghentikan langkahnya dan memandangi lukisan besar seorang pria berjanggut lebat.

“Siapa ini?” tanyanya, meski ia tahu jawabannya dengan sangat baik.

“Itu adalah Lord Verndale. Dulu penasihat utama raja. Tapi dia… dihukum karena pengkhianatan.”

Seraphine berpura-pura mengangguk. “Oh. Aku dengar kisahnya sangat tragis.”

“Ya… putrinya menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi setelah keluarga itu dihancurkan.”

Seraphine memiringkan kepalanya sedikit. “Kadang yang hilang… hanya menunggu waktu untuk kembali.”

Malam itu, Seraphine berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit yang kini dipenuhi bintang. Tangannya menggenggam liontin kecil berbentuk elips, satu-satunya peninggalan ibunya. Di dalamnya, ada potret kecil Elara muda dan adik lelakinya—Orin.

Di mana kau sekarang, Orin?

Ia telah mencari selama bertahun-tahun, tapi tak ada jejak adiknya di mana pun. Beberapa mengatakan dia dibawa ke penjara bawah tanah, beberapa lain bilang dia mati dalam pelarian. Tapi Seraphine tak percaya semuanya. Ia tahu Orin masih hidup. Dan bagian dari rencana balas dendamnya adalah menemukan bocah itu—dan membuat dunia membayar atas apa yang telah mereka lakukan.

Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar.

“Masuk,” ucapnya.

Pelayan pribadi masuk, membawa sepucuk surat.

“Untuk Anda, milady. Tanpa nama pengirim.”

Seraphine mengambilnya dengan alis mengernyit. Ia membuka surat itu perlahan.

Tulisannya tajam, tegas. Maskulin.

“I know who you are.

And I know why you came back.”

Seraphine membeku.

Matanya terpaku pada baris kalimat itu, sementara isi suratnya hanya dua kalimat sederhana tapi cukup untuk mengguncang seluruh rencana yang telah ia susun selama bertahun-tahun.

“I know who you are.

And I know why you came back.”

Surat itu tanpa tanda tangan, tanpa cap kerajaan, bahkan kertasnya bukan jenis yang biasa digunakan oleh istana. Lebih tebal, berbau samar arang dan rempah—bau khas ruang bawah tanah atau... ruang rahasia.

“Siapa yang memberimu surat ini?” tanyanya pada pelayan.

“Seorang laki-laki, milady. Ia mengenakan jubah biasa. Mengaku sebagai pengantar dari dapur istana.”

“Ciri-cirinya?”

“Tak terlihat jelas. Wajahnya sebagian tertutup tudung. Tapi—dia tahu nama Anda, meskipun saya tidak sempat memberitahunya.”

Seraphine menatap surat itu lagi. Lalu mengangguk pelan.

“Terima kasih. Kau boleh kembali.”

Saat pintu ditutup, Seraphine membakar surat itu di atas lilin yang menyala di meja kecilnya. Lembaran itu melengkung dan berubah menjadi abu, satu per satu huruf menghitam dan lenyap.

Tapi maknanya tak akan hilang.

Malam itu, ia tidak tidur.

Sebaliknya, ia menyusup ke bagian terdalam perpustakaan istana, tempat rak-rak tua menyimpan catatan sejarah yang telah disensor. Di balik rak ketiga di sisi timur—tepat di belakang lambang singa bersayap yang usang—terdapat lorong rahasia. Tempat yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah tinggal di istana sebelum masa Raja Elric, ayah Caelum.

Dan Seraphine adalah salah satunya.

Lorong itu gelap, tapi ia mengingatnya dengan sangat baik. Ia menyusuri jalan sempit yang berdebu itu hingga tiba di sebuah ruangan batu kecil. Di dalamnya, tersisa meja tua dan tumpukan buku berlapis waktu.

Ia menarik satu gulungan kertas tua dari dalam rak.

Peta bawah tanah Ravennor.

