NovelToon NovelToon

Bertahan

Part 1

Hari ini aku sudah siap dengan ulasan make-up natural. Jilbab hijau daun menutupi rambutku. Aku kembali menatap diriku di cermin. Apakah ini benar-benar aku? tanyaku pada diri sendiri.

"Alisha". Panggilan itu membuat aku langsung berdiri. Maya. Tanteku.

"Tante. Apa aku harus keluar sekarang?" tanyaku pelan.

Wajah Tante Maya terlihat seperti biasanya, sadis padaku, "Kamu harus sopan disana. Yang kamu nikahi itu bukan pria sembarangan," kata Tante Maya.

"Jangan terlalu kasar padanya. Bagaimanapu dia sudah menolong kita." Paman masuk dan mencoba menenangkan Tante.

"Sudah seharusnya dia menolong kita. Dia sudah kita rawat sejak orang tuanya mati."

Aku sadar jika aku harus membalas budi untuk Paman dan Tanteku. Aku tersenyum dan mendekat kearah mereka.

"Aku akan membalas budi sebisaku. Kalian sudah aku anggap seperti orang tuaku."

Tante Maya tertawa pelan, "Orang tua? bagus jika kamu merasakan hal itu. Kamu bisa keluar dan tetap jaga semua kesopananmu."

"Baik tante."

Aku mengangguk kearah paman. Aku tahu paman khawatir dengan segala keputusanya. Aku tidak pernah tahu apa yang akan menjadi takdirku, aku hanya mampu untuk berjalan dengan hati yang damai.

💝💝💝

Aku melihat Om Adrik dan Tante Febri. Aku menghela nafas panjang, dan memberanikan diri untuk turun dari tangga. Sampai akhirnya, brak. Aku tidak sengaja menabrak seseorang.

"Maaf. Saya tidak sengaja." kataku pelan, aku menundukan kepalaku sedalam-dalamnya.

"Kamu punya mata? Lain kali gunakan matamu dengan benar".

Aku tidak tahu siapa pria itu tapi bahasanya cukup kasar untukku. Dia bahkan tidak menghiraukan kata maafku.

"Sekali lagi saya minta maaf."

"Sudahlah Aqil. Dia itu calon istrimu." Kata Om Adrik.

"Dia?" tanya Aqil sembari menunjukku. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Om Adrik.

"Iya sayang," jawab tante Febri.

Tante Febri menggenggam tanganku dan mengajakku duduk bersama dengan yang lain.

Kami hanya membicarakan tentang pernikahan kami. Tidak banyak yang diputuskan, hanya akhirnya aku harus menikah dengan Aqil. Ya, bulan depan aku akan menikah dengan Aqil. Karena banyak acara penting yang harus dilakukan setelah pernikahan.

"Aqil. Jangan sakiti Alisha ya. Dia anak yang baik," kata Om Adrik.

"Tenang saja Pa. Dia akan baik-baik saja denganku." Mata Aqil melirik kearah diriku. Kembali menundukan kepalaku.

Aku melihat wajah tidak senang dari Aqil. Aku tahu perjodohan yang tidak didasari oleh cinta akan seperti ini. Namun aku harus tetap menjalaninya.

"Sayang, kami pulang dulu," kata Tante Febri begitu acara sudah hampir selesai.

"Tidak sekalian makan malam bersama?" tanya Tante Maya pada mereka.

"Maaf. Bukanya mau menolak tapi karna kami harus datang keacara lain." Om Adrik langsung bersalaman dengan Paman Tejo.

Tante Maya dan Paman Tejo mengantar keluarga calon suamiku keluar. Aku hanya duduk di sofa dengan tangan meremas baju.

"Kau akan merasakan apa yang aku rasakan."

Tidak aku sangka jika Aqil masih di sana. Dia mengatakan hal aneh padaku. Tidak lama, paman dan tante masuk.

"Ini sangat menguntungkan untuk kita," kata tante dengan wajah yang cerah namun tetap sadis.

