Visual Tama Sean Wijaya : Jaehyun NCT 127
Visual Sora Abigail : Mintranch (Thai actrees)
***
“Mhhhh, Tam… enak banget, Tam…”
“Punya lo hangat banget, Ra. Gue selalu suka.” Tama meremas pinggang Sora dan membuat miliknya semakin dalam menghujam. Walau dalam posisi duduk seperti ini, dia tetap bisa mencapai kedalaman maksimal dari milik perempuan itu.
Sora melenguh. Punggungnya meliuk ke belakang saat Tama memainkan salah satu puncak dadanya dengan lidah dan bibir. Kedua matanya menutup dan membuka secara bergantian. Tangannya meremas pundak Tama yang cukup lebar karena tidak kuasa menahan rasa nikmat yang kini mendera.
“Tama, ngghhh.”
“Gue mau keluar, Ra. Lo udah mau nyampe?”
“Hm-mh.”
Tama memagut bibir seksi Sora sambil mempercepat gerak pinggulnya. Ini jam istirahat dan siapapun bisa saja masuk ke dalam toilet. Mereka harus segera menuntaskan hasrat yang sejak tadi minta disalurkan.
Geraman Tama serta lenguhan Sora tertahan dalam dua rongga mulut yang saling memagut. Saat kecepatan Tama semakin bertambah, itu artinya laki-laki itu sedang berusaha meraih klimaks. Oleh karena itu, Sora juga harus mengimbanginya dengan fokus untuk mengejar puncaknya sendiri.
“Akhhhhh!!!” Kedua insan itu sama-sama menahan pekikan. Punggung Sora kembali terlempar ke belakang bersamaan dengan pinggulnya yang semakin menekan Tama. Akhirnya… setelah lima belas menit bercumbu, mereka mencapai puncak kenikmatan yang begitu dahsyat.
Tubuh Sora terkulai lemah dalam pelukan pria yang juga sedang terengah. Keduanya tengah menikmati detak jantung yang seirama dengan denyutan di area intim yang masih menyatu.
“Punya lo… kayaknya nyedot semua isi punya gue deh. Untung pakai pengaman.” Tama bergurau dengan napas yang masih tersengal. Sora berusaha tertawa menanggapi. Namun sepertinya dia terlalu lelah, sehingga hanya bisa tergelak kecil.
Tiga menit berlalu, Sora akhirnya menegakkan tubuh. Seakan sudah menantikan itu, Tama menatapnya sambil tersenyum kecil.
“Puas?” Pria itu meledek.
“Puas. Lo puas juga ‘kan? Soalnya kita kayak buru-buru banget.”
“Kapan sih gue nggak puas sama lo? Liat aja tuh, si Tama junior. Nggak mau lepas dia.” Tama menunjuk dengan dagu tengah-tengah tubuh mereka. Juniornya memang belum menyusut. Seperti masih ingin lagi dan lagi.
Laki-laki itu kemudian menarik juniornya dengan tangan kanan, berlanjut menyentuh lahan basah milik Sora.
“Sshhhh, udah, Tam. Mau ngapain lagi?” Perempuan itu kelimpungan, karena jari-jari Tama kembali bermain di area kewanitaannya yang masih menyisakan kedutan. Namun protesnya tidak membuahkan hasil. Tama malah menatapnya dengan intens, seperti ingin melihatnya bereaksi.
Sudah pasti Sora bereaksi. Dia mendesah persis di sebelah telinga laki-laki itu. “Udah, Tam. Gue udah nggak kuat, argghhh,” pintanya, tersiksa.
“Lo bisa dapet dua kali, Ra. Come on.”
“No no no, arghh, Tam— arghhhh!!” Sora kembali kehilangan akal. Untuk yang kedua kalinya, Tama berhasil mendatangkan sensasi nikmat untuknya. Sora benar-benar sudah gila. Dalam waktu dua puluh menit, dia bisa mencapai puncak sampai dua kali.
***
Sebuah panggilan masuk dari Tama membuat perhatian Sora teralih. Yang tadinya sedang melotot pada lembaran kwitansi, berpindah pada benda pipih yang layarnya sedang berkedip-kedip.
“Ya, Tam?”
“Lo mau Bear Brand? Sekalian nih gue beliin.”
“Lo lagi di supermarket depan?”
“Hm-m. Mau nggak?” Terdengar bunyi botol dikeluarkan dari dalam lemari pendingin. Sepertinya Tama memang sedang berada di supermarket yang ada di seberang kantor.
“Nggak usah itu. Hydro aja, please?”
“Oke. Itu aja?”
“Itu aja. Thank youuu.”
