NovelToon NovelToon

Aku Sang Pewaris Yang Kamu Hianati

Bab 1

Di sebuah cafe di pinggir kota, seorang wanita cantik tengah menikmati secangkir kopi hangat yang menenangkan. Tiba tiba ada yang menabraknya dari belakang yang membuatnya terkejut.

"maafkan aku, aku sedang terburu-buru. Aku akan mengganti kopimu." ujar pria bermata biru itu.

Amara elowen Sinclair, seorang wanita cantik berusia 24 tahun. Rambut coklat bergelombang dan mata bulat Serta pipi simetris dan bibir tipis membuat siapa saja yang meliriknya akan betah dan enggan memalingkan pandangan. Ia mengganti ujung namanya menjadi Amara Herven sehingga membuat orang orang tidak mengetahui statusnya. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Sinclair, seluruh inggris tahu nama keluarga itu.

" Its okey, kamu baik baik saja?." tanya Amara dengan nada ramah.

Dion Michael Carter, pria berusia 29 tahun dengan perawakan gagah dan rapi. Mata birunya menambah kesan tampan serta rahang tegasnya membuatnya semakin menawan. Dia pekerja paruh waktu di cafe itu. Namun ada kendala yang mengharuskan nya pergi saat itu juga.

" A...aku aman, tunggu disini, sebentar lagi aku akan kembali dan mengganti kopimu. Tunggu aku di sini oke." ucap Dion. pria itu lalu berlari keluar dari cafe. Langkahnya sangat cepat.

Amara tersenyum kecil melihat tingkah pria itu. Tiba tiba ponselnya berdering.

" Amara, pulang sekarang. Papamu ingin bertemu." sambungan telepon terputus secara sepihak. Amara menghela nafas malas.

"Aku akan pulang nanti malam." pesan ia kirimkan ke nomor yang baru saja menghubunginya. Tidak ada balasan dan Amara melanjutkan aktivitasnya.

Sementara itu kini Dion sudah berada di sebuah lapangan basket yang tak jauh dari cafe. Ia melihat adiknya sudah menunggu dengan ekspresi kesal.

" Kak, kenapa kakak terlambat lagi?. Aku sudah menunggu dua jam lebih." ucap Alis, wanita berusia 20 tahun itu dengan ekspresi kesal. Dion menghela nafas dengan sabar.

" Ayo pulang, kakak akan mengantarmu. Tapi ikut ke cafe dulu kakak ada urusan." ajak Dion. Alis bangkit dengan malas dan berjalan ke arah Dion.

Alis hari ini ikut les basket dan ia selalu iri melihat teman temannya yang dijemput tepat waktu. Sementara dirinya hanya bisa menunggu sampai urusan kakaknya selesai.

" Kak, kenapa kita hidup seperti ini. Seharusnya kakak membeli mobil agar aku tidak harus menunggu kakak untuk menjemput." ujar Alis di perjalanan.

" Sabar ya, Kakak sedang berusaha sekarang. Kakak akan membeli mobil kesukaanmu setelah uangnya terkumpul." ucap Dion mencoba menenangkan alis. Gadis itu hanya melipat tangan di dada dan berekspresi kesal. Dion menghela nafas dan fokus pada jalan.

Kemudian ia teringat dengan gadis yang ia tabrak di cafe. Setelah tiba di halaman cafe, Dion masuk dan meminta Alis menunggunya di dalam mobil.

" Hy, apa sudah lama menunggu." ucap Dion saat wanita itu masih di posisinya.

"Tidak, lagipula aku juga sering nongkrong di sini. Apa kamu baru di sini?." tanya Amara mengalihkan pembicaraan.

" Yah, aku baru masuk kemarin. Ini hanya kerjaan sampingan. Pekerjaanku sebenarnya bukan di sini." Dion tersenyum ke arah Amara.

Amara mengangguk. Keduanya berkenalan. Semakin hari semakin akrab. Mereka sering bertemu di cafe itu bahkan setiap hari. Hingga benih benih cinta muncul diantara mereka berdua. Begitulah kisah cinta keduanya bermula hingga mereka akhirnya menikah.

Pernikahan berlangsung dengan sederhana tanpa keluarga besar dan kerabat. Pernikahan itu begitu privasi hingga tidak ada media yang tahu. Padahal keluarga Sinclair adalah yang terkaya di London.

Namun Amara lebih memilih kesederhanaan dan sesuai kemampuan Dion untuk menikahinya. Ia tidak menuntut dan memaksa pria itu.

