Gelap. Itulah satu-satunya kata yang mampu menggambarkan keadaan sekitar Milea. Udara malam menusuk kulitnya, dinginnya seakan meresap hingga ke tulang sumsum.
Ia berlari, napasnya memburu, jantungnya berdebar-debar seperti drum perang yang dipukul tanpa henti. Rambutnya yang terurai berkibar liar ditiup angin malam, seakan ikut merasakan kepanikan yang menguasai Milea.
Bayangan pepohonan di kanan kirinya menari-nari di kegelapan, membentuk siluet-siluet menyeramkan yang membuat bulu kuduknya merinding.
Baru beberapa jam yang lalu, ia masih berada di dalam mansion megah milik Gio, seorang pria yang tampan namun kejam.
Pria yang telah menculiknya, memenjarakannya dalam sangkar emas yang dingin dan mencekam. Gio, dengan senyum liciknya yang selalu membuat Milea merinding, telah memberinya sebuah tawaran yang mengerikan: kesempatan untuk kabur di malam hari.
Jika esok hari Gio masih bisa menemukannya, Milea harus rela menjadi budaknya. Sebuah perjanjian yang tak masuk akal, sebuah permainan sadis yang memaksa Milea untuk bertaruh nyawanya.
Milea memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia harus kabur. Ia harus bebas. Bayangan wajah orang tuanya, wajah yang penuh dengan kekhawatiran dan cinta, menjadi penyemangatnya. Ia tak boleh menyerah. Ia harus bertahan.
Namun, jalanan yang ia lalui begitu sepi. Sepi yang mencekam. Tak ada satu pun rumah yang terlihat, tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Hanya pepohonan yang menjulang tinggi, seakan menjadi penjaga rahasia malam yang kelam.
Kegelapan itu terasa semakin pekat, semakin mencekam, seakan ingin menelan Milea hidup-hidup. Setiap derit ranting yang patah di bawah kakinya terdengar begitu nyaring, seakan menggema di telinganya.
Milea merasakan hawa dingin yang bukan hanya karena udara malam, tapi juga karena rasa takut yang menggigitnya. Ia berlari tanpa henti, tak tahu arah, tak tahu tujuan, hanya didorong oleh satu tekad: untuk bebas dari cengkeraman Gio, dari neraka yang telah dibuatnya.
Setiap langkah kakinya terasa berat, setiap tarikan napas terasa sesak, namun ia tetap berlari, berlari sekuat tenaga, berharap bisa menemukan secercah harapan di tengah kegelapan yang mencekam ini.
Tiga jam. Tiga jam Milea berlari tanpa henti, kaki-kakinya terasa seperti tertimpa batu besar, setiap langkah terasa begitu berat.
Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar karena kelelahan, kepalanya berdenyut-denyut hebat. Rasa haus dan lapar menggerogoti tubuhnya, membuatnya semakin lemah.
Ia terus berlari, meski pandangannya mulai kabur, dunia di sekitarnya seakan berputar. Jalanan yang sepi dan sunyi itu terasa semakin panjang, semakin tak berujung.
Harapannya mulai memudar, tenaganya benar-benar terkuras habis. Tubuhnya limbung, dunia di sekitarnya menjadi gelap gulita. Lalu, semuanya menjadi hitam.
Ketika kesadaran kembali, cahaya matahari yang menyilaukan menyambar wajahnya. Milea mengerang, matanya perlahan terbuka.
Ia masih berada di jalan yang sama, jalan yang sunyi dan sepi itu, dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Tubuhnya terasa remuk, kepala masih berdenyut hebat. Ia mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya terasa berat, lemas tak berdaya.
Lalu, ia melihatnya. Sepasang sepatu hitam mengkilap, sepatu yang sangat ia kenal, sepatu kesayangan Gio.
Milea mendongak, matanya menatap lurus ke atas, dan di sana, berdirilah Gio. Wajahnya yang tampan, yang biasanya terlihat menawan, kini tampak dingin dan tanpa ekspresi. Tatapan matanya tajam, menusuk, membuat Milea merasa semakin kecil, semakin tak berdaya.
