NovelToon NovelToon

Behind The Boss

Kesalahan

Kiran terperanjat ketika kamar hotel yang diketuknya tadi terbuka. Sesil, wanita yang dikenal Kiran menyukai Rangga kekasihnya, tampak tak kalah terkejut dengannya. Sesil menggunakan bathrobe warna putih dengan rambut yang masih basah tanda ia habis keramas.

"Ka-kamu ...." Kiran terbata. Berulangkali mengerjapkan matanya memastikan bahwa pandangannya tidak salah.

"Ki-Kiran... Kenapa kamu di sini?" Gadis di hadapan Kiran tampak gemetar.

"Mana Rangga?!" tanya Kiran tegas setelah mampu menguasai diri.

"Di-dia ...," ucap Sesil bergetar. Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya tampak sosok yang sangat dikenal Kiran menyembul keluar dari kamar mandi.

"Siapa itu, Sil?" tanyanya melihat ke arah pintu. Ia begitu terkesiap melihat Kiran berdiri di hadapannya.

Kiran sudah bisa menduga arah situasi ini, ia menghela nafas berat. "Mohon maaf telah mengganggu malam kalian," ucap Kiran datar kemudian berbalik ingin melangkah pergi.

"Tunggu Kiran!" Langkah Kiran terhenti. Rangga menahan tangannya. Kiran pun berbalik lalu menatap tajam ke arah Rangga.

"Semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan, Kiran ...," ucap Rangga lirih. Pandangannya seakan memohon agar Kiran mendengarkan kata-katanya.

Kiran menepiskan tangan Rangga kemudian melayangkan tangannya ke wajah Rangga.

Plak!!!!

Sesilia menutup mulutnya terkejut. Jelas sekali tamparan yang Kiran berikan kepada Rangga sangatlah kuat. Rangga menunduk memegang pipinya yang memerah.

"Sudah kubilang jangan pernah bermain api!! Aku benci pengkhianatan. Kamu dengar itu!!" suara Kiran terdengar tegas. Penekanan dari suaranya jelas kentara bahwa ia sedang merasakan kecewa yang amat sangat. Namun Kiran tetaplah Kiran yang mampu membuat dirinya tenang menghadapi berbagai situasi yang terjadi.

Kiran berbalik dan kembali ingin melangkah pergi. Namun secepat kilat Rangga memeluk tubuhnya dari belakang. "Kumohon Kiran. Dengarkanlah dulu," bisik Rangga di telinga Kiran.

Kiran menghela nafas sesaat. "LEPAAASSS!!" bentaknya. "Aku nggak ingin melakukan kekerasan kepadamu!" tegasnya kemudian.

Rangga paham sekali akan maksud Kiran. Gadis yang sedang dipeluknya ini, yang tadinya ingin ia nikahi dalam waktu tiga bulan lagi bukanlah gadis lemah biasa. Ia menguasai bela diri dengan baik. Rangga pun tak mampu mengalahkannya. Meski begitu, Rangga enggan melepaskan tangannya di tubuh Kiran.

Dengan gerakan kilat Kiran membuka tangan Rangga dari tubuhnya. Lalu mengarahkan sikunya ke arah belakang tepat mengenai tubuh Rangga.

Buk!!! Rangga meringis.

"Jangan ikuti aku!!" Kiran pun melangkah pergi dengan cepat. Ia menghampiri lift lalu menekan tombol. Ketika pintu lift terbuka, ia pun segera masuk ke dalamnya kemudian menekan tombol untuk menutup pintu itu kembali.

Buliran bening kini meluncur deras menuruni pipi mulusnya. Semuanya di luar dugaan. Ia tahu bahwa Rangga menginap di hotel yang sama dengannya. Ia tahu bahwa perjalanan dinasnya kali ini menuju kota yang sama dengan tujuan perjalanan dinas Rangga. Namun ia sengaja merahasiakannya. Ingin memberikan pria itu kejutan malam ini dengan kedatangannya. Tak disangka, dirinya lah kini yang merasakan keterkejutan itu.

Masih dalam bayangannya tadi ketika menghampiri kamar Rangga, ia akan mendapati wajah sumringah pria itu ketika melihatnya. Setelah itu ia akan mengajaknya makan malam bersama. Menyusuri jalanan di kota ini berdua. Yang jelas Kiran ingin melewati malam di kota ini bersama kekasihnya itu. Namun yang terjadi, ia malah mendapati Rangga bersama wanita lain di kamarnya, berdua.

Memikirkan itu Kiran pun kembali teringat bagaimana kondisi Sesil dan Rangga tadi, di mana mereka sama-sama baru keluar dari kamar mandi. Buliran bening kini semakin deras meluncur menuruni pipinya.

Dengan cepat Kiran menghapus air matanya dan menengadahkan kepalanya sembari menahan air matanya yang masih ingin jatuh. Ia sudah hampir sampai pada lantai di mana kamarnya berada.

Ting!!

Pintu lift terbuka. Kiran segera melangkah keluar dari lift. Ia ingin segera masuk ke kamarnya dan menumpahkan tangisnya di sana. Pikirannya begitu kalut. Sampai tidak dilihatnya atasannya--Ari, berada di depan pintu kamarnya menyambut dengan senyuman menggoda.

"Kamu darimana, Kiran??" Ari menyapa. Kiran tak mengacuhkannya. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya.

"Hei!! What's wrong with you, Kiran?!" ucapnya sambil menatap Kiran heran. Bahkan sampai ketika Kiran menutup pintu kamarnya.

Begitu memasuki kamar, Kiran segera menghampiri tempat tidur dan menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. Ia terisak sangat lama. Bahunya berguncang mengikuti isak tangisnya.

Masih jelas dalam ingatannya bagaimana perjuangan lelaki itu dalam mengejar cintanya. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Dari mulai mereka kelas dua SMA hingga satu tahun setelah tamat kuliah, barulah Kiran menerima cinta Rangga.

Ketika Kiran belum menerima cintanya, lelaki itu dengan setia mengikutinya dari perguruan tinggi tempat Kiran kuliah, bahkan hingga ke kota di mana Kiran mencari kerja.

