“Seorang wanita itu harus bisa memasak. Kasihan kalau sudah nikah tapi tidak bisa masak, memang suaminya mau dikasih makan apa?” ujar Jihan.
“Memasak sepertinya bukan syarat menikah. Ada laki-laki yang berjodoh dengan perempuan yang belum bisa memasak,” balas Balqis tidak setuju atas pernyataan Jihan.
“Bagaimana Far menurutmu, apakah perempuan yang akan menikah harus bisa memasak dulu?” tanya Jihan kepada Farah.
“Menurutku, walaupun perempuan itu enggak bisa masak, dia akan berusaha keras untuk belajar memasak untuk orang yang dicintainya,” jawab Farah.
Balqis dan Jihan. Mereka adalah sahabat Farah sejak masuk SMA. Hari ini adalah hari terakhir ujian nasional. Beberapa bulan lagi Farah, Balqis dan Jihan akan lulus dari jejang pendidikan sekolah menegah atas. Saatnya bersikap dewasa untuk memilih jalan yang harus ditempuh untuk masa depan. Kerja? Kuliah? Atau memperbaiki diri untuk menikah.
“Aku setuju dengan Farah, ya setidaknya kegiatan memasak masih bisa dipelajari,” ungkap Balqis.
“Dari tadi ngomongin masalah nikah terus? Memang habis lulus ini kalian mau langsung menikah?” tanya Farah yang sedari tadi menyimak topik bahasan kedua sahabatnya.
“Enggak secepat itu sih. Setidaknya bolehlah merancang masa depan. Memang kamu enggak mau nikah Far?” tanya Jihan diiringi gelak tawa.
“Masa depan boleh sih dirancang, tapi aku belum siap jika harus menikah muda. Aku ingin kuliah dulu.”
“Farah, kita bisa berwacana tetapi Allah yang menentukan. Jika kamu bertemu jodoh hari ini bagaimana? Terus tiba-tiba ada lelaki yang melamarmu bagaimana? Jika Allah sudah berkehendak lantas kamu bisa apa Far?” ujar Balqis lembut.
"Sepertinya topik kita sudah melenceng. Bukannya niat awal kita mau belajar bahas soal buat masuk perguruan tinggi ya?” kilah Farah sambil membuka kain kerudung yang dikenakannya sedari tadi.
“Astaghfirullah Farah, kok kamu buka jilbab sih? Rambutmu auratmu!” tegas Balqis.
“Balqis, kita ini cuma bertiga perempuan semua, toh basecamp kita juga tertutup jadi aman jika buka jilbab di sini,” balas Jihan membela Farah.
Balqis orang yang paling religius di antara Farah dan Jihan. Dia sudah terbiasa mengenakan jilbab yang terjulur panjang. Bahkan memakai gamis yang senada dengan warna jilbabnya. Sesekali Balqis juga mengenakan cadar saat pergi hangout. Tak masalah bagi Farah dan Jihan, yang penting mereka bersama-sama.
Jika Balqis sangat menutup auratnya, berbeda Farah dan Jihan. Walaupun untuk keluar rumah dan ke sekolah mengenakan jilbab tapi tak sepanjang seperti yang dikenakan Balqis. Jihan lebih suka style hijab yang kekinian dan modis. Sedangkan Farah memakai jilbab jika ada keperluan, kalau di rumah Farah membiarkan rambutnya tergerai.
Basecamp mereka berada di belakang rumah Balqis. Dulunya ini gudang yang tak terpakai. Dua tahun lalu setelah mendapat izin dari Ustad Ahmad— ayahnya Balqis, akhirnya gudang ini boleh digunakan untuk mereka belajar bersama atau hanya sekedar membaca buku.
Basecamp ini lebih dari cukup untuk 3 orang. Bahkan ada satu rak buku isinya novel yang dibeli di toko buku atau bazar buku yang ada di kota mereka. Total ada 45 buku yang mereka beli sejak kelas satu SMA. Untuk menghemat pengeluaran biasanya mereka membeli novel yang berbeda, jika sudah selesai dibaca maka mereka saling bertukar novel.
