"Kak, Pa, Ma, aku tidak melakukannya. Sungguh, bukan aku pelakunya. Kakak, Papa, Mama, kalian harus percaya padaku!"
Dengan berurai air mata, Aluna terus memohon. Dia bahkan bersujud di hadapan kedua orang tua dan kedua kakaknya. Sayangnya, tak satu pun dari mereka mempercayai perkataan Aluna.
"Masukkan Nona ke gudang! Jangan keluarkan dia sebelum ia mengakui kesalahannya!"
Andi Sang putra sulung memberikan perintah.
"Baik, Tuan."
"Andi, apa itu tidak terlalu kejam? Biar bagaimanapun dia adalah adikmu," ujar Aruan. Meski ia tidak menyukai Aluna karena tidak bisa bersikap lembut dan selalu membuat gara-gara. Akan tetapi, gadis itu tetaplah putri kandungnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tidak tega melihat sang putri dihukum oleh putra pertamanya itu.
"Ma, kalau kita terlalu lembek, Luna tidak akan pernah menyadari kesalahannya. Jadi, biarkan aku mengajarinya apa artinya disiplin dan tanggung jawab," jawab Andi.
Dia tetap bersikeras mengurung Aluna di gudang.
Dua pengawal menarik Aluna dan membawa gadis itu ke gudang yang berada di bawah tanah.
"Kak, apa itu tidak keterlaluan?" tanya Arman, putra kedua keluarga.
"Dia tidak mau mengakui kesalahannya pada Chika. Jika dibiarkan, gadis kampungan ini akan semakin liar," jawab Andi.
"Tapi, Kak–"
"Kak, apa yang dikatakan Mama dan Kakak kedua benar. Jangan mengurung Kak Luna di gudang bawah tanah. Aku percaya kalau dia pasti sudah menyesalinya."
Berusaha terlihat bersikap murah hati, Chika berpura-pura membela Aluna.
"Luna, lihatlah! Chika begitu baik. Dia tetap membelamu meski kamu selalu bersikap jahat padanya," puji Andi. "Akui kesalahanmu dan minta maaflah pada Chika. Dengan begitu, aku tidak akan menghukummu," tambahnya.
"Tapi, aku benar-benar tidak mendorong Chika, Kak. Justru dia yang ingin mendorongku, tapi dia sendiri yang akhirnya jatuh."
Aluna masih berusaha menjelaskan.
"Kau!" Andi menunjuk Aluna dengan jari telunjuk. Adik bungsunya ini benar-benar susah diberitahu. Bukti di depan mata masih saja tidak mau mengaku. Dan itu membuat Andi semakin murka. "Penjaga bawa Nona ke gudang! Jangan lepaskan sampai dia benar-benar mengakui kesalahannya!" suruh Andi yang tampak emosi.
"Luna, Luna, akui saja kesalahanmu dan minta maaf pada Chika. Gudang itu sangat gelap dan pengap. Kakak tahu kamu fobia gelap. Jadi, akui saja dan minta maaflah pada Chika. Atau kamu akan benar-benar dikurung!" bujuk Arman. Dia tidak tega melihat Aluna yang akan dimasukkan kedalam gudang.
"Kak, aku betul-betul tidak salah. Jadi, kenapa aku harus mengakuinya? Lagian aku rasa Kakak juga sama tidak percayanya dengan Kak Andi. Kakak juga merasa kalau aku sengaja mendorong Chika dan membuatnya hampir tenggelam, kan?"
"Luna.... "
Arman kehabisan kata. Dia ingin membela adik kandung yang baru ditemukan itu. Tapi, semua bukti mengarah padanya.
"Ma, Pa, kalian juga tidak.percaya kalau aku tidak mendorong Chika ke kolam?" tanya Aluna sambil menatap kedua orang tuanya.
Abimana dan Aruan memalingkan wajah mereka. Keduanya tentu bingung ingin memberikan jawaban seperti apa.
"Aku tahu, tidak satupun dari kalian yang akan mempercayaiku. Aku memang dibesarkan di panti asuhan, tapi bukan berarti aku tidak berattitude. Aku tahu mana yang benar dan mana yang salah."
Aluna tersenyum miris. Dia yang anak kandung, tapi justru dirinya yang diperlakukan tidak baik–hanya karena dia dibesarkan di panti asuhan.
"Pengawal cepat, bawa Nona ke gudang sekarang juga! Jangan beri apa pun sampai dia mengakui kesalahannya!!"
Bak seorang raja, Andi kembali memberi perintah.
"Baik, Tuan."
