Siang hari yang terik, dan suasana tenang di sebuah bank adalah waktu yang tepat untuk mengambil ataupun menyimpan uang di bank, orang-orang silih berganti keluar masuk bank untuk keperluan masing-masing, begitupun juga denganku.
Namaku Andre, berumur 18 tahun, saat liburan sekolah kegiatanku di rumah yang tiada lain adalah bermalas-malasan saja, karena memang kesukaanku hanyalah menghayal yang tidak-tidak, makanya aku mulai menyukai membaca cerpen, novel, dan lain sebagainya.
"Hadehh lama banget ... " gerutuku dalam hati.
Karena hari ini aku disuruh Ibuku untuk mengambil uang di bank, awalnya aku menolak karena pikirku pasti bakal lama.
Akan tetapi hal itu tak ku hiraukan, karena setelah pulang mengambil uang di bank, Ibu akan memberiku uang untuk bisa dibelikan buku-buku baru.
Setelah lama mengantri, akhirnya orang didepanku selesai mengambil uang, dan segera pergi.
"Akhirnya selesai juga ... " gumamku.
Lantas aku melangkah maju dan pegawai bank itu berkata.
"Ada yang bisa saya bantu Kak?" ucap pegawai bank itu.
"Iya, saya ingin ... " ucapku terpotong karena mendengar suara keras dari ledakan senjata api.
*Doooorrrr ...
Suara tembakan dari sebuah senapan di luar yang dibarengi oleh kumpulan orang berbaju hitam lengkap dengan topeng diwajahnya seperti seorang terorist mulai memasuki ke dalam bank.
"Para keamanan bank, jika tidak ingin orang-orang ini mati lebih baik kalian buang senjata kalian!" kata salah seorang dari sekelompok orang bersenjata itu.
Dan saat itu pula suasana menjadi tegang.
Para keamanan bank pun menuruti para perampok itu.
"TIARAP SEMUA...!!" seru orang tadi sambil menembakan kearah langit-langit.
Tiba-tiba saja orang-orang langsung tiarap semua, tetapi aku biasa saja.
"EHH LUU TIARAP....!!!" kata orang tadi kepadaku dengan keras.
"Hah gue juga?" tanyaku.
"Luu mau mati? CEPAT TIARAP?!!" tanyanya kembali sambil menyuruhku tiarap.
"Ahh repot banget dahh ... Gue juga nggak bakal ngapa-ngapain," ucapku malas sambil menuruti ucapan pria bertopeng itu.
Kemudian para perampok itu menanyakan kepada manager bank tentang kunci brangkas bank itu, setelah mengetahuinya semua perampok itu menuju berangkas dan membukanya.
Semua perampok masuk kecuali hanya dua orang yang disisakan untuk menjaga orang-orang sebagai sandra.
"Perampok ini gegabah sekali," gumamku.
"Bukankah ini kesempatan bagus untuk melawan balik?" pikirku asal.
"Ohh iya kalau tidak salah, bank bukannya memiliki alarm? Tapi dimana tombol alarm itu? Mungkin kah yang disana itu?" ucapku pelan hampir tidak terdengar sambil melirik ke arah tombol merah.
Karena yang berjaga hanya dua orang, mudah saja bagiku bergerak tanpa di ketahui.
Diam-diam aku bergerak menuju bagian belakang seorang perampok yang berjaga itu.
Setelah dekat aku bangkit lalu mencengkram leher perampok itu kuat-kuat dan menggeser tubuhnya mengarah ke perampok di sebrangnya.
*Dooorr... Dooorr... Dooorr... Dooorr....!!!
Suara senapan perampok sebrang sana yang menembak kearahku namun mengenai temannya sendiri.
Akupun tersenyum sambil berkata.
"Sesuai perkiraanku."
Karena perampok disana tidak henti-hentinya menembak, seorang perampok yang kujadikan perisai mulai berlubang dan beberapa peluru sedikit mengenaiku, untungnya tidak sampai menembus kedalam melainkan hanya luka gores yang merobek bagian kulitku.
setelah habis peluru perampok itu, akupun merebut senjata dari perampok yang kujadikan perisai ini sambil berlari dan menembakinya.
*Dooorr... Dooorr... Dooorr... Dooorr.... Dooorr...
Entah 10 atau 15 kali aku menembaki ke arah perampok itu, 4 peluru diantaranya sudah mengenainya yang cukup membuatnya jatuh tak berdaya.
Aku pun melempar senapan yang kupegang kearah petugas yang hanya diam melihat, sambil berkata.
"Cepat ambil kembali senjata kalian dan nyalakan alarm bank! Sisanya larilahh!" ucapku sambil mengambil senapan perampok yang baru aku tembaki itu dan kembali mengisi ulang peluru senapan itu.
"Untung gue pernah liat cara menggunakan senapan di internet, dari menembak sampai mengisi amunisi," kataku sambil tersenyum sendiri.
*krrriiing......!!!
Suara alarm bank mulai berbunyi.
Dengan cepat orang-orang mulai berlari keluar bank, sedangkan para perampok yang berada di dalam brangkas tidak sempat keluar karena aku beserta pengaman bank menembaki ke arah dalam brangkas.
"Ternyata, dari pada hanya sekedar membacanya lewat novel, melakukan praktek membunuh perampok memang hal yang menyenangkan." pikirku yang tersenyum sambil menembaki kearah brangkas
Tidak lama kemudian, tiba-tiba saja ada sebuah peluru yang menembus dadaku dari arah belakang.
