Syifa Salsabila adalah wanita yang suka belajar ilmu agama, setelah menikah dengan Ahmad Fahri ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Syifa ingin fokus menjadi seorang istri yang bisa mengoptimalkan tugasnya dalam melayani suami.
"Bang, menurutmu lebih milih mana antara makan enak tapi kita jarang bertemu atau makan seadanya tapi kita selalu bersama?" Tanya Syifa seusai makan malam.
"Pastinya makan seadanya dong, yang penting selalu bersamamu, sayang!"
"Jadi misalkan bulan depan aku resign dari kerja apakah abang menyetujuinya?"
"Tentu, karena sebenarnya rezeki yang berkah itu tidak tergantung dengan banyak dan sedikitnya nominal, tapi selalu cukup untuk kebutuhan walaupun itu sedikit, dan kalau tidak berkah mau sebanyak apapun itu selalu merasa kurang karena tak pernah mensyukurinya. Iya kan?"
"Uuunncc ... Jawaban abang semakin meyakinkanku saja kalau aku ingin fokus dengan tugasku yang baru sebagai seorang istri, karena menurut agama surga istri ada pada suaminya!"
"Yupp, makanya kamu harus selalu taat dan patuh pada suamimu ini! Terutama dalam kebutuhan biologisnya, he he ..." Ungkap Fahri sambil memberikan kode bahwa ia ingin.
"Itu pasti, Bang! Tapi coba lihat dulu punggung abang!"
"Ada apa dengan punggungku?"
"Ada delapan pintu surga yang bebas aku raih ketika sami'na wa atho'na padamu dan tidak meninggalkan sholat fardhu serta puasa Ramadhan!"
"Kamu memang istri Sholehahku yang di kirim Allah menjadi bidadari dunia untukku, sayang."
"Insyaa Allah, kita usaha bareng-bareng, Bang. Menjalani rumah tangga sakinah mawadah warahmah Istiqomah till jannah."
"Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waja'alna lil muttaqina imama."
"Artinya?"
"Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang yang bertakwa."
"Aamiin Ya Allah ..."
"Sudah, boleh di mulai?"
"Apanya?"
"Yang ini ..."
Allahuakbar Allahuakbar ... Tiba-tiba terdengar suara adzan isya berkumandang.
"Eitts kita Sholat isya dulu, Bang! baru itu," Ucap Syifa sambil menutup mulut suaminya dengan jari telunjuknya.
"Oke. Kita usahakan akan selalu Utamakan panggilan Tuhan di sela-sela aktivitas kita!"
"Setuju."
Di awal pernikahan kehidupan mereka sangat bahagia bahkan dengan pondasi ilmu agama yang belum seberapa mampu membuatnya yakin bahwa apapun ujian dan cobaan di bahtera rumah tangganya nanti mereka akan tetap selalu bergandeng tangan untuk menuju ke surga.
~~
Satu bulan sudah usia pernikahan Syifa dan Fahri, mereka masih tinggal satu rumah dengan Rita dan Harun (orang tua Fahri).
"Syif, pagi ini kamu ke pasar belanja dan jangan lupa memasak untuk semua keluarga!" Perintah Rita Anggraini (ibu mertua) dengan nada yang keras.
"Baik, Bu." jawabnya agak takut.
"Jangan lupa beli daging sapi untuk dimasak rendang!"
"D-daging sapi, Bu?" Syifa mengulangi perkataan ibu mertuanya untuk memastikan.
"Iya, emang kenapa?"
"Daging sapi itu mahal, Bu. Uangnya nggak cukup, karena tadi Mas Fahri cuma ngasih uang 20 ribu untuk beli sayur dan telur. lagian kemarin kan kita sudah makan sop iga sapi, masa sekarang harus masak daging sapi lagi, Bu? Apa ini nggak pemborosan namanya?"
"Alaaah, uangmu kan banyak dari hasil kerjamu dulu??"
"Tapi uang saya kan buat ditabung, Bu. Untuk tambah-tambah beli rumah nanti."
"Masalah rumah urusan belakang, yang penting setiap hari kita bisa makan enak!"
"Astaghfirullah, kita nggak boleh mengelola management keuangan seperti itu, Bu!" Ujarnya dengan sedikit kesal atas sikap ibu mertuanya.