“Ok. Dah.” Tama menyudahi panggilan. Kemudian dia mengambil dua kotak air kelapa dalam kemasan yang dimaksud Sora. Membawanya ke kasir dan melakukan pembayaran. Tidak lupa dia juga membayar UC-1000 yang barusan dia ambil untuk dirinya sendiri.
Kembali ke kantor, laki-laki dua puluh tujuh tahun itu langsung masuk ke dalam lift, menuju lantai dua. Lantai ruangan AR, divisi dia dan Sora bekerja. By the way, Tama adalah Supervisor AR di perusahaan yang bergerak di bidang FnB ini. Dia punya enam anggota tim, dan Sora adalah salah satunya.
“Woi, Bos. Dari mana, Bos?” Axel, salah satu bawahan Tama, menyapa sesaat setelah dia membuka pintu kaca. Yang lain terlihat sedang duduk di kubikel masing-masing.
“Lunch lah. Mau ke mana lo?” Tama balik bertanya.
“Perasaan jam lunch udah dari tadi deh Bos, hehe. Ini mau ke bawah, Bos. Mau ke ruang marketing. Bos mau nitip sesuatu nggak?”
“Bilangin, kerja tuh yang bener. Marketing kok nggak bisa bedain mana surat jalan, mana invoice?"
“Oke deh, gue sampein ke mereka. Tapi kalau nanti Pak Andre balik ngomel, Bos yang tanggung jawab ya?”
“Halah berisik! Udah, sana lo!” Tama menimpuk Axel dengan ponsel. Tidak keras, karena dia cuma bercanda. Axel juga menanggapi dengan kekehan kecil sebelum akhirnya keluar dari ruangan.
Tama kemudian menghampiri kubikel Sora dan meletakkan bungkusan berwarna putih di atas meja.
“Makasih, Pak Bos. Gratis ‘kan?” Wanita itu langsung mengeluarkan Hydro dan menusuk bagian atasnya dengan sedotan. Dia sangat membutuhkan ini. Klimaks sebanyak dua kali membuat tubuhnya kehilangan banyak cairan.
"Kalau lo mau bayar, boleh. Kalau enggak juga nggak apa-apa. Palingan insentif lo gue potong sepuluh kali lipat.”
“Tega bener. Udah, gue bayar aja.” Sora mencari nota bon di dalam kantong plastik. Tapi tidak ada. “Mana bonnya?”
Tama mendelik. Seperti ingin bilang ‘seriously mau bayar?’ Tapi bukan Tama dan Sora namanya kalau tidak debat kusir untuk hal-hal absurd seperti ini.
Seperti Sekarang, Tama membiarkan Sora merogoh saku kemejanya, berharap secarik kertas yang sedang dia cari akan ada di dalam sana. Dan itu bukanlah pemandangan baru untuk teman-teman mereka yang lain. Siapa pun tau kalau dua orang ini punya hubungan layaknya Tom and Jerry. Sebentar baikan, sebentar berantem.
“Mana? Gue nggak mau ya insentif gue dipotong!” Sebuah tepukan keras melayang di punggung Tama. Begitulah kalau mereka sedang di depan umum. Beda cerita kalau sedang berduaan dan bercumbu. Mana ada tepuk menepuk. Adanya elus sana elus sini.
“Iya iya iya! Bawel!”
Sora menjulurkan lidah senang, kemudian kembali ke kubikelnya sendiri. Bercandanya cukup sampai di situ dulu karena pekerjaan sudah memanggil. Tama juga sudah kembali menyentuh mouse untuk mengaktifkan layar komputer.
Suasana ruangan kembali hening. Kayla, Jo dan Julian masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang sengaja memakai ear pods agar tidak terkontaminasi oleh keributan yang seperti tadi. Yaitu Julian. Anak introvert yang paling pendiam dari mereka semua. Sebelas dua belas dengan Kayla yang tidak terlalu banyak bicara. Sangat berbanding terbalik dengan Tama-Sora yang selalu bising.
Sora sedang me-review list uang masuk dari kolektor saat logo pandion di task bar-nya berubah warna menjadi kuning. Pertanda ada orang yang mengirim chat baru ke akun miliknya. Yang pasti itu dari teman kantor, karena aplikasi itu adalah media berkirim pesan untuk internal perusahaan.
Ternyata dari Tama. Tama Sean Wijaya.
“Habisin tuh minumannya. Biar energinya balik.”
Bibir perempuan itu terlipat ke dalam menahan senyum. Meja Tama ada di depan, berhadapan dengan enam kubikel yang membentuk huruf ‘u’. Dan posisi Sora berada persis di depan laki-laki itu. Membuatnya bisa dengan leluasa melirik Tama, tanpa harus ketahuan yang lain.