Saat aku melihat kebelakang, terlihat jelas olehku dari atas gedung seorang dengan baju serta topeng yang sama memegang sniper yang memantau dari ketinggian.
"Ahh ternyata aku juga gegabah," pikirku sambil tersenyum.
Karena sudah tidak kuat berdiri, akupun mulai merebahkan diri dan menatap langit-langit bank.
Dan sesaat kemudian terdengar beberapa suara sirene mobil polisi mendekat, dan orang yang memegang sniper dari atas gedung tadi mulai melarikan diri.
Belasan bahkan puluhan polisi mulai memenuhi bank itu dan saling beradu tembak.
Aku yang merasa lemas akibat kehabisan darah pun mulai tidak merasakan apa-apa.
Setelah tertangkap para perampok itu, beberapa polisi datang menghampiriku dan berkata-kata.
"Hah? Apa yang mereka katakan? Aku tidak bisa mendengar apa-apa dengan jelas." ucapku pelan dengan suara lirih.
"Ahhh, suasannya kenapa menjadi dingin? Dan kenapa pandanganku mulai menggelap? Inikah yang dinamakan kematian itu?" ucapku sambil menutup mata.
Tiba-tiba saja dari kepalaku terdengar suara yang cukup jelas, namun tidak kuketahui bahasa apa yang digunakannya.
Beberapa saat kemudian akupun kembali membuka mataku, dan ternyata keadaanku masih sama, yaitu tidur terlentang menatap ke arah langit-langit. Akan tetapi, pemandangannya berubah dari atap bank menjadi dedaunan pepohonan yang tertiup angin.
Karena terkejut, akupun langsung bangun dan melihat sekitar.
"Dimana aku?" tanyaku terheran-heran karena tiba-tiba aku berada di tengah hutan.
"Bukankah aku sudah mati?" ucapku yang telah mengingat semua kejadian itu.
"Dimana ini ?" pikirku yang masih kebingungan karena tiba-tiba sudah berada di hutan sendirian.
"Bukankah tadi aku sudah mati? Atau jangan jangan?" ucapku sambil mengecek bagian tubuhku yang sebelumnya terdapat luka tembak.
"Hah ... Hilang? Dan ... Kenapa aku memakai pakaian seperti ini?" ucapku yang terkejut karena luka tembak didadaku hilang dan memakai baju yang tak pernah kulihat.
Akupun berusaha tidak memikirkannya dan segera berusaha keluar dari hutan ini untuk mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sudah 15 menit aku berjalan menyusuri hutan akan tetapi tak kunjung mencapai ujungnya, namun selama berjalan aku sempat menemukan sebuah sungai, dengan segera akupun mendekat dan sedikit terheran melihatnya.
"Sungainya kok bisa sejernih ini?" tanyaku entah kepada siapa sambil melihat kedalam air.
Akupun terkejut melihat sesosok mirip perempuan didalam air dan sedikit menjauh dari sungai.
"Siapa itu?" ucapku sambil melihat kembali kedalam air.
"A-apa itu hanya bayanganku? Ta-tapi ... kenapa mirip perempuan?" pikirku melihat sesosok mirip perempuan dengan panjang rambut yang hampir sepundak dan berwarna putih keperak-perakan.
Setelah aku yakin, bahwa sesosok mirip perempuan itu adalah bayanganku sendiri, akupun berniat untuk memeriksa bagian bawahku dengan keringat dingin yang mulai menyelimutiku.
"Kalau wajahku mirip perempuan, akankah bagian ini juga?" ucapku sambil mencoba melirik kebawah dan membuka celana untuk memastikan, tapi...
"Tidak tidak tidak tidak ... Aku belum siap untuk melihatnya," kataku sambil menutup mataku.
"Tapi, ini adalah satu satunya cara untuk memastikan bahwa aku ini laki-laki atau perempuan, andai bagian atasku ini menonjol, mungkin aku tidak akan mencoba berpikir melihat bagian bawahku." pikirku sambil menyiapkan diri.
Setelah ku intip sedikit, tiba-tiba saja perasaan lega dan kecewa menjadi satu.
"Cihh ... ternyata benar, aku laki-laki." ucapku pelan dengan sedikit merasa kecewa.
"Ehh sebentar. Aku merasa seperti sudah mati, lalu tiba-tiba aku berada di hutan sendirian, fisikku pun telah berubah total, dan bahkan aku sempat mencurigai kelaminku sendiri," ucapku sambil memikirkan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa ini yang dinamakan ... reinkarnasi?" ucapku yang teringat akan novel dan buku cerita yang pernah kubaca dan disana juga sering sekali melihat kata itu. (re*i***nkarnasi)
"Kalau itu benar, aku harus mencari tau tentang dunia ini terlebih dahulu, sebelum aku berbaur dengan orang-orang di dunia ini. Tapi, orang-orang berada dimana? Yang kutemukan hanya pepohonan, dan rasanya aneh sekali, kalau dingat-ingat sebelumnya aku belum pernah melihat satupun hewan disini, bukankah ini aneh?" pikirku.
"Ahh ... lebih baik aku memikirkan cara keluar dari sini, mungkin mengikuti arus sungai akan sangat membantu," ucapku sambil berjalan mengikuti arus sungai.
Baru 5 menit mengikuti arus sungai, aku sudah melihat ujung sungai ini. Akan tetapi, yang kulihat adalah sebuah jurang. Dari ketinggian aku bisa melihat di depan sana hutan sudah tak nampak lagi dan aku bisa melihat sebuah kota yang dikelilingi oleh dinding tebal yang tingginya mencapai kira-kira 50 meter.
