NovelToon NovelToon

A Modern Soul In A Young Widow'S Body

bab 1.Altar keluarga Wu.

Kabut pagi masih menyelimuti pekarangan kediaman keluarga Wu, menari pelan di sela-sela bambu dan batu-batu tua yang lembap.

Di dalam ruang pemujaan leluhur yang sepi, cahaya temaram dari dupa menyinari sosok seorang wanita yang tengah berlutut sendiri.

Selama sepuluh tahun ia melakukan rutinitas rutin di keluarga Wu, sebagai bentuk penghormatan untuk arwah suaminya.

Wanita itu adalah Zi ning, janda muda mendiang anak pertama keluarga Wu, yang sudah meninggal hampir sepuluh tahun.

Perempuan yang dikenal anggun namun penuh luka. Rambutnya disanggul sederhana, pakaian berkabung putih bersih yang selalu ia kenakan.

Tapi perhiasan seperti wanita yang lain hanya tusuk rambut perak yang menghiasi rambut hitamnya, selama sepuluh tahun ia menjadi janda keluarga Wu dan selalu melakukan tradisi kehidupan sebagai janda yang setia.

Sejak kepergian suaminya, Zi ning tetap setia melakukan doa pagi setiap hari, seakan itu satu-satunya tali yang menghubungkannya dengan masa lalu yang perlahan memudar.

Ia memejamkan mata, dan mulai melafalkan doa dengan suara lembut,sebuah kebiasaan suci yang tak pernah ia tinggalkan. Tapi pagi itu berbeda.

Tiba-tiba, suaranya terhenti di tengah-tengah doa, seolah kata-katanya membeku di tenggorokan. Mata Zi ning terbuka pelan, namun tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang tak tampak oleh mata biasa.

Tangannya yang memegang tasbih giok mulai gemetar. Tanpa sebab yang jelas, jemarinya melemas, dan tasbih itu terlepas dari genggamannya. Butiran giok menghantam lantai batu satu per satu, mengeluarkan suara denting yang menyayat sunyi.

Zi ning tertunduk perlahan, bahunya mengejang. Sekilas, terlihat air mata jatuh diam-diam di pipinya.

Tapi ada sesuatu yang aneh hari itu, bukan hanya kesedihan yang menyelimuti dirinya, melainkan... ketakutan. Tubuhnya diam, tetapi jiwanya tampak berguncang hebat.

Di luar, angin berhembus pelan, dan pintu kayu tua berderit perlahan seperti hendak memperingatkan sesuatu.

Namun altar tetap menyala, dan dupa terus mengepul, seolah para leluhur diam-diam menyaksikan kejadian yang tidak biasa itu dan mungkin, merasakan kehadiran sesuatu yang lebih dari sekadar seorang janda berdoa di pagi hari.

Lalu mata Zi ning tertutup sambil tertunduk lemas, nyala api pada altar tiba-tiba bergoyang-goyang seakan meredup.

Tiba-tiba pintu altar terbuka perlahan, menimbulkan suara gesekan halus yang memecah keheningan pagi.

Seorang pelayan muda bernama Yue, yang dikenal sebagai pelayan setia Nyonya Zi Ning, masuk dengan langkah ringan namun tergesa. Ia datang untuk mengingatkan sang nyonya bahwa sudah waktunya mempersiapkan makanan untuk keluarga Wu.

"Nyonya, sudah saatnya untuk mempersiapkan makanan untuk keluarga. Ayo nyonya! , jika kita tidak cepat nanti nyonya besar akan memarahi nyonya lagi. "

Tapi Yue tidak mendapatkan jawaban dari Zi ning, suasana ruangan altar terasa sunyi yang biasanya nyonya nya yang selalu bergegas jika ia ingatkan tentang melayani keluarga Wu.

Tapi sekarang situasi nya berbeda, nyala api di altar yang tiba-tiba bergoyang tanpa ada angin yang menyentuhnya.

Yang membuat Yue merasa curiga dengan situasi yang tidak biasa ini.

Namun, langkahnya terhenti seketika saat matanya menangkap sosok tuannya yang berlutut di depan altar bersikap tidak biasa.

Zi ning diam membisu, tubuhnya tertunduk dalam posisi yang sama seperti saat berdoa.

Tapi ada yang aneh yaitu tasbih yang biasa ia genggam erat kini tergeletak di lantai, dan bibir yang biasanya berkomat-kamit dalam doa pagi, membisu kaku tanpa suara yang terdengar.