Titik-titik merah melambangkan ruang penyiksaan, ruang tahanan, dan… ruang penyimpanan. Ia mencari satu simbol tertentu: lingkaran bercabang—lambang milik Ordo Umbra, sekte rahasia yang menyelamatkannya tujuh tahun lalu.

Dan di sanalah letaknya. Di bawah kapel tua istana.

Keesokan harinya, saat cahaya matahari menyinari koridor istana, Seraphine berpura-pura menjalani tugas barunya: menghadiri pesta makan siang bersama para bangsawan muda. Di antara mereka, Lady Mirella hadir kembali, mengenakan gaun biru lembut.

“Kau tampak… lelah,” komentar Mirella.

“Aku tidak terbiasa dengan tempat tidur yang begitu empuk,” jawab Seraphine ringan.

Tawa kecil mengalir di antara mereka. Tapi Seraphine tahu, semua ini hanyalah lapisan—topeng-tipis yang dikenakan semua wanita di meja itu. Termasuk dirinya.

Pangeran Caelum tidak hadir. Tapi pesan darinya dikirim secara pribadi: “Kita perlu berbicara malam ini. Aku menunggumu di balkon utara setelah pesta selesai.”

Dan malam pun datang.

Seraphine mengenakan gaun berwarna merah gelap—warna darah kering. Rambutnya disanggul tinggi, memperlihatkan leher jenjang yang dulu pernah dipenuhi luka cambuk. Kini, hanya kilauan batu delima yang menggantung di sana.

Balkon utara sepi saat ia tiba. Hanya ada angin malam dan nyala lentera yang berayun lembut.

Tapi tak lama, langkah-langkah terdengar dari dalam.

Pangeran Caelum muncul, mengenakan jubah beludru hitam. Wajahnya diterangi cahaya lilin, menampakkan garis tegas dan mata yang malam itu tampak lebih gelap dari biasanya.

“Kau menerima surat itu,” katanya langsung, tanpa basa-basi.

Seraphine tidak menjawab.

“Bukan dariku,” lanjutnya. “Tapi aku tahu siapa yang menulisnya.”

Ia mendekat.

“Lady Seraphine—atau... Haruskah aku memanggilmu dengan nama yang telah dihapus dari sejarah?”

Tatapan mereka bertabrakan, dan angin malam seakan berhenti bergerak.

“Panggil aku apa pun yang kau mau, Yang Mulia,” bisiknya. “Itu tidak akan mengubah siapa aku sebenarnya.”

Caelum mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa inci.

“Dan siapa kau sebenarnya?”

“Yang kau biarkan hidup… tujuh tahun lalu.”

Caelum menahan napas.

Ia ingat malam itu. Seorang gadis remaja yang ditarik paksa oleh penjaga. Seorang anak perempuan yang berlutut di tengah darah dan abu. Ia ingin menyelamatkannya, tapi tak bisa. Ia hanyalah putra mahkota yang tak berdaya di bawah bayang-bayang ayahnya.

“Jadi kau kembali untuk membalas dendam?” bisiknya.

“Tidak,” kata Seraphine pelan. “Aku kembali… untuk mengambil semuanya.”

Caelum tidak segera menjawab. Tangannya mengepal di balik jubah, dan pandangannya menelusuri wajah wanita di hadapannya—bukan lagi gadis ketakutan yang ia lihat bertahun-tahun lalu, tapi seorang ratu dalam bayangan.

“Kalau begitu,” katanya perlahan, “apa yang ingin kau ambil, Lady Seraphine?”

Ia tahu jawabannya, tapi ia ingin mendengarnya langsung.

Seraphine menatapnya. “Kebenaran. Tahta. Dan mungkin… jiwamu.”

Ketika ia berbalik hendak pergi, Caelum menggenggam pergelangan tangannya. Sentuhan itu panas, seperti percikan sihir yang tak terucapkan. Ia mendongak, bertemu mata Caelum yang membara dengan sesuatu—kemarahan? Ketakutan? Atau rasa bersalah?