"Jadi, untuk kesana, aku harus mengitari jurang melalui hutan ini," pikirku.
"Hadehhh ... ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang," ucapku pelan sambil sedikit mengeluh.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Kupikir seseorang, akan tetapi alangkah terkejutnya aku saat tahu bahwa yang mendekat itu adalah seekor hewan yang mirip serigala, hanya saja bertanduk.
Dengan segera aku membuat langkah perlahan kekanan untuk mencari cara supaya bisa kabur keluar dari hutan, dan harap-harap ada yang menolongku.
"Tapi, akankah aku sempat sampai keluar hutan tanpa kehilangan nyawaku?" pikirku yang mulai khawatir melihat serigala bertanduk itu mulai mendekat.
"Akan kuusahakan, ingat, ini hanyalah seekor serigala, tidak lebih pintar dari kumpulan perampok bank," pikirku untuk menenangkan diri dan memikirkan sedikit ide yang entah bisa berhasil ataupun tidak.
Aku terus menggerakan langkahku dengan tenang supaya serigala itu tidak langsung menerjang kearahku.
Setelah sampai di tempat yang kuinginkan yaitu berdiri membelakangi sebuah pohon yang agak besar, akupun sudah bersiap untuk rencanaku ini yang entah berhasil atau tidak itu.
Setelah dekat jarak antara serigala itu dengan ku kira-kira 3 meter, aku melihat jelas serigala itu berhenti dan bersiap seperti mengambil ancang-ancang untuk menerkam mangsa.
Saat serigala itu melompat kearahku, dengan sigap aku menunduk lalu berguling ke depan untuk menghindarinya dan berlari sekuat tenaga menuju keluar hutan.
Aku sempat menoleh kebelakang untuk melihat keadaan serigala itu harap harap makhluk itu pingsan, akan tetapi serigala itu hanya terjatuh karena menabrak pohon, kemudian segera bangun, dan kembali mengejarku.
"Ahhh ... kenapa tidak pingsan aja sihh itu serigala?!" ucapku sambil berlari ketakutan.
Setelah aku kembali menengok kebelakang.
"Waahhhh ... Kenapa serigala ini larinya cepet banget?!" teriakku melihat serigala itu yang sudah tepat berada di belakangku.
"Andai saja aku bisa berlari lebih cepat," gumamku dengan sedikit mempercepat langkahku.
Saat aku memfokuskan untuk berlari lebih cepat lagi, tiba-tiba saja tubuhku merasa seperti mempusatkan sesuatu dari seluruh tubuhku menuju bagian kaki, dan disaat itu pula, entah lariku melaju lebih cepat atau pepohonan yang serasa bergerak kearah berlawanan aku tidak tahu, karena saking cepatnya aku melaju.
"Ahhh ... apa ini?" ucapku yang tidak bisa mengendalikan langkahku.
Sering kali aku hampir menabrak sebuah pohon karena tidak dapat mengendalikan diri, akan tetapi hal itu terjadi juga, saat aku menerobos semak-semak akupun terjatuh dan melesat ke arah pohon.
Akupun bangun dan terduduk sedikit merasa kesakitan.
"Aduhhh ... tadi itu apaan sihh? Ilusi? Atau apa?" ucapku sambil melihat kakiku.
"Mungkin aku salah liat, tapi ... Kenapa jarakku dan serigala itu jauh sekali?" kataku sambil menoleh kearah belakang yang terlihat serigala bertanduk itu masih mengejarku namun jaraknya sekitar 300 meteran dari tempatku terduduk.
Tanpa memikirkan apa yang telah terjadi, akupun mencoba untuk kembali berlari, akan tetapi kakiku serasa lemas dan mati rasa.
"Kenapa kakiku ini harus begini dalam waktu yang tidak tepat sihh?!" gumamku.
Aku hanya merangkak ke tepi pohon sambil melihat serigala itu yang semakin lama kian mendekat.
"Siapapun tolong aku!!!" teriakku melihat serigala itu yang sudah dekat dan melompat kearahku.
" .... "
" .... "
"Fire ball..!!!" suara seorang laki-laki yang dibarengi oleh lontaran bola api sebesar bola kasti tepat mengenai tubuh serigala itu.
Karena terkejut melihat apa yang baru saja terjadi, aku hanya diam terpaku melihat itu.
Walaupun sedikit terbakar, serigala itu bangkit kembali lalu menyerang orang yang melempar bola api tersebut, akan tetapi laki-laki itu tidak menyerangnya hanya diam dan tersenyum
"A-awass...!!!" kataku.
Sesaat sebelum mengenai laki-laki itu tiba-tiba saja ...
"Wind slash...!!!" kata seorang perempuan melompat dari balik semak-semak, sambil mengeluarkan 2 buah tebasan angin yang samar samar terlihat, tepat mengenai mata serigala bertanduk itu.
Serigala itu hanya melompat-lompat tidak karuan karena matanya yang terluka.
"Dhafin ayo sekarang kita pergi!" ucap perempuan tadi sambil berlari meninggalkan laki-laki itu.
Kulihat laki-laki itu menghampiriku dan mengatakan.
"Ayo kita perg! Sebelum semuanya terlambat," ucapnya sambil membantuku berdiri dan menarikku keluar dari tempat itu.
...****************...
"Sepertinya Horned wolf itu tidak melihat kita sebelum ia sempat pulih kembali," ucap perempuan itu sambil melihat ke arah hutan.