------

 

3 tahun setelah pernikahan ( masa sekarang)

"sayang ini bekalnya, dimakan ya." kecupan lembut mendarat di pipi Dion yang tengah merapikan dasi.

" Makasih sayang, aku berangkat dulu." ucapnya. Kemudian ia mengecup kening Amara. Saat ini posisi Dion sudah naik dari sebelumnya hanya seorang karyawan sampai Ia sudah menjadi Manajer di agensi media ternama yaitu Nova Creatives di London. Tanpa dia tahu agensi itu berada dalam naungan keluarga Sinclair. Dan campur tangan Amara lah yang membuatnya bisa naik jabatan.

Dengan posisi Dion sekarang, Kini mereka sudah membeli sebuah rumah yang lebih besar dari sebelumnya. Kamar dan ruang tamu yang luas membuat mereka nyaman. Amara setiap harinya hanya menyiapkan makanan dan perlengkapan rumah. Tidak ada sedikitpun debu yang menempel di dalam rumah karena dia sangat rajin.

" Kak, Alis mau ke salon kasih uang dong." ucap seseorang yang baru saja keluar dari kamarnya. Dandanannya begitu berlebihan membuat Amara terkejut.

" Alis, kamu masih muda tidak baik berpakaian seperti tante Tante begitu. Sana ganti baju dan hapus riasan tebal itu." Amara melanjutkan aktivitasnya mengepel lantai.

Selama tiga tahun ini Alis tinggal dengan mereka. Dion tidak ingin membiarkan Alis tinggal dengan orang tua mereka. kedua orangtuanya sering sekali bertengkar dan itu membuat Dion takut psikologis Alis akan terganggu apalagi ia masih muda.

"Kak jangan banyak komentar ya sama penampilan aku. Kakak tu ga tau trend jaman sekarang. Ini era modern jadi kita harus berpenampilan modis dan terlihat kaya raya. Aku tidak mau seperti kakak enggak terurus. Bisanya cuma ngepel dan masak." gerutu Alis dengan nada judes.

"Aku lebih tahu apa yang kamu tidak tahu. Maka dari itu aku memperingati kamu untuk berpakaian apa adanya. Kamu lebih terlihat cantik kalau berpakaian sesuai umur."

" Eh udah ya jangan banyak omong. Kamu itu gak tau apa apa. Dasar kuno. Kalau saja kamu bukan istri kakakku sudah aku jambak rambut kamu." Alis pergi sambil menendang ember berisi air yang ada di hadapannya. Amara menghela nafas tak percaya dengan sikap Alis. Semakin hari gadis itu semakin menjadi. Amara takut dia akan terjerumus ke dalam hal hal yang tidak di inginkan. Sementara Dion sangat menjaga adiknya dari pergaulan bebas. Amara berusaha membantu dengan menasihati, namun Alis sangat keras kepala. Amara terdiam kemudian ia mengelap air yang membasahi seluruh lantai yang sudah ia bersihkan.

Tiba tiba ia mendengar notifikasi dari sebuah ponsel yang dikenalnya. Ini suara ponsel Dion. Amara bergegas menuju meja yang ada di ruang tamu.

"Astaga ponselnya ketinggalan." Amara mengangkat ponsel itu lalu layarnya hidup.

"Sayang. Malam ini temani aku."

Deg

Jantung Amara berdetak kencang saat mendapati pesan dari nomor bernama Albert tersebut. Amara terduduk di atas sofa sambil memandangi layar ponsel yang ada di hadapannya. Amara mencoba menguatkan mental dan berniat membuka ponsel Dion.

*Sandi salah*.

*Sidik jari tidak cocok*

*wajah tidak dikenali*

" Kenapa ponselnya tidak bisa di buka." Amara berkata dengan bibir bergetar. Amara tahu betul bagaimana Dion. Selama ini semuanya tidak pernah dikunci. Pasword ponselnya semuanya tentang Amara. Tanggal lahir Amara, sidik jarinya, dan wajahnya. Semuanya digandakan dan sekarang Dion mengunci ponselnya.

Kecurigaan kini merasuki dada Amara, hatinya seperti tersayat.

"Sejak kapan Dion, sejak kapan...." Amara menggelengkan kepalanya tidak percaya. Amara terduduk lemas dan badannya bergetar hebat. Air matanya luruh tak tertahankan.