"Kau... kalah," dua kata itu keluar dari bibir Gio, suaranya datar, tanpa sedikit pun rasa simpati. Dua kata yang menusuk hati Milea, menghancurkan sisa-sisa harapan yang masih tersisa.
Dua kata yang menandakan berakhirnya pelariannya, berakhirnya pertarungannya melawan takdir yang telah ditetapkan Gio.
Milea tertunduk, air mata mengalir di pipinya, mencampur debu jalanan dan rasa putus asa yang begitu dalam. Ia kalah. Ia telah kalah dalam permainan sadis yang telah dirancang Gio. Dan kini, ia harus menerima konsekuensinya.
Tiga hari lama nya Milea terkurung dalam penjara emas Gio, sebuah kamar mewah yang terasa lebih dingin dan mencekam daripada sel penjara tergelap sekalipun.
Tiga hari Gio menatapnya, mengamati setiap helaan napasnya, setiap gerakan kecilnya, namun tangannya tak pernah menyentuh. Sebuah permainan menunggu waktu, sebuah drama yang baru akan dimulai. Perjanjian mereka tadi malam, perjanjian yang memaksa Milea menjadi budaknya, telah menjadi pemicu bagi Gio untuk melancarkan aksinya.
Namun, ini bukan sekadar nafsu sesaat. Di balik mata Gio yang gelap dan dingin, tersimpan dendam yang membara, dendam yang telah membakar jiwanya selama bertahun-tahun. Dendam pada Alessandro, kakak Milea, pria yang telah menghancurkan hidupnya, pria yang telah merenggut kebahagiaan adik perempuannya, Berlin.
Berlin, gadis malang yang empat tahun lalu menjadi korban dari sebuah tragedi mengerikan yang melibatkan Alessandro.
Empat tahun Berlin terbaring koma, hidupnya melayang di antara mimpi dan kenyataan. Bahkan, ia melahirkan dalam keadaan tak sadarkan diri, sebuah bukti nyata dari kekejaman takdir yang telah menghancurkan hidupnya.
Satu bulan telah berlalu sejak Berlin membuka matanya, namun tubuhnya tetap tak berdaya, terkurung dalam cangkang yang tak bisa digerakkan.
Kecacatan otak akibat trauma masa lalu telah merenggut kemampuannya untuk merespon lingkungan sekitar, meninggalkannya dalam keheningan yang mencekam.
Kini, Gio akan membalas dendam. Milea, gadis yang tak bersalah, hanya menjadi korban dari dendam yang membara itu.
Ia akan menggunakan Milea sebagai alat untuk menghancurkan Alessandro, untuk membalas sakit hati yang telah terpendam selama bertahun-tahun.
Bayangan Berlin, dengan tubuhnya yang tak berdaya dan matanya yang kosong, menggerakkan Gio.
Ia akan membuat Alessandro merasakan penderitaan yang sama, ia akan membuat Alessandro merasakan sakit hati yang sama seperti yang telah ia rasakan. Malam ini, permainan akan dimulai. Malam ini, neraka akan dilepaskan.
*
*
*
Mobil mewah Gio melaju mulus, membelah keheningan malam. Di sampingnya, Milea terduduk lemas, tatapan kosongnya menerawang ke luar jendela, putus asa mencengkeram hatinya.
Empat hari. Empat hari lamanya ia menghilang, empat hari kakaknya, sang polisi handal, Alessandro, tak mampu menemukan jejaknya.
Bayangan-bayangan gelap mulai menari-nari di benaknya. Gio bukanlah orang sembarangan. Itu jelas. Kekuasaan dan pengaruhnya menjulang tinggi, membayangi Milea seperti awan badai yang siap meletus.
Pertanyaan-pertanyaan membayangi Milea seperti hantu-hantu kelam. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa rahasia kelam yang disembunyikan Alessandro, hingga membuat Gio, sosok yang begitu berkuasa dan kejam, menyimpan dendam sedalam samudra? Dendam yang kini berujung pada penculikan ini, pada rencana mengerikan untuk menjadikan Milea sebagai budaknya.
Bayangan itu menusuk hatinya, dingin dan membekukan. Ketakutan yang amat sangat, bercampur dengan ketidakpastian, menghancurkan sisa-sisa harapannya.
