"Ya Tuhan.. Tampannya.."
"Entahlah apa yang aku lakukan di masa lalu sehingga bisa melihatnya di kehidupan ini."
"Ah!! Eric!"
Eric Revana. Itulah nama pria yang sekarang diperhatikan oleh gadis-gadis di kampusnya, yang biasanya dipanggil Eric. Wajahnya yang tampan menarik hati semua gadis yang kebetulan lewat, ada beberapa pria yang ikut terkagum juga melihat ketampanannya. Selain tampan, dia juga teekenal dengan kepintarannya membuatnya sangat terkenal di Universitas Jakarta.
Namun walaupun sangat tampan dan pintar, Eric belum memiliki pacar! Bukan karena tidak ada yang mau, tapi karena dia memang tidak mau memiliki pacar. Sayang, Eric memiliki sifat dingin dan cuek sehingga dapat dipastikan kalau dia tidak peka. Ada banyak yang meminta Eric menjadi pacarnya, tapi semuanya ditolak.
Saking cueknya, bahkan Eric sama sekali tidak memedulikan tatapan dari semua orang dan masuk kedalam kelas, duduk di tempatnya. Dia langsung membuka buku dan membacanya, hobinya adalah membaca dan bermain basket, tapi tentu saja dia hanya suka membaca buku pelajaran.
"Eric!"
Semua orang di kelas 11--IPS, lekas menoleh ke arah pintu kelas. Tapi tidak dengan Eric, Eric tetap mengacuhkannya. Ada gadis cantik dengan rambut tergerai, memegang cokelat, menghampiri Eric.
Elvina Chalondra. Nama lengkap gadis itu, senyumnya benar-benar manis, dia juga cantik, namun sayangnya dia malas dan tidak serajin Eric. Berbanding balik dengan Eric. Dia juga mengambil jurusan IPS, kelas 11 semester 2.
"Eric," Panggil Elvina sembari meletakkan cokelat itu di meja Eric. "Makasih ya karena kamu udah bantu aku kemarin, lawat penjahat itu, kalau enggak aku enggak tahu bakal gimana. Aku bawain kamu cokelat sebagai ucapan makasih."
Kemarin saat pulang, Elvina bertemu dengan beberapa preman, tapi Eric kebetulan melihat dan membantunya. Hari ini Elvina datang untuk mengucapkan terima kasih.
Tidak ada tanggapan apapun dari Eric.
"Aku taruh dimana? Disini? Kamu enggak mau bilang makasih gitu?"
"Eric Revana."
"Eric.."
"ERIC!"
Kesal. Akhirnya Elvina menggebrak meja Eric sembari berteriak. "Kamu enggak papa telinganya? Tadi aku ngetes."
Eric berdecak, lalu meletakkan bukunya di mejanya. "Gue benci orang yang berisik, jadi diem."
"Aku cuman bilang--"
"Sama-sama. Gue bantuin lo juga karena lo manusia, jadi emang gue harus bantu. Cokelatnya ditaruh aja disana, gue mau baca buku."
Eric kembali membaca bukunya membuat mulut Elvina terbuka. Ternyata rumor mengenai Eric memang bener. "Oke." Elvina meletakkan cokelat itu disana, kemudian duduk di kursi sebelah Eric membuat Eric menoleh dengan kening mergenyit.
"Lo ngapain?"
"Duduk lah."
"Ngapain duduk? Sini ada--"
"Udah tukeran kok ama Lulu, dia setuju."
Eric menghela nafas kasar. "Lo ngapain pake acara pindah?"
"Apa lagi? Mau ama Eric lah. Oh ya." Elvina mengulurkan tangannya. "Nama aku Elvina, kamu bisa panggil EL atau Vina, terserah hidup kamu."
"Hm." Eric hanya berdehem tanpa membalas uluran tangan Elvina.
"Eric! Sebenarnya Vina udah suka Eric sejak MOS, tapi Vina gak berani ungkapin, tapi hari ini Vina mau bilang, Vina suka sama Eric! Eric mau gak jadi pacar Vina?"
Eric menoleh ke arah Elvina yang menatapnya dengan senyumnya. Semua orang di kelas juga memandang ke arah Elvina. Tapi hanya beberapa detik, sebelum Eric kembali menoleh kedepan.
"Nggak."
