Keramaian Kota Seattle menjadi pemandangan di balik kaca mobil, menarik perhatian seorang gadis kecil yang duduk tenang di kursi penumpang. Matanya yang bulat dan cerah menatap pemandangan luar dengan wajah ingin tahu. Dia mungkin tak sadar betapa manisnya wajah penasarannya.
“Apa yang begitu menarik perhatian anak papa?” Suara seorang lelaki menyela pikiran gadis kecil itu.
“Papa, di luar sangat cantik,” jawab si gadis kecil itu. Dia adalah Mayumi Osawa, putri tunggal dari Keluarga Osawa, salah satu bangsawan kuno yang cukup berkuasa di Jepang.
“Tentu saja. Apa Yumi suka?” Ayah gadis kecil itu bertanya lembut.
“Suka!” jawabnya lagi dengan nada yang sangat bersemangat.
Suara tawa bahagia memenuhi mobil itu hingga mereka tiba di sebuah mansion besar yang sepertinya memang menjadi tujuan awal mereka ke Seattle—Mansion Keluarga Arnauld.
“Selamat datang.” Sambutan hangat segera mereka terima setelah turun dari mobil, menarik perhatian Mayumi kecil.
Mayumi mengikuti orangtuanya dengan wajah tenang, dia sudah biasa menemui banyak orang baru. Apalagi akhir-akhir ini orangtuanya memang cukup aktif menemui teman mereka. Mayumi memberi salam dengan sopan kepada teman orangtuanya sebelum mundur ke belakang, biasanya pertemuan akan sangat membosankan untuknya, jadi dia sama sekali tak tertarik.
“Yumi, kemari.” Mayumi melihat ibunya mengulurkan tangan memanggilnya.
Mayumi mendekat dan melihat seorang anak perempuan yang kira-kira seusia dirinya. Anak itu memiliki wajah yang cantik dan senyum lebar yang sangat bersahabat, membuat Mayumi tanpa sadar membalas senyumannya.
“Sayang, ini adalah Bibi Helena dan putrinya Lou. Kalian berdua seumuran. Kalian pasti bisa berteman baik.” Ibu May menjelaskan dengan wajah senang.
May menyapa Helena dengan hormat dan tersenyum pada Lou. “Halo,” ujarnya dengan suara perlahan.
“Halo!” Anak bernama Lou itu sepertinya cukup bersemangat, dia sejenak melihat ke arah ibunya, setelah mendapat persetujuan ibunya, Lou segera menghampiri Mayumi dan mengulurkan tangannya dengan wajah polos penuh harap.
Mayumi menatap anak itu dan kemudian menerima uluran tangannya. Keduanya lalu pergi ke menuju kamar Lou atau lebih tepatnya Lou menarik Mayumi untuk mengikutinya.
“Duduklah.” Lou berkata dengan wajah bersemangat.
Mayumi tersenyum dan duduk dengan tegap, dia terbiasa dengan sikap duduk seperti itu.
“Namaku Lorraine, tapi keluargaku memanggilku Lou.” Lou mengenalkan dirinya sekali lagi. May tersenyum dan membungkuk ke arahnya, “Aku Mayumi.”
Lou bingung saat melihat Mayumi menundukkan kepalanya, tapi dia mengikuti gerakan itu. “Apa aku bisa menjadi temanmu?” tanya Lou setelahnya.
“Tentu saja.” Mayumi tersenyum.
“Kalau begitu aku akan memanggilmu May.” Lou tertawa.
“Tak masalah.” Mayumi tersenyum.
“May, kau adalah teman pertamaku!” Lou terlalu bersemangat dan memeluk gadis kecil yang kini dia panggil May itu.
May tertegun sembari berpikir, Lou juga teman pertamanya. Senyum cerah mekar di wajah May dan dia dengan sennag hati membalas pelukan Lou.
Keduanya terus bermain bersama sampai akhirnya tertidur tanpa sadar. Bahkan tak ada yang menyadari saat ibu mereka datang untuk memeriksa mereka. Ibu May—Kikyo, tersenyum cerah saat melihat putrinya tertidur sambil menggenggam tangan Lou.