Mansion megah Gio, yang tadinya tampak seperti istana, kini menjelma menjadi penjara mengerikan, tempat mimpi buruknya dimulai.
Ia terjebak dalam jaring kekuasaan Gio, tanpa tahu bagaimana cara untuk meloloskan diri. Nasibnya kini digantungkan pada benang tipis harapan, yang setiap saat bisa putus.
Suasana hangat mentari pagi menyelimuti Mansion megah itu, Di dalam ruang makan yang diterangi lilin-lilin antik, suasana tegang terpancar dari setiap sudut. "Malam nanti, kau harus menepati janji mu Milea! Kau harus suka rela menjadi Budakku! " desis Gio, suaranya berat, bergema di ruangan sunyi itu.
Mata gelapnya, tajam dan penuh arti, menatap Milea yang duduk di hadapannya.
Wajah Milea pucat, bibirnya terkatup rapat, matanya berkaca-kaca. Ucapan Gio tadi menusuk hatinya seperti sebilah pisau.
Permainan "pertaruhan" yang mereka lakukan semalam, kini terasa begitu pahit. Milea menyadari, Gio telah memanfaatkan kelemahannya.
Dia tahu betul bahwa Mansion ini bagaikan penjara emas bagi Milea. Terpencil dan terisolasi, jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari dunia luar yang Milea kenal.
"Dia hanya ingin melakukan 'itu' tanpa perlawanan dengan dalih Taruhan, Dia pasti sudah tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa keluar dari mansion ini, Permainan mu sangat licik tuan Gio" Batin Milea.
Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di benaknya. Kenangan akan kebebasan, akan tawa lepas bersama teman-temannya di pusat kota, kini terasa begitu jauh, seperti mimpi yang tak mungkin tergapai.
Dia terjebak dalam jebakan Gio, dalam permainan yang telah dirancang dengan cermat. Perasaan marah, kecewa, dan takut bercampur aduk dalam dadanya.
Aroma bunga melati yang biasanya menenangkan, kini terasa mencekik. Lilin-lilin yang berderak pelan, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdebar kencang.
Milea menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. Dia harus berpikir cepat. Dia harus menemukan jalan keluar dari jebakan ini, sebelum semuanya terlambat.
Sebelum dia benar-benar menjadi milik Gio, bukan karena cinta, melainkan karena sebuah dendam Gio yang membara.
Pintu ruang makan terbanting keras, suara dentumannya menggema di kesunyian mansion. Gio pergi, meninggalkan Milea terpaku di tempatnya, kata-kata kasarnya—ancaman yang terselubung sebagai kenyataan— masih berdengung di telinganya. "Budakku," bisikan itu berulang dalam pikirannya, menciptakan rasa mual yang menggelitik tenggorokannya.
Langkah kaki Milea terasa berat, setiap langkah bagai beban yang menindih jiwanya. Ia berjalan menuju kamarnya, ruangan yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan, kini terasa seperti peti mati.
Harapan yang masih tersisa sedikit demi sedikit memudar, digantikan oleh keputusasaan yang dalam. Ia tahu, sekuat tenaga pun, ia takkan pernah bisa melarikan diri dari jeruji tak terlihat yang mengelilingi mansion terpencil ini.
Di dalam kamar mandi, air hangat membasahi tubuhnya, namun tak mampu membasuh kecemasan yang mengakar di hatinya.
Sentuhan air terasa dingin, berbeda dengan panas yang membakar jiwanya. Bayangan wajah Gio, tajam dan penuh dominasi, terus menghantuinya. Milea memejamkan mata, mencoba menghalau bayangan itu, namun sia-sia.
Waktu berlalu begitu cepat, seperti pasir yang jatuh di antara jari-jari tangannya. Setiap detik terasa seperti tahun, menambah rasa takut dan keputusasaan yang mencengkeramnya.
Milea menatap bayangannya di cermin, wajah pucat dan mata yang berberkaca-kaca.
Ia tak ingin menantikan Malam itu, bayangan kegelapan yang mengerikan seakan mendekat, mengancam merenggut kesuciannya, mencuri masa depannya, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.