“Kalian berencana ambil jurusan apa? kalau aku sih pertanian,” tanya Jihan disela-sela keheningan.
“Kalau aku ambil jurusan pendidikan,” jawab Balqis.
“Kalau kamu Far, mau ambil jurusan apa?” tanya Jihan.
“Belum ada target.”
***
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Ma Farah pulang,” salam Farah ketika masuk ke rumahnya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, dari mana saja kok baru pulang?” tanya mama sambil sibuk menyiapkan piring-piring untuk makan malam.
Farah mencium tangan mamanya, “Dari rumah Balqis Ma, tadi Farah sudah pamit ke papa.”
“Kebiasaan, Papamu pasti lupa enggak bilang ke Mama.”
Farah tersenyum melihat mamanya kesal. “Lain kali kalau Farah mau pergi, bakal pamit deh sama Mama,” ujar Farah untuk menenangkan mamanya.
“Ya sudahlah, benar ya lain kali harus pamit ke Mama juga. Farah tolong bantuin Mama, bawa makanan ini ke meja makan ya.”
“Memangnya akan ada tamu ya Ma? Mama masak banyak sekali?”
“Iya. Tante Lia mau kesini.”
“Tante Lia, siapa Ma? Teman Mama?”
“Farah lupa ya, Tante Lia itu yang ngurusin kamu dari bayi, saat Mama masih kerja dulu.”
“O ... iya,” jawab Farah mengiyakan, walaupun sebenarnya Farah sudah ‘benar-benar lupa’ siapa Tante Lia itu.
Ah nanti juga ketemu, pikir Farah yang sedang mondar-mandir seperti setrikaan mengambil piring-piring yang berisi lauk pauk dari dapur ke meja makan.
Setelah Isya orang yang ditunggu pun akhirnya datang. Wanita yang teduh berwajah keibuan. Memakai gamis dan kerudung serba hitam.
Cantik, pikir Farah.
Tante Lia bersama seorang lelaki tampan dan usianya lebih muda dari tante Lia. Farah menerka-nerka pasti itu anak tante Lia.
“Wah, sudah besar ya Farah, sekarang umur Farah berapa?” tanya Tante Lia saat bersalaman dengan Farah sambil mengelus puncak kepala Farah.
“Sudah 19 tahun Tante,” jawab Farah.
“Jangan panggil tante, panggil saja Bunda ya?”
“Iya Bunda.”
Jamuan makan malam tengah berlangsung. Hanya Mama, Papa dan Tante Lia— bunda yang sedang ngobrol dengan asiknya. Lelaki tadi hanya bicara irit sekali. Memperkenalkan namanya Ilham, anak kedua dari bunda Lia. Hanya berbicara saat ditanya saja. Farah bisa menebak dari raut wajahnya, jika lelaki itu sangat tidak nyaman dan mungkin bosan dengan acara makan malam ini.
Pukul sembilan malam, barulah bunda Lia dan Anak lelakinya pamit pulang. Farah membantu membereskan dan mencuci piring dan gelas kotor yang berada di meja makan.
“Farah, menurut Farah bagaimana nak Ilham tadi?” tanya Mama yang sebenarnya pertanyaan yang sedikit mengagetkan Farah.
“Tampan,” jawab Farah singkat.
“Farah suka?”
Farah mengernyitkan dahinya. “Maksud Mama?” Ia bingung dengan pertanyaan Mama kali ini.
"Sebenernya dari dulu Mama, Papa dan Tante Lia kepengen jadi besan.”
“Mama mau jodohin aku! Ma, Farah saja belum lulus dari sekolah.” Farah sedikit syok atas pernyataan Mamanya.
“Farah kan sudah besar, lagipula Nak Ilham juga baik, akhlaknya juga bagus, dan dari segi finansial sudah bisa dikatakan mapan,” ujar Mama meyakinkan.
“Mama, Farah ingin kuliah. Farah belum siap menikah,” protes Farah.
“Tapi, Mama pengen yang terbaik buat kamu sayang.”
“Terbaik? Terbaik untuk siapa! Untuk Farah atau Mama? Maaf Ma, aku punya pilihan sendiri. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.” Farah terisak, berlari menuju kamarnya.