"Kau ini. Jangan memikirkan hal yang bukan-bukan."

"Biarkan saja. Dia kan anak pungut."

Sakit rasanya mendengar hal itu. Aku memang tidak tahu siapa diriku, tidak tahu juga siapa orang tuaku. Yang aku tahu, paman dan tante yang telah menjagaku.

"Kau masih di sini?" tanya Tante Maya dengan kesal.

"Al. Kamu bisa masuk ke kamar."

Aku hanya menurut dengan apa yang dikatakan Paman Tejo. Aku tidak mau menambah masalah untuknya.

💝 💝 💝

"Assalamu'alaikum Al". tanya Vidi dari seberang sana.

"Wa'alaikum salam Kak Vidi."

"Kata Om Tejo kamu mau menikah bulan depan?".

Aku tidak tahu sejak kapan Paman Tejo dekat dengan Vidi. Padahal mereka terlihat sangat bertentangan.

"Apa itu benar Al? Padahal niatku setelah selesai kuliah ini aku akan membuat kamu jadi halal untukku".

Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Vidi. Aku sudah menganggapnya Kakak, dia orang yang baik. Orang yang menjagaku walau kita berjauhan.

"Kak Vidi jangan melantur. Kenapa telfon malam-malam begini? tidak enak dengan yang lain Kak".

"Tidak apa. Hanya ingin memastikan saja".

Kalau boleh jujur hati ini masih tertambat oleh Vidi. Rasa perhatian dan penuh kasih sayang darinya membuat aku menyerahkan hatiku. Namun, takdir berkata lain.

"Sudah malam Kak. Waktunya istirahat". kataku. Aku hanya ingin mengahiri acara bertelfon ini.

"*Ya sudah. Selamat istirahat. Assalamu'alaikum".

"Wa'alaikum salam*".

Aku langsung menutup telfon itu dan meletakanya diatas nakas. Ya Allah, jantung ini masih tetap berpacu padahal hanya mendengar suaranya.

💝 💝 💝

Aku sudah siap dengan pakaian rapi karna akan bekerja. Baju pink dengan jilbab berwarna senada.

"Bisa bantu paman?" tanya Paman saat aku keluar rumah.

"Ada apa Paman?". aku menghampiri paman dan melihat wajah bingung darinya.

"Tolong antarkan ini ketempat Om Adrik ya. Ketinggalan tadi malam," kata Paman Tejo.

"Tapi kan..."

"Tolong paman Al."

Mau tidak mau aku hanya mengangguk saja. Aku ingat jika aku harus membantu Paman Tejo.

"Memang kamu anak yang baik." Paman memberikan sebuah bungkusan kecil.

"Aku berangkat dulu. Makanan sudah siap, tolong bangunkan Tante untuk sarapan ya Paman".

"Iya. Kamu hati-hati."

Aku langsung berjalan kearah terminal bus seperti biasa. Memang jarak tempuh rumah dengan toko bunga tempatku bekerja lumayan jauh.

💝 💝 💝

to be continued

Part 2

Sampai di depan rumah Om Adrik aku hanya diam terpaku. Enggan untuk mengetuk pintu itu. Teringin sekali kembali berbalik dan melupakan alasanku kemari. Namun, aku kembali teringat dengan Paman Tejo.

Tok tok tok. Aku akhirnya mengetuk pintu itu juga. Tidak berselang lama pintu itu terbuka seorang wanita paruh baya tersenyum padaku.

"Mau cari siapa non?" tanya Bibi itu.

Aku menghela nafas, seulas senyum aku berikan pada Bibi itu, "Maaf Bi. Saya mau bertemu dengan Om Adrik. Apa Om Adriknya di rumah?" kataku pelan.

"Maaf Non. Pak Adriknya.."

"Siapa Bi?" Aku dan Bibi itu langsung menoleh kearah suara.