Seakan tau Sora sudah membaca pesannya, Tama juga melirik sekilas ke depan, lalu mengangkat satu alisnya. Berlagak cool.
“Iyaaaaaa. Beneran insentif gue nggak dipotong kan, Tam? Lo ikhlas kan bayarin minum gue?”
“Ikhlas lah. Kan supaya biar lo bisa bertenaga lagi, kayak tadi.” Tama mengimbuhkan satu emoji melet alias menjulurkan lidah.
Sora geleng-geleng kepala. Apa Tama bermaksud untuk mengajaknya bercinta lagi besok? Tolong lah, nggak harus tiap hari juga kan?
“Mimpi lo. Udah, balik kerja. SPV kok kerjanya godain bawahan.” Sora ikut-ikutan menambahkan emoji serupa.
“He he he he.”
Sora memilih untuk mengabaikan pesan terakhir itu agar mereka tidak terlena. Berkomunikasi dengan Tama, entah itu langsung maupun lewat media chat, sudah pasti selalu membuatnya ketagihan. Seperti ada magnet yang membuat dia tidak ingin menyudahi obrolan dengan laki-laki ini. Dan itu jelas tidak baik, mengingat dia belum membuat report untuk sore nanti. Walaupun Tama lah yang sering menggodanya duluan, laki-laki itu akan tetap bawel kalau Sora telat menyetor report.
Rupanya Tama yang belum puas. Dia kembali mengirim pesan, yang kembali membuat Sora geleng-geleng kepala.
“Ralat. Bukan besok. Tapi malam ini. Di apartemen lo atau apartemen gue?”
Sora kembali melirik ke depan. Tama sedang menggerakkan satu alisnya seperti mengajaknya bernegosiasi. Mereka memang tinggal di apartemen yang sama. Bahkan terdapat di lantai yang sama dan unitnya sebelahan.
Waktu itu, demi bisa sering-sering nebeng tidur, Tama sengaja menyewa unit kosong di sebelah unit milik Sora. Gila memang. Tapi itulah yang terjadi di antara mereka berdua. Candu satu sama lain.
“Serah! Udah deh Tammmmm, gue nggak akan kelar bikin report nih!”
Yang diomelin tiba-tiba tertawa sendiri, seperti orang gila.
“Kenapa lo, Bos? Kalau gila jangan di sini dong. Takut gue.” Jo menegur bercanda. Jo dan Axel ini sebelas dua belas jiwa humorisnya.
Tama tidak menjawab. Namun tetap terdengar sedang menahan tawa saat mengetik sesuatu di keyboard.
“Di apartemen gue. Pakai lingerie lo yang paling seksi.”
***
Author's note :
Halo semuanya. Jangan lupa follow IG, TT dan FB author untuk visual-visual keren novel ini ya. Username-nya sama semua yahh : 'authormamamima'. Terima kasih sayang-sayangku.
Flashback enam bulan yang lalu, awal dimulainya hubungan friend with benefits di antara Tama dan Sora.
“Lo lagi ngapain sih?” Sejak tadi Tama melihat Sora sedang bercermin dan hanya fokus pada bibirnya saja. Gadis itu manyun ke kiri, ke kanan dan membuat wajah ala-ala duck face. Membuat Tama jengah dan terdorong untuk bertanya apa yang sedang dia lakukan.
“Tam, lo udah pernah kissing kan? Rasanya apa? Caranya gimana?” Tiba-tiba perempuan itu menodong Tama dengan pertanyaan yang tidak masuk akal. Pertanyaan macam apa itu?
Tama yang tadinya hendak keluar dari ruangan, tiba-tiba menghentikan langkah. Kebetulan hanya ada mereka berdua di dalam sana. Sehingga Sora berani melontarkan pertanyaan vulgar itu secara gamblang.
“Lo… sakit?” Tama menempelkan punggung tangannya di kening perempuan itu. Perempuan yang sudah menjadi partner kerjanya selama empat tahun terakhir.
“Ih, gue serius, Tam. Lo kan udah sering gonta-ganti pacar. Pastinya udah sering kissing dong.”
“Trus? Lo, mau kissing emang?” Tama mengernyitkan dahi. Curiga. Setahunya si sableng ini belum punya gebetan.
“Gue udah dua puluh tujuh, tapi belum pernah kissing. Nyokap gue bilang, dia udah atur kencan buta buat gue besok. Barang kali gue lucky, bisa kissing sama itu orang.” Sora menjawab dengan santai sambil memoles bibirnya dengan lip tint berwarna merah muda. Dan coretan lip tint itu tiba-tiba megenai pipi karena Tama menoyor kepalanya dari belakang.
“Iiihhhhhhh! Apa-apaan sihhhh!” Sora yang kaget tentu saja berubah kesal.