Lelaki itu, yang ia percaya akan menjadi pelabuhan hati pertama dan terakhirnya.

Lelaki itu, yang telah mengisi kekosongan jiwanya setelah kematian Papanya.

Lelaki itu, yang Kiran percaya mampu menjadi imam baginya, teman seumur hidupnya yang akan menemaninya dengan setia ternyata telah mengkhianatinya.

Ah, Kiran tak ingin melanjutkannya lagi. Lelaki itu kini tak pantas bersanding dengan kata setia. Bahkan tak pantas untuk ditangisi.

Kiran membalikkan tubuhnya. Telentang menatap langit-langit kamar.

Sudah cukup tangisan ini. Air mataku terlalu berharga jika keluar hanya untuk menangisi seorang lelaki yang telah berkhianat. Lebih baik aku fokus pada tujuan awalku.

Kiran bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil handphone yang ada di atas nakas. Sengaja ia meninggalkannya di sana. Agar Ari tidak bisa mengubunginya saat ia menghabiskan malam bersama Rangga.

Ia melihat sebentar, terdapat banyak panggilan telpon dari Rangga. Bahkan pesan dan chat wa yang terlihat dari notifikasi handphone. Tak ingin ia membukanya. Dengan menekan agak lama. Handphonenya pun dinonaktifkan. Kiran beranjak memasuki kamar mandi.

...***...

Malam semakin larut. Udara semakin dingin, suara alam pun semakin hening. Kiran berada di tepi tempat tidur. Duduk sambil meremas kedua tangannya. Rangga duduk di sebelahnya, menatapnya dalam.

Mereka berada di dalam kamar bernuansa putih dengan hamparan kelopak mawar di atas tempat tidur. Satu buket mawar yang lumayan besar berada di tengah, di kepala tempat tidur. Bunga krisan yang dikombinasikan sedemikian rupa dengan bunga mawar putih di dalam vas yang tidak begitu besar terletak di atas nakas. Aroma wewangian bunga menguar memenuhi ruangan.

Kiran menatap Rangga. Mata mereka terpaut saling mengunci satu sama lain. Seakan enggan untuk membagi pada pemandangan lain. Hanya ingin memandang wajah mereka satu sama lain.

Rangga begitu tampan dengan balutan atasan jasko warna putih, celana putih dan peci putih dengan renda emas yang menghiasinya. Sementara Kiran menggunakan kain dan kebaya putih dengan renda emas di pinggirnya. Jilbab putih dengan hiasan mahkota yang biasa digunakan oleh para pengantin masih setia berada di atas kepalanya.

Tatapan mereka masih mengunci satu sama lain. Debaran jantung mereka pun bertalu menyeruakkan irama keindahan cinta. Hawa hangat mengalir, menjalari tubuh mereka.

Kiran mengerjap, ia tak kuat menghadapi mata Rangga kemudian mengalihkan pandangannya dari tatapan pria itu, menatap warna batik dari kain yang ia pakai. Meremas telapak tangannya yang basah.

Tangan Rangga terulur. Menjangkau dagu Kiran kemudian mengangkatnya agar kembali menatap. Kiran dapati senyum Rangga yang teramat manis. "Sekarang kau milikku, Kiran," katanya lembut.

Rangga menggenggam tangan Kiran. Jari-jari mereka saling bertautan erat. Sentuhan yang tidak pernah mereka rasakan, untuk kali pertama, menghadirkan sengatan yang memompa hawa hangat menjalar menjadi semakin panas.

Pengalaman pertama ini benar-benar di luar dugaan Kiran. Ia tak mampu membuka matanya sedikitpun. Rasa malu pada awalnya kini telah berubah menjadi gairah yang ia sendiri tak mampu mengontrolnya. Semua berjalan begitu saja.

Malam itu, yang ia yakini adalah malam pengantinnya bersama Rangga, telah ia serahkan mahkota berharga yang selama ini telah dijaganya pada pria itu.

...***...

Kiran menggeliat. Merentangkan tangannya dan membuka mata perlahan. Ia merasa lelah yang amat sangat. Ia tertegun sebentar. Mencoba mencerna atas apa yang telah terjadi tadi malam. Di mana malam pertama telah ia lewati bersama Rangga. Senyum malu-malu terkembang dari bibirnya.

Ia berpikir sesaat. Lintasan kejadian pengkhianatan Rangga terbentang. Ia terkesiap.

Lalu apa yang terjadi tadi malam? Keintiman itu hingga membuat dirinya lelah ketika bangun? Apa semua hanya mimpi?

Bagaimana mungkin ia bermimpi melakukan malam pertama bersama Rangga sementara sebelumnya ia mendapati Rangga telah mengkhianatinya??

Kiran jadi malu sendiri. Malu jika ternyata ia begitu menginginkan pria itu untuk jadi suaminya. Malu jika ternyata pikirannya begitu kotor. Bagaimana mungkin bisa ia bermimpi dengan begitu sempurna hingga semua tampak seakan nyata?

Ia memicingkan mata melihat cahaya pagi yang masuk melalui jendela kamar. Sudah siang ternyata. Ia bahkan belum sholat shubuh. Kiran bergegas ingin turun dari tempat tidur. Namun terlonjak kaget saat mengetahui bahwa tubuhnya hanya tertutupi selimut. Ia melongok sebentar ke dalam selimut yang membungkus badannya. Ia terpekik kaget saat melihat tak ada satupun kain yang menempel di sana. Bahkan dalaman sekalipun.

"Kau sudah bangun?" sebuah suara mengagetkan Kiran. Ia pun menoleh melihat Ari keluar dari kamar mandi.

"Ya Allah ...!" pekik Kiran, melihat Ari hanya memakai handuk sebatas pinggang dengan dada terbuka. Rambut pria itu masih tampak basah. Kiran pun mengalihkan pandangannya.

"Kenapa? Masih malu?? Tadi malam kita bahkan sudah saling melihat wilayah pribadi kita satu sama lain...."

Kiran tercekat. Ia masih belum berani menatap Ari.