"Sepertinya begitu," sambung laki-laki itu.
"Hmm anuu ... Sebenarnya tadi itu makhluk apa?" tanyaku.
"Hah? Kamu belum pernah melihat Horned wolf?" ucap laki-laki itu kembali bertanya.
"Belum."
Kedua orang itu terkejut dan langsung saling bertatapan seperti orang mendengar hal yang aneh.
"Hmm ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya perempuan itu.
"Ohh iya aku lupa, tidak mungkin aku menggunakan nama Andre di tempat seperti ini. Hmm ... kira-kira nama apa yang cocok dengan fisikku yang sekarang yaa ... ?" pikirku.
"Namaku Ruri ... Ruri Narendra," ucapku.
"Ruri kahh...? Sepertinya aku tidak pernah melihatmu, berarti kamu bukan dari sini ya?" ucap laki-laki itu.
Perempuan itu tiba-tiba saja memukul kepala temannya itu.
"Kamu ini yaahh ... kalau orang lain menyebutkan namanya, kau juga harus memberi tahu namamu," kata perempuan itu.
"Ahh iya iya maaf, perkenalkan namaku Dhafin Adrian, salam kenal." kata laki-laki itu.
"Dan namaku Friska Clarissa, salam kenal," sambung perempuan yang menyebut dirinya Clarissa.
Karena aku tidak tahu apa yang akan kujawab, aku hanya mengikuti kata-kata mereka.
"Ahh i-iya, salam kenal," ucapku sambil tersenyum paksa.
"Sepertinya aku terlihat seperti orang bodoh," gumamku yang membayangkan raut wajah baruku yang tersenyum karena terpaksa itu.
"Bagaimana, kalau kita bicarakan ini, di tempat yang lebih layak?" ucap Clarissa mengusulkan.
"Ahh iya kau benar, rasanya tidak enak juga kalau berbicara disini," kata Dhafin.
"Ehh sebelum itu, boleh aku bertanya satu hal," ucapku tiba-tiba.
"Tanya apa?"
"Bagaimana cara kalian mengeluarkan api dan angin tajam itu?" tanyaku yang tidak mengerti.
Mereka saling bertatapan dan tertawa terpingkal pingkal.
"Ahh maaf maaf, mungkin maksudmu sihir yang kami pakai tadi?" ucap Clarissa yang masih sedikit tertawa.
"Kau pasti bercanda, bukankah di sekolah sudah diajari?" ucap Dhafin.
"Aku tidak sekolah," ucapku asal.
"Ohh jadi begitu, tunggu sebentar," ucap Dhafin lalu ia menutup mata dan seperti membaca sesuatu yang di akhiri dengan kata Fire ball.
"Fire ball...!!!" ucap Dhafin sambil memperlihatkan bola api yang berada ditangannya dan berkata.
"Ini adalah sihir api, walaupun sihirku ini masih ditingkat rendah, tapi suatu saat aku pasti bisa membuat yang lebih besar lagi," Jelas Dhafin.
"Wahhh hebat," ucapku terkagum-kagum melihat bola api yang berada ditangan Dhafin.
"Ahh biasa saja ... Hahah," kata Dhafin sambil tertawa sedikit.
"Jadi bagaimana cara kau melakukan itu? Apa aku juga bisa melakukannya?" tanyaku yang ingin sekali mencobanya.
"Bisa saja, tapi kau harus menghafal mantra dan mengetahui cara mengeluarkannya, seperti yang kubilang, ini harus membutuhkan belajar dan kerja keras," kata Dhafin.
"Cara mengeluarkan?"
"Ahh untuk soal menjelaskan aku kurang pandai, intinya kau harus fokus mengumpulkan mana ditanganmu sambil membayangkan api yang akan keluar dari sana, akan tetapi kalau masih seperti kita ini, rasanya tanpa membaca mantra itu hampir mustahil," jelasnya.
"Mana? Apa itu?" tanyaku yang masih penasaran.
"Bagaimana kalau kita jelaskan itu di kota saja?" kata Dhafin.
"Sekarang saja, aku mohon!" ucapku sambil memelas.
"Ahh sepertinya kita harus mengadakan sekolah disini," ucap Dhafin sambil tersenyum kearah Clarissa.
"Kak, bagaimana kalau kau saja yang menjelaskan tentang mana, soalnya aku juga belum terlalu paham akan hal itu, hehe," ucap Dhafin meminta Clarissa untuk menjelaskan.
"Hadehh, kebiasaan ... " ucap Clarissa sambil menepuk kepalanya sendiri.
"Sebenarnya aku juga belum terlalu tau tentang mana, mungkin akan kujelaskan bagian intinya saja," kata Clarissa.
Akupun menganggukkan kepala.
"Mana itu, seperti energi dalam tubuh kita yang berfungsi untuk mengeluarkan sebuah sihir, apapun bentuk sihirnya, kira-kira seperti itu, mungkin, benar kan Fin?" Kata Clarissa.
"Iya kurang lebih seperti itu," jawab Dhafin.
"Jadi dengan adanya mana, kita bisa mengeluarkan beragam macam jenis sihir?" tanyaku yang kesekian kalinya.
"Tidak, seseorang biasanya hanya bisa membuat satu, dua atau tiga jenis sihir, walaupun ada yang bisa mengeluarkan beberapa, namun orang itu jarang sekali ada, biasanya orang-orang seperti itu sudah berada di kelas atas," jelas Clarissa.
