NovelToon NovelToon

Suamiku Seorang Ningrat

Bab 1* [ Rinjani Alianda Putri ]

...Aku tak menyangka, dikejar-kejar preman menjadikan takdirku beralih pada jerat kekuasaan Kaysan Adiguna Pangarep, lelaki tampan berdarah biru....

...Akan sampai mana kakiku melangkah? Akankah sampai pada singgasana cinta berderai permata, atau hanya sampai jalan setapak bebatuan?...

...Aku Rinjani Alianda Putri, akan ku bawa langkah kakiku meski harus berdarah-darah!...

...***...

"Awas..."

"Awas, woy...!!!"

Aku menyibak orang-orang yang menghalangi laju lariku tepat di tengah pasar. Aku terus berlari meski peluh ini terus mengalir di sekujur tubuhku.

Tatapanku terus menoleh ke belakang sewaktu dua orang preman mengejarku sambil memanggil namaku. Mereka preman penagih hutang milik Broto Dimejo, juragan beras di pasar karang gayam.

"Maaf... maaf." Aku menarik tubuh ibu-ibu yang nyaris terjungkal karena tak siap menerima kibasan tanganku.

"Kalau lari pake mata nduk, bikin orang susah saja toh!" gerutunya tak aku gubris selagi aku membantu ibu-ibu berkerudung biru itu memasukan sayuran yang berceceran di lantai pasar dengan tergesa-gesa.

Kuserahkan plastik itu kepadanya. "Sekali lagi maaf, Bu! Aku kesusu."

Aku kembali berlari setelah ibu itu merepet kesal, napasku terengah-engah bahkan tenggorokanku terasa kering.

"Woy, bayar utang bapakmu!" teriak salah satu preman sambil mengacungkan jari telunjuknya.

"Sial..." Aku keluar dari padatnya isi pasar, mengarah ke parkiran. Sebisa mungkin aku berlari dengan tenagaku yang hampir habis hingga akhirnya... Plang.... mataku kabur, hutang Bapakku menari-nari di atas kepalaku sebelum akhirnya aku jatuh pingsan menabrak tiang listrik yang tak tahu aturan.

...***...

Hey kamu... iya kamu yang baru membaca kisahku... Perkenalkan namaku Rinjani Alianda Putri. Anak satu-satunya dari sepasang suami istri bernama Herman dan Lastri.

Kedua orang tuaku bercerai, Ibuku minggat entah ke mana. Mungkin beliau muak dengan tingkah laku bapakku yang hobi main judi gaple hingga tengah malam sampai hutang numpuk. Dan dua preman suruhan Broto Dimejo tadi mengejarku karena sudah jatuh tempo. Jika begitu, akulah yang menjadi korban atas kebodohan yang Bapakku miliki.

Sebal... sudah pasti, aku hanyalah karyawan penjaga toko pulsa merangkap tukang setrika di kios milik ibu Rosmini. Aku kesal, kenapa aku tidak punya adik saja! Biar jangan hanya aku terus yang di uber-uber hutang Bapak.

Umurku jangan tanya, aku masih muda. Gairahku masih menggelora bahkan untuk melakukan headbang di arena konser metal aku masih sanggup.

Aku penggemar musik cadas, kami menyebutnya musik underground. Jika sudah membahas musik underground aku pasti akan menyebutkan salah satu band favoritku Death Vomit.

Aku tak pernah absen bergabung dengan kawan-kawanku jika sudah tersebar info tersebut di tongkrongan, aku pasti bersiap. Siap tempur untuk olahraga malam. Memanggut-manggutkan kepala diiringi dentuman musik keras dan lirik lagu yang tak aku mengerti. Aku jujur, Ehm...

Sekian dulu perkenalan dariku. Jani si anak metal \m/

...***...

Aku mencium aroma bau minyak kayu putih yang menusuk lubang hidungku. Semakin aku menghirupnya, semakin sengat rasanya.

Aku juga merasakan sepoi-sepoi angin dan samar-samar suara ibu-ibu yang mengguncang pelan bahuku.

"Bangun cah ayu, ayo bangun." Suaranya terdengar lirih nan lembut, suara yang tak pernah kudengar dari mulut Ibuku. Tepatnya, semenjak Ibu dan Bapak tidak akur, yang kudengar hanyalah teriakan dan makian.

"Cah ayu."