Tiba tiba pintu rumah terbuka dan terlihat Dion berdiri di ambang pintu dengan ekpresi khawatir.

" Amara."

Ia melihat Amara sudah tak sadarkan diri di sofa.

bab 2

Dion segera berlari ke arah Amara. Dion melirik ponselnya yang ada di atas meja. "apa dia melihat pesan Anya?." Dion panik dan segera menghapus pesan yang baru masuk itu.

"Amara, bangun Amara."

Dion mengambil minyak wangi dan mengoleskan nya di hidung Amara. Setelahnya ia mengambil air dan menyirami wajah Amara dengan pelan.

Tak berselang lama Amara tersadar. Dion merasa lega. Kemudian ia menaruh gelas berisi air di atas meja. Sementara tatapan Amara masih tertuju padanya.

"Kenapa bisa tak sadarkan diri begini?." tanya Dion. Amara hanya diam, bibirnya pucat dan pandangannya terlihat kosong.

" Aku kelelahan." ucap Amara singkat. Tangannya masih bergetar namun ia menyembunyikan semua itu. " Aku akan mencari tahu sendiri apa yang kamu lakukan di belakangku Dion".

" Ya sudah kalau begitu kamu harus istirahat. Masuk ke kamar ya soalnya aku mau balik ke kantor lagi. Tadi ponselnya ketinggalan." Dion tersenyum ramah ke arah Amara. " sepertinya dia tidak melihat apa apa. Syukurlah." gumam Dion dalam hati.

Amara hanya diam dan enggan menyahut. Perubahan Dion semakin terlihat. Dulu Dion begitu khawatir dengannya hingga tidak akan melakukan apapun sebelum menjaga Amara sampai ia sembuh. Tapi sekarang, pria itu tidak memeluknya sama sekali saat sadarkan diri dari pingsan, dan malah akan ke kantor lagi tanpa memperdulikan nya.

Dion bangkit dan menyentuh bahu Amara. " malam ini ada lembur, sepertinya aku tidak akan pulang. Besok pagi mau dibawakan apa?." ucap Dion. Tatapan penuh harap itu membuat hati Amara semakin tercabik. Selama ini dia akan membiarkan Dion lembur dan bahkan menyetujui untuk tidak menghubungi pria itu sesuai permintaannya. Namun sekarang ia jadi tahu apa itu lembur yang sebenarnya.

" Tidak perlu bawa apa apa." Amara berekpresi datar tanpa menoleh ke arah Dion. Hatinya terenyuh dan seakan enggan untuk menatap pria yang berstatus suaminya itu.

" Sayang, jangan marah ya. Aku akan pulang besok pagi hanya malam ini." ucap Dion sambil terus berharap akan mendapatkan ijin tanpa rengekan dari Amara. Selama ini Amara akan merengek jika tahu dirinya lembur. Jadi Dion selalu membawakan apapun yang di inginkan Amara saat pulang ke rumah, dan dengan itu Amara akan berhenti marah padanya. Tapi sekarang, Amara bahkan tidak menatap ke arahnya saat akan mengatakan lembur.

Amara bangkit dan berjalan menuju kamar. Ia tidak memperdulikan suara Dion yang terus memanggil namanya.

" Mungkin dia sangat lelah, nanti akan aku bawakan makanan enak untuk mu." ucap Dion. Ia melirik jam dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Ia segera bergegas dan meninggalkan rumah.

Sementara itu Amara sedang menatap pantulan dirinya di cermin. " Apa aku kurang cantik, apa aku kurang sempurna, atau apa dia sudah tidak mencintaiku lagi?." Amara menangis dan bahunya bergetar. Rasanya sangat sakit menyaksikan kebohongan yang dilakukan suaminya sendiri. Namun Amara tidak ingin gegabah, ia ingin membuktikannya sendiri.

Amara sadar penampilannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Rambutnya bahkan tidak pernah di salon dan bajunya selalu itu itu saja. Selama ini dia hanya fokus mengurus rumah dan suami hingga lupa mengurus penampilan sendiri. Amara ingin menyesuaikan kehidupan seperti rumah tangga pada umumnya. " Apa aku sudah terlalu jauh?." pikirnya dengan air mata yang terus berderai. Amara menatap ponselnya di nakas. Kemudian ia mencari kontak seseorang yang sudah beberapa tahun ini tidak ia hubungi.

" Halo...."

.

.