Ia meringkuk di lantai kamar mandi yang dingin, menangis dalam diam, menunggu datangnya malapetaka yang tak terhindarkan.
Suara lembut, namun tegas, menembus dinding kamar mandi, menarik Milea dari jurang keputusasaan yang hampir menelannya. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Pertanyaan pelayan itu bagai percikan air dingin yang membasahi wajahnya, menyegarkan pikirannya yang kalut.
Milea tersentak, segera meraih kimono sutra yang tergantung di gantungan, menutupi tubuhnya yang masih bergetar.
Dengan langkah gontai, ia membuka pintu kamar mandi. Di ambang pintu, berdiri seorang pelayan perempuan dengan wajah ramah, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja," jawab Milea, suaranya sedikit gemetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan pelayan itu.
"Maaf, Nona," pelayan itu membungkuk hormat, "Saya diperintahkan Tuan Gio untuk melihat keadaan Anda. Sudah dua jam Anda berada di dalam kamar mandi." Kata-kata pelayan itu bagai pukulan telak.
Milea menyadari, kecurigaannya benar. Kamar ini, sebagaimana seluruh mansion ini, dipenuhi dengan kamera pengawas. Gio, dengan segala kekuasaannya, selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.
"Aku baik-baik saja," Milea mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada lebih tegas, mencoba menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti hatinya. "Kau boleh pergi sekarang."
Pelayan itu mengangguk patuh, kemudian membungkuk lagi sebelum berlalu, meninggalkan Milea sendirian dalam keheningan yang mencekam.
Di balik senyum dan sopan santun pelayan itu, Milea merasakan kehadiran mata-mata Gio yang tak terlihat, mengawasi setiap langkahnya, menunggu kesempatan untuk mencengkeramnya lebih erat. Kebebasan, terasa begitu jauh, seperti bintang yang tak mungkin diraih.
*
*
*
Giovanni Bianchi, atau Gio—nama yang terdengar begitu lembut, bertolak belakang dengan kekejaman yang dimilikinya—duduk tegak di kursi mahaganya,
sebuah singgasana dari kulit buaya yang mahal. Cahaya temaram dari lampu kristal menerangi wajahnya yang tampan namun dingin, menonjolkan garis rahang tegas dan sorot mata yang tajam bak elang.
Di depannya, tersebar berkas-berkas dokumen, peta strategi yang rumit, dan foto-foto orang-orang yang menjadi targetnya.
Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aroma mahal parfum dan ketegangan yang mencekam. Gio, bos mafia yang kejam dan berpengaruh, sedang menyusun strategi untuk menghancurkan musuh-musuhnya.
Usaha-usaha ilegalnya yang menggurita—dari jaringan narkoba yang tersebar luas, kasino mewah yang beroperasi di bawah tanah, hingga rumah-rumah bordil kelas atas—telah terusik. Ada yang berani menantang kekuasaannya, mencoba mengambil sebagian keuntungannya.
Jari-jarinya lentik, menelusuri foto-foto para pesaingnya satu per satu. Masing-masing foto menyimpan cerita, kisah-kisah perebutan kekuasaan, pengkhianatan, dan pertumpahan darah.
Gio tersenyum sinis, senyum yang tak sampai ke matanya, menunjukkan kekejaman yang tersimpan di balik fasadnya yang menawan.
Musuhnya akan membayar mahal atas keberanian mereka. Gio bukanlah orang yang mudah ditantang. Ia akan menghancurkan mereka, satu per satu, tanpa ampun.
Kekuasaannya, kerajaannya yang dibangun di atas darah dan dosa, harus tetap terjaga. Malam ini, darah akan kembali tertumpah, menambah daftar panjang korban kekejaman Giovanni Bianchi.
Giovanni Bianchi, dengan senyum tipis yang menyimpan ancaman, memberikan perintah.
Seperti semut yang mengerumuni gula, anak buahnya bergerak cepat, mencari dan menghancurkan siapapun yang berani menantang kekuasaannya. Bayangan-bayangan hitam mulai bergerak di kegelapan kota, membawa teror dan kematian.