Perlahan aku mulai membuka mataku. Aku mendapati lima orang yang berkeliling menatapku dengan heran. Senyum lega pun tampak di bibir mereka.

Aku sedang di mana? Apa aku sudah ditangkap preman suruhan Broto Dimejo? Tapi siapa mereka?

"Cah ayu, minumlah." Suara lembut tadi ternyata nyata. Aku pikir... Aku perlahan menoleh, dan saat itu juga aku terbangun dengan tergesa-gesa. Aku tersenyum kikuk, tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depan mataku.

"Ibunda Juwita.” Sekonyong-konyong aku turun dari kursi kayu tempatku berbaring.

"Maafkan saya, Ibunda Juwita. Maafkan saya..." Aku duduk bersimpuh sembari menundukkan pandanganku. Aku rikuh, namun alih-alih badai kata-kata menerjang ragaku yang ringkih ini, lima orang itu cekikikan.

"Angkat wajahmu cah ayu. Minumlah dulu ini, kamu pasti kehausan."

Aku meneguk air ludahku yang kering di tenggorokan. Jika boleh jujur aku haus sekali, kerongkonganku minta dihujani dengan air itu.

"Ayo diminum, jangan sungkan."

Aku memberanikan diri melihat wajah anggun dan menawan di depanku. Seorang wanita yang berpengaruh di kotaku, seorang wanita berkebaya, slalu berkebaya. Namanya Juwita Ningrat.

"Terima kasih, Bu." Aku meneguk air putih itu dengan malu-malu mau seraya menggenggam gelas yang sudah tandas isinya.

"Apakah masih kurang cah ayu?"

Masih kurang banget, Bu. Tapi aku menggeleng cepat.

"Kalau begitu sini gelasnya, tidak perlu dipegang terus, tidak akan lari ke mana-mana itu." Juwita Ningrat mengambil gelas yang kupegang dan menyerahkannya pada pelayannya yang sepuh dan memakai batik.

Aku tersenyum kikuk. "Terima kasih, Bu." ucapku sambil menunduk.

"Sama-sama cah ayu, bagaimana keningmu?" Juwita Ningrat mengulurkan handuk putih basah.

Aku menatapnya...

"Untuk kompres keningmu itu, memar."

Aku mengangguk paham, nggak benar ini kondisinya. Keadaan ini! Kok bisa aku di sini?

Jujur saja didekat beliau yang terhormat ini aku ingin bersorak kegirangan. Tapi yang aku lakukan hanyalah tertunduk malu sambil memegangi handuk di keningku.

"Saya tadi sedang sidak pasar dan melihatmu menabrak tiang listrik. Jadilah saya membawamu kemari karena kamu pingsan!" ucap Juwita Ningrat sambil tersenyum.

Aku hanya manggut-manggut paham lalu preman tadi mengusik ketenanganku.

"Preman tadi tidak mengejarku lagi, Bu?" Aku mendongak, memberanikan diri menatap mata teduh yang tampak penyayang itu.

"Preman tadi..."

"Preman tadi sudah beres cah ayu!" sahutnya lalu tersenyum geli.

Aku mengernyit, bagaimana sudah beres? Aku saja belum membayar hutang dan tidak tahu nominalnya. Beliau pasti sedang bercanda-canda dengan aku yang nampak mengenaskan ini.

Handukku tiba-tiba diambil. "Sudah jangan dipikirkan lagi, bagaimana kepalamu, masih pusing? Lihatlah."

Beliau menyerahkan kaca kecil berbentuk bundar ke depan wajahku. Sontak aku ingin menjerit, dahiku benjol dan memar parah. Ini sangat kontras dengan kulitku yang putih. Aku seperti di tinju dengan kecepatan penuh. Astaga, tapi sekarang bukan ini urusanku.

"Bagaimana sudah beres Ibunda Juwita? Lha wong saya saja belum membayar hutang-hutang Bapakku kok."

Aku menerima handuk lagi. "Sudah Ibu bilang beres ya beres cah ayu. Jangan ngeyel kamu ini." Tangan beliau mengelus lenganku, lembut menenangkan.

"Berapa...?" ucapku harap-harap cemas.

"Berapa apanya cah ayu?"

"Hutang Bapak."

Beliau tersenyum lebar, Juwita Ningrat seperti sedang meledekku. Meledek jika aku tak akan mampu membayarnya. Memang berapa hutang Bapakku sampai beliau terlihat terhibur seperti itu?