Senyum Elvina seketika memudar mendengar penolakan Eric. Malu? Sedih? Tentu saja. Tapi Elvina berusaha memaksakan senyumnya.
"Ya udah. Berarti mulai sekarang Vina bakalan berusaha dapatin hati Eric Revana."
Perkataan Elvina tidak digubris oleh Eric. Dia sudah sering mendengar itu dari dia kelas 10 dari gadis-gadis. Tapi akhirnya mereka menyerah karena tidak bisa mendapatkan hati Eric. Eric yakin, Elvina akan sama seperti gadis-gadis itu.
Tapi Eric tidak tahu, kisah panjang mereka dimulai dari sini.
.
.
.
.
.
.
•To Be Continue•
Tolong kasih like dan comment kalian ya geng, kasih tip juga, terima kasih..
"Eric!"
Eric langsung menghela nafasnya, dia tahu siapa yang datang dan itu membuatnya benar-benar frustasi. Dia tidak mau menoleh karena dia tahu yang datang adalah gadis yang membuatnya tidak tenang sampai kelas 12 ini. Ya, Eric sudah naik kelas, dia selalu bertemu dengan gadis yang mengejarnya tanpa henti.
Ravindra Chandra yang biasa dipanggil Marvin, teman Eric berusaha menahan tawanya ketika melihat Eric langsung meletakkan kepalanya di meja, seakan-akan dia tidur. Marvin memegang lengan Eric dan berbisik
"Pacar lo, si Vina yang dateng."
"Eric!! Vina bawain bekal buat Eric, Eric pasti suka. Huh.. Hampir aja Vina telat tadi, bel bunyi 1 menit lagi."
Elvina meletakkan sekotak bekal di meja Eric. Eric membuang nafas, menatap Elvina datar. "Gue gak mau, bawa pergi."
"Ih.. Kok enggak mau sih Vina usaha loh buat--"
"Bawa pergi atau gue buang?" potong Eric tajam dan itu membuat seisi kelas memandang mereka.
Elvina tersentak mendengar pertanyaan itu. Ini pertama kalinya Elvina membuatkan bekal untuk Eric, biasanya dia hanya membawakan susu dan roti, jadi Elvina ingin Eric menerimanya.
Elvina mengeleng. "Eric harus terima!"
"Oke."
Eric mengambil bekal itu dan berjalan menuju ke tempat sampah. Eric sudah muak dengan Elvina rasanya. Elvina menatap Eric dengan tatapan berkaca-kaca, dia begitu yakin Eric tidak akan membuang bekal yang sudah dia buat dengan susah payah itu, bahkan jarinya terbeset pisau.
"Eric! Gila lo ya?!" ucap Ravindra.
Sayangnya, Eric tidak peduli. Eric melepaskan pegangannya di kotak bekal itu membuat mata Elvin seketika memejam dengan air matanya yang turun, namun kotak bekal itu dipegang oleh seseorang membuatnya tidak masuk ke tempat sampah itu.
Eric lekas menoleh ke arah laki-laki disampingnya dengan tatapan tajam. "Siapa lo?"
Elvina yang memejamkan matanya, perlahan mulai membukanya dan menemukan bekalnya di tangan laki-laki yang tidak dia kenal.
"Anak baru." Anak baru itu mengambil bekal itu. "Kalau enggak mau bekalnya, mending buat gue, sayang dibuang, kebetulan gue belum sarapan. Boleh gak?"
"Serah."
Eric memutar arah, namun baru saja dia melangkah 1 kali, langkahnya terhenti melihat Elvina yang menatapnya dengan mata memerah. Mata Eric membulat, Elvina menangis? Ini pertama kalinya Eric melihat Elvina menangis.
"Weh! Siapa sih yang kasih nih bekal ke cowok ini?"
Elvina mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara itu. Elvina memandang ke arah anak baru itu. "Aku," ucapnya membuat anak baru itu menoleh ke arahnya.
Anak baru itu tersenyum, lalu menghampiri Elvina. "Nih bekal lo, saran gue, lo kasih ke orang yang bisa hargain lo."
Elvina tersenyum kecut, sedangkan Eric tidak peduli. "Buat kamu aja."
Anak baru itu terkejut. "Lo kira gue mau? Gue tadi cuman--"
"Enggak kok, buat kamu aja. Lagipula Eric enggak mau."
"Eric?" Anak baru itu menoleh ke arah Eric. "Jadi namanya Eric?"