Dua pengawal menyeret Aluna dan mengurung gadis itu ke gudang.
Aluna Anggara adalah anak bungsu Keluarga Anggara bahkan satu-satunya anak perempuan di Keluarga tersebut. Pada usia 5 tahun, gadis itu hilang saat dibawa oleh kedua orangtunya ke pameran. Gadis itu akhirnya ditemukan beberapa bulan yang lalu setelah pencarian panjang mereka.
Mengetahui bahwa ia masih memiliki keluarga lengkap, membuat Aluna sangat bahagia. Dia berjanji akan berusaha membuat seluruh anggota keluarganya bangga kepadanya. Sayang, kenyataan yang terjadi justru kebalikannya. Aluna yang anak kandung justru diperlakukan bak anak pungut. Sementara Chika yang anak adopsi diperlakukan layaknya Tuan Putri.
"Andi, apa hukuman yang kamu berikan pada adikmu tidak terlalu keras?" tanya Aruan setelah Aluna dibawa ke gudang bawah tanah.
"Ma, aku tahu Mama tidak tega. Tapi, ini bukan yang pertama kalinya Luna melakukan kesalahan dan tidak mau mengakui. Kalau kita terlalu lembek padanya, dia akan semakin menjadi-jadi dan Chika yang akan terkena imbasnya. Kasihan Chika, dia selalu menjadi korban kekejaman Luna," jelas Andi sambil mengelus kepala Chika dengan lembut.
"Kakak, aku benar-benar tidak apa-apa. Aku ngerti Kak Luna begitu karena dia merasa tersaingi. Aku hanya anak angkat keluarga Anggara, tapi Kakak dan yang lainya memperlakukanku dengan baik. Kak Luna pasti merasa kesal karena itu," ucap Chika dengan raut sedih.
"Chika, kamu memang bukan anak kandung Keluarga Anggara. Tapi, bagi Kakak kamu tetap adik kesayangan Kakak," balas Andi.
"Terima kasih, Kakak."
Chika memeluk kakak duanya itu.
"Kak, Luna fobia gelap. Aku takut dia–"
Belum selesai Armand mengatakan sesuati Andi sudah memotong perkataanya.
"Hanya malam ini. Semoga saja sikapnya berubah setelah dikurung," tukasnya.
Arman hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu, kakaknya itu keras kepala. Jika dia sudah memutuskan sesuatu, maka harus dilaksanakan. Bahkan pendapat kedua orang tuanya saja tidak pernah diindahkan.
"Akhirnya kamu dikurung juga di gudang itu, Luna. Lihat saja, aku akan membuat semua orang melupakanmu dan membuatmu membusuk disana," batin Chika.
Gadis itu bersedekap. Ia merasa senang karena tidak memiliki saingan lagi. Aluna adalah rival yang harus segera disingkirkan.
"Chika, kamu ganti bajumu yang basah itu. Jangan sampai kamu masuk angin. Lalu kita lanjutkan pestanya!" suruh Andi dengan nada lembut.
Andi sangat menyayangi Chika lebih dari adiknya yang lain.
"Iya, Kak. Aku akan ganti baju dulu," jawab Chika.
Chika segera berlari ke kamarnya di lantai dua.
"Kak, aku boleh mengirim makanan untuk Luna, kan? Dia belum makan sejak tadi siang."
Arman meminta izin pada kakak pertamanya.
"Hm. Aku menghukumnya dengan mengurung di gudang. Bukan melarang memberinya makan," jawab Andi.
"Tapi, tadi Kakak bilang–"
Dengan bahasa isyarat, Aruan menyuruh anak keduanya untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Dia takut, Andi akan berubah pikiran.
Anak sulung Keluarga Anggara itu pergi untuk menemui para tamu.
Sebenarnya pesta malam ini diadakan untuk memperkenalkan Aluna sebagai putri Keluarga Anggara pada publik. Sayangnya, sebelum acara dimulai kejadian tak terduga terjadi. Chika jatuh ke kolam renang.
"Man, suruh orang memberikan makanan pada Luna. Mama dan papa harus ke depan menemui para tamu!" ujar Aruan.
Armand mengangguk. Ia segera ke dapur untuk memberikan makanan pada Luna.
"Kak, itu makanan untuk siapa?" tanya Chika ketika melihat Armand membawa makanan, buah, dan susu di sebuah nampan.
Armand menatap Chika canggung. Dia merasa tidak enak hati untuk menjawab dengan jujur.
"E... ini.... "
"Apa itu makanan untuk Kak Luna?" tanya Chika.