"Lima belas juta cah ayu." ucap beliau lirih seraya mengulum senyum.

Aku seperti tersengat arus listrik yang membuatku ingin pingsan lagi sekalipun suaranya lemah lembut.

"Lima belas juta!" gumamku sembari mengompres keningku yang benjol. Rasanya semakin sakit dan sakit. Darimana aku bisa mengganti uang dengan jumlah sebanyak itu, bahkan jumlah uang itu bisa untuk membayar kontrakan selama satu tahun.

Aku segera meringis sedih. Sedih sekali nasibku hari ini. "Saya akan menggantinya, tapi saya cicil ya kalo memegang preman tadi sudah beres."

Tawa renyah kembali terdengar kupingku. Sungguh bercanda-canda sekali mereka ini. Aku lho baru ngenes.

Juwita Ningrat meraih handukku tiba-tiba. Aku kaget. "Jadilah mantuku cah ayu. Jadi kamu tidak perlu susah-susah mengganti hutang Bapakmu itu."

"Mantu? Menikah dengan anak Ibu maksudnya?"

"Iya menikahlah dengan putraku Kaysan Adiguna Pangarep."

...***...

Selamat membaca dan jangan lupa like dan komen ya. Biar Vivi bahagia sepertimu.

Bab 2* [ Puyeng Palaku ]

Kepalaku semakin sakit dibuatnya. Menikah dalam rencanaku akan terjadi dua atau tiga tahun lagi jika ada yang meminangku. Tetapi sekarang?

Aku pulang dengan membawa kegelisahan. Bagaimana tidak gelisah. Baru bertemu dengan seseorang yang aku ketahui adalah pemilik pabrik dan beragam usaha beken yang memiliki garis keturunan darah biru itu, aku sudah diminta menjadi anak mantunya. Ini kan gila! Aku yang tak memiliki bibit, bobot dan bebet yang jelas diminta untuk menjadi menantu keluarga Ningrat? 

Aku tersenyum kecut sambil membayangkan menjadi istri Kaysan? Kaysan? Siapa dia? Lucu sekali pikirku. Tidak kuat otakku mencerna ini itu sekarang.

"Jani...! Jani...!"

Ah... Bapakku berteriak membuyarkan imajinasiku. Aku melihat Herman berjalan sempoyongan ke dalam rumah.

Dasar Bapak tidak tahu diri. Mabukan, judi, semakin tua semakin arogan! kataku dalam hati.

"JANI!"

"Apa, Pak?" jawabku dengan nada malas.

"UANG!" bentaknya sambil menengadahkan tangan.

"Gak ada, Pak. Aku belum gajian." 

Tawanya menguar dengan bau ciu yang mendadak terendus oleh hidungku. Semprul.

"Dari mana kamu belajar berbohong pada Bapak, nduk. Apa kamu belajar dari Ibumu yang tidak tahu diuntung itu!" Bibir hitam yang banyak menyesap cerutu dan ciu itu terus meracau, menjelek-jelekkan Ibuku yang entah di mana keberadaannya sekarang.

"Hentikan kebiasaan Bapak minum ciu dan main judi gaple. Aku kesel di kejar-kejar preman Broto Dimejo!" ucapku jengkel. Sudah hilang rasa hormatku pada laki-laki berusia 48 tahun ini. Laki-laki yang tak pernah melindungiku, laki-laki yang malah membawaku pada derita yang terus berkembang.

"Lalu dari mana kamu bisa bayar hutang-hutangku di juragan Broto Dimejo, Rinjani! Apa kau menjual tubuhmu pada bandot tua itu."

Aku menatap Bapak yang tertawa dengan berang. "Bapak pikir aku serendah itu sampai aku jual diri buat tebus hutang-hutang Bapak?" Aku berdecak. "Bapak emang nggak guna. Pantas saja Ibu pergi daripada harus milih tinggal sama Bapak yang gak tanggung jawab!"

Aku menatap Bapak dengan mata terkejut setelah tangannya menampar pipiku dengan keras.

"Kurang ajar, berani kamu bentak Bapakmu ini!" teriaknya tak kalah berang.

Aku tersenyum kecut, "Apa Bapak pikir aku beruntung punya Bapak sepertimu?"