"Apa mungkin, saat dikejar Horned wolf tadi, aku menggunakan sihir? Dan apa yang kurasakan saat itu adalah mana? " pikirku.
"Baiklah aku ingin mencobanya," ucapku yang membuat mereka terkejut.
"Mencoba apa?" tanya mereka berbarengan.
"Sihir, mungkin aku akan mencoba sihir api seperti Dhafin," ucapku.
"Memangnya kau sudah tau mantranya?" tanya Dhafin.
"Tidak, tapi akan kucoba."
"Hehh ... mantranya saja kau belum tau, bagaimana caranya kau melakukannya? Baiklah coba saja," tanya Dhafin sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan mendekat kearah sebuah pohon dan memejamkan mata.
"Menggerakan suatu energi berada dalam tubuhku yang bernama mana dan memusatkannya ke telapak tanganku, lalu membayangkan sebuah bola api, dan menganggap seolah-olah api itu keluar dari tanganku," kataku berulang kali dan segera mencobanya.
Setelah itu, aku mencoba menggerakan mana yang ada dalam diriku seperti di hutan tadi, akan tetapi sekarang aku memusatkannya ke telapak tangan dan membayangkan bola api berukuran sedang.
Saat aku membuka mata dan menganggap api itu keluar dari tanganku, terlihat bola api berukuran bola basket berada ditanganku.
"Apa ini berhasil?" tanyaku sambil tersenyum kepada mereka berdua yang mulutnya terbuka lebar karena terkejut.
"Ba-bagaimana kau melakukan itu?" tanya Dhafin yang masih tidak percaya.
"Sebelum itu, bagaimana cara menghilangkan api ini?" ucapku yang mulai panik.
"H-hah? Kau tidak bisa menghilangkannya?"
"Aku tidak tahu, kan aku baru saja belajar mengeluarkannya," ucapku sambil tersenyum dengan keringat dingin yang mulai menyelimuti tubuhku.
"Aku lempar ke pohon ini saja yak?" tanyaku sambil bersiap mengambil ancang-ancang untuk melemparnya.
"Ja-jangan nanti pohonnya terbakar," ucap Clarissa.
"Lalu ku buang kemana ini?"
"Buang saja ke langit," ucap Clarissa menyarankan.
"Baiklah," ucapku cepat sambil melempar api itu ke atas dan seketika meledak.
"Huhhh ... sampai kaget aku," ucapku sambil duduk dan tertawa sedikit setelah apa yang terjadi.
"Bagaimana kau melakukan itu?" tanya Dhafin mengulangi pertanyaannya.
"Aku hanya melakukan seperti yang kau katakan." ucapku sambil tersenyum.
"Tapi, bagaimana caranya kau bisa melakukan sebesar itu tanpa rapalan mantra?" kata Dhafin masih mengintrogasiku.
"Aku hanya membayangkan dipikiranku seolah-olah api itu nyata, mungkin itu saja, selebihnya aku hanya melakukan seperti apa yang kau jelaskan tadi," ucapku sambil mengatakan yang kurasakan tadi.
"Membayangkan seolah nyata itu bagaimana caranya?" tanya Dhafin kembali.
Akupun berpikir, mereka berdua hanya kebingungan melihatku.
"Ahh bagaimana caraku menjelaskannya? Karena dikehidupanku sebelumnya membayangkan dan menghayal adalah kebiasaanku, karena kerjaanku hanya membaca buku-buku seperti novel, sedangkan disini mungkin tidak ada benda-benda seperti itu," pikirku.
"Ahh aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya," ucapku sambil tersenyum.
"Kau curang Ruri," ucap Dhafin memelas.
"Dhafin, jangan kau anggap Ruri itu curang, mungkin saja dia berbakat dalam menggunakan sihir, walaupun tidak belajar sekalipun," ucap Clarissa.
"Hmm sepertinya kau benar, maaf yaah memaksamu menjelaskannya," kata Dhafin.
"Iya, iya tidak apa, aku malah ingin berterima kasih kepada kalian karena telah menyelamatkanku dan mengajariku sihir," ucapku sambil tersenyum kembali.
"Mungkin itu sudah ditakdirkan agar kita akan terus bersama untuk kedepannya," ucap Clarissa ikut tersenyum.
"Ohh iya, kapan kamu akan kembali ke kotamu?" tanya Clarissa.
"Aku, tidak punya tempat tinggal," ucapku.
"Jadi kau tidak tinggal dimana mana?" tanya Dhafin.
Aku menganggukkan kepala dan mereka berdua saling bertatapan sebentar kemudian saling menganggukkan kepala.
"Ruri bagaimana kalau kau tinggal di penginapan kami?" tawar Clarissa.
"Wahhh benarkah? Tapi aku tidak enak sendiri kalau seperti itu," kataku.
"Tidak apa-apa, justru dengan adanya kau, mungkin kegiatan di sekolah akan jadi lebih menarik," ucap Dhafin meyakinkan.
"Wahhh, kalau kalian tidak keberatan, baiklah," ucapku sambil tersenyum.
"Yosh sudah dipastikan, ayo kita kembali!" ucap Dhafin bersemangat.
"Ehh sebelum ke tempat kalian, Clasrissa, apa aku boleh minta tolong kepadamu," ucapku.
"Minta tolong apa?" tanyanya keheranan.
"Aku minta tolong kamu untuk menjelaskan bagaimana caramu mengeluarkan angin tadi?" tanyaku dengan mata berbinar-binar.
"Hehhh, jadi kau penasaran juga?"
"Tentu saja, rasanya kau terlihat hebat saat itu," kataku.