"...Nyonya?" panggil Yue dengan suara hati-hati, mendekat beberapa langkah.

Tak ada sahutan. Jantung Yue berdegup cepat, ia segera berjongkok dan menyentuh lembut lengan Zi ning dan sekali-kali menggoyangkan dengan lembut. "Nyonya.." Panggilnya berulang-ulang.

Perasaan Yue mulai tidak enak, jantungnya berdetak kencang. Ia mulai cemas dengan keadaan Zi ning dan pikiran buruk terpeleset di dirinya.

"Jangan-jangan nyonya! "

Namun tepat saat jari-jarinya,mau memeriksa apa nyonya nya masih bernafas.

Zi ning tiba-tiba membuka matanya.

Mata itu kosong, seolah tidak mengenali apa pun di sekelilingnya, termasuk dirinya sendiri. Yue tersentak mundur sedikit, napasnya tercekat.

Karena terkejut dengan kondisi Zi ning, yang ia pikir sudah meninggal. Yue pun terjatuh dengan terduduk, sambil matanya terus melihat kearah Zi ning.

"Syukurlah nyonya!", sambil mengelus dadanya karena merasa lega.

Yue pun berdiri begitu juga dengan Zi ning, Zi ning yang saat ini menatap sekelilingnya. Ia merasa asing dengan tempat yang didepan nya.

" Di mana aku? "

Lalu sorot matanya tertuju pada Yue dengan tatapan bingung.

"Nona, apa kita sedang syuting drama?. Kenapa pakaianmu seperti ini? ", pertanyaan Zi ning membuat Yue jadi bingung sendiri.

" Syuting!, apa itu nyonya? "Tanya Yue yang bingung.

" Nyonya!, ha.., nona ini aku ini belum menikah jangan asal sebut aku seperti itu. Apa aku seperti ibu.. "Ucapan Zi ning terputus setelah menyadari pakaian yang ia kenakan seperti milik Yue.

Zi ning pun terdiam, ia mengamati dirinya sendiri. Ia sendiri merasa bingung apa yang terjadi pada dirinya, Zi ning lalu berjalan menghampiri Yue dengan segudang pertanyaan yang ingin ia ketahui.

"Katakan nona ini dimana?, dan siapa kamu? " Sambil memegang pundak Yue dengan kedua tangannya.

Matanya memancarkan kebingungan, saat bertanya kepada Yue.

"Nyonya...tidak mengenal aku, ini aku, Yue pelayan setia nyonya"ucapnya pelan, berusaha tetap tenang meski hatinya dilanda kecemasan.

" Pelayan?, sejak kapan.. "Ucapan Zi ning pun terhenti.

Sekarang ia menyadari apa yang terjadi pada dirinya sekarang, ia lalu melepaskan Yue yang juga bingung dengan apa yang terjadi sekarang.

Zi ning membelakangi Yue, dia mencoba mencerna apa yang terjadi.

" Apa yang sudah terjadi ini? "Gumamnya dengan pelan.

Kilas balik.

Li Hua, wanita modern yang selalu tampil sempurna dari ujung kepala hingga kaki, memasuki gedung galeri dengan anggun.

Gaun sutra biru gelap membalut tubuh rampingnya, heels tinggi membuat langkahnya terdengar berwibawa di lantai marmer.

Di usia akhir dua puluhan, ia telah mencapai apa yang banyak orang hanya bisa impikan,karier cemerlang sebagai direktur seni internasional, kecerdasan tajam yang membuat para pria segan, dan pesona alami yang tak terbantahkan.

Hari itu, ia menghadiri sebuah acara pelelangan lukisan langka di kota kecil bernama Hwang, tempat yang terkenal dengan koleksi seni kuno dan atmosfer klasiknya. Meski kota itu tidak besar, nama galeri Hwang dikenal oleh kalangan kolektor elit.

Pelelangan dimulai dengan tenang, suara denting palu dan tawar-menawar lembut mengisi ruangan bercahaya hangat.

Li Hua duduk di barisan depan, menikmati momen dengan anggur putih di tangannya, saat lukisan berikutnya diungkap sebuah kanvas misterius dari era dinasti Xi yang bergambar pemandangan keluarga dengan wanita berbaju putih.