“Aku tidak membunuh keluargamu,” kata Caelum pelan. “Aku tahu kau pikir aku pelakunya. Tapi aku bukan... seperti ayahku.”

Seraphine mengangkat dagu. “Dan kau pikir kata-kata itu bisa menghidupkan mereka kembali?”

Diam sejenak.

“Kau tidak tahu apa pun tentang siapa aku sekarang,” lanjutnya dingin. “Dan itu baik. Karena ketika waktunya tiba, kau akan tahu seperti apa rasanya kehilangan segalanya.”

Ia menarik tangannya dan melangkah pergi, meninggalkan Caelum berdiri di sana—diam dalam gemuruh jiwanya.

❖ ❖ ❖

Beberapa hari berlalu. Seraphine memainkan perannya dengan sempurna. Ia menari di pesta istana, berbicara dengan senyum tipis pada para bangsawan, dan menerima hadiah-hadiah kecil dari pelamar politik yang mencoba merebut perhatiannya.

Tapi di malam hari, ia terus menjelajah lorong-lorong tersembunyi, mencari jejak Orin—dan identitas orang misterius yang tahu siapa dirinya.

Sampai suatu malam, ia menemukan sesuatu.

Di salah satu ruang penyimpanan tua dekat kapel bawah tanah, ia menemukan ukiran simbol kuno—lingkaran bercabang tiga.

Ordo Umbra.

Dan di bawah simbol itu, tertulis sebuah kalimat dalam bahasa lama:

“Ia yang dilupakan akan bangkit bersama bayangan.”

Hatinya berdetak kencang. Ini bukan hanya ancaman. Ini pertanda bahwa seseorang—mungkin Orin, atau Ash—masih hidup dan bergerak dalam bayang-bayang. Dan lebih dari itu… seseorang sedang membangkitkan kekuatan lama yang disegel sejak Perang Berdarah berabad lalu.

❖ ❖ ❖

Pagi berikutnya, Seraphine sedang duduk di ruang baca ketika Lady Mirella masuk membawa kabar yang tak terduga.

“Seorang tamu dari Utara baru saja tiba,” katanya dengan nada gugup. “Ia mengaku utusan dari Tanah Salju. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Ia mengenakan jubah perak tua. Seperti… ordo yang sudah tidak ada lagi.”

Seraphine membeku.

“Namanya?” desaknya.

“Lord Ashlan. Tapi ia tidak menyebut nama keluarganya.”

Ash…

Ashlan adalah nama tengah kakaknya. Nama yang hanya mereka berdua tahu. Mata Seraphine membelalak, tapi ia cepat menutupinya.

“Aku ingin bertemu dengannya. Segera.”

❖ ❖ ❖

Saat mereka bertemu di aula pribadi istana, pria itu berdiri membelakangi jendela, wajahnya separuh tersembunyi bayangan. Tapi Seraphine mengenal postur itu. Bahunya yang kokoh. Luka kecil di pelipis kiri.

“...Ash?” bisiknya.

Pria itu menoleh. Matanya berwarna abu seperti dirinya. Hanya sedikit lebih gelap. Lebih matang. Lebih dingin.

“Elara,” katanya.

Dan untuk pertama kalinya sejak malam pengkhianatan itu… Seraphine menangis.

Chapter 2: Ashes Beneath the Throne

Istana Ravennor mungkin tampak tenang dari luar—menara-menara megah yang menjulang, gerbang perunggu yang berkilau saat matahari menyentuhnya, dan taman-taman indah yang penuh bunga musim semi. Tapi di dalam dinding emas itu, ada sesuatu yang busuk.

Seraphine merasakannya setiap langkah ia berjalan.

Sehari setelah pertemuannya dengan Caelum di balkon, dia menjalani rutinitas istana dengan senyum terlatih. Para pelayan mulai memanggilnya dengan hormat, para bangsawan muda mulai bergosip tentang kecantikannya, dan para ibu istana menyusun jadwal pelajaran istana untuknya seolah dia memang calon ratu. Tapi setiap ruang yang dia masuki dipenuhi bayang-bayang.