"Ahh kau berlebihan, sihir angin yang kubuat tidak sehebat itu," ucapnya tersenyum.
"Jadi bagaimana cara menggunakan sihir itu?"
"Apa kau tahu mantranya?" tanya Clarissa.
"Tidak, tapi aku ingin tahu bagaimana caranya," kataku.
"Baiklah, lebih baik aku sambil mencontohkannya saja, biar penjelasannya juga tidak panjang," katanya sambil mengubah arah pandangannya ke sebuah pohon dekat kami.
"Hmmm hmmm" kataku sambil mengangguk.
Terlihat Clarissa yang sedang membaca sesuatu, dan mengayunkan tangannya sambil mengatakan.
"Wind slash...!!!" kata Clarissa yang dibarengi oleh terlihatnya angin samar-samar dari ayunan tangannya, angin itu bergerak cepat menuju pohon tadi dan menggores pohon tersebut.
Melihat itu aku langsung terkagum-kagum dan mengatakan.
"Jadi bagaimana itu caranya?" kataku.
"Kau harus mengumpulkan mana di tanganmu seperti sihir api milik Dhafin, akan tetapi bedanya kau memusatkan mana itu ke bagian ujung tangan tepat sebelah jari kelingking." jelasnya.
"Lalu saat kau mengayunkan tanganmu kau harus membayangkan, akan ada angin tipis yang keluar dari tempat kau memusatkan mana," sambung Clarissa.
"Ehh sebentar, bukankah kau tadi bilang membayangkan?" tanyaku.
"Umm ... iya, ada apa?" tanya Clarissa.
"Ahh tidak apa-apa," ucapku sambil tersenyum.
"Kalau mereka bisa membayangkan sesuatu kenapa mereka tidak bisa membayangkan seolah-olah sihir yang mereka gunakan itu tampak nyata? "pikirku yang kebingungan.
"Baiklah akan kucoba," kataku sambil mengarah ke pohon yang digoreskan oleh sihir angin Clarissa.
"Ruri ... aku hanya memberi tahu, kalau kau berbakat dalam sihir api, kemungkinan kau bisa menggunakan sihir angin tidak 100%, jadi jangan paksakan dirimu," kata Clarissa yang mulai memperhatikanku.
"Baiklah."
Akupun menutup mata dan mulai memusatkan mana di tempat yang dijelaskan Clarissa tadi dan membayangkan angin tipis dan tajam yang akan keluar dari sana saat aku mengayunkan tanganku.
Setelah membuka mata akupun mulai mengayunkan tanganku dan terlihat angin samar-samar itu bergerak cepat kearah pohon yang kutuju, akan tetapi...
*slaaasssshhh.....!!!
Suara angin samar-samar itu bergerak cepat menuju pohon dan menebasnya.
Seketika itu pula pohonnya mulai tumbang.
Akupun sedikit terkejut, dan saat aku menoleh ke arah mereka berdua ...
"H-hahhh...?!!" ucap mereka berdua dengan sangat terkejut karena melihat pohon itu tumbang dengan mudah.
Kulihat Clarissa mendekatiku sambil tersenyum.
"Hmm perasaan ku tidak enak," gumamku sambil tersenyum.
"Rurii ... sepertinya kita memiliki banyak waktu untuk kau menjelaskan bagaimana caramu melakukan itu," kata Clarissa sambil menunjuk ke arah pohon yang tumbang.
"Ahh Clarissa lebih baik jangan, karena kau dengar sendiri tadi, dia hanya melakukan apa yang seperti kita ucapkan, jadi hal itu percuma, kan kamu sendiri yang bilang kalau Ruri itu berbakat menggunakan sihir," ucap Dhafin membantuku menghentikan Clarissa yang seperti melihat makanan lezat setelah tidak makan berhari-hari.
"Tidak tidak tidak ... Kita harus membahasnya sampai aku paham!!!"
"Firasat burukku ternyata benar," gumamku.
...****************...
Setelah Clarissa menjadi tenang, mereka berdua pun membawaku ke kota. Banyak sekali bangunan khas fantasi yang sering kulihat di buku-buku cerita. Melihat itu aku tiada henti-hentinya terkagum-kagum melihat kota itu.
"Waahhh hebaaaat...!!!" Kataku.
"Heh..? Kau seperti tidak pernah melihat kota saja," ucap Dhafin kepadaku.
"Hehe ... Ohh iya jadi, kita akan kemana?" tanyaku.
"Hmm kita akan ketempat itu," ucap Clarissa sambil menunjuk kearah bagunan besar.
"Kita akan mendaftarkanmu dulu untuk menjadikan kau sebagai warga kota ini," sambungnya.
"Tapi aku tidak punya uang," kataku.
"Tenang saja, mendaftarkan diri di kota ini tidak bayar kok," kata Dhafin.
"Syukurlahh."
"Ahh kita sudah sampai, ayo masuk," ucap Clarissa.
Kami pun masuk, sesampainya di dalam Clarissa berbicara dengan seorang perempuan paruhbaya yang sepertinya mengurus semua data-data warga di kota ini.
"Jadi, kamu yang ingin tinggal disini?" tanya perempuan paruhbaya itu.
"Iya."
"Wahh imutnya...!!" katanya.
"Entah aku risih atau tidak karena seringnya aku dipanggil dengan sebutan imut, akan tetapi setelah melihat sendiri fisikku, akupun tidak bisa menyangkalnya bahwa fisikku sekarang memang terlihat agak imut sihh," pikirku.