Eric membalas tatapannya dengan tajam. Sebelum dia memutuskannya dan duduk di kursinya.
"Kamu mau gak?" Elvina berbicara. "Kalau enggak mau, mending dibuang aja."
"Gila ya?! Kenapa dibuang?" tanyanya terkejut. "Oke! Gue bakalan makan."
Kring!!..
"Tapi pas istirahat," lanjutnya membuat Elvina tertawa kecil. "Makasih ya. Siapa nama lo?" tanyanya sembari mengulurkan tangannya.
Elvina membalas uluran tangan itu. "Elvina Chalondra. Kamu bisa panggil ViVna atau panggilan lain yang kamu mau."
"Elvina? Bagus juga," komentarnya.
"Kalau kamu? Nama kamu siapa?"
Anak baru itu mendekat ke telinga Elvina. "Raymond, panggil aja gue Ray. Gue bisik-bisik biar lo jadi orang yang pertama yang tahu nama gue."
Elvina tersenyum, lalu mengangguk. Dia bersyukur karena Raymond datang tepat pada waktunya.
•Foolish Love Part 1•
"Keira."
"Raymond."
Jam istirahat tiba, Elvina segera memperkenalkan Raymond dengan Keira. Keira adalah sahabatnya sejak SMP, tentu saja Keira sudah tahu mengenai kisah cinta Elvina dan Eric itu. Mereka di kantin, memutuskan makan bersama. Raymond memakan bekal dari Elvina.
"Makasih karena lo udah tolongin si Vina dari si sinting itu. Sayang tadi gue telat," cibirnya. Keira juga sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya antara Elvina dan Eric tadi pagi.
"Kei.."
"Syut!" Keira menatap Elvina dengan jari telunjuk di bibirnya membuat Elvina diam. "Gak tahu gue hati lo darimana terbuatnya, Na. Sabar banget lo hadapin kutu kambing kek dia."
"Ya, masama. Memangnya napa sih? Kayaknya Elvina naksir banget," ucap Raymond sembari menyeruput es jeruknya.
"Udah cinta mati keles!" cibir Keira. "Dia udah suka Eric dari kelas 10, tapi enggak berani ungkapin sampai dia kelas 11, sekalian bilang terima kasih ke Eric karena udah tolongin dia dari preman-preman. Tapi semenjak itulah, Eric nyiksa banget si Elvina ini."
"Oh." Raymond menoleh ke arah Elvina yang hanya memyeruput minumannya. "Udah sih, udah kayak gitu, mending ditinggal. Kasihan hati lo, sakit dia."
"Tapi hatinya cuman milih si Eric. Gimana dong?"
"Operasi hati gih, ganti hatinya."
"Ih!! Mana bisa!"
Dengan kesal, Elvina mencubit pelan lengan Raymond disusul tawaan mereka bertiga. Rasanya Elvina benar-benar senang memiliki teman baru seperti Raymond.
"Ada Eric."
"Eric?"
Bisikan itu membuat Elvina menoleh dan menemukan Eric sedang berjalan sembari membawa piring berisi makanan bersama Ravindra. "Ada Eric! Tunggu bentar ya." Elvina berdiri, bergegas menghampiri Eric.
"Weh! Vina!" Raymond tidak berteriak ketika Elvina sudah di hadapan Eric. "Napa sih? Heran gue, padahal tadi pagi abis nangis."
"Biasa. Tuh anak hatinya gak tahu darimana, disakitin berkali-kali, tetap aja hampirin." Keira meletakkan gelas itu di meja kantin. "Awas aja tuh Eric buat ulah lagi!" ucapnya sembari menatap Eric dan Elvina tajam.
"Eric, baru makan?" tanya Elvina dengan senyuman manis.
"Ada mata kan? Masih berfungsi kan?"
"Ya udah, enggak usah ngegas, kan mastiin." Elvina berusaha bercanda. "Eric mau gak makan sama Vina?"
"Nggak."
"Ih! Jangan gitu dong! Ada si Keira sama--"
"KEIRA?!"
Teriakan itu bukan dari Eric, melainkan Ravindra. "ERIC!" Ravindra langsung menarik Eric yang baru melangkah 2 langkah. "Ayok! Gue mau samperin ayang Keira."
"Apaan sih? Mau pergi, pergi sendiri aja! Ravindra!"