“Helena, mereka sepertinya akan seakrab kita,” ujarnya senang.
Helena tertawa pelan. “Benar. Sayang sekali kalian harus pulang cepat,” ujarnya kemudian dengan nada sedikit kecewa.
“Ya, mau bagaimana lagi, Ibu meminta kami kembali ke Jepang malam ini juga, lain kali kami akan berkunjung lagi,” Kikyo tersenyum lembut sembari menepuk pelan bahu Helena.
“Ya, baiklah.” Helena tersenyum mengerti, dia hanya bisa memakluminya. Terkadang juga merasa ibu mertua Kikyo ini agak sedikit tak masuk akal dalam mengontrol anak dan menantunya.
Kikyo memasuki kamar itu dan menggendong May yang masih tertidur. Dia dengan lembut menepuk punggung May dan membanggunkannya. Sementara Helena juga mencoba membangunkan Lou yang masih berbaring nyenyak di kasurnya yang empuk, hanya saja anak itu sepertinya tak ingin bangun.
Lelah membangunkan Lou, Helena memutuskan untuk megantar Kikyo sendiri, dia mungkin perlu memberi tahu putrinya besok bahwa temannya sudah pulang malam ini.
Keduanya berjalan dengan tenang menuju pintu utama mansion, tempat dimana Marc dan Eiji menunggu.Kikyo tersenyum saat melihat suaminya—Eiji. Eiji membalas senyuman itu dan segera mengambil May dari gendongan Kikyo, biar bagaimanapun May sudah cukup besar sekarang, Kikyo pasti kesulitan menggendongnya.
Keduanya lalu masuk ke mobil sambil mengucapkan salam perpisahan pada Keluarga Arnauld.
Beberapajam berlalu dengan tenang di kamar Lou, sampai dia mendnegar suara keributan di luar kamarnya. Cukup kuat untuk membuatnya terbangun dalam keadaan linglung.Gadis kecil itu melenguh pelan dan berusaha kembali tidur, namun usahanya sia-sia, keributan di luar terlalu mengganggunya.
Lou turun dari ranjangnya sambil mengusap mata, dia kemudian berjalan keluar kamar. Lou terdiam saat melihat kekacauan di luar kamarnya, terlihat beberapa pelayan yang sedang sibuk, mereka berbagi tugas dengan wajah panik.
Lou menatap mereka bingung, namun dia tetap diam tanpa bertanya apapun. Hanya saja dia merasa cukup penasaran, Lou melangkah turun ke lantai satu karena sepertinya pusat kekacauan berada di tempat itu.
Lou bisa melihat ibunya menangis sambil berbicara dengan seseorang, membuat Lou sedikit bingung. Lou tak bisa melihat apa yang terjadi dengan jelas, jadi dia putuskan untuk mendekat. Lou terbelalak kaget saat melihat siapa yang sedang diajak bicara ibunya. Itu adalah May. Hanya saja, tubuhnya penuh dengan luka dan darah.
Lou berlari ke arah ibunya dan menghampiri May. Dia melihat May begitu terpukul, tatapannya kosong. Lou memahami kondisi May dan langsung memeluk teman barunya itu. Sementara itu, sesosok anak laki-laki yang empat tahun lebih tua dari Lou dan May menatap mereka. Tatapan itu begitu datar dan terlihat sangat tidak peduli.
“Anthony, jaga May dan Lou dulu ya. Ibu akan ke depan.” Helena menegur anak laki-laki yang terus menatap kedua gadis kecil itu dalam diam.
Anak yang dipanggil Anthony itu hanya melirik sekilas dan mengangguk pelan. Dia masih menatap May yang penuh dengan luka dan darah.
“Bagaimana dengan Kikyo?” Lou dapat mendengar pertanyaan ibunya pada ayahnya.
Marc menggeleng pelan, “Hanya May yang selamat.”