“Mama cuma ingin melihat Farah bahagia Pa,” ucap mama yang juga terisak pada suaminya yang tadi diam mendengarkan percakapan antara ibu dan anaknya.
Papa mengangguk mengiyakan. “Sudah Ma, sudah,” Menenangkan istrinya, “Kita hargai keputusan Farah.”
***
Sebuah mobil berwarna hitam melaju lancar di jalanan lengang. Ilham yang menyetir mobil itu sedikit terkejut dengan pertanyaan dari Bundanya.
“Nak Farah menurutmu cantik enggak?”
“Namanya juga perempuan, pastilah cantik.”
“Maksud Bunda, Ilham suka enggak sama nak Farah?”
“Bunda, dia sangat kekanak-kanakan, dia masih SMA dan belum lulus,” jawab Ilham yang sebenarnya tahu arah percakapan antar dirinya dan Bundanya. “Lagipula, aku belum ada niatan untuk menikah. Aku masih sibuk Bun.”
“Kamu selalu sibuk dengan bisnismu sendiri. Setiap kali kamu pergi kerja, Bunda selalu kesepian di rumah. Bunda ingin kamu segera menikah agar ada yang menemani Bunda di rumah.”
Kali ini Ilham tidak menjawab apapun. Diam. Tak ada percakapan lagi, Ilham hanya berfokus mengemudi mobil ini agar cepat sampai tujuan. Sedikit kesal rasanya, Ilham mau menuruti permintaan Bundanya untuk ikut acara jamuan makan malam.
Senin pagi. Walaupun sudah kelas 12 dan telah melewati ujian kelulusan, tetap saja jadwal masuk masih diberlakukan. Setelah berpanas-panas selama hampir dua jam karena upacara bendera, Farah dan dua sahabatnya memutuskan untuk belajar membahas soal ujian masuk perguruaan tinggi di perpustakaan.
Selain ini jam pelajaran dan kondisi pepustakaan yang sepi, cocok untuk suasana belajar ditambah lagi ada lima unit komputer tersedia di perpustaakan memudahkan untuk mencari bahan soal.
Melihat Farah yang sedari tadi lesu, lemas dan terlihat tidur dengan posisi duduk membuat Jihan ingin menjahilinya. Lantas saja Jihan menyobek selembar kertas dari bukunya lalu meremas-remas kertas tadi membuatnya menjadi bulat seperti bola kertas dan melemparkan ke arah Farah.
Benar saja Farah langsung bangun, kesal dengan perlakuan Jihan. Namun Jihan tertawa bahagia melihat sahabatnya dengan raut muka masam. Balqis yang melihat kejadian itu hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Ada apa sih Far? Dari tadi terlihat enggak semangat gitu? Kalau ada masalah cerita aja, mungkin aku bisa bantu?” tanya Balqis seakan paham apa yang sedang Farah rasakan.
“Paling ini anak semalam maraton lihat serial cinta-cintaan,” celetuk Jihan disusul gelak tawanya.
Demi melihat tatapan tajam Balqis ke arah Jihan, pertanda Balqis menyatakan, ‘Ini keadaan serius, please jangan bercanda Jihan!’
Jihan yang tadi bersorak-sorak gembira menjahili Farah akhirnya terdiam berusaha mengunci mulutnya yang tertawa agak keras.
Beruntung petugas perpustakaan sedang tidak berada di perpustakaan ini. Jika petugas perpustakaan itu ada pastilah mereka sudah diusir keluar karena membuat suara yang sangat gaduh.
Balqis menyentuh pundak Farah dan membetulkan sedikit rambut yang keluar dari kerudung Farah. Terlihat sangat kacau penampilan Farah ini. Setuhan Balqis ajaib membuat Farah tenang.
Farah mulai membetulkan sikap duduknya. Ia mulai bertanya pada dua sahabat di hadapannya, “Menurut kalian, bagaimana rasanya menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orang tua?”
“Memang siapa yang akan dijodohkan?” tanya Balqis lembut. Inilah kelebihan Balqis, dia bisa menjadi orang tua, kakak, sahabat bahkan guru di waktu yang tepat.