Eric berusaha memberontak ketika Ravindra menariknya ke arah Keira dan Raymond. Keira yang melihatnya langsung menepuk jidat. "Ya Tuhan.. Kenapa harus Ravindra?!" gerutunya kesal.
Sedangkan Elvina, dia tersenyum melihat Ravindra menarik Eric dan memaksanya duduk disamping Raymond. Sedangkan Ravindra sendiri, duduk di samping Keira. Untung saja ada Ravindra.
"Lo ngapain duduk sini?" tanya Keira tajam.
"Duduk disamping ayang Keira."
"Nenek lo ayang! Pergi! Ini tempatnya Elvina!"
"Ih... Gak papa loh, Vina gak masalah juga. Iyakan Vina?"
Elvina mengangguk.
"Tuh!"
Keira menghela nafas kesal, memilih untuk kembali menyeruput minumannya, sedangkan Ravindra tersenyum penuh kemenangan.
"Ambilin kursi buat Vina! Lo mau buat dia duduk begitu terus?" ucap Keira.
"Nggak papa, aku--"
"Gak usah," potong Raymond, dia berdiri. "Duduk aja disini, Na."
"Hah? Tapi--"
"Udah!"
Raymond memaksa Elvina duduk disamping Eric. "Gue ambil bangku dulu." Raymond menarik bangku yang tak jauh darinya, lalu duduk disamping Elvina. "Beres masalah."
Elvina tersenyum dan mengangguk. "Makasih Ray," ucap Elvina dibalas kedipan mata Raymond membuat Elvina hanya bisa tersenyum.
Elvina menoleh ke arah Eric yang sekarang memakan makanannya tanpa nafsu, tapi walau begitu Elvina tetap nyaman memandangnya. Elvina rasanya tidak bisa marah kepada Eric, apapun perbuatan Eric kepadanya.
"Ekhem!" Keira tiba-tiba berdehem membuat semua orang menoleh ke arahnya.
"Ayang Kei--"
"Diem!"
Ravindra diam ketika Keira sudah menatapnya dengan tatapan tajam. Keira memandang Eric yang tidak mengubris deheman Keira.
"Raymond, enak gak makanan Elvina?"
Raymond terkejut ketika Keira tiba-tiba bertanya kepadanya. Dia lekas mengangguk. "Enak kok."
"Iyalah enak! Jari si Elvina aja sampe kebeset pisau karena berusaha buatin makanan di tengah kesibukan kayak gitu. Cuman ada orang yang gak tahu terima kasih aja, mau buang makanan itu."
Eric terdiam sejenak mendengar ucapan Keira. Sempat terkejut mendengar Elvina terluka. Tapi tidak lama, dia kembali melanjutkan makannya.
Tidak menyerah, Keira kembali berbicara. "Tadi pagi Elvina aja enggak sempet obatin karena salepnya abis, tahu sendiri kalau mamanya sibuk kerja. Nggak ada rasa bersalah lagi tuh orang."
Eric berusaha tidak mengubrisnya. Memang Elvina cenderung lebih sering sendirian di rumah karena ayahnya memang meninggal semenjak Elvina menginjak umur 5 tahun, sehingga ibunya yang menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO.
"Udah Keira," ucap Elvina membuat Keira memutar bola mata malas.
Jujur saja, Eric juga tidak mengerti kenapa dia bisa lepas kendali seperti tadi pagi. Eric berusaha tidak menggubris Keira, tapi dia heran karena Elvina tidak marah kepadanya, kenapa Elvina tidak marah kepadanya dan malah membelanya lagi? Gadis itu memang aneh.
.
.
.
.
.
.
•To Be Continue•
Tolong like, comment, dan kalau suka follow ya. Menurut kalian, gimana part ini?
Elvina Chalondra.
Gadis itu dipusingkan dengan rumus ekonomi IPSnya. Rasanya benar-benar menjengkelkan. Dia memilih IPS agar tidak banyak hitung-hitungan--sekaligus bersama Eric-- tapi ternyata ada banyak hitung-hitungan juga. Elvina jadi berpikir bagaimana mengerikannya kelas IPA.
Elvina mengacak-acak rambutnya frustasi. Ibunya juga belum kembali dari kantor. Hingga Elvina menoleh foto yang ada di mejanya membuatnya tersenyum melihat wajah laki-laki yang tengah memakan indomie di kantin sekolahnya, ada juga foto di dinding ketika dia menang perlombaan bola basket di sekolahnya dan difoto dengan senyumnya yang manis.