Namun tiba-tiba, lampu bergetar. Suara keras terdengar dari pintu utama yang didobrak. Sekelompok pria bersenjata lengkap menerobos masuk dengan wajah tertutup dan penuh amarah.

Semua yang hadir terkejut.

Suara wanita menjerit, kursi jatuh, dan kekacauan seketika pecah. Seorang pria bertopeng berdiri di tengah ruangan dan mengangkat sesuatu yang mengejutkan semua orang yaitu bom rompi yang terikat di dadanya.

"Jika ada yang coba melawan, kita semua lenyap bersama!" serunya lantang, membuat ruangan langsung hening seperti mati.

Li Hua terdiam di tempatnya, jantungnya berdetak cepat tak karuan. Otaknya yang terbiasa menganalisis data dan strategi kini sibuk mencari celah,apa yang harus dilakukan? Bagaimana cara keluar?

Namun ketegangan semakin meningkat. Seorang tamu pria, entah karena berani atau panik, mencoba menyerang salah satu teroris dari belakang.

Li hua yang melihat itu menjadi panik, "Apa yang mau pria itu lakukan? " Gumamnya dengan pelan.

Pria itu berusaha melawan salah satu teroris itu, bukannya berhasil malah bom itu malah aktif.

Semua orang didepan mereka langsung berlari menjauh, mencari jalan keluar. Tapi dalam hitungan menit saja.

Dalam sekejap—BOOM.

Ledakan menghentak ruangan.

Suara kaca pecah, tubuh terlempar, jeritan panik mengisi udara. Li Hua terhempas ke lantai, telinganya berdenging, matanya kabur.

Namun sebelum kesadarannya memudar, ia sempat melihat sesuatu yang aneh kilasan cahaya samar keluar dari lukisan yang dilelang. Lukisan itu... seolah hidup.

bab 2.Menerima keadaan.

Li hua pun teringat kejadian di galeri seni itu membuatnya terpukul, ia syok, kaget dan tidak menyangka kalau ia akan berada di zaman yang tidak ada ponsel, tv, internet dan alat canggih lainnya.

Tubuh Zi ning gemetar hebat, napasnya memburu seperti baru saja berlari jauh.

Tatapan matanya kosong tapi ketakutan begitu nyata tergambar di sana. Ia melihat sekeliling ukiran naga dan burung phoenix di dinding kayu tua, aroma dupa yang menusuk hidung, altar keluarga yang dikelilingi papan nama leluhur, dan sosok pelayan berpakaian aneh yang menatapnya penuh kebingungan.

"Ini pasti mimpi" Gumamnya sambil mencubit pipinya sendiri.

"Aww, apa ini...?. Ini nyata,bukan mimpi"bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang kini keluar dari bibirnya terdengar asing, begitu lembut dan pelan.

Kakinya kehilangan kekuatan, dan ia jatuh terduduk di lantai kayu keras aula leluhur. Tangannya meraba wajahnya sendiri, rambut yang disanggul keatas, pakaian dari sutra putih tebal bergaya tradisional. Semuanya… nyata. Terlalu nyata.

“Ini bukan mimpi…”

Ingatan itu menyerbu cepat ledakan di galeri Hwang, jeritan, cahaya dari lukisan, dan kemudian... kegelapan yang ia alami tadi.

Matanya mulai memanas. Air mata yang pertama jatuh disusul oleh isakan yang pecah seketika.

"Kenapa aku di sini? Aku siapa sekarang...? Bagaimana dengan tabunganku, investasi ku, sahamku... Aku saja belum menikah ataupun kencan. Ini apa!! " Seru Zi ning dengan perasaan kecewa dengan situasi yang ia alami.

Tangisnya meledak, keras dan penuh ketakutan. Ia menunduk, menggenggam rambutnya sendiri sambil berteriak dalam tangis, mencurahkan kesedihan dan kepanikan yang terpendam.

Yue terperanjat, tidak pernah sekalipun melihat sang nyonya bersikap seperti ini. Ia dengan cepat mendekat dan berlutut di sisi Zi ning.

"Nyonya… mohon tenang…,nanti didengar nyonya besar bisa gawat! "ucapnya pelan tapi cemas, berusaha memeluk bahu wanita yang kini menangis seperti anak kecil yang kehilangan segalanya.

Namun Zi ning menepis sentuhan itu, seolah tidak mengenal siapa pun.