Lou mendengar itu dan menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, sepertinya May dan keluarganya mengalami kecelakaan … dan kedua orang tua May meninggal di tempat. Lou mengangkat tangannya secara tak sadar dan menutup kedua telinga May, dia tahu May pasti sangat shock sekarang.
May sebenarnya mendengar pembicaraan itu, dia juga mengingat saat Marc menemukannya di bawah jasad ayah dan ibunya. Seketika air mata May mengalir deras dari matanya. Dia merasa dunianya benar-benar hancur dan dia bingung.
Anthony menatap May yang sedang menangis dalam diam. “Menangis saja, menahannya akan membuatmu kesakitan,” ujar Anthony sambil menyentuh puncak kepala May sambil lalu.
May terdiam sejenak sebelum akhirnya menumpahkan seluruh kesedihannya. Dia menangis terisak dalam pelukan Lou.
“Lou!” seru seorang gadis muda.
Gadis yang dipanggil, Lou, mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang telah memanggilnya. “May! Kapan kau datang?” Lou segera berdiri dengan sangat bersemangat dan langsung berlari ke arah May.
“Baru saja.” May tersenyum saat menjawab temannya itu, kemudian keduanya berpelukan dengan erat seolah mencurahkan kerinduan selama berpisah.
“Ahh, aku sangat merindukanmu. Sudah tiga tahun kau tidak ke sini,” keluh Lou manja, gadis kecil itu terus memeluk May seolah tak pernah puas.
May tersenyum manis, dia sama sekali tak menolak sikap manja temannya itu. “Bagaimana lagi, nenek melarangku kemana-mana. Bahkan aku tak pernah meninggalkan Kyoto dalam waktu tiga tahun,” curhat May saat mengingat betapa kerasnya neneknya dalam tiga tahun terakhir.
“Ya, aku rasa itu wajar. Kau adalah keluarga satu-satunya, nenekmu pasti tak ingin terjadi apa-apa padamu.” Lou menepuk pundak May untuk menyemangatinya.
Setelah kecelakaan tiga tahun lalu yang merenggut nyawa kedua orang tua May. May kembali ke Kyoto dan diasuh oleh nenek dari keluarga ayahnya. Selama itu juga, dia dan Lou hanya bisa berhubungan lewat telepon. Walaupun begitu, hubungan pertemanan mereka menjadi semakin erat, terkadang May berpikir mereka bahkan lebih dekat dari saudara.
Hal ini yang membuat May memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke Amerika. Sayangnya perjuangan May tak mudah, dia menghabiskan banyak upaya untuk meyakinkan neneknya. Pada akhirnya setelah perjuangan keras dna tanpa lelah, dia berhasil. Jadi di sinilah dia sekarang, berada di Mansion Keluarga Arnauld.
Dia akan tinggal di mansion ini bersama Lou dan keluarganya selama menjalani pendidikannya di Amerika. Awalnya May takut dia akan merepotkan, tapi ternyata Helena dan March sangat menantikan kedatangannya, ini membuat hatinya menjadi lebih tenang.
“Ahh, senangnya. Jadi kita bisa berangkat sekolah bersama. Main bersama, belanja bersama, tidur bersama.” Lou terus mengoceh memecah pemikiran May. May hanya bisa tertawa melihat temannya yang sangat bersemangat itu.
May tersenyum cerah, dia sama sekali tak keberatan dengan mulut penuh celoteh Lou, hal ini yang justru membuatnya merasa nyaman—merasa hidup. Dunia terasa terlalu sepi sejak kematian orangtuanya, untungnya mereka bisa bertemu sebelum May terlalu tenggelam dalam sepi itu.
May memperhatikan Lou yang terus mengoceh, dia hanya mengikuti temannya itu dengan patuh saat Lou mengajaknya memeriksa kamar barunya. “Ayo, aku antar ke kamarmu.” Lou menarik May dengan semangat.
Kedua gadis muda itu berjalan bersama menuju lantai dua mansion. May masih memiliki sedikit ingatan mengenai tempat ini, dulu dia pertama kali datang kemari bersama ayah dan ibunya, tak banyak yang berubah. Mereka menyusuri koridor yang sama dengan ingatan May dan tiba di bagian timur mansion itu, tempat kamar anak-anak Keluarga Arnauld berada.