Dion memarkirkan mobil di parkiran perusahaan. Ia masuk ke perusahaan dengan langkah cepat, sadar akan dirinya yang sudah terlambat. Dion bergegas masuk ke ruang rekaman karena hari ini ada album baru yang akan di rekam dan segera rilis.

" Kemana aja kok lama banget?." ucap seorang wanita yang duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. Bibir tebal dan kelopak mata penuh glitter menghiasi wajahnya. sudah bisa ditebak bahwa dia adalah seorang selebritis.

" Vanya, aku.."

" Istrimu lagi?." ucap wanita itu dengan ekspresi malas. Kemudian ia bangkit dan berjalan ke arah Dion. Kebetulan hanya mereka berdua di ruangan itu.

" Dia pingsan tak sadarkan diri, aku menunggunya siuman karena tidak ada orang lain di rumah." ucap Dion menjelaskan.

" Kamu masih mengkhawatirkan istrimu yang tidak seberapa itu?. oke Dion kali ini aku maklumi. Tapi kamu tidak lupa dengan malam ini kan?." ucap Vanya. Dia mengubah ekspresi mengintimidasinya menjadi seseorang yang manja. ia bergelayut manja di lengan Dion.

" Aku sudah katakan akan lembur." ucap Dion dengan senyuman hangat dan menggenggam tangan Vanya yang bertengger di lengannya.

" Baguslah." ucap Vanya menyunggingkan senyum bahagia. "kamu sangat tampan Dion, rasanya kalau tidak menaklukkan mu seperti ada yang kurang. Ditambah lagi dengan posisimu sekarang bisa membuat karirku semakin bersinar dan naik daun." gumam Vanya dalam hati.

" Bisa kita mulai rekamannya?." ucap Dion.

Vanya mengangguk dan masuk kedalam ruangan. Ia memasang peralatan untuk rekaman dan menginstruksikan Dion untuk memutar musik. Vanya mulai bernyanyi dengan merdu, Dion yang mendengarnya hanyut dalam kekaguman. Suara merdu Vanya membuatnya seperti ingin terbang dan tertidur di awan.

"Andai saja Amara memiliki suara semerdu ini. Aku belum pernah mendengarnya bernyanyi. Dia tidak punya bakat sama sekali untuk dibanggakan." Dion teringat pada Amara. Selama bersama, Dion tidak pernah melihat ataupun mendengar sesuatu yang membuat Amara terlihat hebat. Semuanya biasa saja, bahkan Dion ragu jika Amara pernah berkuliah. Amara sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain mengurus rumah dan memasak. Itu yang membuat Dion bosan.

" kamu sangat hebat baby." Dion mengecup bibir Vanya dan gadis itu tersipu malu.

" Kamu seperti belum terbiasa saja mendengar aku bernyanyi. Sudah hentikan aku jadi malu kalau di puji terus." ucap Vanya.

Dion tersenyum puas karena berhasil menggoda Vanya. Setelah rekaman selesai, mereka berdua memutuskan untuk menuju ke suatu tempat. Mereka tidak pergi bersama, melainkan menggunakan mobil yang berbeda.

Di dalam mobil, Dion melihat kotak bekal yang diberikan Amara. Dion terdiam sejenak, kemudian ia turun dari mobil dan membuang makanan yang ada di dalam kotak bekal ke tong sampah. Setelah selesai ia kembali masuk ke dalam mobil dan meletakkan kotak bekal itu kembali ke tempatnya. " Setiap hari dibuatkan makanan, seperti anak kecil saja. Aku sudah sangat bosan." ungkap Dion dengan ekpresi kesal.

Mobilnya melaju membelah jalanan, tujuannya adalah sebuah hotel di pinggir kota. Dion menggunakan map dengan alamat yang di sebut oleh Vanya.

Sementara itu, seseorang telah mengambil vidio Dion diam diam saat ia membuang isi bekal yang diberikan Amara.

Vidio itu diterima Amara saat itu juga, hatinya remuk dan hancur berkeping-keping. Bekal yang ia siapkan dengan penuh cinta di buang begitu saja ke tong sampah. Seperti cintanya yang perlahan juga mulai di buang.

Amara merasakan sesak yang tak tertahankan di dadanya, rasanya begitu menyakitkan. Ini pertama kalinya ia merasakan sakit hati setelah bersama dengan Dion cukup lama.

" Dion...."

bab 3

Amara menghapus air matanya. Percuma saja rasanya menangis seperti ini tanpa berbuat apa-apa.