"Perduli apa, Syifa? Ibu dari dulu sudah hidup dengan selera makan seperti ini walau ada uang atau pun tidak!"
"Apakah termasuk harus dengan berhutang, Bu??"
"Ya, karena tanah punya bapaknya Fahri masih luas, jadi nggak apa-apa setiap tahun di jual buat bayar hutang-hutang ibu."
Syifa terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia terkejut dengan ucapan sang ibu mertua yang terlalu memaksakan gaya hidup elit tapi ekonomi sulit.
"Udah jangan geleng-geleng kepala terus, buruan sana ke pasar keburu daging sapinya habis!"
Syifa melangkahkan kakinya pergi dari hadapan Rita, ia tak menyangka wanita paruh baya yang ia hormati ternyata mempunyai sifat yang suka berfoya-foya selalu menuruti keinginan hati tanpa berfikir pendapatan dan kemampuannya.
Melihat sang istri keluar dari rumah dengan raut wajah yang kesal membuat Fahri ingin segera bertanya "Syif, mau kemana? kok sepertinya kamu lagi nggak baik-baik saja?"
"Mau ke pasar, Mas. Mau membeli daging sapi untuk dimasak rendang."
Fahri berjalan lebih mendekati sang istri "Bukannya kemarin kamu sudah masak iga sapi? Kok mau masak daging sapi lagi? Itu pemborosan, Sayang! Mas hari ini ngasih uang belanja kamu 20 ribu itu untuk beli sayur dan telur, nggak akan cukup kalau buat beli daging lagi untuk makan kita serumah?!"
"Aku tambahin dengan uang kerjaku, Mas."
"Jangan, Syif! uang simpananmu jangan di apa-apain, itu buat tambah-tambahan nanti kalau kita beli rumah,"
"Tapi hari ini ibu menginginkan aku masak rendang, Mas??"
"Ibu?"
"Iya."
"Kenapa kamu nggak bilang kalau uang belanjanya cuma 20 ribu cukup untuk masak sayur bening dan goreng telur?"
"Sudah, tapi ibu tetap menginginkan aku masak rendang,"
"Ya sudah, sekarang biarkan mas yang bicara sama ibu." tuturnya sambil bersiap ingin masuk ke dalam rumah menemui sang ibu.
"Jangan!" cegah Syifa reflek menarik tangan suaminya.
"Kenapa? keinginan ibu itu sudah nggak benar, Syif. Terlalu memaksakan selera makan yang enak-enak terus padahal uang kita sebenarnya pas-pasan. Sekali dua kali boleh tapi nggak bisa kalau harus terus-terusan!"
"Tapi, Mas?"
"Udahlah, dari kemarin kan kamu sudah menuruti kemauan ibu terus, tapi sekarang tidak! Ibu harus mengerti dengan kebutuhan kita yang harus nabung buat keperluan beli rumah dan keperluan kita saat punya anak nanti,"
"Tapi aku takut kalau ibu nanti jadi marah padaku,"
"Itu nggak akan, Mas akan membicarakannya dengan lembut supaya ibu bisa ngerti kalau putranya ini sekarang sudah berkeluarga yang punya tanggung jawab banyak."
"Terserah Mas saja,"
"Sekarang kamu nggak usah ke pasar tapi cukup ke warung Inem saja!"
"Baik, Mas."
Fahri memasuki rumah untuk menemui sang ibu, sedangkan Syifa juga melanjutkan langkahnya untuk berbelanja ke warung sebelah yang menjual aneka macam sayuran dan lauk pauk mentah.
"Assalamualaikum, Mbak Inem ..." Ucap salam Syifa saat sampe di depan warung Inem.
"Wa'alaikumussalam, Eh pengantin baru ... Mau beli apa nih? Tumben-tumbenan nggak belanja ke pasar?"
"Mau beli sayur bayam, cabe rawit dan telur, Mbak Inem."
"Oke, aku bungkusin dulu ya,"
"Iya, Mbak Inem. Sekalian totalnya berapa?"
"Sayur bayamnya 2 bungkus 4 ribu, cabenya 2 ribu dan telur setengah kilo 14 ribu jadi total pas 20 ribu, Syifa. Sama sekalian hutangnya Bu Rita masih 75 ribu kemarin."
"Hutang ibu?"