Tamparan keras mendarat di pipi kananku lagi. "Begini cara Bapak menghargai putri Bapak satu-satunya! Beginikah cara Bapak berterima kasih padaku setelah aku melunasi hutang-hutang Bapak? Jangan nyesel kalo Rinjani pergi dari rumah ini."

Aku meninggalkan Bapak ke kamar, mengambil tas ranselku dan memasukkan sekenanya baju-baju yang aku miliki.

Aku keluar dari kontrakan yang sudah aku bayar lunas dari uang tabunganku sejak SMA. Sejak lulus aku memilih untuk langsung mencari kerja, pikirku aku harus membantu ekonomi Ibuku dan memenuhi sendiri semua kebutuhanku daripada hanya meminta mereka.

Aku menoleh, mendengar sekejap suara vas bunga yang Bapak banting.

"Terserah!" ucapku seraya melangkah menuju rumah temanku, Nina. Metal head berjilbab dan taat agama. Mahasiswi jurusan keperawatan yang kesasar mencintai musik metal dan pacarnya yang bernama Aswin yang slalu mabuk di arena konser metal, jika aku tanya kenapa dia memilih laki-laki sepertinya. Nina hanya akan menjawab, "Aku mencintainya Rinjani, jika dia mencintaiku dia pasti berubah."

Kalau Nina sudah berkata seperti itu, aku hanya bisa tersenyum dan mendoakan harapannya terkabul ya meski doaku tidak sepertinya. 

"Assalamualaikum..." Aku mengetuk pintu rumah Nina. Rumahnya tak jauh dari kontrakan, aku bisa bermalam sebentar sebelum esok paginya menemui Juwita Ningrat. 

"Nin, Nina. Assalamu'alaikum." seruku tak sabar.

"Waalaikumsalam, bentar..." Pintu rumah bercat ungu itu terbuka, Nina berdiri heran sambil mengamati wajahku yang mengenaskan. Dahiku benjol, kedua pipiku merah bekas tamparan.

"Kamu kenapa, Jani? Eh, ayo masuk dulu." Nina menarik lenganku dan mengajakku ke kamarnya.

"Habis kelahi sama trotoar kamu?" tanya Nina sambil menaruh segelas air putih di meja.

Aku meminumnya dengan cepat, "Dahiku ini mencium tiang listrik di pasar kalo pipiku ini pesangon dari Bapakku sebelum aku ke sini."

Nina tersenyum paham seolah tahu aku sedang menyembunyikan rasa sedihku.

"Kasian banget sih kamu, banyak doa makanya." 

"Ya ampun, Nin! Ntar dulu bisa nggak  ceramahnya?" Keluhku. "Aku izin tidur di sini semalam ya. Boleh gak?" tanyaku memelas. 

Nina menjentikkan jarinya. "Izin sama tuan rumah sana, baru aku bisa jawab." 

Aku menguncupkan bibir. Ya benar saja harus menghadap orang tuanya yang slalu memberi ceramah rohani? Bapakku tuh yang butuh ceramah. 

"Semalam aja, Nin. Aku sakit semua ini." pelasku. 

"Jani... Jani, ngenes banget nasibmu. Sudah jomblo tambah harus menanggung beban sendiri. Kamu harus tidur di kamarku, biar aku jadikan bahan praktek!" guraunya sambil memelukku.

Aku meringis. "Jangan bikin aku nangis lagi, Nin. Aku lapar lho, belum makan." aduku padanya yang memiliki badan gempal. Jujur aku nyaman jika hanya bersandar di lengan Nina. Apa Aswin juga merasakan hal yang sama sampai dia tidak peduli dengan mulut Nina yang slalu berbusa-busa jika mengomelinya?

"Kebiasaanmu gak ilang-ilang ya, heran. Habis nangis nggak doyan makan. Kamu..." 

Nina pergi ke luar kamar dan selang beberapa menit dia membawa banyak makanan dan minuman.

"Makan nih, jangan sampai sisa. Kata Ibuku yang kalo sisa kamu harus bayar!" 

Buset. Aku sih senang-senang saja selagi gratis. Dan Nina tertawa waktu aku mengambil roti sari sobek dan sekotak susu. 

"Gak makan kamu?" tanyaku. 

Nina mencebikkan bibir. Alih-alih makan, dia duduk di kursi belajar.