"Maksudmu ... tadi malam kita ...," kata-kata Kiran menggantung. Ia tak sanggup meneruskannya.

Apakah tadi malam bukan mimpi ?!

Kata-kata yang kemudian terdengar membuatnya begitu pias. Ia tak sanggup menghadapi situasi ini. Ingin ia membenamkan tubuhnya ke dasar bumi.

"Ya, kamu dan aku. Kita sudah melakukannya. Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan hingga aku menjadi yang pertama."

Kiran melongo, menatap Ari. Tanpa disadari, air matanya menuruni pipi.

❤❤❤💖

Lamaran

Kiran membiarkan dirinya berada di bawah guyuran shower dengan mata terpejam. Ari telah keluar dari kamarnya. Namun ia masih belum memahami kejadian apa yang sedang menimpanya. Ia tidak mabuk. Tidak minum obat tidur. Namun kenapa ia bisa tidak sadarkan diri atas semua yang terjadi.

Kiran menggosok kulit tubuhnya dengan sedikit lebih kuat. Ia merasa sangat ternoda dan berdosa. Penyesalan seakan menggunung di dalam dadanya. Perbuatan terlarang yang selalu diingatkan oleh Papanya agar jangan sampai menimpanya kini telah dialaminya.

Kiran sudah berusaha Papa .... Semua di luar dugaan Kiran.

Dadanya begitu sesak.

Saat kau tidak bisa menjaganya, maka kau sudah kehilangan kehormatanmu. Kau sudah tidak ada harganya lagi. Maka jagalah dengan segenap jiwa ragamu. Jadikan dirimu berharga di depan suamimu.

Pesan papanya itu kembali terngiang. Kiran menggeleng dengan gusar. Ia berjongkok memeluk lutut. Wajahnya ia sembunyikan di lututnya. Tubuhnya masih berada di bawah siraman air. Shower masih menyala. Tubuhnya kemudian terguncang. Ia terisak.

Setelah satu jam mengeluarkan emosinya di dalam kamar mandi. Kini Kiran sudah bisa menguasai diri. Ia memakai stelan blazer warna maroon dan celana panjang dengan warna senada. Ia memakai kemeja warna merah muda sebagai dalaman. Memoles sedikit riasan di wajahnya untuk menyamarkan matanya yang sembab. Seperti biasa ia pun memakai jilbab di kepalanya. Jilbab itu tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. High heels warna hitam dikenakan pada kedua kakinya yang indah kemudian berjalan ke luar ruangan.

Kiran membuka pintu kamarnya. Terdapat dua orang laki-laki tinggi tegap dengan stelan jas hitam berada di depan kamarnya. Ia kenal kedua orang itu. Mereka adalah pengawalnya Ari.

Kiran mengernyitkan alisnya. Lalu berdehem sebentar. Kedua orang itu kaget lalu menatap Kiran. Mereka tidak menyadari jika Kiran sudah membuka pintu karena posisi mereka membelakangi pintu.

"Apa yang kalian lakukan di sini? Bukannya seharusnya kalian menjaga Pak Ari?!" tanya Kiran tegas.

"Maaf Bu Kiran. Kami disuruh Pak Ari untuk berjaga di sini. Pak Ari ingin memastikan agar Bu Kiran menemuinya di kamar," ucap salah satu pria tadi sambil mengarahkan jempolnya ke kamar depan.

Kiran melangkahkan kakinya ke kamar yang ditunjuk oleh pengawal Ari tadi, kamar Ari. Posisinya berada di depan kamar Kiran. Ari yang sengaja memesan begitu.

Kiran memegang handle pintu. Ia menarik nafas sebentar lalu membukanya dengan perlahan. Ia menegakkan tubuhnya kemudian memasuki kamar.

Kiran mendapati Ari berdiri dengan menghadap ke luar jendela yang tertutup namun tirai gordennya terbuka dengan lebar. Kiran berhenti melangkah. Ia menatap Ari yang masih membelakanginya.

"Kamu sudah datang?" tanya Ari tanpa melihat ke arah Kiran. Kiran cuma berdehem memberikan jawaban Ari.

"Apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanya Ari sambil membalikkan badannya menatap Kiran. Ia memasukkan satu tangannya ke saku celananya.

"Tidak ada," jawab Kiran pelan.

"Kamu tidak ingin meminta pertanggung jawabanku??" tanya Ari lagi.

"Tidak!" tegas Kiran. Ia berdiri dengan dada membusung, percaya diri. Matanya menatap ke depan namun tidak ke wajah Ari.

Ari menaikkan sebelah alisnya. Luar biasa sekali wanita dihadapannya ini, pikirnya. Ia masih setenang itu setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Sementara mungkin gadis di luaran sana akan menangis dengan histeris lalu meminta pertanggung jawabannya.

"Aku telah mengambil apa yang seharusnya kamu berikan nanti kepada suamimu. Sebagai seorang wanita kamu sudah cacat sekarang. Kamu masih tidak ingin meminta tanggung jawabku?!"

Kiran melirik Ari sekilas.

"Tidak!" jawabnya tenang. Ia tak habis pikir melihat Ari. Bukankah seharusnya Ari bahagia karena ia tidak meminta apa-apa darinya.

"Kamu tidak takut dengan masa depanmu?" tanya Ari lagi. Suaranya melembut. Wanita dihadapannya ini bagai bongkahan es yang terlalu dingin untuk disentuh.

"Jika menurut Bapak menikah adalah masa depan saya, maka Bapak tidak usah khawatir. Karena saya sudah tidak menginginkannya."

Ari melongo. Ia menatap Kiran tidak percaya. Ia mulai bosan dengan basa basi ini. Ia menggeleng pelan. Bukan begini seharusnya. Ia menatap Kiran.

"Di sini hanya ada kita berdua, Kiran. Bersikaplah seperti biasa," ucap Ari lirih. "Menikahlah denganku Kiran ...," ujarnya kemudian.

Kiran terkesiap. Ia menatap Ari sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke depan. "Saya tidak mau!"