May mengedarkan pandangannya dan melihat lima kamar berderet dengan semua pintu membentuk setengah lingkaran. Dua pintu sebelah kiri milik putra pertama dan kedua, sementara yang di tengah milih putra ketiga, dan dua yang di kanan miliknya dan Lou.
Lou membuka pintu kamar May dengan semangat sambil mengenalkan kamar itu, tapi kemudian diam saat melihat May tak memperhatikannya. May hanya berdiri di depan pintu dan menatap pintu pertama di sisi kiri.
“Menjauhlah dari kamar itu. Ada seorang iblis yang mendiaminya dan dia tak suka diganggu.” May mendengar Lou berkata dan otomatis menoleh ke arah Lou. May tersenyum lembut, tentu saja dia tahu kamar siapa itu. Ya, bagaimana mungkin dia bisa melupakan orang itu, yang kesan pertamanya sangat membekas di hatinya.
“Menangislah, menahannya akan membuatmu kesakitan.” Suara dari tiga tahun lalu menggema kembali di kepala May.
Hanya saja sepertinya tak semua orang memandang sosok Anthony sebagai orang yang luar biasa, Lou misalnya, May bisa melihat betapa Lou tak menyukai kakak tertuanya itu. May tersenyum geli melihat Lou.
May ingat setiap saat Lou menceritakan rasa jengkelnya terhadap Anthony. Dia akan sangat bersemangat, seolah saat dia menceritakannya, dia juga sedang mencabik Anthony di dalam pikirannya.
“Ayo, ku bantu kau menyusun pakaianmu.” Suara Lou menyadarkan May dari pikirannya. Segera kedua gadis muda itu menyusun pakaian May dengan gembira. Mereka bahkan tak menyadari waktu telah berlalu begitu cepat. Saat mereka selesai, matahari sudah nyaris tenggelam.
Helena yang baru saja pulang sudah mendengar kedatangan May, jadi dia langsung datang ke kamar yang sudah dia dan Lou siapkan sebelumnya, dia bisa melihat kedua gadis muda itu bercengkerama dengan sangat akrab, membuat Helena tersenyum lembut.
Sementara itu kedua gadis yang berada di kamar tak menyadari mereka sedang diperhatikan, saat May menyadarinya, dia merasa sedikit malu. “Bibi,” sapanya dengan senyum canggung.
“Lihatlah betapa bahagianya kalian berdua.” Helena tertawa senang saat memasuki kamar itu, dia memeluk dan mencium kening Lou, kemudian berdiri di depan May dengan wajah penuh kasih.
“Kemarilah.” Helena mengulurkan tangannya pada May.
May tertegun sejenak, tapi dia menerima uluran tangan Helena. Dia semakin bingung saat Helena juga memeluk dan mengecup keningnya. May melihat betapa Helena menyayanginya, pelukan dan ciuman yang tulus, yang sudah sangat lama tak pernah dia dapat itu membuat May menangis tanpa sadar.
May melihat Helena dan Lou menatapnya dengan bingung, mereka sepertinya tak mengerti mengapa dia menangis. “A-ada apa, May?” Helena bertanya dengan wajah panik.
“Tidak, Bibi. Aku baik-baik saja. Aku hanya teringat mama.” May menghapus air matanya secepat mungkin, tak ingin Helena khawatir.
Helena tesenyum lembut padanya, saat dia kembali memeluk May.
Hati May terasa sangat hangat saat ini, pelukan dan ciuman penuh cinta ibu adalah apa yang paling dia rindukan, tapi tak pernah bisa dia dapatkan. Neneknya terlalu keras dan hanya bisa menuntut, dia tak pernah memberikan perhatian selayaknya anggota keluarganya.
May bisa melihat betapa tulusnya kasih sayang dan cinta Helena padanya. “Tak apa, bibi akan menjadi ibumu mulai dari sekarang, keluarga ini juga akan menjadi keluargamu,” ujar Helena pada May, dia menarik gadis muda itu ke dalam pelukkannya, tak lupa juga menarik anak gadisnya.