“Sembarangan aja lo. Kalau dia punya penyakit gimana? Nggak boleh, Sora.” Tama mengabaikan kekesalan Sora, dan menarik satu kursi terdekat untuk duduk di sebelahnya. Dilihatnya Sora membersihkan lip tint di pipi dengan kapas yang barusan dia tetesi micellar water.
“Lo mau kissing?” Tama bertanya lagi, mengulangi pertanyaannya yang tadi.
“Kalau enak, gue mau.”
“Ya enak. Tapi kalau sama orang yang tepat. Kalau enggak, mau se cakep apapun dia, lo tetap nggak akan bisa menikmati. Intinya harus tepat di hati lo.”
Sora kemudian menepuk pipinya dengan loose powder berwarna natural. “Mana lah gue tau siapa yang tepat. Kalau ada yang tepat, udah dari dulu kali gue pacaran,” sahutnya enteng.
“Lo mau nyoba sama gue?”
“HAH!” Sora kaget mendengar penawaran itu. “Gila lo!”
“Ya coba aja dulu. Dari pada lo ciuman sama orang lain yang sama sekali nggak lo kenal. Mending sama gue. Lo udah kenal baik, sejak empat tahun yang lalu.”
Sora langsung geleng-geleng kepala. “Mana ada orang temenan ciuman, Tam. Jangan ngasal lo.”
“Ya kita. Itu juga kalau lo mau. Pokoknya gue nggak mau dengar lo ciuman sama laki-laki sembarangan. Gue kepret lo!” Tama lagi-lagi menoyor kepala Sora dari samping. Untung saja perempuan itu sudah selesai berdandan.
Merasa ultimatumnya sudah cukup keras, Tama beranjak lagi dari kursi dan berniat ingin pergi. Namun, tiba-tiba Sora menahan tangannya.
“Eh, lo nggak lagi punya pacar kan tapinya?” Sepertinya dia tiba-tiba berubah pikiran.
“Kenapa memangnya?”
“Kalau gue terima tawaran lo, gue nggak bakal nyium pacar orang kan? Ntar gue dikira pelakor!”
Senyum di wajah Tama muncul. Mau tapi gengsi. Sora banget memang.
“Nggak. Gue lagi jomblo.”
“Ya udah, mau. Tapi ngajarin doang loh ya?!”
***
Jujur, berteman selama empat tahun sebagai rekan kerja yang absurd, tentu saja membuat Tama sedikit berdebar saat Sora menerima penawarannya. Padahal tadi dia hanya bercanda. Dia hanya tidak ingin perempuan itu kissing dengan sembarangan orang. Dia melarang bukan karena ‘pas’ atau ‘tidak pas’, tapi karena resikonya terlalu besar. Bisa berujung di kasur. Dan Tama tidak menginginkan Sora terjebak.
Lantas, apakah itu berarti dia berharap perempuan itu terjebak bersamanya saja? Entahlah. Sora itu perfect. Cerdas, aktif, lugas, dan cantik tentunya. Hanya saja pertemanan mereka yang sudah terlalu lama, membuat Tama merasa tidak pantas untuk menaruh rasa yang berbeda.
Mereka sudah terlalu nyaman seperti ini. Berteman akrab, lebih leluasa ngapa-ngapain ketimbang ada hubungan spesial yang lain. Tapi… entah kenapa Tama kepikiran untuk menawarkan diri jadi partner ciuman pertama wanita itu. Padahal tidak seharusnya dia coba-coba.
“Ayo.” Dia mengetuk board kubikel Sora saat jam kerja selesai. Perempuan itu sedang beres-beres perlengkapannya.
“Jadi?” tanya perempuan itu balik. Seakan tidak percaya.
“Jadi lah. Lo mau kan? Atau nggak jadi aja nih?”
“Lo nggak penyakitan kan?”
“Brengsek lo. Enggak lah! Ayo cepetan! Gue kunci nih ruangan,” ancam Tama setelah yang lain sudah keluar. Kembali, hanya tertinggal mereka berdua.
“Ish tungguin, Tam!” Sora cepat-cepat berdiri hendak membawa tasnya. Namun Tama benaran sudah mengunci pintu ruangan. Dari dalam.
“Loh?” Wanita itu kebingungan.
Tama berbalik. Tangannya memanjang mematikan satu lampu, sehingga hanya satu yang tersisa, di sudut ruangan. Membuat ruangan itu tidak terlalu terang, tidak gelap juga.
“Kita belajarnya di sini aja.” Laki-laki itu melepas kembali ransel dan meletakkan benda itu di sembarang meja.
“Serius? Ada cctv, Tama! Jangan nekat.”
“Gue tau blind spot-nya.” Tama menarik pergelangan tangan Sora dan membawa perempuan itu ke pojok ruangan, persis di bawah cctv. Blind spot.