"Ibu mertuamu sering belanja dengan uang kurang yang akhirnya hutang 5 ribu, 7 ribu, 10 ribu dan sekarang terkumpul 75 ribu. Kalau kamu ada uang sekalian bayarin gih!"
"Maaf, Mbak Inem. Tapi ini saya bawa uangnya cuma pas 20 ribu aja,"
"Oh ya sudah nggak apa-apa, yang penting kamu jangan ikut-ikutan ibu mertuamu suka ngutang bawa uang 10 ribu mintanya ayam setengah kilo kan jadi ngutang, mending terus langsung dibayar lah ini sudah lebih dari sebulan belum dicicil sama sekali, hufft ..." Ungkapnya dengan kesal.
"Biarlah itu menjadi urusan Ibu mertua saya, Mbak. Dan kapan-kapan kalau Mas Fahri kasih uang belanjanya lebih saya akan bantu bayar hutang-hutang ibu itu."
"Ya, tapi jangan lama-lama ya, karena uang itu mau buat modal kulakan saya lagi!"
"Insyaa Allah."
Syifa pergi dari warung itu dengan perasaan kecewa karena ibu mertuanya ternyata suka hutang dimana-mana.
Bersambung ...
Assalamualaikum Readers ..
Buku ini Karya pertama saya di NovelToon yah ..
Mohon dukungannya dengan memberi Vote, Like, Subscribe dan rating bintang 5.
Terima kasih
Semoga Readers semua sehat selalu dan bahagia dunia akhirat ..Aamiin.
Cek Visual Tiktok @famalin.author
Setelah sarapan bersama sang istri, Fahri lekas bersiap untuk berangkat kerja, kemudian ia berpamitan meminta doa supaya kewajibannya dalam mencari rezeki dipermudah dan berkah barokah.
"Mas berangkat kerja dulu ya, Sayang. Jangan lupa segera kirim bekal sarapan untuk bapak di sawah!" Ucap Fahri pada Syifa.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan!" jawabnya sambil mengecup punggung sang suami tercinta.
"Heum. Assalamualaikum," Fahri pun juga membalas dengan mengecup kening istrinya pula.
"Wa'alaikumussalam."
Setelah Fahri berangkat kerja, tidak lama Rita datang menghampiri dengan raut yang penuh amarah "Syifa ..." bentaknya dengan suara keras.
"Iya, Bu?"
"Dibalik penampilanmu yang berjilbab itu ternyata kamu suka meracuni pikiran anak saya ya? membuat Fahri sekarang berani memprotes keinginan ibu,"
"Maaf, Bu. Memangnya mas Fahri berkata apa?"
"Dia nyeramahin ibu, katanya disuruh Qona'ah lah, bersyukur lah, bla bla bla ... padahal Fahri dulunya tidak seperti itu, pasti kamu yang sudah ngajarin dia untuk melawan ibu??"
"Astaghfirullahaladzim, saya nggak pernah berniat seperti itu, Bu."
"Halah nggak usah ngelak deh, kalau kamu ingin menjadi istri Fahri selamanya, jangan coba-coba menolak perintah saya apalagi mempengaruhi pikiran Fahri! Dasar pelit!"
"Istri selamanya? maksud Ibu apa?"
"Saya bisa saja membuat kamu cerai dengan Fahri kalau kamu berani menolak keinginan ibu lagi!"
"Saya mohon ibu jangan berkata seperti itu, nggak baik, Bu!"
"Udah, jangan sok-sokan kamu ikut nyeramahin ibu juga! Sekarang pergi ke warung padang beliin ibu rendang, ibu sudah lapar!"
"Tapi, Bu. Di meja makan sudah tersedia sayur bening, sambal dan telur goreng,"
"Ibu nggak selera makan kuah sayur bening seperti air laut cuma asin doang tidak enak seperti rendang!"
"Astaghfirullah, Ibu ..."
"Udah deh jangan istighfar terus, telinga ibu sakit setiap mendengar ucapan itu!"
Syifa tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya terdiam dan sangat kecewa atas sikap buruk sang ibu mertua.
"Syifa, buruan! Malah bengong??"
"Maaf tidak bisa, Bu! Sekarang saya harus mengirim bekal sarapan untuk bapak ke sawah."