Dan bukan bayangannya sendiri.

Sore itu, ia mengikuti Lady Mirella ke ruang perjamuan kecil tempat Dewan Adat berkumpul. Para anggota dewan—semuanya pria tua berkepala putih, mengenakan jubah panjang berlapis lambang keluarga mereka—menatapnya seperti menilai harga seekor kuda unggulan.

“Lady Seraphine,” ucap Lord Halric, kepala dewan, dengan suara datar. “Kami menyambut kehadiranmu sebagai bagian dari keluarga kerajaan Ravaryn… setidaknya sampai pernikahan berlangsung.”

“Suatu kehormatan,” jawab Seraphine dengan anggukan dalam, menyembunyikan taring di balik senyumnya.

“Namun kami ingin memperjelas satu hal,” lanjut Lord Halric. “Takhta bukan hanya sekadar simbol. Ia mewarisi beban, darah, dan kebenaran. Kami harap Anda siap menghadapi semua itu.”

Seraphine menahan pandangannya. “Tentu, milord. Saya telah menanggung beban lebih berat dari emas di mahkota mana pun.”

Beberapa anggota dewan saling berpandangan.

Lady Mirella mencengkeram lengan Seraphine saat mereka keluar.

“Mereka tak menyukaimu,” bisiknya. “Kau terlalu cerdas… terlalu percaya diri.”

“Bagus,” bisik Seraphine balik. “Aku tak datang untuk dicintai.”

Malam berikutnya, Seraphine menyelinap keluar dari sayap timur istana dan menuju kapel tua yang sudah tidak dipakai. Bangunan itu sunyi, dipenuhi debu dan puing dari langit-langit runtuh. Di belakang altar, ada celah kecil—cukup untuk satu tubuh merangkak ke dalamnya. Seraphine merangkak masuk.

Lorong bawah tanah yang gelap menyambutnya dengan dingin batu dan aroma lembap. Ia menyalakan lentera kecil dan melangkah perlahan, menyusuri dinding yang retak. Tanda-tanda kuno Ordo Umbra terpahat samar di tembok.

Setelah belokan ketiga, seseorang menunggu.

Pria berjubah abu-abu, wajah tertutup kain, berdiri di bawah lentera gantung.

“Lady Verndale,” sapanya pelan.

Nama itu terdengar seperti bisikan hantu.

“Kau tahu siapa aku,” ucap Seraphine. “Tapi aku tidak mengenalmu.”

“Aku bagian dari mereka yang tersisa. Mereka yang setia pada darahmu. Dan pada kebenaran yang telah dikubur.”

Seraphine menajamkan pandangan. “Ordo Umbra?”

Pria itu mengangguk.

“Dulu kami dianggap sekte sesat. Kini, kami sekadar bayangan dari masa lalu. Tapi kami masih menjaga satu hal: catatan pengkhianatan yang sesungguhnya.”

Ia menyerahkan gulungan kulit bersegel hitam.

Seraphine membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, tertera kesaksian para pelayan, pengawal, bahkan satu anggota dewan—semua menyatakan bahwa keluarganya dijebak. Bahwa Raja Elric sendiri memerintahkan pembantaian Verndale karena takut pada warisan sihir kuno mereka.

“Ini… bukti,” bisik Seraphine.

“Bukti yang bisa membakar kerajaan,” sahut pria itu. “Tapi berhati-hatilah. Banyak yang akan mati jika ini jatuh ke tangan yang salah.”

“Dan adikku? Orin? Apakah kau tahu di mana dia?”

Pria itu ragu sejenak. “Ada desas-desus. Seorang anak lelaki dengan mata perak dan bekas luka di pundaknya. Diselamatkan oleh biarawan pengembara. Tapi…”

“Tapi?”

“Sejak tiga tahun lalu, dia menghilang. Beberapa mengatakan dia direkrut oleh kelompok rahasia di Utara—mereka yang mengincar takhta dengan cara mereka sendiri.”