"Udah tahu belum besok malam Minggu Death Vomit main di gedung RRI?" Nina menjelaskan sambil mengetik.

Aku mengendikkan bahu. "Lihat besok, Nin. Ini jauh lebih penting dari dari devo. Ada yang mau aku ceritakan padamu."

"Apaan, Jani?"

"Bagaimana jika ada seseorang yang memintamu menjadi anak mantu?"

Nina seketika menoleh. "Ada yang lamar kamu, Jani? Siapa?"

Aku menceritakan pertemuanku dengan Juwita Ningrat hingga permintaan beliau untuk menikah dengan anaknya.

Nina tercengang dan menutup mulutnya.

"Serius?"

Aku mengangguk.

"Menikah memang sesuatu yang baik, Jani. Kamu akan mendapatkan pahala berkali-kali lipat dan tentunya duit banyak. Tapi rasanya sulit jika kamu harus menikah dengan priyayi."

"Sulit kenapa, Nin?" tanyaku heran.

Nina menunjuk kaca di dinding kamarnya. "Coba kamu ngaca, kamu gimana?" 

Aku menguncupkan bibir. Sial... Aku juga tahu aku melarat dan gak bisa di atur. Gak perlu ngaca.

"Coba jawab serius, Nin. Sumpah palaku puyeng banget." Aku lantas menceritakan hutang Bapak yang telah lunas itu kepadanya. Dugaanku betul, hutang itu sudah beres di tangan Juwita Ningrat. 

"Oh gitu." Nina manggut-manggut. "Jan, menikah itu perkara cinta dan ibadah. Kalo kamu hanya menikah karena untuk melunasi hutang-hutang Bapakmu sama saja kamu menjual tubuhmu, tidak baik." kata Nina sambil memeluk tubuhku. 

"Kamu mending istirahat."

Ya, aku mengangguk dan menyadari jika aku menerima permintaan itu, aku seperti omongan Bapak tadi.

*

Selamat membaca.

Bab 3* [ Bertemu Kaysan ]

Pagi hari setelah aku dan Nina menyelesaikan tugas memberi tubuh ini asupan energi untuk beraktivitas, aku akan menuntaskan urusan hutang piutang dengan Juwita Ningrat. Aku akan menolak habis keinginannya.

Aku bersemangat setelah mendapatkan kajian malam dari Nina. Pernikahan tidak akan bahagia karena terpaksa. Apa lagi perkataan Nina dan Bapak yang menohok soal 'menjual diri' membuatku malu dan enggan meskipun seliweran halu menjadi keluarga ningrat menari-nari liar di kepalaku.

Eh... tapi tunggu. Bagaimana jika anak Juwita Ningrat menyetujui ide gila Ibunya?  Matilah aku! Tapi, sudahlah. Ayo selesaikan urusan hutang piutang dulu baru lihat kabar selanjutnya.

Aku bersemangat karena orang tua Nina meminjamkan uang sebesar 15 juta tadi pagi dengan syarat harus amanah. Aku menaruhnya di tas ranselku, karena habis dari kediaman Juwita Ningrat aku langsung menuju tempat kerja Bu Rosmini.

"Jani, mau di antar sampai mana?" tanya Nina, membuyarkan lamunanku.

"Depan gerbang aja, Nin. Aku berani kok masuk sendiri." jawabku enteng. Pura-pura.

"Yakin? Kalau kamu tetap dipaksa menikah gimana? Aku takut Jani kamu diapa-apain nanti." ucapan Nina membuatku terharu. Hanyalah dia orang yang slalu mengkhawatirkan aku setelah Nanang.

Aku meringis. "Enggak mungkin, Nina. Dia aja. yang baik buatku." 

Nina mencubit pelan pahaku sambil mengemudi. "Harusnya kamu paham, main sama mereka bahaya." 

"Bahaya..." gumamku. Bahaya? Orang Juwita Ningrat saja pakai kebaya, cantik dan anggun. Kecuali jika dia membawa pentungan, baru...

"Jani, sudah sampai lho..." 

Aku melihat sekeliling, benar ini tepat di depan gerbang rumah Juwita Ningrat. Segera aku turun dari dari motor dan memeluk Nina.

"Makasih ya... Maaf aku slalu merepotkanmu dan keluargamu."

"Gak masalah, Jani. Kabari aku kalau terjadi apa-apa. Nanti aku bawa suntikan." Nina membenarkan rambutku yang berantakan. "Masuk sana." 