May membalas pelukan Helena dengan erat, seolah dia telah mendapatkan apa yang sempat hilang dari dirinya. Sesuatu yang bahkan tak bisa diberikan neneknya yang merupakan keluarga sejatinya.
Lama mereka berpelukan sampai May merasa Helena melerai pelukan mereka dengan lembut. “Mandilah dan pakai pakaian rapi. Kita adakan pesta kecil untuk menyambut kedatangan May,” ujar Helena dengan senyum hangat.
May melirik Lou dan keduanya mengangguk patuh, mereka melepas pelukan Helena walaupun enggan. Helena lalu meminta Lou kembali ke kamarnya, baru setelah itu dia juga pergi untuk menyiapkan pesat kecil mereka.
May menutup pintu kamarnya setelah Helena menghilang di tangga. Gadis muda itu bersandar di pintu sambil menyentuh dadanya, tak ada apa-apa di sana, tapi dia merasa sangat hangat. May tersenyum dan mulai bersiap-siap.
Tak butuh waktu lama sampai May selesai, dia menatap dirinya di cermin untuk memastikan penampilannya, setelah puas dia bersiap keluar untuk meamnggil Lou.
May membuka pintu kamarnya perlahan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar bagain kiri. May terpaku, menatap seorang pemuda yang juga sedang menatapnya. May terdiam sejenak, dia langsung mengenali orang itu dalam sekali lihat.
“Anthony,” bisik May dalam hatinya. May menatap pemuda itu sejenak dalam diam, dia masih sama. Diam dan dingin, pada pandangan pertama dia memberi kesan yang cukup tidak bersahabat, bahkan agak menakutkan untuk beberapa orang.
Tapi May tak pernah berpikir dia menakutkan, kata-katanya saat itu sangat melegakan. Saat tak ada orang yang tahu betapa dia mencoba menahan diri, Anthony tahu itu, dan dia membantunya melepaskan bebannya. Dia pendiam dan terkesan dingin, tapi dia sebenanrya sagat perhatian.
May tersenyum dan ingin menyapa saat pintu kamar Lou terbuka dan gadis muda itu keluar. May melihat tatapan tak suka Lou yang dia tujukan pada Anthony, tapi saat dia menoleh kepa May, tatapan tajam itu berubah ramah. Dia bahkan menyapa May dengan sangat riang. Ini membuat May merasa sedikit geli.
Hal yang lebih lucu lagi adalah Lou berbicara dengannya dan mengajaknya turun, sementara dia mengabaikan Anthony yang padahal ada di dekat mereka. Anthony sepertinya tak mempedulikan hal itu, dia hanya menatap mereka dari belakang dalam diam.
Tak lama mereka bertiga tiba di ruang makan, di sana Marck, Helena, dan Albert sudah menunggu. May ingat, saudara laki-laki kedua Lou tak pernah berada di rumah, hanya saja dia kurang tahu dia berada di mana.
Helena segera menarik dua kursi di sebelahnya untuk May dan Lou, sementara Anthony dan Albert duduk di hadapan mereka.
May melihat Marc yang tersenyum padanya dan dia segera menyapa dengan sopan. May bisa merasakan betapa mereka sangat menyambut kedatangannya, ini membuatnya merasa lebih lega.
May tersenyum dan tak sengaja bersitatap dengan Anthony yang duduk di depannya. Untuk pertama kalinya, gadis muda itu merasa jantungnya seolah akan meledak. Untungnya May teralihkan saat Lou mengajaknya bicara.
Ting Ting Ting. Suara gelas dipukul pelan berbunyi. May menoleh ke sumber suara.
“Baiklah, malam ini kita akan menyambut kedatangan May di rumah kita. Mulai sekarang, dia adalah bagian dari keluarga ini.” Marc mengumumkan dengan wajah bahagia, ini membuat May merasa sangat tersentuh.