Jas hitam Gio, yang selalu rapi dan elegan, kini menyembunyikan senjata api yang siap melontarkan peluru maut.
Setiap langkahnya, setiap gerakannya, mengeluarkan aura bahaya yang tak terbantahkan. Ia bagaikan predator puncak, mencari mangsanya dengan sabar, lalu menerkam dengan kejam.
Di sampingnya, Marco—tangan kanannya, bayangannya, anak buah yang paling setia—bergerak sigap, menangani setiap masalah kecil sebelum Gio harus turun tangan sendiri.
Marco, dengan mata tajam dan insting yang luar biasa, mempersiapkan segalanya, membersihkan setiap jejak, memastikan agar operasi berjalan mulus dan tanpa cela.
Keduanya, Gio dan Marco, adalah mesin pembunuh yang sempurna, dua sisi mata uang yang sama-sama mematikan. Mereka adalah bayangan kematian yang mendekat, mengancam siapapun yang berani melawan kekaisaran Giovanni Bianchi.
Milea meringkuk di tepi ranjang, tubuhnya lemas, selimut tipis terasa tak mampu menghangatkan jiwanya yang dingin. Pikirannya melayang, terombang-ambing di lautan kecemasan yang tak bertepi. Bayangan-bayangan menakutkan berputar-putar di kepalanya, menciptakan mimpi buruk yang nyata.
Matahari telah lama tenggelam, menyeret hari ke dalam kegelapan malam. Kegelapan yang terasa begitu mencekam, menambah rasa takut yang menggigit hatinya. Ia merasa sangat lelah, kelopak matanya terasa berat, menariknya ke dalam alam mimpi. Namun, tidur terasa seperti musuh yang harus dihindari.
Dalam tidurnya, bayangan Gio akan menghantuinya, mengancam merenggut kesuciannya. Ketakutan itu, lebih kuat daripada kelelahan yang menghantam tubuhnya. Milea memejamkan mata, berusaha melawan kantuk yang semakin menghimpit, menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Ia berharap, malam ini, ancaman itu tak akan datang. Ia berharap, ia bisa melewati malam ini dengan selamat. Namun, harapan itu terasa begitu tipis, seperti sehelai benang yang mudah putus.
Degupan jantung Milea berpacu liar, menghentak-hentak di dadanya. Suara ketukan pintu, mulanya pelan dan ragu-ragu, kini berubah menjadi gedoran keras yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Ia membeku di tempat, terpaku di tepi ranjang, tak mampu bergerak, tak mampu bernapas. Ketakutan yang amat sangat membelenggu jiwanya.
Namun, gedoran itu terus berlanjut, semakin keras, semakin mendesak, menciptakan tekanan yang memaksanya untuk bertindak. Dengan langkah gontai, kaki yang terasa seperti tertimbun beban berat, ia berjalan mendekati pintu. Tangannya gemetar saat meraih kenop pintu, membuka pintu itu dengan hati yang berdebar-debar.
Dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya tersentak. Tubuh Gio, yang dipenuhi darah segar yang mengalir deras, limbung jatuh menimpa tubuhnya. Darah itu membasahi pakaiannya, menciptakan sensasi dingin yang menusuk kulit. Dengan sekuat tenaga, Milea menahan tubuh Gio agar tak jatuh bersamaan, menahan beban berat yang hampir merobohkannya.
Dengan langkah yang masih gemetar, ia menopang tubuh Gio yang lemas, membantunya menuju ranjang. Setiap langkah terasa berat, setiap gerakannya diiringi oleh desiran dingin darah yang membasahi tangannya. Wajah Gio pucat pasi, namun matanya masih menatapnya, mencoba menyampaikan sesuatu yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Malam ini, ancaman yang selama ini menghantuinya, berubah menjadi sebuah kenyataan yang jauh lebih mengerikan.
Marco berlari tergopoh-gopoh, napasnya tersengal-sengal, mengarahkan langkahnya menuju kamar tempat Milea berada. Wajahnya tegang, dipenuhi keringat dingin. Di belakangnya, seorang dokter muda berlari mengejarnya, tas dokternya terayun-ayun di tangannya. Keduanya tampak panik, menciptakan suasana mencekam.