“Jawab saja pertanyaanku!” terdengar nada Farah sedikit dipertegas meminta keseriusan jawaban atas pertanyaanya.
Tanpa diminta Jihan sudah angkat bicara menjawab pertanyaan Farah dengan nada berapi-api, “Kalau aku sih enggak setuju, hidup kita yang menentukan. Dipaksa itu tidak enak. Kita punya pilihan sendiri terhadap kriteria pasangan yang kita pilih.”
“Tidak semua yang dijodohkan itu terpaksa. Abah dan umiku juga dijodohkan, tapi mereka saling mencintai satu sama lain. Tak pernah aku mendengar mereka bertengkar,” jawaban Balqis yang sangat bertolak belakang dengan Jihan.
“Tapi Balqis, menikah itu ibadah seumur hidup, maka harus dipersiapkan sebaik mungkin, memang kamu mau menikah dengan orang yang tidak kamu kenal kepribadiannya? Bagaimana mengendalikan emosinya? Bagaimana sifatnya? Bagaimana pekerjaanya?” balas Jihan dengan nada berapi-api. Jelas Jihan mempertahankan argumennya.
“Iya, tapi apa kamu berfikir kalau yang dipilihkan orang tua itu adalah yang terbaik? Bukankah ridho orang tua menuntun ke arah yang lebih baik?” balas Balqis tenang tapi tetap tidak mau mengalah.
Mereka terus saja berdebat, lupa siapa yang bertanya. Farah memutuskan untuk pergi ke kantin daripada mendengar sahabatnya berdebat. Tanpa sepengetahuan Jihan dan Balqis, Farah meneteng tas ranselnya berjalan menuju ambang pintu keluar perpustakaan. Meninggalkan mereka yang tengah asik sekali mempertahankan perdebatan itu.
Masih terdengar sayup-sayup mereka adu debat walaupun Farah sudah berada di luar perpustakaan.
“Ternyata berisik juga ya mereka,” guman Farah.
Perut Farah sudah tidak bisa mentolerir rasa lapar ini, tadi pagi ia sengaja menghindari sarapan agar tidak bertemu dengan mamanya. Farah masih kecewa dengan keputusan mamanya semalam.
“Mungkin dengan semangkuk soto dan nasi akan membuat moodku lebih baik,” guman Farah.
***
Musim hujan tiba menggantikan musim kemarau. Musim yang paling disukai oleh Farah. Dengan hujan turun Farah tidak harus menyirami kebun bunga kecil yang ada di belakang rumahnya. Bagi Farah hujan selalu menyenangkan. Hujan mampu menyembunyikan air mata yang keluar.
Sekali waktu Farah membiarkan dirinya basah kuyup diserbu ribuan butir hujan yang jatuh dari langit. Hujan mengguyur beberapa hari ini intensitasnya cukup deras, tak peduli waktu pagi, siang, dan malam, air yang jatuh dari langit itu tetap turun.
Kejadian tentang perjodohan itu lambat laun memudar. Mama dan Papa sudah tidak membahas lagi tentang ini. Farah sedikit lega, orang tuanya tahu apa yang diinginkan anak tunggalnya ini. Farah sudah bisa berdamai dengan mamanya. Hubungannya sudah tak serenggang beberapa waktu lalu.
Masih berkutat dengan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, Farah memutuskan membuat susu coklat hangat untuk menemani belajarnya. Sepagi ini hujan sudah turun membuat awan menjadi warna kelabu. Farah tidak berniat untuk bermain hujan, ia tahu seminggu lagi dia menjalani tes ujian masuk perguruan tinggi, itu sebabnya ia menjaga kesehatannya.
Terdengar suara pintu diketuk. Pintu kamar Farah tidak dikunci. Mama masuk ke kamar Farah melihat putrinya tenggelam dalam belajar.
“Farah ....” terdengar suara lembut Mama.