May tersenyum manis, dia bersyukur karena bisa diterima dengan hangat di keluarga ini. Rasa haru memenuhi hatinya dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir, dia kembali merasa hidup.
Malam itu mereka menikmati makan malam dengan tenang.
May terbangun dari tidurnya saat mendengar teriakan dari kamar sebelahnya, sebenarnya ini cara bangun yang cukup biasa untuk May. Hampir setiap hari selama tujuh tahun terakhir dia akan bangun dengan cara ini.
May segera bangun dari tempat tidurnya dan berlari pelan ke kamar Lou yang tepat berada di sebelahnya. Dia hanya ingin tahu apa hal tak berguna yang Lou lakukan sekarang.
“Ada apa, Lou?” tanya May mengintip di balik pintu kamar Lou. May melihat Lou duduk di depan komputernya dengan wajah kusut, kemudian menoleh ke arah May dan tersenyum kaku. Dia tak mengatakan apapun, hanya kembali menatap layar komputernya.
May menyipitkan matanya bingung, “Apa ada ini?” tanyanya dalam hati, sekarang dia penasaran. May melangkah memasuki kamar Lou yang didominasi warna hitam dan putih, memberi kesan elegan.
Bibir May berkedut kesal saat melihat layar komputer Lou. Antara emosi dan jijik bercampur menjadi satu dalam dirinya. Di sana, di layar komputer itu terlihat video aneh yang menampilkan seseorang sedang memakan kecoa.
May meringis saat melihat orang itu menyuapkan kecoa lagi ke dalam mulutnya, kemudian menggigitnya dengan rakus. Segera May mengangkat tangannya dan memukul kepala Lou, cukup kuat. “Berhentilah menonton hal tak berguna,” teriaknya langsung di telinga Lou.
Lou otomatis menutup telinganya dan tertawa terbahak. “Aku hanya ingin menguji refleksmu,” ujarnya jahil.
“Kau melakukannya setiap hari!” May memukul punggung Lou sekali lagi untuk melampiaskan emosinya. Dia tahu Lou hanya melakukan hal tak berguna, tapi dia selalu datang ke kamar ini setia harinya untuk bertanya, “Ada apa, Lou?”
Bukankah itu menyebalkan? May mengumpat kesal, dia segera berbalik, hendak kembali ke kamarnya. “Hey, sekarang?” tanya Lou saat melihat May berlalu.
May menghela napas lelah mendengarnya, namun tetap menjawab, “Ya. Kita harus mencari informasi tentang orang itu dulu.”
“Baiklah.” May bisa mendengar suara Lou yang cukup bersemangat. Dia lalu keluar dari kamar Lou dan menutup pintunya pelan, berjalan dengan tenang ke arah kamarnya.
Saat May hendak membuka pintu kamarnya, gerakannya terhenti, dia lalu menoleh ke pintu kamar yang berhadapan dengan pintunya. Tatapan May seketika berubah sendu saat mengingat pemilik kamar itu—Anthony.
Sudah hampir empat tahun sejak dia pergi meninggalkan rumah. Tak ada kabar sama sekali tentang dirinya. Seolah dia benar-benar menghilang menjadi debu. Semua orang khawatir, bahkan Lou juga, tapi tak peduli apa yang mereka lakukan, mereka tak bisa menemukannya, bahkan tak bisa menemukan petunjuk apapun tentangnya.
May menghela napas lelah, dia juga melakukan hal terbaik yang dia bisa untuk mencari petunjuk, tapi semuanya sia-sia. Anthony tak ada dimanapun, bahkan mereka pun tak tahu apa dia masih hidup atau tidak.
May menundukkan kepalanya pelan, kemudian mendorong pintu kamarnya dan masuk. May melirik ke arah lemari pakaiannya, berjalan ke sana dan mengambil sebuah tas.
Malam ini mereka akan menyelidiki seorang polisi korup yang bekerja sama dengan mafia. Orang itu telah menutupi peredaran narkoba disebuah club malam. Mereka akan menyelidikinya dan menyerahkan semua bukti kepada pihak berwenang.