"Apa maksudmu? Kamu menolakku?!" Pria yang selalu tersenyum itu kini menatap Kiran dengan tajam.

"Aku tidak ingin membuatmu menjadi terpaksa menikahiku," ucap Kiran datar. Masih tanpa ekspresi. Ia sudah menghilangkan kata 'Pak' dalam sapaannya. Hilang sudah bahasa formalnya.

"Aku tidak terpaksa. Aku sukarela! Bahkan aku senang jika harus menikahimu!"

Kiran terkesiap lagi. Ia menatap Ari, mencari keseriusan di dalam kedua mata bosnya. Sesaat mereka saling menatap.

"Bagaimana jika kemudian kamu hamil?"

"Aku akan melakukan pencegahan. Setelah ini aku akan ke klinik terdekat," jawab Kiran dengan keyakinan penuh.

Ia memang sudah memprediksi sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah kejadian tadi malam. Tapi kemungkinan Ari akan melamarnya, sama sekali tak terpikir olehnya. Karena mendengar kata pernikahan saja untuk sekarang ini ia sudah merasa muak dan jijik. Sama seperti rasa yang ia sematkan untuk Rangga.

"Aku tidak izinkan!! Itu benihku!!" sahut Ari tidak terima. Suaranya mulai meninggi.

"Tapi ini tubuhku. Salahmu karena telah meletakkan benih di tempat yang tidak seharusnya." Kiran menentang mata Ari.

"Maka dari itu, menikahlah denganku, Kiran ...," Ari merendahkan suaranya.

Kiran tak bergeming. Ia kembali memandang ke depan. Ari menghela nafas dengan kasar. Hingga Kiran bisa mendengar suara helaan nafasnya.

"Coba pikirkan lagi dengan tenang, Kiran. Untuk saat ini Aku lah pria yang paling tepat untukmu. Apa kamu yakin, di luar sana ada yang bisa menerima dirimu setelah ini?"

Deg!

Kiran tersentak. Kata-kata Ari memang benar. Untuk saat ini, bagi pria manapun ia sudah tidaklah pantas. Seperti ada luka teriris di hatinya. Ia mengambil nafas pelan. Mencoba menetralkan suasana mendung yang melanda hatinya.

"Ya, kamu memang benar. Tapi ... meskipun begitu, aku tetap tidak mau menikah denganmu!" kata Kiran sembari mengalihkan pandangannya lagi dari mata Ari.

Ari menarik senyuman kecil di wajahnya. Sedikit banyak ia sudah mengetahui tipe wanita dihadapannya ini. Kau memaksaku, Kiran ....

"Tapi kamu tidak bisa menolakku." Ari tersenyum menatap Kiran. Senyumnya sudah kembali sebagaimana biasanya. Kiran menatap kedua manik mata Ari. Menunggu penjelasan Ari berikutnya.

"Aku memaksamu, Kiran. Kamu tetap harus menikah denganku. Jika kamu tidak mau. Maka aku akan menyebarkan foto tanpa busanamu tadi malam." Ari menatap Kiran dengan seringai di wajahnya.

Kiran terkesiap. Manik matanya menatap Ari dengan gusar. Kekhawatiran mulai menerpanya. Ia tidak ingin menikahi Ari dengan cara begini. Karena Kiran tahu hatinya sedang terluka sekarang. Hati yang terluka tentu tidak akan bisa membuat mahligai rumah tangga menjadi bahagia. Ia tidak ingin Ari terluka juga karenanya. Terlebih lagi ia tidak mau Ari menikahinya secara terpaksa karena kasihan. Merasa dikasihani adalah perasaan yang sangat dibencinya.

Tapi pria di hadapannya ini bukannya bersyukur karena Kiran telah memikirkan kebahagiaannya. Ia malah membuat semuanya menjadi rumit. Kiran masih menatap Ari, tidak percaya akan kata-kata yang baru saja Ari ucapkan.

"Kamu berani?"

"Tentu saja." Ari mengangguk cepat.

Kiran menghela nafas pelan. "Kamu sudah mempersiapkan semuanya ya .... " Kini ia menatap Ari tajam. Otaknya berpikir dengan keras. Ia berpikir dengan cepat cara mementahkan apa yang sudah Ari rencanakan.

Melihat Kiran yang diam menatapnya, Ari sudah yakin jika Kiran akan menerimanya. Hatinya bergejolak senang. Ia memang sudah memiliki perasaan kepada Kiran sejak ia diminta oleh kakaknya untuk menangani kantor di mana Kiran bekerja. Perasaan tumbuh sejak pertama kali ia mengenal Kiran, sekitar enam bulan lalu.

"Kamu akan mempermalukan dirimu sendiri dengan itu," ujar Kiran kemudian. Ia sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan Ari utarakan serta mempersiapkan jawaban yang akan diberikannya pada Ari.

Ari tercekat. Wanita ini bahkan belum menyerah. "Kamulah yang akan malu Kiran .... Bayangkan jika sampai video kita dan foto itu bersliweran di mana-mana!"

Kiran diam. Menunggu pernyataan Ari berikutnya.

"Aku akan membuatnya dengan judul besar ... Hot Secretary .... Pasti rame nanti ...." Ari menarik senyum smirk di bibirnya.

Kiran mengernyitkan alisnya. "Aku tahu kamu takkan berani. Karena jika sampai kamu melakukannya. Aku akan mengundang wartawan kemudian mengatakan bahwa kamu sengaja menjebakku dengan memberikanku obat tidur."

"Obat tidur? Kamu bahkan membalasku, Kiran ...." Ari terkekeh.

"Aku akan mengatakan bahwa kamu telah menjebakku." Kiran memberikan penegasan pada kosa kata terakhir yang ia ucapkan sambil membeliakkan matanya menatap Ari.

"Lagipula, aku tidak punya keluarga yang akan malu nantinya jika foto bugil itu ada di mana-mana. Aku juga tidak peduli akan itu. Tapi kamu, memiliki banyak keluarga dan relasi di mana-mana yang tentunya akan malu jika tahu bahwa Ari seorang direktur perusahaan menjebak sekretarisnya untuk memuaskan nafsunya," lanjut Kiran tegas.