“Mama dan papa akan menjengguk Tante Sarah ke rumahnya, Tante Sarah baru saja melahirkan anak keempatnya. Farah mau ikut?” tanya Mama
Farah menimang ajakan Mama. “Aku enggak ikut ya Ma, salam aja buat tante Sarah,” jawab Farah sambil cengar-cengir.
“Sekarang masih hujan Ma, apa tidak sebaiknya nanti aja?” Walaupun di luar tampak hujan tidak terlalu deras, Farah sedikit khawatir.
“Tenang, hanya gerimis saja. Mama berangkatnya sama papa naik mobil.”
“Harus hari ini ya? Enggak bisa besok-besok gitu?”
“Sayang, Tante Sarah sudah Mama anggap seperti adik kandung sendiri. Udah Mama berangkat dulu ya, jagain rumah.”
“Siap ibu negara,” balas Farah sambil berdiri memberi hormat.
Mama hanya tertawa melihat tingkah putrinya. Akhirnya mama pergi bersama papa. Farah mengantar sampai pintu depan.
Mungkin mama juga kepengen jalan berdua sama papa, pikir Farah.
Mama dan papanya termasuk pendatang di kota ini jauh sebelum Farah lahir. Mama terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Dan papanya terlahir sebagai anak tunggal. Namun naas adik mama meninggal karena terserang DBD saat masih balita. Akhirnya mama menjadi sendirian. Mungkin sebab itu mama sering sekali ‘menjadikan’ sahabatnya seperti saudara sendiri, termasuk Tante Sarah dan Bunda Lia.
Farah kembali ke rutinitas semula, berkutat dengan soal-soal. Sesekali pikirannya gelisah karena kepergian orang tuanya. Berpikir jarak antar rumahnya dan rumah tante Sarah sekitar 30 kilometer, itupun jalanya menanjak curam karena rumah Tante Sarah di daerah pegunungan.
“Nanti kalau terjadi apa-apa ....” Ah Farah menepis pikiran jelek itu. Farah berdoa agar Allah melindungi orang tuanya selamat sampai tujuan. Farah kembali pada lembar-lembar soalnya.
Gelisah. Entah mengapa hati ini rasanya tak tenang. Sesekali Farah melirik jam. Sudah sore, mengapa papa dan mama belum pulang juga. Ditambah dari tadi pesan singkat yang dikirim tidak dibalas, bahkan telepon pun tidak diangkat.
Tak lama muncul mobil lain sudah melesat menuju depan pintu. Farah yang melihat dari jendela segera menuju pintu depan, memakai kerudung instan dan membuka pintu. bunda Lia yang datang diantar oleh pak Parmin sopirnya.
“Bunda? Ada apa? Papa dan Mama sedang pergi Bunda,” ucap Farah.
“Farah sayang, ayo ikut Bunda ya, sebentar saja,” jawab Bunda sambil mengelus puncak kepala Farah.
Seperti tersihir, Farah mengikuti ajakan Bunda. Hujan masih saja turun. Bunda mengajak Farah menuju rumah sakit. Farah heran mengapa, dari awal berangkat bahkan di dalam mobil, bunda tidak bercerita tentang apapun. Farah masih bingung.
“Kuatkan hatimu Sayang,” kata Bunda dengan suara tercekat.
Farah masih tidak bisa mencerna kata-kata Bunda. Bayang-bayang mengerikan tentang papa dan mama bermunculan di pikiran. Farah menguatkan hati, menepis semua kemungkinan itu. Sesampainya di kamar yang dituju, Tangisan Farah pecah. Melihat Mama yang tergolek lemah di tempat tidur itu. Banyak selang berseliweran menempel di tubuh Mama.
Kata Bunda, Mama dan Papa mengalami kecelakaan setelah pulang dari rumah Tante Sarah. Farah menangis sejadi-jadinya. Mencoba berteriak mencari papa. Tapi Bunda mencegah dan memeluk Farah erat. Bilang jika papa Farah meninggal dalam kecelakaan itu. Hanya Mama yang masih bisa terselamatkan dan masih belum sadar hingga sekarang.
“Papaaa! Mengapa Papa meninggalkan Farah,” tangis Farah, Bunda ikut menangis mendengar rengekan itu. Bunda memeluk Farah erat sekali.