Aqil. Dia langsung berjalan kearah pintu dan membuka lebar pintu itu. Pandangan kami bertemu. Kali ini tatapanya berbeda dari kemarin malam.

"Kamu. Mau apa kamu kesini?" tanyanya dengan nada keras.

"Ini," aku menyodorkan titipan Paman Tejo, "milik Om Adrik yang ketinggalan." Aku menyodorkan bingkisan itu.

Aqil langsung merebut benda itu. "Apa benar ini alasanmu kesini?"

"Iya." Aku mengangguk dengan pasti.

"Kamu tidak merindukanku?"

Mendengar pertanyaan itu aku hanya membulatkan mataku. Sedangkan Bibi itu hanya tersenyun kecil dan meninggalkan kami.

"Jangan harap aku merindukan dirimu juga," kata Aqil selanjutnya.

Aku masih diam mencerna semua perkataan Aqil. Bahkan jika bukan karna paman aku tidak mungkin ada disini sekarang.

"Kalau begitu. Aku pamit dulu." Aku memutar tubuhku dan akan beranjak pergi dari hadapan Aqil.

"Tunggu."

Aqil memegang tanganku saat mencoba menghentikan diriku.

Aku melepaskan tanganku dari Aqil. "Ada apa lagi?"

"Tidak. Hanya saja jangan sampai kamu menginjak bunga mawar putih itu."

Aku melihat rangkaian mawar putih yang hampir aku injak. Lebih tepatnya buket bunga dengan sebuah kertas kecil yang diselipkan.

"Maaf." aku langsung mengambilnya dan memberikan pada Aqil.

"Silahkan pergi." Aqil melambaikan tanganya padaku saat sudah menerima bunga itu.

Pria aneh. Dia melakukan hal itu seakan aku sudah mengenalnya lama. Padahal aku juga baru kenal beberapa bulan ini dengan orang tuanya.

💝 💝 💝

Tidak tahu kenapa aku kurang fokus saat bekerja sampai beberapa kali ditegur Bosku. Rini. Tidak biasanya aku seperti ini.

"Kamu kenapa Al?" tanya Rini padaku.

"Tidak Mbak. Aku hanya kurang tidur." kataku.

"Sebentar lagi temanku akan datang dan mengambil rangkaian mawar putih. Aku harus pergi dulu sekarang".

"Baik Mbak".

Hari ini kenapa harus teringat dengan Aqil hanya gara-gara mawar putih. Bayangannya tiba-tiba saja datang di pelupuk mataku.

"Alisha. Jangan banyak ngelamun." kembali Rini menegurku saat dia akan segera pergi.

"Iya Mbak."

Rini langsung keluar dari toko. Kini hanya tinggal aku dan Tika yang sedang menyiram bunga di belakang.

"Permisi. Apa ini toko bunga milik Rini?" tanya seorang wanita yang berparas cantik.

"Iya benar. Mbak yang mau ambil rangkaian mawar ya?" tanyaku padanya.

Wanita itu tersenyum. Rambut panjangnya tergerai. "Baru kali ini aku melihat langsung toko bunga." Wanita itu terlihat sangat takjub dengan berbagai bunga yang ada.

"Tolong ambilkan mawar putihnya. Aku akan segera pergi."

"Baik."

Aku bergegas kebelakang dan mengambil sebuah rangkaian. Aku langsung memberikan pada wanita itu.

"Terima kasih. Tolong siapkan ini setiap hari". kata wanita itu padaku.

"Baik Mbak.."

"Fira. Namaku Fira." kata wanita itu.

"Baik mbak Fira." Aku langsung menuliskan namanya dalam daftar pelanggan tetap.

"Aku pergi." Wanita itu langsung pergi dan meninggalkan toko. Wajah bahagianya terlihat jelas saat melihat bunga itu.

💝 💝 💝

"Aku pulang dulu ya Tik." aku mengambil tasku dan berpamitan pada Tika.

"Nggak nunggu mbak Rini?"

"Aku ada urusan mendadak. Kamu tolong ngomong sama mbak Rini ya." kataku.