"Mengirim bekalnya nanti saja! Ini baru jam 8 biasanya ibu mengirim bekal itu jam 10."
"Tapi kasian bapak, Bu?"
"Udah deh jangan ngelawan terus! kamu ingin segera jadi janda apa??"
"Naudzubillah,"
"Udah sana! Ambil uangmu dan cepat belikan ibu nasi rendang sekarang!" Rita mendorong bahu Syifa hingga hampir terjatuh.
'Ya Allah, kenapa ibu mertuaku sejahat ini sih? Hiks ..." batinnya sedih sambil terpaksa menuruti keinginan Rita.
Di pinggir sawah, Harun sudah membersihkan diri dan mencuci tangannya, ia menunggu kedatangan syifa sambil duduk menatap ke arah pematang sawah.
Harun melihat jam kecil yang berada di tas kain sederhana yang dibawanya setiap pergi ke sawah.
"Kok Syifa belum datang ya? Biasanya jam segini sudah tiba, apakah ada masalah dirumah?" gumamnya bertanya-tanya. "Sambil nunggu sebaiknya sholat duha dulu deh, semoga setelah selesai Syifa sudah datang." Lanjutnya.
Di rumah di saat Rita sedang menunggu Syifa yang sedang membelikan nasi padang untuknya, Fani (adik Fahri yang sudah menikah) datang dengan membawa tas besar yang berisi pakaian-pakaiannya.
"Ibu ..." Teriak Fani di depan pintu.
"Fani ... Kamu kenapa kesini bawa tas besar gitu?" tanya Rita sambil matanya fokus menatap tas besar itu.
"Aku Minggat dari rumah mas Prio (suami Fani), Bu. Hiks ..."
"Minggat? Apakah Prio menyakitimu?"
"Iya, Bu. Mas Prio berani berkata-kata kasar padaku."
"berkata kasar gimana?"
"Ya bentak-bentak aku karena semalam aku mabuk sehingga bangunnya kesiangan,"
Syifa yang sudah kembali dari warung padang tanpa sengaja mendengar ucapan sang adik ipar "Apa? Dek Fani, kamu mabuk?" tanya Syifa sangat heran.
"Kak Syifa jangan keras-keras ngomongnya! malu apabila di dengar orang!"
"Minuman keras itu kan haram, Dek!"
"Ini bukan urusan kamu Syifa, mana nasi padangnya ibu keburu lapar!" sahut Rita sambil menyaut bungkusan yang ada di tangan Syifa.
"Nasi padang? aku juga mau, Bu. sejak tadi aku belum makan," ungkap Fani.
"Cuma satu, kalau kamu mau? minta Syifa biar dibelikan lagi!"
"Maaf nggak bisa! Kalau dek Fani mau makan tuh di meja makan ada sayur bening dan telur goreng."
"Ah nggak mau! Aku pingin nasi padang juga yang lauknya Ayam atau rendang seperti punya ibu!"
'Ini anak ternyata sebelas duabelas sama emaknya, hadeh ...' gerutu Syifa dalam hati. "Kalau nggak doyan telur ya udah nggak usah makan, Dek! sekarang Kakak mau mengirim bekal untuk bapak ke sawah, keburu siang!" Lanjutnya.kemudian pergi begitu saja.
"Eh Kak Syifa, jangan pergi dong! Beliin aku nasi padang dulu!"
Syifa tidak menghiraukan perkataan Fani, ia tetap fokus pada tujuannya untuk segera pergi ke sawah.
~
Tiga puluh menit berlalu, Syifa sampe di sawah bapak mertuanya.
"Alhamdulillah akhirnya kamu datang juga, Syifa. Bapak sudah menunggumu dari tadi,"
"Maaf, Pak. Telat, karena ..."
"Karena apa? Apakah di rumah ada masalah?"
"Nggak ada, cuma tadi Dek Fani datang."
"Bersama suaminya?"
"Tidak, Pak. Dek Fani datang sendirian."
"Hmm, pasti lagi ribut."
"Dek Fani datang dengan membawa tas besar, Pak."
"Itu sudah berulang kali, Syif. Adikmu Fani itu setiap ada masalah dengan suaminya, ia selalu kabur pulang kasini. Bapak harap rumah tanggamu bersama Fahri tidak seperti itu, semisal di antara kalian ada masalah sebisa mungkin selesaikan berdua tanpa harus pulang ke rumah orang tuamu," tuturnya menasehati Syifa sambil menunggu menantunya itu menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk.