" Aku akan membuatmu menyesal Dion." Amara mengepalkan tangan dan matanya memerah menahan sakit hati yang begitu besar.

Ia teringat masa masa berpacaran dengan Dion. Pria itu sangat sederhana dan menyejukkan hati. Sikapnya lemah lembut, tidak pernah membentak dan selalu perhatian. Amara jadi nyaman dan rasanya sulit sekali berpaling hingga ia berani menentang orang tuanya untuk menikah dengan Dion. Jika di pikir sekarang rasanya begitu sakit. Apalagi ia hampir saja memutuskan hubungan dengan kedua orangtuanya.

" Apa aku harus kembali ke rumah?." gumamnya. Air matanya kembali runtuh, hatinya tidak sanggup menjadi benteng pertahanan dari rasa sedih yang menyerang. Amara menenggelamkan wajahnya pada bantal dan menangis sejadi jadinya. Bahunya bergetar hingga suaranya nyaris tak terdengar. malam itu menjadi saksi betapa hatinya begitu hancur. Malam dimana Dion sedang bersenang-senang sementara dirinya menderita menahan rasa sakit. Rasa kepercayaan nya pada Dion membuatnya tertipu.

Cukup lama Amara meneteskan air mata kekecewaan, tanpa sadar rasa lelah dan kantuk menyerang, hingga akhirnya ia tertidur dengan air mata yang terus mengalir.

.

.

Sementara itu di tempat lain, Dion sedang mandi di sebuah kamar hotel pinggir kota. Pikirannya terus tertuju pada Vanya yang saat ini sedang menatapnya dari balik pintu kaca.

" Boleh aku masuk?." tanya Vanya.

Dion terperanjat, ia refleks mengangguk.

Vanya masuk ke dalam kamar mandi, ia meluruhkan seluruh pakaiannya hingga tak tersisa. Sementara Dion dengan cepat menangkap tubuh polos Vanya masuk ke dalam pelukannya. Dion mencium kasar bibir Vanya dengan ganas. Suasana semakin panas saat Dion mengangkat sebelah kaki Vanya ke atas.

" Dion.. Ahh aku tidak tahan rasanya...ahh"

" Kamu sangat cantik dan seksi Vanya, aku mencintaimu."

Ciuman panas itu berlanjut dengan beberapa hentakan kasar dari bawah. Vanya meringis kesakitan hingga pipinya me merah. Dion tidak melepaskannya sama sekali. Dion mengangkat tubuhnya dan mereka kembali beradu.

Adegan itu berlanjut hingga Dion mengerang nikmat dan melepaskan Vanya.

Vanya terkulai lemas terduduk di lantai kamar mandi.

Dion kembali mengangkat tubuh Vanya dan memeluk wanita itu.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Amara terbangun dengan mata bengkak dan sembab. Rasanya sangat melelahkan menangis semalaman. Namun ia tidak berniat sedikitpun menelpon Dion karena percuma saja Dion tidak akan mengangkat teleponnya.

" Kamu bersenang senang semalaman tanpa memikirkan perasaanku." gumamnya lirih. Ia begitu terpukul hingga untuk melangkah saja rasanya sangat sulit.

Amara bangkit dan berniat untuk membersihkan diri. Namun saat akan melangkah ia berhenti karena mendengar suara bel berbunyi.

Amara mengira jika itu Dion. Ia merapikan rambutnya dan mencuci wajahnya. Setelah selesai, ia bergegas turun.

Sesampainya di pintu utama, Amara memutar gagang pintu dan pintu terbuka.

Amara tak menatap ke arah pintu yang baru saja dibukanya, ia memilih langsung berbalik dan berharap tak melihat wajah bahagia Dion yang baru saja tiba.

" Amara."

Suara familiar yang baru saja memanggil namanya membuat Amara membulatkan mata. Ia berbalik perlahan dan mendapati sosok yang selama tiga tahun ini tidak pernah ia lihat.

Amara terdiam tak percaya, ia masih mencoba mencerna apa yang terjadi.

" Mama." ucapnya lirih dan pelan.

Sosok di hadapannya tersenyum dan membentangkan tangannya seakan mempersilahkan Amara untuk memeluknya.

Tanpa aba aba, amarah berlari memeluk ibunya dengan erat. Rasa rindu dihatinya membuatnya menangis histeris.

" Mamaaa."

" Iya sayang mama di sini." keduanya hanyut dalam deraian air mata rindu. Sesekali wanita paruh baya itu mencium pucuk kepala putri kesayangannya.