"Luna belum makan sejak pagi, kakak cuma takut dia sakit," jawab Armand yang akhirnya menjawab dengan jujur. "Kak Andi juga sudah memberi izin," tambahnya. Takut Chika mengira dia berani melawan keputusan kakak pertama mereka itu.
Chika mengepalkan tangan. Namun, gadis licik itu tetap tersenyum. Dia tidak menyangka kalau Andi dan Armand masih peduli dengan Aluna.
"Baguslah. Aku kira Kak Andi akan terus marah pada Kak Luna," ucap Chika dengan senyum palsunya.
"Kamu... tidak marah pada kami? Maksudku, kamu tidak keberatan kalau kami masih peduli sama Luna?" tanya Armand dengan hati-hati.
Chika menggeleng.
"Tentu saja tidak, Kak. Justru aku merasa lega karena kalian berdua masih tetap menyayangi Kak Luna. Bagaimanapun sikap kasarnya padaku pasti karena Kak Luna mengira kalian hanya peduli padaku saja dan tidak tidak sayang padanya," jawab Chika masih dengan senyum palsunya.
Armand tersenyum lega. Dia merasa senang karena Chika masih mengerti keadaan Luna.
"Terima kasih ya, Chik atas pengertian kamu. Meski ada Luna disini, kamu tetap akan menjadi adik kesayangan kami," ucap Armand.
Diam-diam Chika merekam perkataan Armand barusan. Dan dia akan menggunakan rekaman itu untuk membuat Aluna merasa tidak diinginkan di keluarga Anggara.
"Kak, bagaimana kalau aku yang mengantar makanan itu untuk Kak Luna. Aku mau memperbaiki hubunganku dengannya," ujar Chika.
Armand menatap nampan berisi makanan di tangannya. Satu sisi dia ragu untuk menyerahkan itu kepada Chika. Apalagi ia tahu selama ini hubungan Aluna dan Chika tidak terlalu baik.
"Kak, beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Siapa tahu dengan aku yang memberikan makanan itu pada Kak Luna, Kak Luna jadi tidak berprasangka buruk lagi padaku," ucap Chika.
Dia tahu, Armand meragukannya. Jadi, dia harus bisa meyakinkan kakak keduanya itu agar mau menyerahkan makanan itu padanya. Dengan begitu, ia bisa mendekati Aluna dan menambah masalah untuk gadis kampungan itu.
Armand menghela napas panjang. Sepertinya ide Chila bisa dicoba. Dia pun memberikan nampan berisi makanan itu kepada Chika.
"Pastikan dia makan makanan itu. Luna memiliki masalah dengan lambung. Kalau perutnya dibiarkan kosong, dia bisa sakit," ujar Armand.
Chika tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Kak. Pasti aku akan memastikan agar Kal Luna mau makan makanan ini. Kakak tenang saja, serahkan semuanya padaku," ucap Chika meyakinkan.
"Ya, sudah. Kakak ke depan dulu."
Armand mengusap bahu Chika. Dia percaya, Chika pasti bisa membujuk Aluna untuk makan.
Setelah berpamitan, Armand segera meninggalkan Chika.
Chika menatap makanan di tangannya lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Tidak akan aku biarkan gadis kampungan itu merasa senang karena masih diperhatikan. Aku akan membuat Aluna semakin membenci kalian semua," gumam Chika.
Wanita licik itu segera menemui Aluna di gudang bawah tanah. Tempat dimana Aluna menjalani hukuman.
***
"Kak, apa kamu datang untuk membebaskan aku dari sini? Aku yakin, Kakak akhirnya percaya kalau aku tidak mendorong Chika ke kolam," ujar Aluna saat pengawal membawanya untuk menghadap seseorang.
Aluna merasa lega karena mengira ada salah satu dari kakak atau anggota keluarga yang lain yang datang untuk membebaskannya. Senyum yang sempat terukir di bibir Aluna seketika sirna kala mengetahui bahwa yang datang menemuinya adalah Chika–orang yang sama sekali tidak ia suka.
"Kenapa tiba-tiba diam? Kecewa karena yang datang bukan Kak Andi, Kak Armand, papa, atau mama?"
Chika bersedekap.
"Kamu tidak usah bermimpi Luna! Selamanya mereka tidak akan datang untuk membebaskanmu dari sini. Mereka membencimu. Tidak ada satu pun dari mereka yang sayang padamu, meski kamu adalah putri kandung dari Keluarga Anggara. Aku mungkin hanya anak adopsi keluarga ini. Tapi, bagi mereka aku tetaplah putri kesayangan keluarga ini bukan kamu."