"Insyaa Allah, Pak. Syifa dan mas Fahri akan berusaha membina rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahmah."
"Aamiin, Bapak juga akan terus mendoakan kalian semua."
"Terima kasih, Pak. Oya ini makannya sudah siap, Bapak sarapan dulu ya, saya mau memetik sayur kangkung itu buat dimasak nanti sore untuk makan malam."
"iya, hati-hati! Bapak takut ada ular."
"Somoga aja tidak, Pak. Saya izin kesana dulu,"
"Heum."
Sebelum mulai memasukkan nasi kedalam mulutnya Harun selalu berdoa terlebih dahulu supaya makanan apapun yang ia makan bermanfaat bagi tubuh dan berkah barokah sehingga tubuhnya juga selalu diberi kesehatan oleh Allah.
Syifa memetik satu persatu tangkai daun-daun kangkung itu dimasukkan ke dalam plastik, ia berfikir kalau dipinggir sawah milik bapaknya ada sayuran yang bisa dimasak kenapa harus beli, itulah konsep hidup hemat Syifa yang diterapkan dikeluarganya sejak dulu.
"Alhamdulillah ternyata tanaman kangkugnya banyak banget bisa di masal 2 kali nih," gumamnya sambil terus semangat dengan aktivitas memetik itu.
Tiba-tiba tanpa sengaja kaki Syifa menginjak belut sawah yang juga ada disitu "Eh eh, ular ..." teriaknya langsung menyingkir ketakutan.
Mendengar teriakan Syifa, Harun segera menghampiri "Mana, mana? Ularnya, Syifa?"
"itu, Pak. Kelihatan ekornya itu di bawah pohon kangkung itu." tunjuknya dengan jari.
"Ya Allah, itu bukan ular, Syifa. Tapi belut. Bapak tangkap dulu buat dimasak nant bisa buat lauk,"
"Belut? Kok ekornya besar, Pak?"
"Ya karena belut di sawah ini besar-besar, Syifa."
"Alhamdulillah, nanti bisa digoreng dong, Pak?"
"Ya, bisa buat lauk makan nanti malam. Kamu suka?"
"Iya, Pak. Aku suka dengan belut goreng."
"Ya udah, mana plastik kamu, ini belutnya sudah ketangkap."
"Alhamdulillah," Ucap Syukur Syifa disaat harus hidup berhemat Allah memberi rezeki yang tidak disangka-sangka.
Syifa pulang ke rumahnya dengan bahagia sambil membawa satu plastik sayur kangkung dan juga 1 ekor belut besar yang sudah dipotong-potong oleh Bapsknya tadi di sawah.
"Dek Fani, tolong bantuin kakak bersihin belut ini dong, Kakak mau bikin bumbunya," pinta Syifa pada adik iparnya saat bertemu di dapur.
"What? Belut?" tanyanya sambil matanya melotot.
"iya, tadi di sawah bapak nangkap belut. Kenapa? kamu nggak doyan ya?"
"Bukan nggak doyan, Kak. Tapi jijik!"
"Tapi ini makanan halal loh, Dek. Gizinya juga banyak."
"Bentukannya kayak ular, Kak Syifa yakin itu belut bukan saudaranya ular?"
"Hah, maksudmu?"
"Ya siapa tahu itu adik iparnya ular?!"
"iya, persis kayak kamu!" jawabnya mulai kesal.
"Iiihhh, nggak dong! Aku kan cantik."
"Kalau nggak mau bantuin ya udah sana, jangan banyak alasan!"
"Sorry ..." Fani pun melenggang pergi begitu saja tanpa kasian sedikit pun pada Syifa yang sudah rela berpanas-panasan dari sawah seharian demi untuk berbuat baik pada keluarga barunya itu.
Dengan gercep Syifa membersihkan belut itu lalu digoreng dan menumis kangkung untuk persiapan makan nanti malam.
"Alhamdulillah, selesai. Sebentar lagi mas Fahri pulang kerja, sebaiknya aku mandi dulu deh," gumamnya semangat ingin membersihkan diri dan berdandan tipis-tipis untuk menyambut kedatangan sang suami tercinta.