" Bagaimana mama bisa tahu keberadaan Amara?."

Wanita paruh baya bernama Sania Elowen Sinclair itu hanya tersenyum sambil menatap lekat manik putrinya yang masih bersikap sangat polos.

" Apa kamu berpikir mama akan membiarkanmu begitu saja tanpa pantauan. Kamu salah sayang, setiap langkahmu mama bisa melihat jejaknya." ucap Sania sambil mengelus punggung tangan Amara.

Amara menggeleng pelan seakan menyesali kebodohannya selama ini. Meskipun kedua orang tuanya telah ia sakiti, namun mereka masih peduli padanya.

" Ma, Amara bersalah. Maafkan Amara." Isak tangis kembali terdengar hingga membuat seisi ruangan kembali terasa menyedihkan.

" Tidak ada orang tua yang membenci anaknya. Meskipun sebelumnya kamu sudah membangkang, tapi kamu tetaplah putri mama dan papa, jadi tidak ada alasan bagi kami untuk tidak memaafkan mu. Kami tahu kamu sedang jatuh cinta. Kekuatan cinta sangatlah besar hingga kami tidak sanggup menentang cintamu yang besar itu." jelas Sania pada putri semata wayangnya.

Amara hanya terdiam dengan linangan air mata yang menggenang. Mendengar kata cinta dari ibunya membuatnya kembali tersadar. Cinta yang dulu memang sangat kuat tapi cinta yang sekarang hanyalah sebuah ranting kering yang menunggu angin untuk menjatuhkannya.

" Amara, bagaimana hubunganmu dengan Dion?."

Amara menoleh saat mendapati pertanyaan dari ibunya. Amara menunduk sambil menggenggam tangan ibunya.

" Mama pasti lebih tahu dibanding Amara." ungkap Amara.

Sania menghela nafas.

" Apa kamu akan terus membiarkan hatimu tersakiti?. Lakukan sesuatu yang pantas kamu lakukan." Ucap Sania.

Amara terdiam dengan perasaan berkecamuk. Perkataan ibunya benar. Amara tidak mau terus tersiksa sendirian, walaupun pelan ia akan memastikan penderitaan Dion lebih dari apa yang ia rasakan.

Amara menatap lekat ibunya. " Ma, terimakasih sudah datang berkunjung. Amara sangat menyayangi mama dan papa."

Sania kembali memeluk putrinya. " Papamu begitu merindukan putri kecilnya. Pulanglah ke rumah utama."

Amara mengangguk pelan, rumah yang tiga tahun ini sudah ia tinggalkan dengan kenangan pahit, kini akan kembali ia masuki dengan niat akan memperbaiki semuanya.

" Baiklah ma, Amara akan pulang ke rumah dan menemui Papa." ucap Amara.

" Syukurlah, mama pergi dulu ada urusan yang harus mama selesaikan." ungkap Sania.

Amara mengangguk. Sania berpamitan dan pulang. Amara menatap kepergian ibunya dengan raut wajah tersenyum.

Bayangan ibunya sudah menghilang di terangnya cahaya pagi itu. Amara sesaat melupakan rasa sakitnya setelah melihat sosok yang selama tiga tahun ini tidak ia pandang.

" Aku akan kembali." gumamnya lirih kemudian ia memutuskan untuk menutup kembali pintu rumah.

Saat akan berbalik, Amara kembali mendengar suara bel. Amara akhirnya mundur dan membuka pintu.

"Sayang, lihat apa yang aku bawa!." Dion tersenyum bahagia ke arah Amara sambil menenteng sebuah paperbag yang berisi makanan hangat.

Suara yang begitu ia nanti nanti kepulangannya kini seperti dengungan yang memekikkan di telinga. Rasa jijik mejalar dalam dada Amara saat mendengar kata sayang dari mulut pria yang berstatus suaminya itu.

" Sayang, jangan diam peluk aku." Dion mendekatkan tubuhnya hingga kini ia memeluk Amara. Namun tangan Amara tidak terangkat sama sekali seakan enggan membalas pelukannya.

" Sayang apa aku membuat kesalahan, katakan?." ucap Dion yang mulai menyadari perubahan Amara.

" Aku lelah." Amara berlalu meninggalkan Dion begitu saja.

Pria itu termenung ditempatnya sambil mempertanyakan sikap Amara yang tiba tiba berubah.

" Ada apa dengannya?." ucap Dion pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!