Elvina mengambil foto-foto lain tentang laki-laki itu juga diam-diam. Elvina tidak akan melakukan itu kecuali kepada Eric. Ya, laki-laki yang dibingkai Elvina adalah Eric. Dia meletakkannya satu di meja belajarnya dan yang lainnya dia tempel di tembok.
"Astaga Eric. Aku enggak tahu deh, mama kamu dulu ngidam atau ke dukun mana sampai bisa ganteng begini." Tangan Elvina bergerak untuk mengelus wajah Eric di bingkai itu. "Sayang banget, kamu dingin banget, kayak kulkas, bahkan kulkas kalah."
Elvina menarik nafasnya dan menghembuskannya. Dia kembali memandang jarinya sendiri, dia sudah mengobatinya di UKS tadi setelah dipaksa Raymond dan Keira. Tapi dia lupa membeli salep yang harusnya dia oles lagi malam ini.
Elvina akhirnya memilih tidak peduli, dia mengambil tasnya, ingin mengambil bukunya. Tapi dia berhenti ketika dia menemukan ada barang yang seharusnya tidak ada di tasnya.
"Salep?" heran Elvina melihat barang tersebut. Ya, itu adalah salep. Ada secarik yang ditempel di atasnya membuat Elvina langsung mengambilnya.
'Pakai salepnya nanti malam--Raymond.'
Seketika Elvina langsung tersenyum. Ternyata yang memberikan salep ini adalah Raymond. Padahal mereka baru bertemu, tapi Raymond sudah sebaik ini kepadanya.
"Makasih Ray," ucap Elvina sembari tersenyum.
Dia meletakkan salep itu di meja, berjalan ke lemari untuk mengambil handsaplast yang selalu dia letakkan di laci lemarinya.
Ting, Tong!
Langkah Elvina terhenti ketika bel rumahnya berbunyi. Kening Elvina mergenyit, dia menoleh ke arah jam, sudah pukul delapan malam, siapa yang mau kesini? Elvina berlari ke arah balkon untuk melihat siapa yang datang dan seketika matanya membulat melihat siapa yang datang.
Saking terkejutnya, Elvina mematung di tempatnya. ERIC! Apakah dia tidak salah lihat?! ERIC DATANG?! Elvina langsung berlari ke bawah ketika dia tersadar dari lamunannya dan langsung membuka pintu dengan senyuman lebar, menyambut Eric yang hanya menatapnya datar.
"Hai Eric!" sapanya senang. "Vina gak tahu Eric mau datang, jadi enggak siapin apapun, kenapa Eric enggak--"
Tanpa berkata apapun, Eric memberikan salep itu kepada Elvina membuat keningnya mergenyit. "Ini ap--"
"Pakai buat obatin luka lo." potong Eric.
Eric lalu menaikkan tudung jaketnya, naik ke motornya, memasukkan kunci motor, memakai helm.
Sedangkan Elvina, dia menatap salep di tangannya membuat dia langsung tersenyum lebar. Saat dia tersadar, dia langsung menoleh ke arah Eric yang sudah menyalakan motornya.
"ASTAGA ERIC!! ROMANTIS BANGET!! MAKASIH YA ERIC! VINA MAKIN SAYANG SAMA ERIC!! BESOK VINA BAKAL BANGUN LEBIH PAGI DAN MASAKIN BUAT ERIC!! MAKASIH ERIC!!"
Eric menatap Elvina tajam. "Enggak usah masak buat gue. Gue enggak mau."
Mendengar itu, Elvina malah tersenyum lebar. "Eric enggak mau liat Elvina luka kan?"
"Mimpi aja terus."
Eric memgemudikan motornya, pergi darisana, meninggalkan Elvina yanh berteriak menggelegar.
"VINA SAYANG SAMA ERIC!! DENGAR BAIK-BAIK ERIC REVANA!! VINA MAKIN SAYANG SAMA ERIC!!"
"NAK DIEM NAK!! ANAK SAYA BANGUN!!".
Disusul teriakan tetangga Elvina.
•Foolish Love Part 2•
Senyuman tidak pudar dari Elvina, bahkan setelah dia sekolah. Ingatan tentang kejadian kemarin membuatnya benar-benar bahagia, dia hanya menatap Eric dengan senyum lebar. Tapi Eric tidak meliriknya dan memilih untuk membaca bukunya.