Aku mengangguk. "Pokoknya terima kasih, Nin. Belajar yang rajin terus jadi perawat dan main dokter-dokteran sama Aswin." ejekku seraya tertawa sedang Nina hanya memanyunkan bibirnya.

"Aku pergi dulu, Jan. Assalamualaikum." 

Dengan motor bebeknya, Nina pergi dengan iringan salam kebaikan dan lambaian tanganku. Kini, aku berdiri persis di depan gerbang berwarna emas, tinggi dan sangar. Pun pagar yang mengelilingi rumah itu setinggi dua meter menambah kesan jika rumah ini rumah gedongan. Aku terkagum-kagum, semakin tinggi derajatnya semakin banyak pula hal yang harus di bayar meski hanya sebuah pagar.

"Yakin enggak ini masuk sekarang?" 

Sambil mengumpulkan nyaliku bertemu dengan orang penting. Aku menghela napas dan mengembuskannya. Menghela napas dan mengembuskannya hingga beberapa menit berlalu. 

"Woy... Ngapain Mbak?" Aku tersentak. Penjaga rumah yang melihat gelagat anehku mungkin ingin mengusirku karena aku seperti orang aneh. 

"Woy... Mbak... Baca." Penjaga rumah bernama Parto itu mengetuk-etuk papan pengumuman yang tergantung di depan gerbang setelah keluar dari pos satpam. 

Bagi yang tidak berkepentingan dilarang berada di depan pintu gerbang.

Aku meringis. "Ibu Juwita Ningrat ada, Pak?" tanyaku sopan.

"Ibu bos lagi sibuk!" jawabnya ketus seraya menyesap rokoknya. 

Aku yakin itu cuma bohongan. Dari gelagatnya terlihat sombong, mana gayanya sok iye.

"Tolong bilang sama Ibu Juwita, Rinjani datang gitu."

Parto tampak mengingat-ingat namaku seolah meneliti daftar nama rekan dan tamu Juwita Ningrat.

"Rinjani..., Rinjani... Ada perlu apa dengan Ibunda Juwita Ningrat? Mau minta sumbangan kamu?" 

Aku berdecak. "Sumbangan apa toh? Ngawur... Aku itu mau ketemu lagi calon besan." 

"Matamu calon besan!" Parto mengusirku dengan mengibaskan tangannya. "Lihat kakimu, cuma pake sendal jepit ngarep jadi calon besan bosku! Ngoco..." 

Aku tergelak. Parto tidak tahu, jika aku menerima pinangan juragannya. Sudah kupastikan dia adalah orang pertama yang aku pecat. Batinku tertawa jahat.

"Sudah tolong bilangin saja, jika aku Rinjani datang ingin menemui Bu Juwita. Bilang saja penting, urusan kemarin."

"Woh, woh, woh. Sudah berani memerintah ya. Sek... sek, tunggu... tak hubungi pihak dalam." Parto dengan sebal pergi ke dalan pos satpam.

Sambil menunggu, aku melihat sosial media sampai tidak tahu jika ada mobil yang mengarah ke arahku.

"Minggir, anak bos lewat!" Parto menarikku sampai tubuhku membentur tembok saking cepatnya.

Aku mengumpat. "Asem banget lho, tambah benjol jidatku." Aku mengusap keningku sembari cemberut, dan saat aku berbalik sekelebat aku melihat tatapan dingin dari pengemudi di dalam mobil. Kuakui, dia ganteng banget. Hah! Ku pukul dahiku yang benjol biar aku tersadar dari halu yang ketinggian.

Dia siapa?

"Kamu masuk Rinjani! Tapi inget, jangan macam-macam, wajahmu sudah tak catat!" ancam Parto sambil menuding wajahku.

Aku mengiyakan lantas menginjak pelataran rumah, luas, aku melihat banyak mobil berjajar rapi di muka rumah, mobil-mobil sedan keluaran Jerman berwarna hitam yang berkilau tertimpa sinar matahari.

Di tempat ini aku kebingungan, harus kucari di mana Juwita Ningrat sementara rumah ini nampak besar. Bukan rumah dengan bangunan tingkat tiga, tapi rumah Jawa klasik yang dibangun dengan kayu jati dan memiliki pendopo.