Karena mencium aroma masakannya Syifa yang begitu menggugah selera, Fani diam-diam ke dapur ingin mencicipi aroma lezat yang sudah sejak tadi menggoda hidungnya itu, ia langsung menyantap sebagian belut goreng krispi yang tersedia di atas meja.
Awal mula Fani hanya ingin mencicipi belut goreng itu satu saja tapi lama-kelamaan ia malah ketagihan ingin lagi dan lagi "Kok belut ini rasanya enak banget ya? Beda banget kalau ibu yang masak hambar dan bau amis, emang Kak Syifa itu pake resep apa sih?" tanyanya pelan sambil masih terus menggoyangkan lidahnya.
"Katanya jijik? Kok belutnya mau dihabisin?? Ini tuh buat makan nanti malam, Dek!" pergoki Syifa saat Fani sedang asyik makan hasil masakannya itu..
"He he, Kak Syifa ... Aku cuma mau nyicipin kok, enak apa nggak gitu masakannya Kak Syifa,"
"Nyicipin kok habis banyak??"
"Emang nggak boleh?"
"Bukannya nggak boleh, tapi makanan ini semua untuk menu makan malam kita nanti berempat, Dek!"
"Perduli apa, dari kecil tidak ada yang berani menegurku! Kak Syifa adalah anggota baru di rumah ini jadi jangan coba-coba melawanku, kalau tidak ingin aku tendang keluar dari rumah ini!"
"Astaghfirullah, Dek Fani? dulu pertama Kakak mengenal kamu nggak gini? Kenapa sekarang berubah??"
"Dulu itu hanya topeng, karena Kak Syifa dulu sering beliiin barang-barang ke aku, tapi sekarang karena Kak Syifa pengangguran, ya udah sikapku juga kembali ke setelah awal,"
"Jadi dulu sikap baikmu itu hanya ..." ucapan Syifa terpotong karena mendengar suara Fahri sudah pulang.
"Assalamualaikum, Sayang kamu dimana?" Ucap Fahri sambil celingukan ke segala sudut ruangan.
"Iya, Mas. Aku di dapur."
Tanpa memasuki kamarnya terlebih dahulu Fahri langsung menghampiri Syifa.
"Maaf, Mas. Hari ini aku tidak menunggu Mas di depan rumah,"
"Nggak apa-apa, ini Mas bawa kado dari pak Bos, katanya hadiah untuk pernikahan kita, dan Beliau minta maaf karena kemarin saat kita menikah beliau tidak bisa hadir karena masih di luar negeri."
"Masya Allah, ini rezeki yang tidak disangka-sangka, Mas. Alhamdulillah banget Ya Allah ..." Puji syukurnya langsung mengingat pada Sang Pemberi rezeki.
Karena saking penasaran Syifa reflek langsung membuka bungkusan kado itu dan ternyata isinya sepasang cincin perhiasan emas 24 karat seberat 5 gram yang berbentuk love serta terukir nama mereka berdua dan juga lengkap dengan surat-suratnya.
"Masya Allah tabarakallah, ini cincin perhiasan yang indah, Mas." ungkapnya dengan mata berbinar-binar diiringi dengan senyum yang merekah.
"Iya, Sayang. Dari dulu bos Mas itu sangat dermawan suka ngasih hadiah istimewa untuk karyawan-karyawannya yang menikah,"
Fani yang melihat itu spontan rasa iri hati pun melanda pada dirinya "Ehem, ehem ..." dehemnya menunjukkan bahwa dia ada di antara mereka berdua.
"Eh Dek Fani, kapan kamu datang?" tanya Fahri baru menyadari.
"Sudah dari siang, Kak."
"Kesini sekedar maen aja? atau lagi ada masalah dengan suamimu?"
"Mas Prio KDRT, Kak." jawabnya dusta sambil pura-pura sedih dan mengiba.
"Masa sih? Kayaknya nggak kalau Prio seperti itu,"
"Kak Fahri nggak percaya?"
"Ya setahuku itu Prio orangnya baik, karena kakak dulu sekelas dengannya bertahun-tahun, jadi hafal betul dengan sikapnya, mungkin aja kamu yang salah, Dek?"