"Dan jangan ragukan apakah pernyataanku akan diterima atau tidak sebab kamarku lah yang kamu datangi tadi malam dan bukan aku yang mendatangimu," sambung Kiran dengan wajah datar.

Ari tersentak. Jawaban Kiran di luar dugaannya. Kini Kiran menarik senyum kecil di wajahnya. "Sudahlah, Ari. Kita hentikan semua omong kosong ini."

'Hah?! Apa katanya? Semua ini cuma omong kosong?!!'

Kiran berbalik beranjak ingin pergi.

"Hei! Kamu mau kemana??!" tanya Ari melihat Kiran berbalik lalu melangkah dengan cepat tanpa berpamitan dengannya. Ia bahkan belum selesai bicara.

"Mau memastikan pesawat kita. Kita akan pulang sekarang," jawab Kiran sambil terus melangkahkan kakinya kemudian mengeluarkan ponsel dan menghidupkannya.

Ari memandang kepergian Kiran dengan hampa. Beginikah akhirnya?? Ari mengacak rambutnya dengan kesal.

...***...

Urusannya sudah selesai. Ia sudah check out. Baru saja Kiran ingin meninggalkan meja resepsionis, tangannya sudah ditarik oleh seseorang. Ia memandang pria yang menariknya masuk ke gang kecil yang berada di dekat pintu utama hotel.

Kiran menepiskan tangan Rangga dengan kuat. Rangga berhenti menarik Kiran dan berbalik menatapnya.

"Kiran .... Please .... Berikan kesempatan untukku menjelaskan semuanya ...," ucap Rangga lirih menyatukan kedua tangannya di depan dada.

Kiran melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. "Baik. Aku kasih kamu waktu 5 menit. Bicaralah!!"

Rangga menarik nafas pelan.

"Aku tidak sengaja bertemu Sesil di luar hotel. Ia mengajakku bicara. Kaki kami tersandung lalu jatuh di kolam pancur depan hotel ini. Hotel tempat Sesil menginap jauh. Jadi Aku mengajaknya ke kamarku. Maksudnya setelah berganti baju, Sesil akan pulang ke hotelnya."

Kiran menatap mata Rangga. mencoba mencari kejujuran di sana. Ia menghela nafas pelan. Ada begitu banyak pertanyaan di benak Kiran kini.

Mengapa Sesil ada di kota ini?

Mengapa Sesil bisa tahu hotel Rangga? Lalu apa yang mereka bicarakan hingga Sesil mendatangi tempat Rangga menginap?

Tapi ia sadar diri. Pernyataan apapun tidak akan berguna lagi sekarang. Ia sudah ternoda. Kiran merasa dirinya sudah tak pantas lagi untuk Rangga.

"Terima kasih atas penjelasannya. Semua itu tidak ada gunanya lagi bagiku sekarang. Terimalah Rangga bahwa hubungan kita memang sudah berakhir."

Kiran berbalik meninggalkan Rangga yang masih terkejut menatapnya.

❤❤❤💖

Aku Akan Menunggumu

Kiran menatap pantulan dirinya pada cermin besar di kamarnya. Kiran memang menyediakan satu cermin besar di kamar. Ukurannya setinggi tubuhnya. Sehingga Kiran dengan leluasa memantaskan baju yang seharusnya dipakai.

Kirain masih memandang dirinya yang hanya mengenakan dalaman saja. Ia sedang mencari sesuatu dari pantulan tubuhnya.

Hari ini adalah hari kedua setelah tragedi malam itu dan hari pertama ia masuk kerja. Kemarin, ia terlalu lelah untuk memastikan sesuatu yang mengusiknya ketika baru tiba di rumahnya pada malam hari. Karena pada akhirnya sore hari baru mereka bergerak dari kota itu kemudian pulang ke rumah. Ari mengancam tidak akan pulang jika Kiran bersikeras untuk menghalangi terjadinya pembuahan. Maka dengan terpaksa akhirnya Kiran pun menurutinya. Sebab Kiran ingin segera meninggalkan kota itu. Meninggalkan hotel itu dan kenangan buruk di sana.

Kiran melihat tubuhnya dengan seksama. Bukankah ini aneh, pikirnya. Ia melewati satu malam panas bersama Ari. Dan ia masih mengingat walau samar-samar pada malam itu, Rangga yang pada kenyataannya Ari, jelas-jelas membuat jejak kepemilikan di tubuhnya. Namun kenapa semua hilang tidak berbekas. Tak ada satu pun yang bersisa.

Ia juga masih merasa janggal. Sebab menurut novel yang sering ia baca bahkan rujukan ilmiah ketika terjadi sesuatu pada bagian intim dirinya, tentu akan meninggalkan sakit setelahnya. Anehnya, ia tidak merasakannya. Memang ia dapati tubuhnya lelah luar biasa, dan bagian sensitifnya juga merasakan sakit namun tidak sakit seperti yang dikatakan dalam buku-buku novel itu. Ia juga berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah.

Benarkah terjadi sesuatu antara dirinya dan Ari malam itu?

Pertanyaan itu menggelayut di benak Kiran. Mengingat bagaimana marahnya Ari kemarin ketika ia akan pergi ke klinik untuk mencegah kehamilan, tentunya ia merasa pasti memang telah terjadi sesuatu. Belum lagi foto maupun video yang Ari katakan.

Kiran tersentak. Ia melupakan kedua hal itu. Ia harus mencari cara agar Ari menghapus semua foto dirinya dan video pada malam itu.

...***...

"Bu Kiran ..., kok tumben lama? Dicariin pak Ari dari tadi," tegur Pak Agus, security kantor ketika melihat Kiran melewati posnya.

"Beneran Pak?" tanya Kiran menghentikan langkahnya.

"Iya, Bu. Dari tadi saya ditanyain." Pak Agus mengangguk sembari menunjuk telpon yang berada di pos miliknya.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan pak Agus, Kiran pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Dirinya terlalu lama berdiri di depan kaca tadi mengamati tubuhnya dengan seksama, hingga akhirnya dia datang terlambat hari ini.