Aku berdiri cukup lama dan menjadi tontonan para pekerja kebun yang sedang merapikan tanaman hingga salah satu orang yang mengenalku kemarin melambaikan tangannya.

"Sini cah ayu. Sini..." ucapnya sambil menghampiri. Aku tersenyum.

"Bagaimana, sudah kamu putuskan untuk memilih?"

Spontan sekali, pikirku. Aku tersenyum,  pokoknya kata Nina harus sering tersenyum.

"Di mana Ibu Juwita Ningrat, Bu?" tanyaku sopan.

"Di taman belakang dengan calon suamimu!"

Aku mengernyitkan dahi, "Bukan calon suamiku itu, Bu. Aku ke sini hanya mau melunasi hutang-hutangku kemarin." kataku sungguh-sungguh.

Ibu-ibu yang sudah sepuh itu pun mengernyit heran. "Cepat sekali dapat uang sebanyak itu cah ayu, dari mana?" tanyanya penasaran.

Aku tersenyum kecut. Masa iya aku jawab dari hutang juga, kan malu. Dan karena itu aku hanya tersenyum lebar.

"Ya sudah ayo ikut."

Aku mengikutinya dengan langkah harap-harap cemas. Hari ini aku bertemu Kaysan?

Tepat di pendopo kayu. Aku melihat Ibu dan anak itu bercengkrama.

"Ibu.... Rinjani sudah datang." Pelayan itu membungkuk sopan dan meninggalkan kami bertiga setelah Juwita Ningrat mengerti kehadiranku.

Aku tersenyum rikuh dan ikut-ikutan membungkuk sopan, mungkin begitu caranya bersopan santun. Tetapi suasana lengang terjadi, sorot mata menilai dari atas ke bawah aku perhatikan dari laki-laki yang kemarin aku sebut ganteng banget.

Juwita Ningrat menarik tanganku pelan sampai aku terkaget-kaget dengan sentuhan lembut itu.

"Rinjani, perkenalan ini putra sulungku, Kaysan!" Tanganku lantas ditempelkan langsung di jari-jari anaknya. Aku terkejut. Laki-laki itu pun juga terkejut.

Dia berdeham sambil menggenggam tanganku. Dengan malas dia menyebut namanya. "Kaysan."

Aku mengangguk, "Rinjani." kataku malu.

Juwita Ningrat lalu tersenyum lebar.

"Pagi-pagi sekali kamu datang ke sini Rinjani, bawa tas ransel lagi. Apa kamu sudah siap pindah ke rumah ini dan menetap bersama putraku ini?"

Beliau menepuk bahu Kaysan, sepertinya Juwita Ningrat salah makan, mana bisa kami yang belum di cap halal oleh MUI menetap bersama dalam satu atap?

Aku menggeleng pelan. "Bukan itu maksud kedatanganku, Bu." Dengan cepat aku mengambil amplop coklat dari dalam tasku.

"Ini - ini... Aku mau membayar hutang-hutangku kemarin, Ibunda Juwita Ningrat." Aku menaruh segepok uang dalam amplop yang cokelat ke dekat dengan beliau. "Asli, jumlahnya pasti pas!"

Juwita Ningrat tertawa sedangkan Kaysan yang duduk sambil menikmati pemandangan air mancur, hanya sesekali melirik ke arahku. Mungkin batinnya, 'cewek aneh.'

"Bagaimana pilihan Bunda, Kay?" ucap Juwita Ningrat tanpa meresponku.

Kaysan mengangguk. Woy, mengangguk untuk apa?

Juwita Ningrat pun mengangguk dan juga. Asem, mereka ngomong pakai batin?

Aku berdeham, rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku mau pulang.

"Ibu boleh percaya boleh tidak dengan isi amplop itu. Tapi itu asli. Sumpah." Aku mengangkat jari janji. "Dan sekarang, saya harus pamit. Terima kasih Ibu kemarin sudah membantuku. Saya harap urusan kita selesai sampai d isini saja ya, nggak usah jadi anak mantu, aku nggak mau minta." kataku sambil mengatupkan tangan, memohon jangan ada aneh-aneh setelahnya.

Juwita Ningrat menatapku dan tersenyum, "Kay, antar Rinjani ke tempat kerjanya."

Kaysan mengangguk, dengan langkah pasti dia berjalan mendahuluiku.

Like n love ya reader. 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!