"Ah, Kak Fahri selalu aja nggak percaya dengan ucapanku dan malah belain mas Prio terus?? sebenarnya yang adik kandung Kak Fahri itu siapa sih? Aku atau mas Prio??"
"Bukan begitu maksud Kakak, Dek,"
"Udah, udah! Kak Fahri itu sama aja dengan Mas Prio nggak mau ngerti dengan kondisiku??"
"Kondisi apa?"
"Ini jari tanganku nggak ada cincin perhiasannya, bukannya dikasih satu dari cincin itu, malah dipamerin doang dan malah ikut nyalah-nyalahin juga?!"
"Maaf, Dek Fani. Bukannya kami nggak mau berbagi dengan hadiah ini, tapi cincin ini kan couple ada namanya, masa iya namaku atau nama Mas Fahri kamu pakai?? Lagian ini cincin mau kakak simpan buat investasi masa depan nanti, bukan untuk dipakai dipamer-pamerin," jawab Syifa tegas.
"Nggak usah alasan, bilang aja pelit dan serakah!"
"Hust! ngomong apa sih kamu, Dek?? nggak baik bicara gitu sama kakak iparmu! Lagian di jari kamu itu nggak ada cincinnya karena salah kamu sendiri, sudah menjual semua perhiasan pemberian Prio untuk berfoya-foya dan bersenang-senang menuruti gaya hidup yang berlebihan, jadi ini konsekuensi yang harus kamu terima!" tegaskan Fahri mengingatkan gaya hidup yang salah pada adik kandungnya.
"Ternyata di rumah ini hanya ibu yang bisa ngertiin aku, dan yang lainnya sok merasa paling benar!" ungkapnya dengan amarah kemudian melengos pergi begitu saja.
"Astaghfirullahaladzim ..." ucap Fahri dan Syifa kompak sambil mengelus dadanya kala melihat tingkah laku sang adik.
"Maaf ya, Sayang. Kalau di rumah ini kamu merasa nggak nyaman dengan sikap ibu dan adikku,"
"Nggak apa-apa, Mas. Aku akan bersabar dan selalu mendoakan mereka semoga diberi hidayah dan segera bertaubat."
"Aamin. Btw sudah ada minuman hangat kah untuk Mas?"
"Sudah dong, itu di atas meja, Mas. Aku ambilin dulu."
"iya, dan bawa ke kamar aja!"
"Heum."
Di dalam kamar Fahri langsung duduk termenung sambil menikmati segelas Teh hangat.
Syifa mendekati suaminya dengan lembut "Mas, lagi mikirin apa sih? Kok sepertinya serius?"
Bau harum dari tubuh Syifa tercium oleh Fahri seketika membuat bad moodnya berubah jadi good mood.
"Kamu habis mandi ya, Sayang?"
"Setiap hari saat menyambut Mas pulang kerja, aku kan selalu sudah mandi, wangi dan cantik, hehe, iya kan?"
"Apa iya? Coba sini mendekat! Mas mau lihat dengan jelas kecantikanmu itu," godanya dengan mode romantis.
"Nggak ah, aku tahu ini jebakan Mas ingin menciumku kan? Ngaku aja deh!"
"Kalau iya emang kenapa? Kita kan emang suami istri bebas untuk bersentuhan, Sayang."
"Tapi ini masih sore, Mas?! Bentar lagi juga Maghrib, persiapan untuk sholat berjamaah aja gih!"
"Nggak usah beralasan, sayang. Ini masih jam 5 sore masih ada waktu satu jam buat kita bermesraan sejenak,"
"Ah nggak, nggak! Niatnya sih emang sejenak tapi aku takut Mas malah ingin lebih dan merembet kemana-mana, lagian kan aku sudah mandi keramas masa suruh mandi keramas lagi??"
"Okay, kalau kamu keberatan ya sudah, tapi tolong sekarang kamu bukain kemeja Mas ini, karena Mas mau mandi,"
"Yaahh, sama aja itu arahnya juga kesana lagi, kesana lagi, hmm ..."
"Ini perintah suami, Sayang. Kamu tahu kan harus apa?"
"Iya, samikna wa athokna."
"Good. Kita mulai sekarang! sedikit bicara banyak bertindak!"
"Baiklah, tapi berdoa dulu!"
"Okay."
Mereka sepasang suami istri itu pun melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang walau dengan waktu yang singkat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!