Seraphine menggenggam gulungan itu erat. “Kalau begitu aku harus menemukannya sebelum mereka melakukannya.”

Sementara itu, Pangeran Caelum berdiri di ruang takhta yang kosong, memandangi simbol keluarga Ravaryn yang terukir di lantai: singa bersayap dengan mahkota patah.

Ayahnya telah mati lima tahun lalu—dibunuh oleh racun yang tak pernah terbukti, tapi semua tahu itu permainan dalam istana. Ibunya menghilang. Takhta kini nyaris jadi miliknya, tapi beratnya seperti pisau yang menempel di tengkuk.

Seorang pelayan masuk dan menyerahkan laporan.

“Gerakan pasukan utara meningkat, Yang Mulia. Beberapa keluarga bangsawan mulai memindahkan perak dan pasukan pribadi mereka dari kota.”

Caelum meremas kertas itu.

“Dan calon tunanganku?” tanyanya.

“Lady Seraphine sedang tidur, menurut pengawalnya.”

Caelum menyipitkan mata.

“Aku ragu itu benar.”

Keesokan paginya, Seraphine duduk di meja makan pribadi yang menghadap taman dalam. Tangan kirinya memainkan pisau buah kecil, dan di hadapannya, muncul sosok yang tidak ia harapkan secepat ini.

Caelum.

Ia duduk tanpa bicara, lalu mengambil apel dan memotongnya rapi. Senyap.

“Yang Mulia,” sapa Seraphine lembut.

“Kau menyelinap keluar tadi malam,” ucapnya tanpa menatap. “Tiga penjaga melaporkanmu tidak ada di kamar setelah tengah malam.”

“Apakah kau mengawasiku?”

“Setiap orang yang dekat dengan mahkota diawasi. Apalagi mereka yang membawa rahasia sebesar kau.”

Seraphine tidak menyangkal.

“Aku tahu keluargamu tidak sebersih yang dicatat sejarah,” lanjut Caelum. “Tapi aku juga tahu istana ini tidak sebersih yang ingin dipercayai orang.”

“Lalu kenapa kau masih di sini?” tantangnya.

Caelum menoleh padanya, mata emasnya tajam. “Karena kalau bukan aku, siapa yang akan mengubahnya?”

Keduanya terdiam lama.

Di antara mereka, ada sejarah yang belum selesai. Tapi juga kemungkinan.

Seraphine menyadari saat itu: untuk menghancurkan kerajaan ini, dia tak hanya harus menyingkirkan musuh-musuh lamanya. Tapi juga berhadapan dengan orang satu-satunya… yang mungkin bisa menyelamatkannya dari menjadi monster yang ia benci.

Hari berikutnya, aroma darah menggantung di aula pelatihan para penjaga istana.

Seorang prajurit muda ditemukan tewas. Tubuhnya tergantung di atas tiang latihan, luka tusukan melingkar seperti ukiran ritual memenuhi dadanya. Darahnya mengering, membentuk simbol kuno yang hanya dikenali oleh mereka yang mempelajari sihir kelam.

Seraphine melihatnya dari balkon lantai atas, bersama Lady Mirella dan dua putri bangsawan lain yang menutup hidung mereka dengan sapu tangan renda.

“Peringatan,” gumam Mirella. “Atau pesan.”

Seraphine menyipitkan mata. Ia tahu simbol itu.

Salah satu dari Ordo Umbra. Tapi juga digunakan oleh kelompok pemujaan lama yang pernah dibasmi oleh kerajaan: Sang Tangan Hitam.

Mereka yang memburu darah keturunan Verndale.

Di ruangannya malam itu, Seraphine menggigit kukunya sambil menatap gulungan bukti pengkhianatan di meja. Jika ada sisa Tangan Hitam yang menyusup ke istana… maka ia bukan hanya diburu sebagai pewaris, tapi sebagai ancaman hidup-hidup.