May menatap tas hitam yang ada di tangannya, kembali teringat kejadian dua tahun lalu saat semuanya bermula. Mereka awalnya hanyalah anggota klub beladiri sekolah, tapi kemudian salah satu teman mereka menjadi korban pemerkosaan dan meninggal. Kasusnya tak pernah diusut karena pelaku adalah anak orang terpandang.
Ini membuat mereka semua geram. Demi membawa keadlilan bagi teman mereka itu, May dan Lou, melakukan penyelidikan dan pengumpulan bukti. Perjuangan mereka terbayar dan mereka bisa menjebloskan orang-orang itu ke penjara.
Itu adalah awal yang baik karena setelah itu mereka mulai melakukan banyak penyelidikan lain bersama teman-teman baru mereka. Alhasil terbentuklah tim rahasia yang bertekad untuk mengadili semua penjahat di kota mereka.
Tahun berlalu dan gerakan kecil yang awalnya hanya ingin memeberantas preman-preman kecil itu berubah menjadi sebuah organisasi besar dan terstruktur. Anggota mereka kian bertambah secara signifikan.
Kini organisasi kecil itu telah berubah menjadi organisasi yang cukup ditakuti mafia kota. Mereka dikenal bergerak rapi dan tersusun, mereka bisa menyelidiki targetnya tanpa disadari dan target itu baru akan sadar saat semuanya sudah terlambat. Banyak mafia-mafia kecil yang sudah menjadi korban mereka, tapi tak ada satupun yang tahu pasti siapa si pelaku, apa tujuan mereka, atau bahkan nama anggota mereka. Semuanya terlalu tersembunyi dan misterius.
Pada akhirnya saat mereka terlalu terkenal, tapi tetap tak memiliki nama, beberapa orang mulai memberi mereka julukan-julakan aneh, yang paling terkenal adalah Laughing Coffin. Nama ini mungkin juga dianggap sebagai sarkasme pada para penjahat yang telah mereka kalahkan. Yang tidak mereka duga adalah organisasi itu setuju dengan nama baru mereka dan secara resmi menggunakan nama tersebut.
May menghela napas pelan, sebenarnya dia mulai lelah dengan semua ini. Walaupun disebut sebagai organisasi terstruktur yang melawan para mafia, target mereka tak lebih dari penjahat-penjahat kecil di lingkungan kota, hal-hal seperti ini tak akan memberi hasil yang signifikan dan mungkin butuh ratusan tahun untuk mencapai tujuan mereka.
Namun dia tak bisa melakukan apapun, Laughing Coffin mungkin sangat terkenal dan ditakuti, tapi kenyataannya mereka hanyalah sekumpulan remaja gila yang sedang melawan arus. Laughing coffin yang begitu ditakuti mafia kota ini sebenarnya hanya kelompok bermain sekumpulan remaja yang bosan dengan tugas sekolah!
TOK TOK.
Ketukan ringan di pintu menyadarkan May, dia lalu melirik ke pintu dan melihat Lou sudah siap. May mengangguk sebentar dan mengambil beberapa benda yang mungkin akan dia butuhkan nanti, seperti pisau lipat dan semprotan merica, sementara Lou sudah pergi lebih dulu.
Setelah memeriksa semua yang dibutuhkan, May segera ke luar. Dia bergerak secara terpisah dengan Lou karena saat ini sudah pukul sebelas malam. Akan sangat berbahaya bila Marc atau Helena menangkap mereka.
May keluar secara diam-diam agar tak diketahui penghuni rumah lainnya. Dia lalu bertemu dengan Lou di luar pagar mansion. Keduanya kemudian berjalan cukup jauh, hingga mereka melihat sebuah van terparkir di pinggir jalan. Lou melambaikan tangannya ke arah van itu. Van itu langsung menyala dan mmenghampiri mereka.
“Butuh tumpangan nona-nona?” gurau seorang pemuda yang tak lain adalah Dominic, teman May dan Lou.
“Shut up, Dom.” Lou memukul tangan Dominic yang terulur ke luar jendela dan tersenyum cerah pada Jack yang duudk di kursi kemudi.