Punggung perempuan itu membentur pelan tembok ruangan karena Tama memang membuat posisinya demikian. Oke, belum ada debaran sama sekali.
“Lo mau kissing yang gimana? Nempel doang? Atau yang deep kiss? Atau french kiss?” tanya Tama, seperti sudah sangat ahli.
“Itu apa? Gue nggak tau. Menurut lo, harus yang mana dulu kalau masih pemula kayak gue?" Sora juga menjawab dengan polosnya.
“Oke. Lo… lo pegang pinggang gue.” Tama menunjuk pinggangnya. Sora dengan baik menurut. Namun saat posisi mereka menjadi sangat dekat, jantungnya melonjak kecil. Dia dan Tama belum pernah sedekat ini.
“Ehm.” Tama berdehem sambil mengangkat kedua tangannya untuk merangkum wajah Sora. Dia juga mulai dilanda rasa gugup. “Kalau nggak suka, langsung lepas aja. Oke?”
“Oke.”
“Gue nggak akan ajarin langkah-langkahnya. Langsung praktek. Contoh apa yang gue lakukan ke lo. Udah, itu aja materinya. Kalau lo nyaman, lo bakalan bisa melakukan hal yang sama ke gue.”
Lagi-lagi Sora mengangguk. Aslinya dia sudah sangat berdebar di dada. Namun harus menahan diri demi pengalaman pertama yang mengesankan.
Debaran itu semakin menjadi saat wajah Tama mendekat. Sungguh, mereka belum pernah melakukan kontak mata yang sangat intens seperti ini. Walau suasananya sedikit remang, Sora bisa melihat iris kecoklatan milik Tama dengan sangat jelas.
Hingga akhirnya sentuhan pertama itupun terjadi. Bibir lembut Tama menempel di bibir Sora. Ra-rasanya lucu sekali. Kenyal dan tebal.
“Sampai di sini aman?” Tama bergumam dengan bibir yang masih menempel.
“Hm-m.”
“Oke, lanjut.” Laki-laki itu membuat celah di bibirnya untuk menyesap bibir Sora. Dan saat itu, Sora merasakan kelembaban serta rasa hangat dari dalam rongga mulut Tama. Rasanya aneh, tapi sekujur tubuhnya bereaksi. Merinding. Apalagi saat Tama menyesap semakin dalam dan kuat.
Debaran jantung Sora semakin memburu. Oh perasaan apa ini? Perutnya seperti diperas dan dikocok dalam waktu yang bersamaan. Rasa yang sama seperti setiap kali Tama mencubit tangannya, atau menarik rambutnya dengan usil, atau menjitak kepalanya seperti tadi. Apakah ini yang dinamakan kupu-kupu sedang beterbangan di dalam perut?
Tama menghentikan aksinya. “Masih aman?” tanyanya lagi, untuk yang kedua kalinya. Kali ini dia melepaskan bibir Sora agar perempuan itu bisa bernapas.
“H—hh—hh. A-aman.”
“Apa yang lo rasain?”
Sora mengerjap berkali-kali. “Kalau tadi perut gue mulas, darah gue naik ke atas kepala, apa itu berarti lo adalah orang yang tepat?”
Tama tersenyum miring. “Nah itu maksudnya. Apa ciuman gue membuat jantung lo berdetak kencang?”
Sora mengangguk.
“Bagus. Sekarang, coba balas ciuman gue.” Tama tiba-tiba menarik pinggang Sora sehingga tubuh mereka merapat. Lebih rapat dari yang tadi. Kali ini tanpa jarak.
“T-Tama.” Sora shock. Ini sih berpelukan!
“Apa?” Tanpa mengijinkan Sora menjawab pertanyannya, Tama langsung membekap bibir cerewet itu dengan satu sesapan kuat. Kali ini dia tidak bermain lembut lagi. Bahkan lidahnya langsung keluar menerobos rongga mulut Sora yang masih gelagapan. Dia ingin membuat perempuan itu membalas ciuman yang dia berikan.
“Hmph! T—“ Sora berusaha berbicara. Tapi Tama semakin menekan bibir mereka berdua. Sial sial! Apa yang harus dia lakukan? Satu-satunya cara adalah mengikuti ritme Tama agar dia tidak terpojok sendiri.
Tanpa keahlian apapun, perempuan itu mulai mengikuti teknik berciuman yang sejak tadi ditunjukkan oleh Tama. Dengan cara yang sangat canggung dan kaku, sampai terlihat bodoh sendiri. Namun dia ingin jadi ahli juga, sama seperti si kutu kupret ini.
Beberapa detik kemudian dia melepaskan diri, lalu membuang napas yang sejak tadi dia tahan.