"Baiklah, ayo kesini!" katanya lagi.
Kami pun mengikutinya.
"Kita akan kemana?" tanyaku.
"Tempat ini akan memuat data-data tentangmu."
Walaupun aku tidak mengerti, tetapi aku mengangguk saja.
"Baiklah sekarang kamu berdiri disana, untuk melakukan pendataan," kata perempuan itu sambil menunjukkan ke tempat sebuah lingkaran banyak terdapat tulisan yang tidak ku mengerti.
Akupun berjalan dan memasuki lingkaran itu, seketika keluarlah cahaya dari lingkaran itu dan terlihat didepanku seperti sebuah hologram, berisi tulisan yang bisa kubaca.
"Heh? Ini dataku? Kok dataku sudah terisi dan yang belum hanya nama saja, waahh hebat sekali scan sihir ini, " gumamku yang melihat data sebagai berikut :
...Data Pribadi...
Nama :
Kelamin : Laki-laki
Umur : 13 Tahun
Mata : Biru
Rambut : Putih
...Clear...
"Jika ada datamu yang belum terisi, tinggal isi saja dengan mengkliknya dan memikirkan hurufnya,"
"Hanya memikirkannya saja?" tanyaku lagi tidak percaya.
"Iya."
"Wahh hebaaat ... !!!" kataku sambil menekan bagian nama dan memikirkan namaku, Ruri Narendra.
"Jika sudah semua, kau boleh mengklik kata clear untuk menyelasaikannya," kata perempuan itu.
Sebelum aku menekan kata clear aku menyempatkan diri melihat umurku.
"13 tahun, aku harus menghafalnya, yosh," ucapku pelan sambil menekan kata clear dan menghilanglah cahaya itu.
"Baiklah pendataan sudah selesai, kau boleh memeriksanya, lihat lahh kesana," ucapnya sambil menunjukkan kearah sebuah cahaya seperti menonton sebuah bioskop yang berisi tentang dataku tadi beserta fotonya.
"Wahh kau seumuran dengan kita," kata Dhafin.
"Benarkah?" kataku.
"Iya."
"Dhafin coba lihat itu..!!" ucap Clarissa sedikit terkejut sambil menunjuk bagian kelamin.
"K-kau laki-laki?" tanya Dhafin dengan muka datar.
"Hah? Emangnya aku belum pernah bilang?" kataku sambil tersenyum.
"Belum," ucap mereka berdua berbarengan.
"Ahh iya maaf maaf," kataku yang masih tersenyum.
"Untung saja aku belum mengajakmu ke pemandian wanita," kata Clarissa.
"Hehe, jadi setelah ini kita akan kemana?" ucapku mengubah topik pembicaraan.
"Kalau soal itu, bagaimana kita melihat sekolah dulu sebelum ke penginapan?" ucap Dhafin mengusulkan.
"Waahhh sepertinya menarik, baiklah," ucapku.
Kami pun mulai berjalan menuju sekolah. Sebelum sampai di sekolah mereka aku pun menyempatkan diri untuk bertanya sesuatu.
"Fin, kalau di sekolah, apa yang biasanya dipelajari?" tanyaku kepada Dhafin di perjalanan.
"Sihir, kadang juga siluman," kata Dhafin singkat.
"Siluman?" tanyaku tidak mengerti.
"Kau tidak tahu?"
Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Kau ingat Horned Wolf tadi siang yang menyerangmu?" tanyanya.
"Iya, kenapa?"
"Makhluk itu termasuk siluman dari iblis, dan alasan kita tadi melarikan diri karena aku dan Clarissa saja belum mampu untuk membunuhnya, karena semua siluman mempunyai kekuatan pemulihan yang agak cepat, sehingga melukainya saja tidaklah cukup, jika tidak langsung membunuhnya dengan serangan beruntun atau serangan sihir tingkat menengah keatas, rasanya membunuh siluman hampir bisa dibilang mustahil," jelas Dhafin panjang lebar yang membuatku langsung mengerti.
"Berarti, jika ada makhluk seperti itu, apa ada makhluk yang mengendalikan mereka?" tanyaku.
"Iya, dia adalah iblis, makhluk yang suatu saat akan kubinasakan!" ucap Clarissa menyebut kata iblis dengan nada geram.
"Kenapa Clarissa seperti itu?" bisikku kepada Dhafin.
Dhafin hanya menundukkan kepala, dan mengatakan.
"Ceritanya panjang," ucapnya pelan.
Karena tidak mengerti apa yang telah terjadi, aku lebih memilih diam saja.
"Ahh kita sudah sampai," ucap Dhafin setelah kami berhenti di depan sebuah pagar yang di dalamnya terdapat bangunan besar.
"Waahh besar sekali..!!" kataku melihat bangunan besar itu yang tidak menyangkanya bahwa itu adalah sebuah sekolah.
"Sekolah dimulai besok Senin, pukul 07:00 AM, sampai hari sabtu pukul 17:00 PM" kata Clarissa yang sudah merasa baikan.
"Maksudmu sekolah dari Senin sampai Sabtu?" tanyaku tidak mengerti.
"Ohh kau tidak tahu rupanya, sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang menyediakan asmara untuk para murid-murid tinggal," kata Clarissa menjelaskan.
"Waahh ... sepertinya menarik," kataku sambil membayangkannya.
"Hehh ... ? Dhafin, Clarissa? Ada apa kalian kesini?" tanya seseorang dari belakang kami.
"Pak Nathan," kata Dhafin dan Clarissa berbarengan.