Pasti ada sesuatu yang urgent. Sebab Ari tidak akan mencarinya jika tidak berkaitan dengan hal-hal penting. Meskipun Kiran adalah sekretaris bagi Ari, namun Kiran berkontribusi besar dalam menentukan kebijakan yang Ari buat. Bisa dikatakan bahwa Ari sangat bergantung pada Kiran.

Kiran mengambil nafas kemudian menghelanya dengan perlahan ketika ia sudah berada di depan pintu ruangan Ari. Ia mengetuk dengan perlahan kemudian membukanya.

Ia tidak menemukan Ari di dalam. Dengan ragu Kiran pun masuk lalu mencoba mendekati meja Ari dan melongok ke bawah meja, mana tahu Ari bersembunyi di sana. Kiran membelalak kaget. Ia melihat Ari tidur telentang dengan mata terpejam. Banyak kertas berserakan di sekelilingnya.

"Bapak kenapa, Pak?" tanya Kiran langsung menghampiri Ari. Ari yang mendengar suara Kiran langsung membuka matanya.

"Mati aku, Kiran... Matilah aku ...," jawabnya lirih menatap ke langit-langit di ruangannya.

Mendengar penuturan Ari, Kiran pun terkesiap. Ia menghampiri Ari lalu mencoba membantu Ari untuk duduk. Ia sandarkan tubuh Ari di rak buku.

Kiran iba melihat Ari yang begitu lesu. Tatapannya memancarkan kesedihan. Kiran menduga ada sesuatu yang berat sedang dipikul oleh pria itu.

Apakah ini berkaitan dengan tragedi malam itu? Apakah keluarga Ari tahu, hingga mereka melakukan sesuatu yang membuat Ari jadi begini?

Setelah menyandarkan tubuh Ari, Kiran pun bergerak mengambil air minum yang ada di meja ari. Mengambil termos kecil yang ada di tasnya. Lalu mencampur air di gelas tadi dengan air yang ada di termos.

"Minum dulu, Pak," ujar Kiran sambil menyodorkan gelas berisi air hangat tersebut.

Ari menerimanya dengan lesu. Meminumnya dengan malas. Karena hangat, ia pun menghabiskan airnya.

"Terima kasih, Kiran," jawab Ari menyodorkan gelas kosong ke tangan Kiran.

Kiran menerima gelas itu. Lalu mengembalikannya ke atas meja Ari. Ia kembali menghampiri Ari. Kemudian duduk di depan Ari.

"Ada apa? Kamu mau cerita denganku?" tanya Kiran berlutut di depan Ari. Ari menatap Kiran. Tatapannya kosong. Ia menghela nafas berat. Masih terdiam.

"Apa ini berkaitan dengan tragedi malam itu?" tanya Kiran sambil menundukkan pandangannya. Ia masih malu jika mengatakan hal itu di depan Ari. Mengingat ucapan Ari jika ia pun membalas perlakuan tak senonoh Ari padanya.

Mendengar pertanyaan Kiran menerbitkan senyum kecil di wajah Ari. "Kalau ini berkaitan dengan itu, wajahku pasti akan senang sekarang." Kiran mendongak. Ada kelegaan luar biasa di hatinya.

"Lalu, kenapa kamu begini?" tanya Kiran lagi. Ari menghela nafas sebentar.

"Kakakku akan datang besok," jawab Ari lirih. Ari menatap Kiran. Ada kecemasan di matanya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke depan. Tak ingin Kiran melihat matanya yang menyiratkan bahwa ia sedang menanggung beban berat sekarang.

Sebenarnya Kiran merasa geli melihat tingkah Ari saat ini. Merasa tak habis pikir. Begitu takutnya kah pria yang ada di hadapannya ini pada sang Kakak hingga membuatnya begini, seakan-akan baru mendengar diagnosa dokter bahwa ia akan meninggal dalam waktu dekat. Ingin sekali ia tersenyum, karena merasa itu tidaklah pantas, ia pun mengurungkannya.

"Trus kenapa?" timpal Kiran datar.

Ari menatap Kiran kembali. Lalu menghela nafas panjang. "Kau tidak tahu siapa Kakakku." Ia menggeleng lemah. Lalu melanjutkan kembali.

"Tadi pagi sebelum azan shubuh berkumandang, ia menelponku. Ia mengatakan akan datang besok dan ingin mengambil surat yang kemarin diberikannya padaku, saat ia memberiku jabatan ini." Kiran masih diam. Tatapannya masih melekat pada Ari. Masih menunggu pernyataan Ari berikutnya.

"Kenapa kau masih menatapku, Kiran. Please bantu aku ...." Ari memohon.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Kiran datar tanpa ekspresi.

"Tolong cari surat dari kakakku itu. Aku lupa meletakkannya di mana."

Kiran mendengkus, sedikit kesal. Ari tetaplah Ari, pikirnya. Pria ini begitu ceroboh. Ia berhenti menatap Ari dan mulai memunguti kertas-kertas yang berserakan.

"Memangnya surat apa itu? Sampai kamu jadi begini?" tanya Kiran malas sambil memisah-misah kertas yang ia pungut tadi berdasarkan isi dari kertas tersebut.

"Surat kepemilikan perusahaan ini." Ari menjawab lemah. Mengalihkan pandangannya dari mata Kiran.

Kiran terkesiap. "APA??!" pekiknya. Matanya membeliak.

Sedikit banyak Kiran tahu bagaimana karakter kakak Ari. Karena ia sudah lebih dahulu bekerja di sini sebelum Ari. Kini ia paham. Bahwa memang Ari akan tamat riwayatnya jika sampai kertas itu hilang.

"Coba kamu ingat-ingat dulu. Di mana kira-kira kamu letakkan surat itu." Kiran mendelik menatap Ari yang masih pias. "Astaga, Ari ...!"

Ari menatap Kiran lemah. "Aku hanya ingat kalau aku meletakkannya di kantor ini. Tapi aku lupa menyimpannya di mana." Ari menggeleng pelan.