“Lo nggak harus tahan napas, Ra. Rileks. Come on.”
Sora mengangguk. Lalu, entah dari mana datangnya keberanian itu, hingga dia yang terlebih dulu menempelkan bibirnya. Menarik rahang Tama dan berlanjut melilitkan tangannya di leher pria yang lebih tinggi darinya.
Benar, Sora bisa melakukan ini. Dia tidak ingin selamanya menjadi perawan yang belum pernah merasakan ciuman. Dan saat dia mulai menguasai tekniknya, juga sudah bisa melakukannya sambil bernapas normal, Sora tidak sungkan-sungkan untuk bersilat lidah dengan Tama.
Tama tidak tau kenapa tubuhnya sangat panas sekarang. Padahal ini bukan ciuman pertamanya. Sora bukan perempuan pertama yang membelit lidahnya dengan agresif seperti ini. Tapi kenapa rasanya sangat dahsyat? Melebihi yang sudah-sudah. Seluruh pembuluh darahnya seolah membesar dan mengencang akibat peredaran darah yang mendadak kocar-kacir tidak karuan.
“Sora….” Tama merasa kontrol dirinya sudah di ujung tanduk. Laki-laki itu menarik diri dan menatap Sora dengan dada yang naik turun tidak karuan.
“Ke—kenapah?” Perempuan itu juga tersengal.
“Ini udah kelewatan. Adik gue berdiri.” Tama menyugar rambutnya ke belakang. Gilaaaaa! Dia benar-benar ter*ngsang! Sampai-sampai celana kerjanya mengetat dan membuat adik kecilnya terasa sesak.
“A—adik kecil lo?” Sora otomatis menundukkan kepalanya ke bawah dan shit! Matanya ternoda. Ada sesuatu yang menonjol di dalam celana kerja Tama, dan itu sangat jelas!
“Lo… ter*ngsang sama gue?” Sora bertanya karena tidak percaya.
“Memangnya lo enggak?”
Ditanya balik, Sora otomatis kebingungan. “Gue… menikmati sih. Kayak pengen lagi, pengen lagi. Apa itu karena gue terangsang?” tanyanya polos.
“Kalau lo basah, itu artinya lo ter*ngsang. Sama kayak gue.” Dengan dagunya Tama menunjuk ke arah rok span yang Sora kenakan. Tanpa perlu diperjelas, perempuan itu sudah pasti paham apa maksud dari ucapan dan sorot mata Tama.
“Kayaknya basah sih. Masak sih gue ter*ngsang sama lo, Tam?” tanyanya semakin tidak percaya.
“Kenapa? Lo nggak suka?”
“Ya… kan kita udah temenan lama. Dan bakalan ketemu tiap hari. Lo… nggak akan canggung sama gue?”
“Tergantung lo gimana. Gue justru senang semisal kita bisa kayak gini tiap hari. Nggak harus cari cewek lain. Sama lo aja.”
Satu hantaman keras mengenai lengan kekar Tama.
“Duh! Sakit!! Lo!” Tama balas menarik pipi Sora yang sedikit berisi. Kini berganti perempuan itu yang meringis kesakitan. Sebenarnya tidak sakit sih, tapi ya gitu… jantungnya sedikit berdebar.
“Udah belum ngajarinnya?” Sora kembali mengingatkan tentang pelajaran mereka.
“Hari ini cukup. Kalau lanjut lagi, gue takut kita bakal bablas ke tahap yang selanjutnya.” Tama menarik tangan Sora lagi. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari ruangan penuh nafsu ini.
“Tahap apa memangnya?”
“Having s*x. Mau lo?”
***
Awalnya karena belajar, selanjutnya karena mau sama mau. Begitulah yang terjadi di antara dua insan yang ngakunya 'teman'. Tama dan Sora, yang ternyata sudah candu dengan ciuman-ciuman mereka.
Adalah Tama yang pertama kali memberi kode keesokan harinya. Saat jam istirahat, mereka makan di kantin bersama Axel dan Jo. Sora memakan bakso dan tak sengaja menuangkan terlalu banyak cabe di kuah baksonya. Alhasil bibir dan lidahnya kebas, serta tidak berhenti berdesis sampai kembali ke ruangan.
“Masih pedas?” Tama mengirim pesan kepada wanita itu lewat chat di ponsel.
“Iya. Gila, ogah gue makan bakso lagi,” balas Sora jujur.
“Mau diademin nggak?”
“Caranya?”
Tama hanya membalas dengan emoji dua orang yang sedang kissing. Dan saat itu juga kepala Sora langsung membesar, karena diingatkan kejadian kemarin. Diangkatnya kepala dan melihat kepada si pengirim pesan. Ternyata Tama langsung memberinya kode untuk keluar dari ruangan.