"Ok. ok."

Aku langsung bergegas menuju ketempat yang dimaksud Aqil. Entah darimana dia bisa mendapatkan nomorku.

"*Assalamu'alaikum".

"Wa'alaikumsalam. Kamu bisa kan kerumah tante?".

"Maaf tante. Baru saja Aqil menelfon dan menyuruh bertemu*". kataku pada Tante Maya.

"Temui dia. dan katakan kalau Om Adrik yang meminta dipercepat".

Apanya yang dipercepat. Kenapa terasa aneh dan tiba-tiba. Jangan-jangan pernikahanku yang dipercepat. Aku harus bagaimana sekarang?

"*Apanya yang dipercepat tante?".

"Kamu cukup ikuti alur saja*".

Telfon itu langsung dimatikan oleh Tante Maya. Entah kenapa aku bisa menikah dengan Aqil. Jika hutang yang membuatku menikah. Hutang apa dan seberapa besar. Aku masih bertanya-tanya tentang semua ini.

Aku masuk kesebuah tempat makan yang ditunjuk Aqil. Dia katanya disini.

"Hei. Aku disini".

Aku menoleh dan melihat Aqil dengan buku menu ditanganya.

"Maaf lama.” aku langsung duduk.

"Tidak apa." Aqil langsung menyodorkan sebuah buku menu padaku. "Cepat pilih. setelah ini kita harus mencoba pakaian."

"Baik." aku memesan makanan yang dipilih oleh Aqil. Aku memang belum pernah makan ditempat makan yang mewah seperti ini.

💝 💝 💝

Tidak banyak kata sejak aku dan Aqil keluar dari butik. Mata Aqil menerawang jauh. Seperti sedang ada masalah. Aku segan untuk bertanya.

"Awas Aqil." kataku berteriak saat Aqil hampir menabrak seekor kucing.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Aqil.

"Tidak. Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?" akhirnya aku bertanya juga pada Aqil.

"Bukan urusanmu." aku langsung diam begitu mendengar Aqil menjawab.

Sebuah telfon dari seorang wanita membuat Aqil tidak banyak bicara seperti biasanya. Apa wanita itu kekasihnya. Aku takut di cap sebagai perebut.

"Kamu tidak mau turun?" tanya Aqil membuyarkan lamunanku.

"A...apa?" tanyaku bingung.

"Kamu tidak mau turun?. kita sudah sampai." kata Aqil dengan nada yang kembali seperti biasanya.

Aku langsung membenahi diriku. "Terima kasih sudah mengantarku."

"Ini juga karena Papa".

Aku langsung turun dari mobil. Aqil langsung tancap gas tanpa berkata atau berpamitan padaku. Aku hanya menghela nafas.

"Kamu sudah pulang?" tanya Tante Maya saat aku baru akan mengucapkan salam.

"Sudah tante. Tadi kenapa menelfon?" tanyaku pada Tante Maya.

"Tidak ada. Kamu pulang dengan siapa?"

"Dengan Aqil," jawabku pelan.

"Baik-baik padanya. Kamu tidak ingin kan menjadi janda nantinya."

"Aku ke kamar dulu tante." Aku langsung masuk ke kamarku.

Aku melihat ada bingkisan di atas kasurku. Ada dua kotak besar disana.

"Itu kiriman dari temanmu yang namanya Vidi." kata Tante Maya dengan berteriak.

Aku langsung membuka semua kotak itu. Hanya beberapa buku dan sebuah gaun yang sangat cantik. Aku tidak tahu jika Vidi memiliki selera yang bagus untuk sebuah gaun.

Aku mengetikan sebuah nama dan langsung ku telfon.

"*Assalamu'alaikum Kak Vidi".

"Wa'alaikum salam. Tumben telfon duluan. Kangen*?". pertanyaan Vidi tetap dicampur dengan gaya humorisnya.

"Terima kasih untuk gaunya. sangat cantik". kataku dengan senang. sembari menatap gaun biru itu.