Ia berjalan ke cermin dan melepas jubahnya. Di balik pakaian megah istana, kulitnya penuh bekas luka—masa kecil dalam pelarian, malam-malam kelaparan, dan pelatihan untuk membunuh yang ia lewati bertahun-tahun.

Ia bukan lagi gadis kecil dari rumah terbakar.

Ia adalah senjata.

Tapi senjata pun bisa retak… terutama saat ada yang menggenggamnya terlalu erat.

Keesokan paginya, saat sesi pelajaran istana, ia disambut dengan bisikan tajam.

“Konon Lady Seraphine dulu anak pelayan….”

“Ayahnya penyihir, ibunya pendosa….”

“Dengar-dengar, dia membunuh calon suaminya di utara…”

Gosip beracun mengalir cepat di udara istana. Seraphine duduk dengan tenang, mendengarnya semua, dan hanya tersenyum.

Yang tak mereka tahu: setiap kata mereka menjadi alasan baru untuk membalas dendam.

Di ruang rahasia di bawah perpustakaan, Caelum memanggil seseorang.

“Bawa aku pada pembunuh bayaran yang terakhir menyusup ke istana,” katanya.

Seorang pria tua bertato mata tertutup dibawa dengan rantai besi ke hadapan sang pangeran.

“Siapa yang mengirimmu?” tanya Caelum.

Pembunuh itu tersenyum dengan gigi berkarat. “Bukan siapa… tapi apa.”

Caelum menyipit. “Jelaskan.”

“Bayangan. Suara. Nama yang tak pernah disebut, kecuali oleh orang mati.”

Caelum mencengkeram leher baju pria itu. “Apa kau berbicara tentang… warisan Verndale?”

Pria itu terbatuk dan tertawa. “Kau menyimpan api di pangkuanmu, Pangeran. Dia akan membakarmu. Dan ketika istana ini jadi abu, takhta itu tak lagi punya kaki.”

Sebelum Caelum bisa bertanya lebih jauh, pria itu menggigit sesuatu di dalam mulutnya—racun. Tubuhnya menggigil lalu membeku, busa di bibirnya berwarna hitam.

Satu kata terakhir keluar dari mulutnya:

“Orin…”

Nama itu membuat darah Caelum membeku.

Ia pernah mendengarnya… bertahun lalu, saat dia diam-diam mendengarkan para bangsawan berdiskusi. Anak bungsu keluarga Verndale. Yang konon menghilang. Yang konon diburu bahkan setelah seluruh keluarga dibantai.

Dan kini, para pembunuh menyebutnya lagi?

Caelum berdiri perlahan.

“Temukan semua arsip yang pernah menyebut nama itu. Aku ingin tahu ke mana dia pergi. Dan siapa yang mencarinya.”

Malam itu, Seraphine berdiri di balkon, memandangi taman gelap di bawahnya.

Cahaya lilin di belakangnya menciptakan bayangan panjang, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

Bayangan itu—bergerak sendiri.

Ia menoleh cepat.

Tapi tak ada siapa pun di ruangan.

Kecuali bisikan. Pelan. Dalam bahasa kuno yang hanya ia tahu.

“Yang membakar takhta, akan tenggelam dalam darahnya sendiri.”

Seraphine mencengkeram liontin di lehernya. Di dalamnya, sehelai rambut adik bungsunya, Orin, yang ia selamatkan sebelum pelarian. Ia tak tahu apakah Orin masih hidup. Tapi ia bersumpah akan mencarinya.

Dan jika istana ini, para bangsawannya, atau bahkan Caelum menyembunyikan sesuatu darinya—

Maka mereka akan merasakan seperti apa rasanya kehilangan segalanya.

Sore menjelang malam, Seraphine diminta hadir dalam sebuah pertemuan tertutup di Ruang Marmer. Para anggota dewan pernikahan berkumpul di sana bersama penasihat tertinggi istana dan dua utusan dari kerajaan tetangga.