Chika sedikit membungkukkan badannya, mencengkeram dagu Aluna lalu menghempaskannya. Setelah itu ia menegakkan tubuhnya kembali.
'Tidak percaya?" tanya Chika dengan tatapan mengejek.
Chika mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lalu memutar rekaman suara Armand.
"Meski ada Luna disini kamu akan tetap menjadi adik kesayangan kami."
Luna tahu kedua kakaknya menyayangi Chika karena bagaimanapun ketiganya tumbuh bersama sebagai saudara selama belasan tahun. Tapi, tidak adakah sedikit saja ruang di hati kedua kakaknya itu untuk dirinya? Luna tidak meminta seluruh kasih sayang dari mereka untuknya. Dia hanya ingin sedikit tempat di hati kakak-kakaknya itu. Tapi, sepertinya semua itu tidak mungkin. Seluruh ruang di hati kedua kakaknya semua sudah terisi oleh Chika, termasuk hati kedua orang tuanya.
Kalau mereka tidak bisa memberikan kasih sayang kepadanya, lalu kenapa mereka harus repot-repot membawanya dari panti asuhan?
"Kak Andi bilang selama kamu belum mengakui kesalahanmu, dia tidak akan membiarkanmu keluar dari sini. Bahkan dia melarang semua orang memberimu makanan," ucap Chika.
"Ck, ck, ck, sepertinya meski kamu mati di tempat ini, mereka pun tidak akan peduli." Gadis licik berhati jahat itu menatap remeh Aluna.
Aluna meremas jarinya sendiri. Sepertinya semua yang dikatakan Chika itu benar. Tidak satu pun dari anggota keluarga ini yang menginginkannya apalagi menyayanginya.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Aluna dengan suara bergetar.
"Dulu, saat awal-awal kamu masuk ke keluarga ini, aku cuma berharap kamu pergi dari sini dan tidak pernah berpikir untuk kembali ke keluarga ini lagi. Tapi, sekarang, keinginanku berubah," jawab Chika.
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin kamu lenyap tidak hanya dari keluarga ini, tapi juga dunia ini," jawab Chika.
Gadis itu menyeringai.
"Chika, kamu tidak.... "
"Chika, Chika, dimana kamu?"
Suara Armand dari luar gudang membuat Chika terkejut.
"Chik, bagaimana? Apa Aluna bisa mengerti?"
Suara Armand itu semakin mendekat.
Chika panik, gadis itu cepat memutar otak. Armand tidak boleh tahu kalau dia datang tanpa membawa makanan. Kalau kakak keduanya itu sampai tahu, dia pasti akan membencinya dan semakin kasihan pada Aluna. Dan Chika tidak bisa membiarkan hal itu tersebut terjadi.
Tiba-tiba pintu gudang terbuka. Mata Armand membulat kala melihat hal yang terjadi di hadapannya.
Saat mendengar suara langkah kaki Armand yang semakin mendekat, Chika langsung mengambil inisiatif untuk membenturkan kepalanya di dinding. Bertepatan dengan itu, Armand membuka pintu. Anak kedua Keluarga Anggara tersebut terkejut saat melihat kening Chika yang berdarah. Dia langsung berlari menghampiri tubuh Chika.
"Chika, kamu tidak apa-apa?" tanya Armand dengan wajah panik.
"Kakak, aku tidak apa-apa. Kak Luna pasti tidak sengaja mendorongku," jawab Chika,
Gadis licik itu melirik Aluna dengan ekor matanya.
Aluna yakin setelah ini kakak keduanya itu akan marah tanpa mengkonfirmasi hal yang terjadi sebenarnya. Dan hal itu sudah biasa terjadi. Semua orang di rumah ini selalu percaya dengan apa pun yang dikatakan oleh Chika, meski tanpa bukti sekalipun.
"Kenapa kamu terus menerus mengganggu Chika, Luna? Dia kesini untuk memperbaiki hubungan denganmu. Kenapa kamu tidak bisa mengerti sih?" tanya Armand.
"Kalau aku mengatakan dia yang membenturkan sendiri kepalanya ke dinding, apa Kakak akan percaya?" jawab Aluna.
"Jangan mengada-ada kamu! Tidak mungkin ada orang yang sengaja melukai dirinya sendiri!" sentak Armand.
Aluna tertawa lirih. Gadis itu menghela napas panjang.
"Kalau begitu, tidak ada jawaban untuk pertanyaan Kakak," jawab Aluna.