May tersenyum sebelum menarik Lou masuk ke dalam van. Van itu langsung bergerak setelah mereka masuk.
Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit. Mereka tiba disebuah kelab malam terkenal di kota itu. Jack memarkirkan van mereka cukup jauh, sementara May dan Lou turun dari van itu. “Baiklah, kita hanya butuh bukti kecil untuk membuktikan bahwa kelab itu menjual narkoba. Berhati-hatilah nona-nona.” Dominic memberi arahan.
May dan Lou mengangguk pelan. Keduanya lalu turun dari van dan menuju kelab malam itu. May berjalan di sebelah Lou dan mereka mencoba berbaur dengan semua orang di sana. Mereka hanya butuh satu bukti yang kuat, jadi mereka akan berpencar dan berkeliling.
May melangkah ke arah dancing floor, sementara Lou sepertinya menuju lantai dua. May memasang wajah datarnya saat beberapa lelaki menggodanya. Dia terus berjalan ke depan tanpa peduli dengan sekeliling, namun saat sedang berjalan, seseorang tiba-tiba menepuk pantatnya. May menggigit bibirnya menahan marah, tapi dia mencoba sebisa mungkin untuk mengabaikan orang itu.
Sayangnya bukannya berhenti, orang itu malah mengulangi perbuatannya, membuat May yang sudah geram langsung meraih tangan si pelaku dan memutarnya ke sudut yang sangat menyakitkan. Pria itu berteriak kesakitan, tapi teriakannya teredam oleh suara musik yang berdentum kuat. May memelototi orang itu sebelum meninggalkannya dan berlalu.
Hanya saja kejadian ini membuat mood May hancur dan dia memutuskan untuk mengamati dari pinggir. Matanya terus menatap awas ke setiap pengunjung yang mungkin saja akan membeli narkoba. Wajah dinginnya membuat beberapa lelaki yang awalnya ingin mendekat segera pergi menjauh.
May tetap waspada dan memperhatikan, namun dia sama sekali tak menyadari saat sepasang mata tengah menatapnya tajam dari ruang VIP. Mata tajam pria itu sama sekali tak berpaling dari May sejak dia pertama kali masuk ke dalam kelab. Dia terus memperhatikan May dalam diam.
May melirik ke sampingnya saat tiga orang pria menghampirinya. “Hai, cantik. Mau main?” tanya salah seorang dari mereka sambil mencolek dagu May.
May menatap mereka dingin, penuh peringatan, namun tatapan itu dianggap mainan oleh ketiga keledai itu. Mereka menggoda May dan kali ini lebih kurang ajar, May langsung menepuk tangan yang mencoba menyentuh wajahnya. Kemudian dia menampar salah seorang dari mereka, membuat yang lainnya marah.
May sudah siap melawan saat tiba-tiba tangannya ditarik kebelakang, membuat tubuh May berbalik ke arah si penarik. May kaget dan bersiap melawan, tapi si penarik itu terlebih dahulu menahan tangan May dan membungkam mulutnya—menciumnya.
Orang itu mencium May dan menahan agar May tak bisa memberontak. Hal ini membuat May panik, tapi tak peduli apa yang dia lakukan dia tak bisa melepaskan diri. May tahu tak ada yang bisa dia lakukan, jadi dia mulai menenangkan diri. Setelah itu, orang itu melepaskan pagutan bibir mereka dan menarik May langsung ke pelukannya.
May tak tahu apa yang orang itu lakukan, tapi dia mendengar apa yang dikatakan orang itu pada ketiga orang yang tadi mengganggunya, “She is mine.”
Satu kalimat itu berhasil membuat ketiga pria yang tadi menggoda May pergi. Namun May sama sekali tak ingin berterima kasih atas hal itu, dia langsung mendorong 'penolongnya' dengan kuat. Dia bahkan sudah siap protes dan memberi pelajaran pada orang tak tahu diri yang sudah merebut first kiss-nya.
“Kau!!” Perkataan May terpotong. Dia terdiam tak mampu melanjutkan protesnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!