"Kamu benar-benar ceroboh! Sudah tahu Kakakmu begitu. Kertas berharga seperti itu dengan mudahnya kamu letakkan di sembarang tempat!" cecar Kiran masih terus memunguti kertas-kertas yang berserakan.

Ari menatap Kiran dalam. Ia menarik senyuman yang tak dilihat Kiran. "Kalau seperti ini, kamu seperti istriku," godanya. Kiran melirik Ari sekilas. Melempar tatapan tajam.

Dalam situasi begini masih sempat juga ia menggodaku.

Kiran mengemasi kertas-kertas tadi yang sudah tak bersisa lagi di lantai. Lalu meletakannya di samping rak. Ia akan menyusun tumpukan kertas itu nanti setelah ia menemukan kertas berharga itu. Yang penting tidak ada kertas berserakan di lantai. Kiran risih akan hal itu.

Seketika Kiran ingat sesuatu. Senyum misterius terkembang di bibirnya. Ari yang dari tadi menatap Kiran memandangnya heran. Apalagi sekarang ia melihat Kiran berdiri. Lalu bersilang dada di hadapannya yang mesti mendongak menatap wanita itu.

"Mohon maaf untuk hari ini, Ari. Aku tidak akan membantumu. Kamu selesaikan sendiri masalah ini. Semua ini kan terjadi karena kecerobohanmu, maka bertanggung jawablah dan jangan melimpahkannya padaku," cetusnya datar. Ari membeliak. Menatap Kiran tak percaya.

"Tidak bisa. Kamu harus membantuku. Kamu kan sekretarisku!" ucapnya tegas. Dalam situasi genting seperti ini Kiran malah tidak mau membantunya.

"Aku tidak mau. Kamu bisa memanggil karyawan lain untuk membantumu. Tapi bukan Aku. Aku sibuk. Banyak pekerjaan menungguku. Belum lagi aku harus membuat laporan hasil perjalanan kita kemarin," jawab Kiran sambil mengedikkan bahunya. Ari menatapnya tajam. Dia mendengkus kesal. Ari tidak ingin bertengkar sekarang. Ia menatap Kiran lagi. Tatapannya mengendur.

"Tidak ada yang kupercaya selain kamu, Kiran ...," ucapnya lirih. "Please Kiran .... Tamatlah riwayatku jika sampai kakakku datang dan surat itu belum bisa kutemukan," ucap Ari memohon.

"Apa peduliku! Itu urusanmu!" Kiran bergeming.

"Kiran ...." Ari menatap Kiran dengan tatapan memelas. Kiran membuang pandangannya. Menghela nafas sejenak lalu menatap Ari datar.

"Baiklah, dengan satu syarat."

"Apa?"

"Kamu hapus semua foto dan video yang berkaitan dengan tragedi pada malam itu." Kiran memberi penakanan pada ucapannya.

Ari terpana. Kini ia tahu, semua ini hanya upaya Kiran untuk menuruti kemauannya. Meskipun Kiran lebih cerdas dari Ari. Apalagi berkaitan dengan urusan perusahaan namun ia juga tidaklah begitu bodoh hingga tak tahu siasat apa yang sedang dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya ini.

Ia mengulum senyum sekilas. Ingin sekali ia katakan bahwa foto tanpa busana Kiran dan video itu sebenarnya tidaklah ada. Ia hanya mengatakan itu agar Kiran mau menikah dengannya.

Melihat Ari begitu lama menjawab. Kiran berpikir bahwa Ari masih ragu untuk menerima tawarannya. "Baik jika kamu tidak mau. Aku akan pergi ke ruanganku. Selamat mencari. Semoga sukses." Kiran berbalik, lalu ingin melangkah pergi.

"Baiklah Kiran. Aku akan menghapusnya!" sahut Ari cepat.

Kiran berbalik lalu menatap Ari tajam. "Kau serius?" Ari mengangguk.

"Tapi aku ingin kamu menghapusnya di depanku."

"Apa kamu yakin akan sanggup melihatnya?" kerling Ari.

Kiran terkesiap. Melihat foto dirinya tanpa busana dan video peristiwa malam itu bersama Ari bukankah seakan menelanjangi dirinya meskipun kini saat melihatnya ia sedang berpakaian lengkap dan menggunakan jilbab. Seketika bulu kuduk Kiran meremang. Ia bergidik ngeri.

"Baiklah. Tapi kamu harus janji akan segera menghapusnya." Kiran membeliakkan matanya, tajam menatap Ari. Ari mengangguk setuju.

...***...

Sungguh sangatlah sulit ternyata mencarinya. Isi seluruh kabinet tempat penyimpanan file di ruangan Ari sudah dibongkar dan dilihat satu persatu namun yang dicari tidaklah mereka temukan.

Satu harian ini mereka berdua sibuk membongkar isi kabinet di ruangan Ari. Mereka hanya istirahat sebentar untuk makan siang dan sholat. Setelah itu kembali lagi mencari. Kini hari sudah gelap. Waktu di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karyawan yang lain sudah pulang.

Kiran duduk menyandar pada rak buku di belakangnya. Kakinya ia biarkan selonjor ke depan. Ari juga duduk menyandar pada kabinet di belakangnya. Mereka berdua sudah lelah luar biasa. Mencari sesuatu itu ternyata sangat melelahkan.

"Kedepannya apapun yang diberikan kakakmu, atau surat berharga apapun itu, kamu berikan saja padaku. Biar aku yang menyimpannya," kata Kiran lirih. Sudah kehilangan tenaga.

Ari tersenyum menatap Kiran.

"Makanya itu aku katakan, menikahlah denganku Kiran. Aku membutuhkanmu."

Kiran menatap Ari, diam. Tidak ada rona merah di sana. Ia terlalu lelah untuk menelaah bahwa Ari sedang menggodanya sekarang. Ia hanya menatap Ari. Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Ada desiran aneh di tubuh Ari saat menatap Kiran. Seakan terhipnotis, dengan perlahan Ari bergerak mendekati Kiran. Bangkit dari duduknya dan berjongkok masih menatap Kiran.