Zi ning lalu mengusap air matanya," Tunggu nona!,memang nya kamu siapanya aku? "

"Dari tadi kamu sebut aku nyonya terus, aku ini bukan… aku bukan dia…maksudku aku bukan orang ini… aku bukan Zi ning tuanmu!. Aku ini Li hua, nona!."

Yue membeku. Kata-kata itu menusuk seperti pedang dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang salah.

"Nyonya, aku tahu ini pasti terjadi. Aku akan panggil tabib. Karena nyonya tidak sehat! "

Ucapan Zi ning di salah pahami oleh Yue, ia pun tidak bisa apa-apa lagi hanya bisa termenung melihat Yue pergi meninggalkan dirinya.

Zi ning kini telah dibaringkan di atas ranjang kamarnya yang luas, dengan tirai tipis berwarna gading yang bergoyang lembut tertiup angin. Yue duduk di sisi tempat tidur dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara seorang tabib tua duduk di ujung ranjang, mengamati tubuh Zi ning yang pucat.

"Tabib bagaimana keadaan nyonya ku? "

"Aku ini tidak sakit, kalian tidak perlu khawatir"

"Keadaannya masih lemah," gumam tabib itu, mengelus janggut putihnya. “Aku akan melakukan akupuntur di titik-titik utama agar pikirannya lebih jernih dan ingatannya segera pulih.”

"APA? " Teriak Zi ning terkejut.

Tabib itu mengeluarkan kotak jarumnya, ia memilih jarum yang akan digunakan ada yang ukuran kecil dan ada yang ukuran besar serta panjang.

"Tunggu pak tua!, kamu mau memasukkan jarum itu kemana? "

"Tentu saja diatas kepala nyonya untuk memperlancar aliran darah di titik inti"

"Jangan bercanda!, cepat suruh dia pergi.. "

Tapi ucapan Zi ning tidak di gubris oleh Yue dan tabib itu.

Namun saat tabib itu memilih jarum panjang yang tipis ditunjukkan ke arahnya, mata Zi ning langsung membelalak.

Ia mengangkat tubuhnya sedikit, berusaha mundur walau tubuhnya masih lemas.

“Jangan! Jangan tusuk aku!” serunya panik, wajahnya penuh ketakutan. “Aku… aku ingat sekarang! Aku Zi ning! Aku kenal dia, dia Yue, pelayanku!”

Yue menatapnya terkejut. “Nyonya… Kau benar-benar ingat aku?”

"Iya aku ingat, kamu pelayan setiaku"

Zi ning mengangguk cepat sambil melirik tajam ke arah jarum di tangan tabib. “Tentu! Aku ingat segalanya. Kau selalu di sisiku, kan, Yue?”

Yue menatapnya curiga sejenak, lalu perlahan menurunkan tangannya yang tadi memegangi bahu Zi ning. Tabib itu mendesah pelan.

“Kalau begitu, jika sudah mulai pulih, kita tunda akupunturnya untuk hari lain.”

Zi ning menghela napas lega dan segera berbalik memeluk bantalnya, seolah baru saja lolos dari eksekusi. Dalam hati, ia bergumam, aku lebih baik berpura-pura waras daripada ditusuk jarum di kepala.

Mereka gila!, bagaimana bisa jarum sepanjang itu menusuk kepalaku?, pikir Li hua yang ketakutan.

Tapi wajahnya tetap tenang di depan mereka, seolah ia memang benar-benar sudah sadar.

Yue lalu mengantar tabib itu pergi, dan meninggalkan Zi ning dikamar sendirian. Akhirnya ia bisa keluar dari ancaman yang baru saja ia alami, didalam kamar Zi ning berusaha untuk menenangkan dirinya dan mencoba menerima kondisinya.

Setelah tabib meninggalkan kamar dan keheningan menyelimuti ruangan, Zi ning masih duduk bersandar di atas ranjang. Angin sore berembus pelan lewat jendela, menggerakkan tirai tipis dan membawa aroma dedaunan basah.

Pikirannya berkecamuk. Ia menatap kosong ke langit-langit kayu, memikirkan satu hal yang terus menghantuinya yaitu bagaimana cara kembali ke dunianya zaman modern.

Tapi semakin ia merenung, semakin ia sadar… tubuhnya di sana mungkin sudah tak utuh lagi. Ledakan itu begitu dahsyat. Mungkin ia sudah mati. Atau kalau pun selamat, ia hanya akan kembali untuk merasakan penderitaan dalam tubuh yang cacat.