Pangeran Caelum duduk di kursi utama, wajahnya serius, tetapi matanya memandang Seraphine seolah mencoba membaca isi pikirannya dari gerak langkahnya saja.

“Lady Seraphine,” suara Lord Halven membuka, “kami ingin mendiskusikan jadwal pernikahan Anda dengan Yang Mulia.”

Seraphine berdiri tegak, kedua tangan bertaut di depan gaunnya.

“Tentu, Yang Mulia. Tapi kupikir pernikahan bukan hanya soal tanggal. Melainkan kesiapan dua kerajaan untuk bersatu.”

“Apa maksudmu?” tanya Lord Halven tajam.

“Kerajaan Ravennor memiliki musuh di dalam bayangannya sendiri. Sementara kita sibuk merancang pesta, darah telah tumpah di aula pelatihan. Prajurit terbunuh, dan belum ada penjelasan dari pihak istana.”

Ruangan hening.

Seraphine melanjutkan, suaranya tenang namun penuh racun halus. “Jika saya akan menjadi bagian dari keluarga kerajaan, maka saya berhak mengetahui apakah calon suami saya bisa melindungi istana ini dari pengkhianatan... atau justru menutupinya.”

Beberapa penasihat saling berpandangan.

Caelum tersenyum tipis. Tapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Kau terlalu tajam untuk calon pengantin.”

“Dan kau terlalu diam untuk seorang pangeran,” balas Seraphine.

Hening menegang.

Akhirnya, Caelum berdiri. “Pertemuan selesai.”

Saat semua orang bangkit untuk pergi, ia mendekati Seraphine dan berbisik pelan di telinganya, “Kau ingin jawaban? Malam ini. Ruang peta di menara barat. Tapi datang sendiri.”

Seraphine menahan senyumnya. "Tentu, Yang Mulia."

Ruang peta di menara barat adalah salah satu ruangan tertua di istana. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan kerajaan kuno dan peta perang dari zaman sebelum Ravennor bersatu.

Caelum berdiri di depan meja batu besar, di mana terhampar peta kerajaan lengkap hingga batas wilayah yang telah lama dikuasai musuh.

“Kau ingin tahu siapa musuh sesungguhnya?” katanya saat Seraphine tiba. “Bukan bangsawan serakah atau pembunuh bayaran. Tapi nama-nama yang bahkan sejarah takut menuliskannya.”

Ia meletakkan sebuah gulungan tua di depan Seraphine.

“Ini—dilarang. Hanya diketahui oleh raja dan pengawal bayangan. Tapi kupikir, jika kau benar-benar bagian dari takhta ini… kau berhak tahu.”

Seraphine membuka gulungan itu.

Simbol aneh menghiasi halaman-halamannya—mata terbalik, tangan melingkar, dan satu nama…

Ordo Tenebrae.

O.V.

Orin Verndale?

Matanya langsung menatap Caelum. “Apa maksud semua ini?”

Caelum menatapnya dalam. “Aku pikir kau satu-satunya pewaris keluarga Verndale yang masih hidup. Tapi kupikir… mungkin tidak.”

Seraphine terdiam. Genggaman tangannya mengepal tanpa sadar.

“Jika Orin masih hidup…”

“Maka bukan hanya takhtaku yang terancam, Seraphine,” Caelum berkata perlahan, “tapi jiwamu juga.”

Ia mundur selangkah. “Aku tidak tahu apakah kau datang untuk membunuhku… atau menyelamatkan istana ini.”

Seraphine menatapnya tanpa berkedip.

“Mungkin aku pun belum tahu,” bisiknya.

Tengah malam.

Seraphine kembali ke kamarnya, tapi sesuatu telah berubah.

Jendela terbuka sedikit.

Angin membawa aroma terbakar.

Dan di atas tempat tidurnya—sehelai kain hitam tergeletak, dengan satu kata terukir di atasnya, menggunakan darah:

“KAU DILIHAT.”

Seraphine memejamkan mata.

Mereka tahu ia kembali.

Dan mereka mulai bergerak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!