Aluna memalingkan wajahnya. Dia sudah merasa lelah menjelaskan tentang semua yang terjadi karena pada akhirnya semua penjelasan yang ia katakan tidak pernah diterima oleh mereka.
Melihat wajah Aluna yang tampak kecewa, rasa ragu mulai menghinggapi hati Armand.
"Luna–"
"Kak, kepalaku pusing," rengek Chika.
Seperti biasa, wajah sedih gadis itu mampu menarik perhatian Armand.
"Baik-baik. Aku bawa kamu untuk periksa."
Armand menggendong tubuh Chika dan membawanya keluar dari gudang. Kakak kedua Aluna itu lupa dengan tujuan awalnya yang datang ke gudang untuk memastikan Aluna sudah makan atau belum.
"Lagi-lagi seperti ini," gumam Aluna.
Aluna meringis karena merasakan perutnya sudah mulai sakit. Sejak pagi dia belum sarapan. Dan sekarang gara-gara insiden kolam renang, dia dikurung tanpa diberi makanan.
Dua hari sudah berlalu. Aluna masih dikurung tanpa makanan. Gadis itu sudah meminta tolong kepada pelayan untuk memberitahu Keluarganya bahwa ia sakit. Namun, pelayan itu justru terlihat tidak peduli dan enggan melaporkan hal tersebut. Seluruh pelayan dan pengawal yang bekerja di Keluarga Anggara tahu, bahwa Aluna adalah putri yang tidak dianggap. Tidak seorang pun di keluarga itu yang peduli akan keberadaannya. Dan pada hari ke lima, Aluna meregang nyawa.
Sebelum nyawa gadis itu benar-benar diambil, dia seperti diperlihatkan hal-hal yang terjadi
pada Keluarga Anggara pasca kepergiannya.
"Tuhan, jika Engkau memberiku kesempatan. Aku ingin merubah nasibku. Tidak akan aku biarkan seorang pun menindasku," gumam Aluna sebelum ia benar-benar menutup matanya.
***
Sudah lima hari sejak Aluna dikurung di gudang bawah tanah tanpa makanan, seorang pelayan datang menghampiri Chika untuk melaporkan tentang keadaan Aluna.
Chika tersenyum puas dengan kabar yang ia dengar.
"Serahkan sisanya padaku. Kalian semua jangan khawatir," ucap Aluna pada pelayan itu.
Sebenarnya setelah membawa Chika keluar dari gudang, Armand menyuruh pelayan untuk memberikan makanan pada Aluna. Sayangnya, Andi yang mendengar kabar tentang Chika yang terluka karena didorong oleh adik bungsunya itu, melarang semua pelayan memberi makanan untuk Aluna. Dia bilang, itu sebagai bentuk hukuman karena Aluna tidak mau berubah.
Setelah hari itu, tidak seorang pun yang mengingat akan keadaan Aluna di gudang. Setiap kali dari anggota Keluarga Anggara membicarakan Aluna, Chika selalu mengalihkan pembicaraan. Hingga pada akhirnya, Aluna ditemukan sudah tidak lagi bernyawa.
Penyesalan tentu ada di hati semua anggota keluarga Anggara–terutama Andi karena dialah yang melarang siapa pun memberi makanan pada Aluna. Namun, semua sudah terjadi. Aluna dimakamkan di tempat pemakaman khusus Keluarga Anggara.
****
Tok-tok-tok!
Suara ketukan pintu membuat seorang gadis yang sedang bergelung dengan mimpi itu tersentak kaget.
"Luna, bangun! Kamu sudah ditunggu Ibu Amanda di ruang tamu!"
Aluna mengerjap bingung.
Panti?
Tunggu!
Aluna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Ini...."
Aluna berjingkat dari tempat tidur dan melihat kalender yang berada di atas meja belajarnya.
Ia ingat hari ini adalah hari dimana hari saat ibu kandungnya–Aruan datang menjemputnya bersama dengan Chika dan Armand.
"Luna, kamu sedang apa sih? Buruan, ibu Amanda memanggilmu, katanya ada tamu yang mencarimu!" seru pengurus itu dari luar pintu yang terdengar sudah mulai kesal.
"Iya, aku segera datang," jawab Aluna pada akhirnya.
Jika, saat ini ia benar-benar kembali masa lalu. Maka Aluna akan merubah takdirnya dari sekarang.
"Aku tidak akan diam saja sama seperti sebelumnya," ucap Aluna kala mengingat dirinya yang hanya pasrah dan diam saja.
"Aku pasti bisa melindungi dan mempertahankan keluargaku! Pasti!" ucap Aluna penuh keyakinan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!