Kalau pun bisa kembali... apakah aku benar-benar ingin kembali jika kondisi tubuhku atau aku sudah jadi mayat?, batinnya.

Akhirnya, Zi ning menarik napas panjang dan mengangkat wajahnya. “Sudahlah… Aku tidak bisa terus memikirkan yang mustahil,” gumamnya lirih. “Aku harus bertahan hidup di sini. Aku harus jadi... Zi ning sepenuhnya.”

Matanya beralih pada Yue, yang tengah membereskan kain dan wadah obat di sudut ruangan.

Hanya pelayan Zi ning yang bisa memberitahuku, siapa Zi ning sebenarnya?,pikir Li hua.

“Yue,” panggil Zi Ning lembut.

Yue segera menoleh dan mendekat. Ia menunduk sopan di sisi tempat tidur. “Ada yang bisa hamba bantu, Nyonya?”

Zi ning menatapnya lekat-lekat. "Sebenarnya ingatanku kurang begitu pulih.. " Ucapannya terputus oleh Yue yang khawatir.

"Kalau begitu aku panggil tabib itu lagi! " Ucap Yue yang khawatir.

"Tunggu!, aku tidak butuh tabib yang aku butuhkan hanya kamu. Sekarang duduklah disampingku, dan ceritakan tentang masa lalu ku"

"Karena kamu tahu banyak tentang aku... maksudku, tentang siapa aku dan masa lalu ku. Bisakah kau ceritakan semuanya padaku? Aku ingin tahu… siapa aku dulu sebenarnya."

Yue terlihat sedikit ragu, namun kemudian mengangguk hormat. “Baik, Nyonya. Hamba akan menceritakan semuanya… mulai dari yang paling awal.”

Zi ning mengangguk pelan, ia dengan serius mendengarkan apa yang Yue akan ceritakan tentang nya.

Dan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup didunia yang asing ini adalah dengan memahami siapa Zi ning, dan masa lalu Zi ning seperti apa. Dengan begitu ia bisa menjalani kehidupan di zaman ini, dengan hati-hati dan waspada.

bab 3.Kehidupan Zi ning.

Di utara negeri Lan gya, berdiri megah benteng pertahanan yang dijaga oleh Jenderal Liu, sosok yang disegani baik oleh rakyat maupun kaisar.

Ia memiliki lima putra gagah perkasa, namun hanya satu bunga di antara mereka yaitu Liu zi ning, putri bungsu sekaligus permata hati keluarga Liu.

Zi ning tumbuh dalam kasih sayang dan perlindungan berlapis. Sebagai satu-satunya wanita di keluarga militer, ia dibesarkan dengan penuh kelembutan namun juga dibekali ketegasan khas klan Liu. Semua kakaknya menyayanginya bagai nyawa sendiri.

Namun, suatu hari, demi menunaikan perjanjian lama antar keluarga bangsawan, keluarga Wu datang dengan permintaan yaitu agar Zi ning dinikahkan dengan Wu tian yu, putra bungsu mereka. Meski Tian yu hanyalah seorang prajurit rendahan, keluarga Wu bersikeras.

Kakak-kakak Zi ning tentu menolak keras, apalagi mereka mencium adanya niat tersembunyi di balik permintaan itu yaitu niat untuk memperoleh mas kawin dari klan Liu.

"Ayah, keluarga Wu sedang mengalami masa sulit. Mereka pasti memanfaatkan pernikahan putranya untuk kelangsungan hidup Zi ning" Ucap Lei heng kakak kedua Zi ning.

"Adik benar ayah! " Ucap kakak pertamanya bernama Yun hao.

"Iya ayah! " Seru mereka bertiga, Zhi x un kakak ketiga, Hao xuan kakak keempat dan Jing tao kakak kelima.

Kakak-kakak Zi ning menolaknya dengan tegas, tapi apa daya ketika ayah mereka jenderal Liu memutuskan tidak ada yang bisa menolaknya.

"Ini keputusan ayah, Zi ning tetap menikah dengan keluarga Wu atau kalian mau melihat ayah kalian mati karena ingkar pada janji sendiri.

Namun Jenderal Liu adalah pria yang menjunjung tinggi kehormatan dan janji. Tanpa menggubris penolakan anak-anaknya, ia tetap memutuskan pernikahan itu harus dilaksanakan.