Tiba-tiba Mama tersadar. Bunyi alat itu nyaring sekali. Farah mencoba melihat mama.
“Fa-rah sa-yang. Ma-ma su-dah ti-dak ku-at. Ma-ma i-ngin i-kut Pa-pa. Fa-rah i-kut Bu-nda ya. Lia ti-tip anakku,” suara Mama terbata-bata.
Bunda yang menyadari segera memanggil dokter. Farah melangkah mundur agar tidak menganggu dokter dan perawat untuk mengecek kondisi mama. Dokter sangat berusaha keras. Seketika dokter menatap Bunda, dokter itu menggeleng-geleng kepalanya, tanda dia sudah menyerahkan kepada Allah. Bunda langsung menghampiri tubuh mama membisikkan kalimah syahadat.
Mata Farah terbelalak, ia lepas kendali, meraung dan menangis. Farah bangkit ingin meraih tubuh mama. Ia mengutuk diri ini. Tak percaya.
Harusnya aku bisa mencegah mama dan papa untuk pergi!
Batin Farah berteriak.
Tiba-tiba semua nampak gelap. Gelap. Dan sunyi.
***
Farah membuka mata, merasa tak asing melihat langit-langit ruangan ini. Melihat sekitar, tak salah lagi ini kamar Farah. Ia mengingat apa yang terjadi. Orang tua Farah telah tiada. Langsung saja ia keluar melihat rumah yang dipenuhi para pelayat.
Farah menangis ingin mendekati jenazah Papa dan Mama yang sudah dibalut dengan kain kaffan. Bunda yang melihatnya langsung mencegah dan menenangkan Farah.
Farah bersikukuh ingin ikut ke pemakaman tempat Papa dan Mama di makamkan.
“Farah boleh ikut, tapi Farah harus janji tidak boleh menangis,” ujar Bunda.
Farah hanya mengangguk. Ternyata kedua sahabatnya, Jihan dan Balqis ada diantara para pelayat ini. Jihan dan Balqis menemani dan menguatkan Farah agar tabah menjalani takdir ini. Akhirnya jenazah Mama dan Papa diberangkatkan menuju pemakaman.
Tubuh mereka ditimbun tanah dan makam mereka ditaburi bunga. Walaupun Farah sudah berjanji agar tidak menangis saat di pemakaman, tetap saja rasa sedih ini tidak dapat dibendung. Farah menangis lagi. Tak percaya jika hari ini ia menjadi sendirian.
“Ma, Pa. Farah sayang kalian. Sekarang Farah sendirian,” tangis Farah di tengah puasara mama papanya. Tangisan yang membuat pilu bagi yang mendengarnya. Tiba-tiba hujan turun. Sesuai janji hujan. Menyembunyikan air mata yang keluar.
Para pelayat berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Ada yang sudah membawa payung termasuk bunda. Bunda datang dan sedikit menyeret Farah agar ikut pulang. Hujan semakin deras menjatuhkan tetesnya lebih sering.
Sesamapai di rumah, Farah duduk di sofa, bajunya basah. Bunda mengambilkan air hangat untuk membersihkan tangan dan kaki Farah yang kotor karena terkena tanah basah kuburan.
“Farah sudah makan?”
Tak ada jawaban.
“Bunda buatkan makanan ya untuk Farah?” ucap Bunda lagi.
Farah menggeleng. Ia tidak ingin makan juga tidak lapar. Farah beranjak menuju kamarnya mengganti baju yang basah.
“Farah mau ke mana?” cegah Bunda.
“Ke kamar, ganti baju.”
Farah berjalan dengan menunduk menuju kamar. Rasanya baru tadi pagi ia bercengkrama dengan mama. Sarapan bersama membahas ingin mengambil jurusan apa nanti saat kuliah. Farah memandang soal-soal yang dikerjakan tadi. Tak ada niat untuk kembali berkutat dengannya.
Setelah berganti baju, Farah merebahkan diri memandang langit-langit kamar. Ia merasa teramat sangat kehilangan serta merasa hari ini adalah hari yang paling panjang dan buruk.