"Itu khusus untuk kamu. Sebenarnya gaun itu akan aku berikan saat kita menikah nanti. Tapi kamu malah akan menikahi orang lain".

Aku tertawa kecil. "jangan seperti itu Kak. Tidak baik".

"Aku benar-benar mencintaimu Al".

Sebuah tangan mengambil paksa ponselku dan membantingnya tepat didepanku.

"Tante." Aku melihat wajah tidak suka dari tante Maya. Tepatnya wajah yang marah.

"Kenapa tante melakukan ini?"

"Kamu fikir apa? Kamu akan menikah dan sekarang kamu bersenang-senang dengan pria lain."

"Aku hanya ingin berterima kasih Tante".

"Berterima kasih? Aku akan mengatakan pada pamanmu. Agar pernikahan ini dipercepat saja."

Tante Maya langsung keluar dari kamarku. Aku melihat ponselku yang sudah remuk. Padahal aku membelinya dengan susah payah. Aku hanya pasrah saja sekarang.

💝 💝 💝

to be continued

Part 3

Aku sudah memakai gaun yang sangat indah. Semuanya bertemakan bunga mawar putih.Tentunya demua ini karena kemauan Aqil. Bagiku, aku hanya bisa mengikutinya.

"Kamu sudah memakai gaun cantik kenapa wajahmu masih murung?" tanya Paman Tejo.

"Bagaimana tidak murung. Ponselnya kan sudah pacah." Sambar tante Maya.

"Diam kamu Maya," kata Paman Tejo.

"Kenapa bukan Paman yang menjadi waliku?" tanyaku pada Paman.

"Kamu akan tahu alasanya nanti,"kata Paman Tejo. "Kamu bersiap dulu Aku dan Tantemu akan mengurus semuanya".

"Paman." Mereka tetap pergi meninggalkanku dengan semua yang belum aku kenal.

Sejak kemarin aku selalu bertanya-tanya. Kenapa paman Tejo tidak menjadi waliku. Bahkan, banyak yang bertanya tentang aku pada paman Tejo.

💝 💝 💝

Aku sudah resmi menjadi suami istri dengan Aqil. Walau begitu aku dan Aqil belum juga membuka pembicaraan. Aku hanya mengangguk dan bersalaman selama resepsi ini.

"Sayang. Kalian mau bulan madu dimana?" tanya Tante Febri.

"Mama ngapain bahas hal kaya gitu disini?" kata Aqil.

"Kamu jangan kasar gitu dong. Kasihan kan Alisha nya,” kata Tante Febri.

"Aku nggak apa-apa kok Tante," kataku pelan.

"Kok Tante sih. Mama," kata Tante Febri mencoba mengingatkan jika aku sudah menjadi anaknya.

"Ma..ma." Aku masih tergagap dengan panggilan itu.

"Bagus. Setelah semua tamu pulang kalian bisa pulang kerumah Mama atau ke hotel yang sudah Mama pesan. Terserah kalian saja." Mama menepuk pundakku perlahan.

Aku harus belajar dari awal. Keluarga yang baru dan kehidupan baru sudah menanti diriku.

"Aku akan pulang kerumah dengan Alisha," kata Aqil yang terlihat tidak senang dengan apa yang dilakukan Mamanya padaku.

Kini tinggal keluarga inti saja di ruangan ini. Paman dan tante mendekat padaku. Zefan masih tidak memandangku sedikitpun.

"Kalian akan menginap dihotel ini?" tanya Paman.

"Tidak paman. Kata Aqil kita akan pulang kerumah."

"Jangan panggil nama dong. Sekarang dia kan suami kamu. Jaga sopan santun kamu, jangan bikin malu," kata Tante Maya dengan nada ketusnya.

"Tidak apa-apa kok. Masih baru juga. Perlu banyak belajar." kata Mama Aqil dengan senyuman yang hangat.