Tanpa pikir panjang, laki-laki itu bergerak dari mejanya dan keluar terlebih dahulu. Gilaaa, ini masih siang dan masih ada anak-anak. Berani-beraninya dia main api, batin Sora. Namun perempuan itu juga tidak bisa menahan diri dari rasa ingin. Dia membawa mug kelincinya, seolah-olah akan mengambil minum ke pantry.
Entah ke mana Tama pergi, Sora mengikuti lorong saja. Saat dia berbelok, tiba-tiba tangannya ditarik, dan tau-tau sudah masuk ke dalam ruang meeting yang sedang kosong.
“Ta—ma.” Dia sampai terbata saking kaget.
“Mana yang kepedesan?” Laki-laki itu meletakkan tangan kirinya di leher Sora dan mendekatkan wajah mereka. Tanpa aba-aba, bibir mereka sudah menyatu. Sora yang sebenarnya belum siap, dengan cepat mampu menyesuaikan diri.
Tangannya terangkat melingkari leher Tama. Kedua matanya terpejam mengikuti naluri. Dia ingin menikmati ciuman yang bertujuan untuk meredakan rasa pedas di bibir dan lidahnya.
Ini sangat menyenangkan. Kali ini Sora sama sekali tidak merasa tertekan. Justru dia sangat terbuai, seperti ingin terbang ke langit ke tujuh. Apalagi dia sudah bisa mengimbangi Tama, baik di tehnik dan juga di ritme. Jangan ditanya kalau sudah melibatkan lidah. Ughhhh, rasanya Sora akan kembali basah di bawah sana.
Tama menekan tubuhnya ke tubuh perempuan itu. Seluruhnya, tanpa terkecuali. Hingga Sora bisa merasakan bukti g*irahnya yang sudah bangkit. Adik kecilnya yang sudah mengembang dan membuat celananya kembali sesak. Sora merasakan itu. Dia tau Tama sengaja melakukannya, entah untuk apa. Diam-diam pikiran liarnya menerka ukuran benda 'itu'. Ah, sungguh menakutkan!
Tama melepaskan diri sejenak. Memberi waktu untuk mereka sama-sama mengambil oksigen.
“Gila. Kissing doang, tapi lo berhasil bikin adek gue bangun. Kayaknya bukan hanya lo yang udah menemukan partner yang tepat untuk ini. Tapi gue juga.”
“Hah?” Sora terengah. “Ma-maksud lo?”
“Selama gue pacaran, gue selalu bisa mengontrol diri. Nggak pernah sampai ada yang ikut berdiri kayak gini. Inilah alasan kenapa gue larang lo ciuman sama sembarangan orang. Karena resikonya besar. Kalau cowok yang nyium lo ter*ngsang, sama kayak gue sekarang, lo bisa bahaya.”
“Kenapa? Karena bisa berlanjut ke sesi selanjutnya, kayak yang lo bilang kemarin?” Sora cukup mengerti arah perkataan Tama.
Laki-laki itu mengangguk. “Kalaupun lo mau ke tahap yang selanjutnya, sama gue aja. Jangan sama yang lain.” Tama kembali melumat bibir Sora, setelah mengutarakan satu kalimat aneh yang kemudian membuat wanita itu tidak berhenti berpikir.
Tama mengabaikan menit-menit yang sudah berlalu. Ciuman di ruang meeting itu terpaksa usai setelah Sora merasakan ada yang tidak beres dengan bagian bawahnya.
“Gue… gue mau pipis. Awas!”
***
Setelah hari itu, hubungan Tama dan Sora semakin menggila. Tama tidak bisa melewatkan satu hari tanpa mencicipi bibir Sora dan seluruh isi rongga mulutnya. Sora juga tidak akan ikhlas pulang kalau hari itu Tama belum menciumnya.
“Tam! Lo di mana?!” Seperti hari ini, entah hari ke berapa setelah ciuman pertama mereka. Dia menelepon Tama yang belum kembali ke kantor, padahal sudah jam setengah lima sore. Tadi Tama memang keluar kantor untuk bertemu klien dan membicarakan tunggakan yang sudah memasuki bulan ke enam.
“OTW kantor, Ra. Kenapa?”
“Buruaaaan. Udah jam setengah lima ini. Nanti keburu gue pulang!”
Terdengar gelak tawa Tama dari seberang. “Kenapa? Lo belum nyium gue ya?” godanya.
“Kebalik. Lo yang belum nyium gue.”
Tawa Tama semakin kencang. Ini sangat lucu. Dia masih belum percaya kalau jalan cerita pertemanan dia dan Sora bisa berubah jadi seperti ini. Friend with benefits.