"Tolong kalian berdua keluar dulu," dokter muda itu berkata, suaranya terdengar tegas di tengah kepanikan. "Saya akan menangani pendarahannya." Tanpa menunggu jawaban, Marco dengan sigap menarik Milea keluar dari kamar, menutup pintu dengan keras, membiarkan dokter muda itu bekerja.
Milea terdiam, rasa penasaran yang menggunung tak mampu lagi ia tahan. "Sebenarnya, ada apa?" tanyanya, suaranya bergetar, mencerminkan kegelisahan yang menggelayut di hatinya.
Marco menarik napas dalam-dalam, lalu menceritakan semuanya dengan suara rendah. "Saya dan Tuan Gio sedang memberantas musuh-musuhnya. Tapi, ada anak buah kita yang berkhianat, berniat menghabisi Tuan Gio. Untungnya, sebelum pisau itu sampai ke jantung Tuan Gio, saya sudah lebih dulu menembak mati pengkhianat itu."
Milea terpaku, kata-kata Marco bagai petir. Ia hanya bisa diam, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Dunia yang selama ini ia kenal, ternyata jauh lebih gelap dan kejam daripada yang pernah ia bayangkan. Gio, pria yang selama ini tampak begitu kuat dan berkuasa, ternyata juga rentan terhadap bahaya. Ia, Milea, terjebak di tengah-tengah pertempuran yang brutal, pertempuran antara hidup dan mati.
Dokter muda itu keluar dari kamar, wajahnya tampak lelah, keringat membasahi dahinya. Ia menyeka keringat itu dengan punggung tangannya. "Nona," katanya, suaranya sedikit serak, "Jika perban kotor atau basah, tolong segera diganti untuk menghindari infeksi yang serius."
"Baik," jawab Milea singkat, suaranya datar, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk di dalam hatinya.
"Mari, Dokter, saya antar," Marco langsung menyela, menawarkan diri mengantar dokter muda itu keluar. Keduanya berjalan menuju pintu utama.
Milea melangkah masuk, mendekati ranjang tempat Gio terbaring. Pandangannya tertuju pada tubuh Gio yang terluka parah, dibalut perban yang tampak berlumuran darah. Seharusnya, ia merasa senang. Ancaman yang selalu menghantuinya kini terluka parah, tak berdaya. Namun, yang ia rasakan justru rasa kasihan. Kasihan yang tak terduga, yang muncul dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia menatap wajah Gio yang pucat, bayangan kekejamannya sirna, digantikan oleh kelemahan dan kepedihan.
Detik-detik berlalu begitu lambat, terasa seperti jarum jam yang menari-nari di atas jantung Milea. Ketegangan menggantung di udara, hanya diiringi oleh detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang. Lalu, Marco muncul kembali, Di tangannya, beberapa botol obat tergenggam erat, seakan menyimpan harapan. Dengan suara tenang, namun tegas, ia menjelaskan dosis dan aturan minumnya pada milea, matanya memancarkan kepedulian pada tuan nya yang tak terbantahkan. Milea hanya mengangguk tanda mengerti.
"Tuan akan segera siuman, tolong jaga dia dengan baik" pinta nya.
Marco tak berlama-lama. Ia pamit dengan tergesa, langkahnya terburu-buru. Ada urusan lain yang menanti, urusan yang jauh lebih berat. Bayangan dendam membayangi matanya, bayangan pengkhianat yang telah melukai tuannya. Sebuah janji tersirat dalam setiap langkahnya, janji untuk membalas pengkhianatan itu dengan cara yang setimpal. Udara terasa lebih berat setelah kepergiannya, meninggalkan Milea dan Gio dalam sunyi yang sarat makna.
Langkah kaki Milea terasa begitu ringan, hampir tak bersuara, Ia menuju sofa empuk yang terletak tak jauh dari ranjang Gio. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, namun ia tak mampu memejamkan mata. Duduk di sofa itu, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, sebuah jeda singkat sebelum kembali berjuang. Cahaya bulan menerobos jendela, menciptakan pola cahaya yang lembut di lantai. Milea memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran nya. Ia menunggu, menunggu Gio siuman. Menunggu sebuah tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!