Ingin Farah menangis dengan lantang, menentang takdir ini. Berteriak pada Allah menanyakan apakah mama dan papanya bisa kembali walau hanya semenit? Tidak. Farah tidak melakukannya, suara itu selalu berhenti di tenggorokan. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis lagi, walau beberapa tetes air mata merembes keluar. Hangat rasanya membikin matanya sembab.
Suara ketukan pintu membuyarkan imajinasi yang Farah lihat di langit kamarnya. Bunda masuk ke kamar Farah membawa sup hangat. Baunya nikmat sekali, namun Farah sedang tidak berselera. Ia merasakan hampa dalam hati dan tubuh ini.
“Bunda bawakan sup. Mumpung masih hangat dimakan ya sayang,” ucap Bunda.
Farah bangun, terduduk di kasur. Saat Bunda menyuapi Farah, Ia menggeleng tanda menolak. terlihat Bunda hanya tersenyum tipis.
“Bunda tahu, Farah kehilangan mama, kehilangan papa. Bukan hanya Farah saja yang merasa kehilangan, Bunda juga merasa kehilangan sahabat yang sudah Bunda anggap seperti saudara sendiri. Bunda tahu ini menyakitkan buat Farah, tapi Farah harus tabah, doakan yang terbaik untuk mama dan papa,” ujar Bunda lembut penuh kesabaran.
Mendengar kata-kata Bunda, air mata Farah merembes lagi, ia sadar meskipun menolak semua takdir ini sudah tak ada gunanya. Bunda memeluk Farah, membiarkan Farah menangis dalam dekapanya.
Ternyata Bunda baik seperti Mama.
“Sekarang Farah menjadi tanggung jawab Bunda, mama Farah menitipkan kamu pada Bunda. Sekarang Farah makan ya, meskipun sedikit Farah harus makan.”
Farah mengangguk, Bunda benar, sebelum mama meninggal, mama bilang harus ikut Bunda.
Akan aku turuti permintaan mama
***
Sudah beberapa hari berlalu setelah kematian mama dan papa. Farah masih belum merelakan mereka. Bunda sudah harus pulang, sebenarnya bunda ingin Farah ikut agar tinggal di rumahnya, namun Farah menolak, ia bersikukuh tetap tinggal di rumah ini. Rumah yang penuh sesak dengan kenangan bersama mama dan papa. Bunda mengiyakan permintaan Farah dan baiknya Bunda mengutus seorang asisten rumah tangga yang bernama Mbak Jum untuk menemani dan memenuhi semua kebutuhan Farah.
Awalnya Farah juga menolak niat baik bunda karena Ia tidak membutuhkan asisten rumah tangga. Tapi bunda menyakinkan Farah untuk menerima niat baik ini, Bunda yang menanggung semua biaya Mbak Jum.
Sesekali Jihan dan Balqis mampir ke rumah untuk menjenguk Farah, terkadang Balqis membawakan makanan yang dimasak oleh uminya. Tapi tetap saja rasa makanan seenak apapun terasa hambar ketika merasa kehilangan.
Farah pernah mencoba memakan hidangan yang disajikan Mbak Jum sebenanya masakannya lezat. Saat mencium baunya tapi karena teringat mama dan papa, ia menangis. Farah makan sambil menangis. Sesak dada ini, rasanya hampa.
Sesekali Farah masuk ke kamar mama dan papa, ia membuka lemari mereka, masih sama, baunya pun masih sama belum berubah. Farah mengambil pakaian mama lalu menghirup aromanya, rasanya mama masih ada, ia memeluk pakaian itu sambil merebahkan diri di kasur.
Lagi-lagi air mata ini mengalir, Farah belum sepenuhnya ikhlas, masih berat sekali. Pernah ia melakukan seperti itu sampai tertidur. Rasa kehilangan, rasa hampa, kesepian penuh sesak, mata sembab terlalu lelah mengerluarkan air mata.
Doa yang Farah ucapkan dalam satu kali lebih tak bisa menukar takdir Allah walau hanya sedetik. Tubuh Farah roboh, tak kuasa merasakan semuanya.
Gelap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!