Zi ning pun menikah, tandu pernikahan di antar ke kota Qing shi,tapi takdir mempermainkannya pernikahan Zi ning malam itu.

Pada malam pertama pernikahan mereka, Tian yu melarikan diri. Bukan karena takut, tapi karena ia ingin bersama wanita yang ia cintai secara diam-diam,seorang gadis sederhana yang tak diakui oleh keluarga Wu.

Tian yu yang tidak mau menjadikan wanita pujaan nya sebagai selir, karena ia sudah melakukan upacara pernikahan dan keluarga Wu mendapatkan menantu keinginan mereka.

Mereka berdua memutuskan untuk mencoba kabur bersama, namun pengejaran dari keluarga Wu berlangsung cepat dan brutal. Dalam kekacauan itu, Tian yu dan kekasihnya terjatuh dari tebing dan tewas seketika.

Untuk menjaga kehormatan keluarga dan menghindari aib, keluarga Wu menyembunyikan kebenaran. Mereka mengarang cerita bahwa Tian yu gugur dengan gagah berani saat melindungi saudaranya dari serangan bandit di kota Qing Shi.

Seketika itu juga Zi ning yang awalnya memakai pakaian pengantin merah cerah, menjadi pakaian berkabung sebagai janda yang belum disentuh.

Zi ning menerima kabar itu dengan hati pilu, namun percaya sepenuhnya. Ia menjadi janda hanya beberapa jam setelah pernikahan, dan keluarga Wu bukannya menghibur tapi justru menyalahkannya atas kematian putra mereka.

Mereka menyebutnya pembawa sial. Sosok wanita yang katanya membawa kematian bagi suaminya sendiri.

Ibu mertuanya nyonya besar Wu, menyalahkan Zi ning yang duduk didepan peti mati Tian yu.

Seketika Zi ning, yang dulunya hidup dalam kemewahan dan kasih sayang, mendadak jatuh ke dalam lembah kehinaan dan kesedihan. Ia tidak hanya kehilangan status dan martabat, tetapi juga menjadi bulan-bulanan dalam rumah tangga barunya.

Tanpa mengetahui kebenaran dalam kematian suaminya,yang ia tahu adalah bahwa kematian Tian yu bukanlah pengorbanan, melainkan pengkhianatan.

Dan dengan bodohnya Zi ning menerima penghinaan, pembatasan dalam kehidupan nya sebagai seorang janda, ia harus melayani keluarga Wu tanpa mengeluh dan juga harus mendoakan pria yang sudah mengkhianati dirinya.

___

Angin sore bertiup lembut dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma teh hangat dan serbuk kayu dari perapian kecil di sudut ruangan.

Yue duduk di samping ranjang dengan suara lembut, perlahan menceritakan masa lalu Nyonya mudanya,kisah sedih seorang gadis bangsawan yang dijadikan pion dalam permainan kehormatan, lalu ditinggal dalam kesunyian menyakitkan.

Zi ning mendengarkan tanpa menyela. Tapi di balik wajah tenangnya, pikirannya gemuruh. Ia yang dulunya adalah Li Hua, wanita modern, mandiri, dan hidup bebas dalam dunia teknologi dan karier tak pernah membayangkan akan terperangkap dalam tubuh seorang janda muda berusia dua puluh lima tahun yang sudah menjanda selama sepuluh tahun.

Begitu Yue selesai bercerita, suasana kamar hening. Bahkan suara burung dari halaman belakang seolah ikut diam.

Zi ning menunduk, menatap kedua telapak tangannya yang mungil dan pucat. Tangannya bukan lagi tangan Li Hua yang kuat dan cekatan tapi melainkan tangan seorang gadis muda yang telah kehilangan segalanya terlalu cepat.

"Usianya...baru lima belas tahun dan harus menjanda, apa-apa dunia ini. Memang disini tidak ada hak untuk wanita, ini namanya pernikahan melanggar hukum" Gerutunya pelan.

"Nyonya bilang apa? "

"Tidak, aku hanya merasa ini tidak adil untuk ku"

Yue pun menjadi bingung, dengan sikap nyonya nya yang tidak seperti biasanya.

Mata Zi ning perlahan berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak yang naik dari dalam dada.

Betapa berbedanya hidup mereka...