Papa Adrik datang dang langsung menepuk pundak Aqil, "Kalian bisa pulang dulu," kata Om Adrik kemudian.

Aku menoleh pada Paman Tejo. Hanya anggukan yang aku dapat darinya. Hati ini masih berharap bisa lebih lama bersama tante dan paman. Namun, aku sudah memiliku suami. Aku akan menurut dengan apa yang suamiku lakukan.

"Alisha. Benar apa yang dikatakan Adrik. Kalian bisa pulang dulu," kata Paman Tejo lagi.

"Baiklah." Aqil langsung menarik tanganku dengan cukup keras. Aku bahkan tidak sempat berpamitan pada mereka.

Sampai di parkiran seorang supir keluar dari mobil dan mempersilahkan kami masuk. Namun Aqil menolaknya.

"Aku akan membawa istriku kesuatu tempat. Kamu bisa pulang sekarang," kata Aqil pada sopir itu.

Sopir itu mengangguk dan memberikan kunci mobil itu. "Baik tuan".

Aku hanya diam. Bukan karna apa tapi aku belum mengerti tentang Aqil dan keluarganya. Aku baru tahu nama mereka saja. Vidi, andaikan dia di sini.

"Kamu tidak mau masuk?" tanya Aqil padaku.

"Aku akan masuk."

Aku duduk dengan tenang disamping Aqil. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Sedangkan aku, aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.

Wajah Aqil berubah. Dia tidak semenakutkan tadi. Kali ini aku merasa lebih tenang.

💝 💝 💝

Aku sudah sampai dirumah Aqil dan sedang berkeliling dengan asisten rumah tangga Aqil. Aku bisa memanggilnya Nia. Tadinya aku kira Aqil akan membawaku kemana.

"Non. Semua ruangan boleh dimasukki. Kecuali ruangan yang berada di pojok itu," kata Nia.

"Kenapa?" Entah kenapa, aku malah merasa penasaran dengan ruangan itu.

"Itu ruangan khusus untuk Tuan. Jangan sekali-kali kesana. Ini perintah dari tuan langsung."

Aku mengangguk paham. Lebih baik aku mengikutinya atau akan terjadi masalah nantinya.

"Kalau begitu ini kamar Tuan. Non bisa istirahat disini." Nia membukakan pintu itu untukku.

"Terima kasih," kataku.

Baru kali ini aku melihat kamar semewah ini. Hiasanya sangat indah. Bahkan aku tidak bisa mengucapkan apapun.

"Saya permisi dulu."

Aku mengangguk begitu Nia mengatakanya.

Kini aku sendirian di kamar Aqil. Kata Aqil dia ada urusan dan akan pulang malam. Padahal hari ini adalah hari pernikahan kita.

Aku membuka kerudungku dan beberapa aksesoris yang sedikit mengganggu. Aku tidak tahu harus ganti baju apa. Aku belum persiapan sama sekali. Tidak ada baju untukku di sini.

"Permisi," Nia mengetuk pintu dari luar kamar.

Aku kembali mengenakan kerudungku dan membuka pintu.

"Ada apa Nia?" tanyaku.

Aku kaget ketika melihat bukan Nia yang ada di depan pintu. Aqil, padahal jelas sekali tadi suara Nia.

"A..aqil,” ucapku terbata karena kaget.

"Apa kau mau di depan pintu terus?"

Aku langsung menyingkir dari pintu. Tatapan mata Aqil membuat aku tidak mampu berkata lagi. Kadang dia seperti iblis, kadang juga tatapanya menghangatkan.

"Baca semua ini dan fahami." Aqil melemparkan sebuah berkas padaku.

Aku mulai membaca dan memahami semua isinya. Aku melihat kearah Aqil. Dia hanya menganggukan kepalanya.

"Aku harus menuruti semua ini?" tanyaku.

"Tentu. Kamu tidak mencintaiku kan?" tanya Aqil.