“Ini macet banget, Ra. Lo pulang aja nggak apa-apa. Nanti gue ke apartemen lo.”
“Oke. Tiatii.”
“M.”
Selama bertahun-tahun jadi partner kerja, Tama tidak pernah menginjakkan kaki di apartemen Sora. Namun semenjak keduanya mulai punya misi aneh setiap hari, mengantar perempuan itu adalah kewajibannya, dan tentu saja dia akan pulang setelah 'yang satu itu' selesai.
Hari berganti minggu. Yang awalnya hanya kissing, kemudian tangan mulai ikut bermain, raba sana raba sini. Tama pun sudah berani menaiki tubuh Sora dan berkali-kali menguji iman mereka berdua.
"Tam, lo sadar nggak kalau badan lo itu berat?" Sora menepuk bahu Tama yang sedang tiduran di atas dadanya.
"Bentar lagi, Ra. Gue ngantuk."
"Lo pulang gih. Udah jam sembilan malam."
Tama menggeleng. "Gue sewa apartemen di sebelah lo aja apa ya? Biar kita bisa leluasa kayak gini?" Tiba-tiba ide gila muncul di dalam kepala pria itu. "Lagian biar lebih dekat ke kantor. Apartemen gue jauh."
"Jangan nekat. Apartemen lo dibanding ini, jauh banget. Emang lo bakalan betah?"
"Toh cuma dipake buat tidur doang 'kan? Waktu kita habis di kantor dan di jalan. Lagian biar gue nggak kesepian. Ada lo," ujar Tama sambil memindahkan tangan Sora dari pundaknya ke atas kepala. "Elus-elus dong, biar gue tidur," pintanya.
"Jangan tidur, Tamaaaaa! Gue nggak mau ya kena gerebek!"
"Ini apartemen, bukan hotel." Tama tetap cuek. Percumbuannya dengan Sora membuat kedua matanya tidak bisa diajak kompromi lagi. Dia mengantuk dan benar-benar ingin tidur. Sora juga tidak mungkin mengusir. Dia harus memastikan apakah unit apartemennya sudah terkunci dengan baik.
"Awas dulu. Gue mau cek pintu. Udah dikunci dengan benar apa belum."
"Udah. Tadi gue yang kunci. Lo tidur aja." Tama memperbaiki posisi kaki dan tangannya sampai menemukan posisi ternyaman di atas tubuh Sora. Sora semakin tersiksa karena laki-laki itu membuatnya tidak bebas bergerak. Mana jadinya sesak napas. Tapi ya sudahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
***
Memang tidak terjadi apa-apa di luar sana. Seperti kata Tama, ini apartemen. Tidak pernah sejarahnya ada penggrebekan. Justru 'sesuatu' itu terjadi di dalam apartemen Sora sendiri.
Sekitar pukul satu dini hari, Tama terbangun karena merasa pegal dengan posisinya. Tama berpindah dari atas Sora ke sebelah wanita itu, dan menarik selimut untuk mereka berdua.
Matanya yang sepat melihat Sora yang tidur dengan meringkuk. Tengkuknya yang putih serta bahunya yang mulus, terekspos begitu saja karena gadis itu memang hanya mengenakan tank top. Sorot mata Tama berpindah ke bulu mata yang lentik, alis yang tidak terlalu tebal, hidung yang mancung, serta bibir tipis yang belakangan menjadi candu untuknya.
Tanpa sadar Tama menyentuh wajah mulus wanita yang sedang terlelap itu. Pikiran-pikiran aneh mulai hinggap di dalam kepalanya. Udara dingin, malam yang sunyi. Hanya ada dia dan gadis ini. Gadis yang selalu berhasil membangkitkan ga*rahnya.
"Sora..." Dia memanggil perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
Kedua kelopak mata itu terbuka secara perlahan. Sora mengerjap berkali-kali, mengucek matanya sampai berhasil melihat Tama dengan jelas.
"Kenapa, Tam?" tanyanya dengan suara parau. "Lo nggak bisa tidur?"
Tama mengangguk sambil menyingkirkan anak rambut dari wajah cantik Sora.
"Kenapa? Dingin banget ya? Gue naikin suhu AC-nya dulu." Perempuan itu ingin duduk dan turun dari kasur. Dia mengira Tama terbangun karena kedinginan.
Namun Tama menangkap tangannya dengan cepat, sehingga dia tidak jadi bangun.
"Gue nggak kedinginan. Malahan, gue lagi gerah. Lihat leher lo, bahu lo yang kebuka gini, bikin yang di bawah ikut kebangun, Ra."
Sora terhenyak. Kantuknya seketika hilang. "Trus?" tanyanya dengan polos.
"Naik level yuk?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!