Li hua hidup dengan kebebasan memilih kuliah, bekerja, menolak pernikahan jika ia mau. Tapi Zi Ning… gadis itu bahkan tak sempat mengenal suaminya. Dijual dalam pernikahan demi kehormatan, ditinggal, dan kemudian dicaci.

“Aku tidak tahu harus merasa apa…,” suara Zi ning bergetar, “Aku marah. Aku sedih. Tapi… yang paling kuat dari semua ini aku kagum. Betapa kuatnya dia menjalani semua ini, saat aku mungkin sudah hancur kalau berada di posisinya.”

Yue menatapnya, ada air mata di matanya juga. "Nyonya…sebenarnya anda bicara apa?, saya jadi tidak mengerti "

"Kamu tidak perlu mengerti Yue, sekarang nyonyamu ini bukan wanita yang mudah ditindas"

Zi ning menghela napas, menatap ke luar jendela. Matahari mulai tenggelam, menyinari langit dengan warna oranye keemasan. Dalam hati, ia tahu satu hal yaitu hidup ini bukan milik Zi ning lagi, tapi Li hua wanita modern yang sudah banyak menghadapi lika-liku kehidupan.

Namun satu hal pasti,ia tak akan menyerah. Jika Zi ning bisa bertahan dengan semua luka itu di usia lima belas, maka gilirannya kini untuk meneruskan kehidupan Zi ning.

Pagi itu setelah pembicaraan malam mereka, sinar matahari belum lama menyentuh kisi-kisi jendela kamar Zi ning.

Di dalam kamar yang tenang, Yue tengah menyisir rambut tuannya dengan lembut, sementara Zi ning duduk diam menatap ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Wajahnya pucat, matanya sayu dengan bekas tangis semalam masih membekas jelas di sudut mata.

Tiba-tiba—

BRAK!!

Pintu kamar mendadak terbuka dengan kasar. Suara kayu yang terbanting menggetarkan suasana. Yue refleks berdiri dan membungkuk kaget. Zi ning pun menoleh dengan wajah terkejut.

Siapa dia?, menurut penampilannya, dia mungkin nyonya besar yang diceritakan Yue, pikir Li hua.

Langkah sepatu bordir bergemeretak mendekat. Di ambang pintu berdirilah Nyonya Besar, mengenakan jubah sutra ungu tua dengan bordiran burung phoenix emas di dadanya. Wajahnya dingin, sorot matanya penuh rasa tak suka. Dengan dagu terangkat dan suara sinis, ia membuka suara.

"Sudah pagi seperti ini, kenapa kau masih bermalas-malasan di kamar, jangan jadikan alasan kesehatan mu sebagai mungkir dari kewajiban mu sebagai menantu utama keluarga ini! "

Suara Nyonya Besar begitu tajam, seperti cambuk yang mencambuk harga diri Zi ning. Yue menunduk dalam, tubuhnya kaku, tak berani bersuara. Zi ning menggenggam erat kain bajunya, berusaha menahan emosi dan kehancuran yang perlahan kembali menjalari hatinya.

"Maafkan kami, nyonya besar!. Nyonya, bangun kesiangan karena kemarin ia sakit" Ucap Yue sambil tertunduk.

Nyonya Besar melanjutkan, matanya menyipit penuh sindiran.

"Kalau begitu cepat bantu nyonyamu itu, untuk segera bersiap-siap melakukan tugasnya"

"Baik nyonya besar"

Udara di dalam kamar seketika menjadi dingin. Zi ning menelan ludah, mencoba menegakkan punggungnya meski hatinya goyah.

Yue memandang tuannya dan memberikan isyarat untuk diam,dan Zi ning yang tidak mau ribut pagi-pagi dengan ibu mertua nya hanya bisa menuruti permintaan Yue.

Mereka berdua menunduk hormat, dan memberi salam ketika nyonya besar pergi bersama para pelayannya.

Setelah mereka pergi dari kamar Zi ning, akhirnya Zi ning bisa bernafas lega.

"Huh.., tadi menakutkan sekali!. Apa tiap hari aku harus menghadapi wanita tua itu? "

"Nyonya, jangan bicara seperti itu. Bagaimana kalau ada orang yang dengar?, rumah ini punya telinga bagaimana kalau mereka melaporkan pada Nyonya besar apa yang Nyonya katakan"

"Kau benar!, aku harus hati-hati"

Akhirnya mereka berdua melanjutkan apa yang mereka kerjakan,dan cepat segera menyelesaikan sebelum di tegur lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!