"Vina! Napa sih lo?!"
"Hm?"
Elvina menoleh ke arah Keira, masih dengan senyumnya.
"Lo kenapa? Kesambet malaikat pas jalan?" tanya Keira heran.
Elvina membalasnya dengan tawaan kecil membuat Keira, Raymond, bahkan Ravindra heran. "Nanti baru aku ceritain."
Keira hanya mengangkat kedua bahunya dan memilih melanjutkan membaca novelnya. Raymond memilih untuk kembali memainkan hpnya.
Ravindra yang memang termasuk orang 'kepo', akhirnya menyikut Eric yang sibuk membaca buku. Eric yang terganggu menoleh ke arah Ravindra dengan kesal, dia memang tidak suka diganggu ketika sudah membaca buku.
"Iya deh, guru enggak mau diganggu," ucap Ravindra yang tahu arti tatapan Eric. "Tapi gue cuman mau nanya." Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Eric dan berbisik. "Elvina kenapa? Ada hubungannya kan sama lo?"
Eric mendorong kepala Ravindra, bisa dikira homo. "Enggak," jawabnya. Dia yakin Ravindra akan bertanya lebih ketika dia mengatakan yang sebenarnya. Eric malas menceritakannya.
"Bohong banget," tukas Ravindra yang sudah mengenal Eric.
Eric hanya memutar bola mata malas dan memilih mengabaikannya.
"Eric, ceritain dong.. Pasti gara-gara lo kan?"
"Gue sumpel mulut lo kalau ngomong lagi."
Ravindra memayunkan bibirnya. "Dasar, pelit banget ngomongnya. Udahlah, gue minta Elvina aja yang ceritain."
Eric tidak menjawab, memilih diam dan membaca bukunya membuat Ravindra hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kuat banget emang si Vina suka cowok kulkas kayak lo."
Sedangkan Elvina, dia tersadar dari lamunanya ketika mengingat sesuatu. Dia sontak menoleh ke belakang membuat Raymond terkejut.
"Ray! Aku lupa ngomong!"
"Ngomong ap--"
"Makasih salep kamu yang kemarin."
Raymond seketika mengerti dan langsung tersenyum. Dia mengangguk. "Ya, masama."
"Wah.. Gila Ray! Lo beliin salep buat dia? Romantis juga lo," ucap Keira yang sebenarnya berusaha menyindir Eric juga.
"Ayang Keira, aku bisa lebih romantis!" ucap Ravindra yang mendengar ucapan Keira.
"Gue tonjok mulut lo nanti."
Seketika hampir seisi kelas tertawa. Ravindra hanya memanyunkan bibirnya dan Keira hanya memutar bola mata malas.
"Kamu taruhnya kapan? Kok aku nggak liat?" tanya Elvina penasaran.
"Waktu istirahat kedua, lo sama Keira lagi ke kantin."
"Oh."
Elvina seketika mengerti, kemudian tersenyum. "Makasih loh, kamu niat banget, padahal kita baru ketemu."
Raymond tersenyum. "Enggak papa. Lagipula gue kan makan bekal lo, anggap aja ucapan terima kasih."
Keduanya hanya saling melempar senyum sembari mengobrol. Tanpa mereka sadari, sedaritadi Eric mendengar dan sesekali melirik ke arah mereka. Ternyata Raymond juga memberikan salep untuk Elvina.
"Untung aja Ray, lo tahu terima kasih. Bukannya kayak tuh orang!"
Eric tahu Keira kembali menyindirnya, tapi Eric memilih cuek dan tidak peduli. Ravindra yang tahu, tampak tertawa kecil. "Disindir tuh," ucap Ravindra tapi diabaikan oleh Eric.
Eric hanya membaca buku--tepatnya mungkin berpura-pura--sembari sesekali melirik ke arah Elvina yang sedang berbicara dengan Keira, sepertinya mengenai masalah tadi. Tapi Eric tidak peduli.
Namun tak lama, Eric mengelengkan pelan kepalanya berusaha untuk fokus ke bukunya. Untuk apa mempedulikan Elvina?
.
.
.
.
.
.
•To Be Continue•
Please like, comment, dan jika suka follow ya. Berikan dukungan kalian readers, terima kasih ^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!