Merasa lelah, Kiran hanya terpaku menatap Ari. Dilihat tidak ada perlawanan dari Kiran, Ari mulai mencondongkan tubuhnya mendekati Kiran. Wajahnya mulai mendekati wajah Kiran. Ia menatap bibir merah Kiran yang masih diingatnya betapa lembut bibir itu kemarin. Wajah mereka semakin dekat. Jantung Ari berdebar dengan kencang. Tapi matanya masih fokus menatap bibir Kiran. Ada keinginan besar untuk segera mengecupnya.

"Kamu mau apa?!" Kiran melotot tajam menatap Ari yang sudah demikian dekat dengan wajahnya. Ari tersentak. Membeku, masih menatap bibir Kiran kemudian menghela nafas dengan kasar.

Ari menjauhkan tubuhnya dari Kiran. Kemudian menyandarkan tubuhnya lagi pada kabinet yang ada di belakangnya. "Kadang aku lebih suka berandai jika kamu itu bisa seperti gadis lain yang begitu menginginkanku. Tentu semuanya akan lebih mudah bagiku." Ari membuang pandangannya dari Kiran.

"Jika itu yang kamu inginkan maka bermimpilah! Aku tidak akan pernah seperti itu." Kiran membuang muka.

"Kenapa? Kamu tidak bisa menerimaku?" tanya Ari ragu.

"Kamu memilih wanita yang salah. Hatiku sudah mati. Kamu akan tersiksa jika mengharapkanku."

"Hati yang mati masih bisa hidup kembali, Kiran. Asal kamu mau memulainya dengan menerimaku. Akan kuisi hatimu dengan cintaku."

"Gombal! Gak laku tau nggak!"

"Aku serius, Kiran."

Kiran menatap kedua manik mata Ari. "Serius? Emang kamu mencintaiku?"

Ari mengangguk, mengiyakan sambil memberikan seulas senyuman. "Mungkin sejak pertama kali kita bertemu," desisnya menambahkan.

Kiran diam beberapa saat.

"Tidak akan semudah itu, Ari. Aku sudah tidak percaya lagi dengan cinta. Yang kutahu, cinta hanya akan membuat diri kita menderita. Hanya akan meninggalkan luka," ucap Kiran nanar.

"Jangan kamu samakan semua pria seperti dia yang mengkhianatimu," kata Ari lirih.

Kiran menautkan alisnya. Ari sepertinya sudah tahu masalahnya dan Rangga. Kiran tidak terlalu terkejut sebab Ari memiliki koneksi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui. Ia kini sadar bahwa dirinya sedang diamati Ari.

"Atau jangan-jangan kamu masih mengharapkannya?" tanya Ari penuh selidik.

Kiran menggeleng pelan. "Aku sudah tidak pantas untuknya," ucap Kiran lirih.

"Bukan kamu. Tapi dia yang tidak pantas untukmu. Dia terlalu lemah. Dia kurang tegas terhadap wanita yang menyukainya. Aku tidak begitu. Jika kamu menikah denganku, tak akan kubiarkan kamu menderita batin hanya karena perempuan lain."

Kiran terdiam. Ia bingung mau bicara apa lagi. Ia juga bingung harus bersikap. Semua serba fatamorgana baginya.

"Kamu pikirkan saja baik-baik. Yang jelas, kamu harus tau bahwa aku akan menunggumu. Menunggumu mengatakan iya padaku." Ari menatap Kiran dalam. Membuat Kiran risih dengan hal itu.

Karena merasa canggung. Ia pun berdiri dari duduknya kemudian menarik bagian bawah blazernya sebab tadi tertarik ke atas ketika ia sedang duduk.

Kiran tahu Ari masih menatapnya. Karena canggung, kepalanya pun membentur pelan rak buku yang ada di belakangnya. Sebuah buku jatuh dari sana. Ari yang melihatnya hanya tersentak kaget ingin bangun dari duduknya. Namun melihat tidak terjadi apa-apa dengan Kiran, ia pun melanjutkan duduknya.

Kiran menunduk mengambil buku yang jatuh tadi. Ia melihat cover di depan buku. Buku Detektif Conan! "Kau suka membaca ini, Ari?" tanya Kiran memperlihatkan cover buku tersebut.

Ari melirik sekilas. Ia memang suka buku itu. Bahkan membacanya di kala senggang. Tapi buku itu memang bukan miliknya.

"Aku rasa itu punya Robin. Sudah ada disini sejak aku datang." Ia merasa malu harus mengakui bahwa memang ia suka membaca buku itu.

Kiran mengangguk-angguk tanda mengiyakan pernyataan Ari. Ia dan Robin, bos nya dahulu yang digantikan oleh Ari tidaklah dekat seperti dekatnya hubungannya dengan Ari. Jadi ia tidak pernah menyentuh rak buku yang ada di belakang meja bos nya itu.

Ia mengembalikan buku itu di rak. Menatap deretan buku itu sekilas. Tak jauh dari letak tempat buku yang jatuh tadi tampak sebuah map berwarna merah. Kiran tergerak untuk mengambil map yang terhimpit di tengah buku Detektif Conan yang lain. Ia ambil buku itu dan mengambil map berwarna merah itu.

"Map apa ini, Ari?" tanya Kiran sambil menunjukkan map berwarna merah itu. Ari mengangkat bahunya.

Karena penasaran Kiran pun membuka isi map itu. Matanya membaca isi map itu dengan cepat. Tidak lama. Hanya sebentar saja ia membacanya. Karena judul depannya sudah mewakili isi kertas setelahnya. Kiran menautkan alisnya. Terpekik sesaat. Sebuah senyuman mengembang. Ari menatap Kiran heran.

"Kenapa?" Ia pun mendekati Kiran. Meraih map itu lalu ikut membacanya.

"Alhamdulillah... kita menemukannya, Kiran ...."

Terlalu bahagia, Ari langsung memeluk Kiran. Bahagia karena telah menemukan berkas yang mereka cari seharian. Ia memeluk Kiran lalu mengangkatnya kemudian berputar di tempat.

❤❤❤💖

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!