Aku hanya diam. Aku tidak tahu apa aku mencintai Aqil atau tidak. Namun, aku juga tidak memiliki alasan untuk mencintainya.

"Jangan-jangan kau sudah mencintaiku sejak pertama bertemu?" Aqil mendekatkan wajahnya.

"Bukan. Bukan begitu. Apa aku harus berada dalam rumah terus?"

Anggukan Aqil membuat aku sedikit kecewa.

"Aku akan mati bosan jika dirumah tanpa ada hal yang aku kerjakan."

"Lalu?"

Aku menghela nafas sebelum mengatakanya. Aku menatap lekat mata Aqil.

"Biarkan aku meneruskan keinginanku. Aku hanya ingin tetap merangkai bunga."

"Jadi kau akan memilih pekerjaanmu atau aku?"

Kenapa pertanyaan Aqil sampai seperti itu. Mungkin benar, aku harus menurut dengan Aqil. Dia suamiku, aku harus ingat jika dia suamiku.

"Aku akan memilihmu," akhirnya aku kalah juga. Jika aku mengatakan memilih pekerjaan, Aqil pasti akan marah padaku.

"Aku akan buatkan toko bunga untukmu. Jangan menatapku dengan tatapan menjijikan itu lagi," kata Aqil.

Aku seperti anak kecil yang baru saja di belikan permen. Bahagia rasanya. Tanpa aku memohon, Aqil akan memberikan aku sebuah toko bunga.

"Cepat tambahkan itu dan tanda tangani kontrak itu."

Teriakkan Aqil membuat aku sadar. Berat rasanya tanda tangan diatas sebuah kontrak pernikahan. Baru saja aku merasakan bahagia, namun tetap saja pernikahan ini bukanlah cinta. Setelah selesai aku langsung kembali menyodorkan kontrak itu.

"Apa kamu mau berpakaian seperti itu sepanjang hari?" tanya Aqil padaku.

Aku menatap diriku sendiri yang masih menggunakan gaun pengantin.

"Ikut aku."

Tiba-tiba saja Aqil langsung menggendongku dan keluar dari kamar.

"Mau kemana? turunkan aku." Tidak enak rasanya dalam posisi ini. Siapapun bisa melihatnya.

"Beli pakaian."

"Turunkan aku. Malu dilihat banyak orang" kataku lirih. Beberapa pelayan di rumah ini menatap aku dan Aqil.

"Aku suamimu."

Mendengar hal itu membuat akudiam di dalam gendonganya. Lucu rasanya. Seperti anak kecil dengan Ayahnya.

Baru saja dia menyuruhku menandatangani kontrak. Sekarang, dia memberikan harapan agar aku tenang di sisinya. Sungguh aneh suamiku ini.

💝 💝 💝

"Ambil semua baju yang kamu suka. Aku akan menunggumu." Aqil langsung duduk di kursi tunggu.

Ini sudah malam namun Aqil membela-belakan dirinya untuk membelikan aku baju.

"Ini terlalu berlebihan. Aku bisa mengambil bajuku dirumah paman," kataku pelan.

"Apa aku tidak berguna. Sampai kamu tidak ingin aku membelikanmu baju?"

Aku hanya diam. Bagaimanapun aku juga harus merubah gaya pakaianku untuk Aqil. Dia bukan orang sembarangan. Dia bos diperusahaan.

"Aku akan membeli beberapa baju." Aku membopong gaunku yang membuat aku sedikit susah untuk berjalan.

Beberapa kali aku memilih baju dan menemukan beberapa baju yang tidak memiliki banyak aksesoris. Aku memang lebih suka yang sederhana.

"Hanya itu?" tanya Aqil.

Aku mengangguk. "Ini sudah cukup. Kita bisa pulang sekarang."

"Ok. Kamu bisa langsung ke mobil, aku akan membayarnya dulu."

Aku mengikuti apa yang dikatakan Aqil. Jika Aqil terus melakukan ini, perlahan akan membuat hatiku terbuka.

💝 💝 💝

to be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!