"Aduhh sudah kubilang panggil aku Kakak saja, rasanya dipanggil dengan sebutan 'Pak' itu tidak enak di dengar," kata pria itu.
"Jadi, kalian mau apa kesini?" tanya Laki-laki itu.
"Hmm sebenarnya kami hanya ingin mengantar Ruri melihat-lihat sekolah Pak," kata Dhafin sambil menoleh kearah ku.
Karena orang yang dibilang pak itu melihat kearahku juga, aku pun terpaksa tersenyum dan mengangkat tanganku.
"Sepertinya aku terlihat seperti orang bodoh kayak sebelumnya," pikirku yang masih memaksakan senyumku.
"Ruri, kenalkan ini Pak Nathan," kata Clarissa.
"Sudah kubilang panggil Kak saja. Yoo, namaku Nathan Julian, aku salah satu guru di sekolah ini," kata laki-laki itu yang kira-kira berumur 19 tahun dan menyebut dirinya guru di sekolah itu.
Setelah mengatakan itu, semuanya terdiam dan melihatku.
"Apa aku membuat kesalahan? Atau jangan-jangan? " gumamku yang teringat saat Dhafin dipukul oleh Clarissa karena ...
"Ahh ... iya iya maaf, namaku Ruri Narendra, sepertinya ... besok aku akan mendaftar di sekolah ini," kataku.
"Ohh jadi kau akan bersekolah disini, baiklah mulai besok mohon kerja samanya ya."
"I-iya pak," kataku cepat.
"Hadehh ... Ini semua salah kalian berdua, sampai sampai membuat anak baru pun ikut memanggilku Pak," kata laki-laki itu sambil melirik kearah Clarissa dan Dhafin.
"Hehe," tawa mereka.
"Baiklah, aku pergi dulu, sampai jumpa," kata Pak Nathan.
"Sampai jumpa."
"Ayo kita ke penginapan!" ajak Clarissa.
...****************...
"Wahh siapa yang bersamamu itu Clarissa?" tanya seorang gadis kepada Clarissa yang kira-kira seumuran dengannya.
"Siapa namanya? Dia tampak imut sekali," katanya lagi.
"Namanya adalah Ruri, dan dia laki-laki," kata Clarissa sedikit berbisik.
"Heeehhhh...!!!" teriak gadis itu karena terkejut.
Setelah berteriak gadis itu mendekatiku dan seperti memeriksaku.
Dia mengitariku seperti mencari sesuatu, kemudian ia kembali kebagian depanku dan bertatapan mata sebentar lalu ia berjongkok dan menyentuh bagian bawahku dengan jarinya, aku terkejut dan seketika ...
"HEEEHHHHHH....?!!!" Teriak gadis itu lagi dan segera mundur kembali ke belakang Clarissa.
Tidak lama kemudian ...
*Duuuugg...
Sebuah pukulan keras mendarat dikepala gadis itu.
"APA YANG BARU SAJA KAU LAKUKAN...?!" tanya Clarissa dengan suara yang setengah berteriak.
"Ma-maaf kukira tadi itu kau berbohong, makanya aku memeriksanya sendiri," kata gadis itu sambil memegang kepalanya.
"Dasar bodoh...!!! Minta maaf ke Ruri sana!"
Gadis itu mendekatiku dan berkata.
"Ma-maaf aku tidak tahu kalau kau laki-laki, dan karena tidak percaya dengan perkataan Clarissa akupun memeriksanya sendiri," ucapnya dengan nada kemalu-maluan.
"Ahh iya tidak apa-apa, apakah kamu temannya Clarissa?" kataku.
"Iya benar, namaku Vina dan aku juga pemilik tempat ini," katanya.
"Ahh kebiasaan, kamu itu berlebihan, yang punya tempat ini adalah keluargamu, bukan dirimu," kata Dhafin.
"Yaa tapi sama aja."
"Ahh sudah-sudah, lagi juga kita kesini mau istirahat bukan?" tanyaku.
"Iya, yaudah aku duluan ke kamar," ucap Dhafin sambil pergi menaiki tangga.
"Baiklah Vina kami ke atas duluan yahh," ucap Clarissa.
"Iya." ucap gadis itu yang bernama Vina.
...****************...
"Hahhh sudah seminggu aku tidak santai seperti ini," kata Dhafin sambil merebahkan diri ke kasur.
"Ranjangnya ada 3?" tanyaku.
"Dikamar ini dibuat untuk 3 orang, tapi, karena aku dan Dhafin tidak tahu sisanya untuk siapa, dan kami memutuskan mencari satu orang lagi yang mau tinggal bersama kami, dan pada akhirnya kami menemukanmu," kata Clarissa sambil tersenyum.
"Ahh jadi begitu, syukurlah," kataku ikut tersenyum.
"Baiklah aku mau tidur," kata Clarissa sambil merebahkan diri di ranjangnya.
"Ohh iya, Ruri kalau kau mau tidur, tidurlah di kasur itu, tidak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri, selamat malam," ucap Clarissa dan memejamkan matanya.
"I-iya."
"Kalau ditengah kota seperti ini, aku sepertinya tidak bisa bereksperimen dengan sihirku," gumamku sambil melihat keluar jendela.
"Kalau di sekolah sihir nanti, kira-kira akankah ada anak murid yang ... " gumamku lagi memikirkan masa-masa kelam sekolahku dulu di dunia sebelumnya.
"Baiklah, aku akan mempersiapkannya," ucapku pelan sambil menunggu larut malam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!