NovelToon NovelToon

Kayla Anak Yang Tak Diinginkan

BAB 1 - Bayi yang Tak Pernah Ditatap

Hujan turun pelan-pelan di luar jendela rumah sakit sore itu. Langit mendung seakan ikut menyelimuti duka yang tidak terlihat oleh mata siapa pun. Di dalam ruang bersalin, seorang bayi mungil baru saja lahir, masih merah, masih menggeliat pelan, dengan suara tangis yang belum reda.

Retno menatap bayi itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menyentuh pipi lembut anak perempuannya, membisikkan doa-doa dalam hati. Tapi kebahagiaannya tidak utuh. Di sisi tempat tidur, berdiri seorang pria dengan wajah dingin, rahangnya mengeras, dan tangan terlipat.

"Mas... ini anak kita..." ujar Retno

Arman mengalihkan pandangannya. "Aku nggak pernah minta anak."

"Tapi... dia darah dagingmu. Setidaknya... lihat dia sebentar." jawab Retno

"Sudah cukup, Retno. Jangan paksa aku. Aku bahkan menikahimu karena terpaksa. Anak itu... tidak penting buatku." ujar Arman marah

Perawat yang baru masuk membawa selimut tambahan hanya bisa menunduk. Suasana di ruangan itu kaku, seperti tak ada yang baru lahir, seolah bukan nyawa baru yang datang ke dunia.

Retno menahan air mata. Ia memeluk bayinya erat. "Namanya Kayla, Mas. Kayla Retno Armanda..."

"Jangan pakai nama belakangku. Aku nggak mau namaku disandingkan dengan anak itu." ujar Arman

"Tolong, Mas... Jangan benci dia. Benci aku, silakan. Tapi dia... dia tidak bersalah." tangis Retno dengan permohonan

Arman mendekat, tapi bukan untuk menyentuh bayi itu. Ia hanya mengambil ponselnya dari meja dan melangkah ke pintu.

"Urus sendiri anakmu itu. Aku pergi." ujar Arman lalu pergi dari sana

Pintu tertutup dengan suara keras. Retno akhirnya tak bisa menahan tangis. Bayi Kayla masih menangis, seolah tahu bahwa ia baru saja ditolak dunia. Tak ada pelukan ayah, tak ada sambutan hangat. Yang menyambutnya hanya isak lirih dan pelukan seorang ibu yang ditinggalkan.

Dua hari kemudian, Retno duduk lemah di kursi roda. Ia menatap bayi Kayla yang tidur pulas di boks kecil rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, namun pikirannya sudah jauh berlari—tentang bagaimana cara membesarkan Kayla tanpa cinta dari sang ayah.

"Bu Retno, bayinya sehat sekali," kata perawat muda dengan senyum hangat.

Retno mengangguk pelan. "Iya... dia kuat. Walau dari awal sudah ditolak, tapi dia kuat..."

Perawat itu ragu sejenak sebelum bicara lagi, "Suami Ibu... tidak datang-datang lagi ya?"

Retno tersenyum getir. "Dia tak ingin anak ini. Bahkan saat pertama kali Kayla menangis, dia menutup telinganya dan pergi."

Perawat itu menunduk. "Maaf, Bu... Saya hanya bisa mendoakan semoga Ibu diberi kekuatan."

Retno menatap bayinya dalam-dalam. Lalu membisikkan sesuatu di telinga mungil itu.

 "Nak, kamu mungkin lahir tanpa pelukan ayah. Tapi kamu lahir dari cinta. Dan Mama janji... akan jaga kamu sekuat yang Mama bisa." ujar Retno

Tangisan Kayla pelan-pelan mereda, seolah tahu bahwa satu-satunya tempat paling hangat di dunia ini... hanyalah pelukan sang ibu.

Sementara itu, di luar rumah sakit, Arman duduk di dalam mobilnya sambil menelepon seseorang.

"Iya, aku udah lihat bayinya. Tapi aku tetap nggak bisa terima dia." ujar Arman

"Mas Arman, bukannya dia anak kandungmu?" ujar orang di sebrang sana

"Anak dari perempuan yang dipaksa jadi istriku. Aku nggak cinta sama Retno. Dan sekarang dia bawa-bawa bayi. Aku muak." jawab Arman marah

"Mas... tapi dia istrimu yang sah." jawab orang itu lagi

"Hanya di atas kertas. Di hatiku, dia nggak pernah jadi siapa-siapa." jawab Arman kejam

Sambungan telepon itu terputus. Arman menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. Hatinya dingin. Tak sedikit pun ada rasa iba, bahkan setelah tahu anaknya sendiri lahir.

Sementara itu, di lantai dua rumah sakit, Kayla terlelap dalam pelukan ibunya. Dunia luar belum menyambutnya, tapi setidaknya ia punya satu cinta yang nyata.

Dan itulah awal dari hidup seorang gadis... yang sejak detik pertama bernapas, sudah ditolak oleh darah dagingnya sendiri.

...----------------...

Lima Tahun Berlalu.

Rumah besar di ujung gang itu selalu tampak gelap. Bukan karena lampunya padam, tapi karena tidak ada kehangatan di dalamnya. Di ruang tengah, Arman duduk di sofa sambil merokok. Televisi menyala, tapi tak ada yang benar-benar ia tonton.

Di dapur, Retno sedang memasak bubur untuk Kayla yang mulai demam.

"Ibu, aku haus..." seru Kayla kecil pelan

Suara kecil itu terdengar dari kamar belakang. Retno buru-buru menaruh sendok dan masuk ke kamar.

"Ini, sayang. Mama ambilkan air dulu, ya" Kayla yang baru berusia lima tahun menggeliat lemah di tempat tidur. Pipinya merah. Keningnya panas.

Retno keluar kamar, tapi baru dua langkah ia berhenti. Di depan dapur, berdiri seorang wanita muda dengan pakaian ketat dan wajah tak ramah.

"Mbak, itu anak siapa sih? Kok cerewet banget?"Tanya seorang wanita yang menjadi tamu Arman

Retno menunduk sopan. "Anak saya, Mbak. Lagi sakit."

Wanita itu memutar bola matanya. "Tolong disuruh diem deh. Lagi pengen nonton, malah kedengaran anak nangis. Ganggu banget."

Arman muncul dari arah ruang tengah. "Retno! Sini sebentar!"

Retno menghampiri. "Iya, Mas?"

"Bawa anakmu itu ke mana kek. Dia ganggu tamuku." ujar Arman

"Apa mas bisa antar aku dan Kayla kerumah sakit? Tanya Retno

"Bilang aku suruh bawa dia ke dokter? Kamu pikir uang dari mana?!" jawab Arman dengan kemarahan

"Saya... saya bisa pinjam tetangga. Yang penting Kayla cepat sembuh. Jadi tolong anterin kami ya taksi gak bisa masuk" ujar Retno

"Sudahlah. Urus sendiri, aku tidak mau ikut campur bukan urusanku . jangan ganggu tamuku." tolak Arman

Wanita di sebelah Arman tertawa kecil. "Kalau anakmu cerewetnya nurun dari ibunya sih, pantes..."

Retno menggenggam erat gelas air di tangannya. Tapi ia tak membalas. Ia hanya kembali masuk ke kamar Kayla, menutup pintu perlahan, dan menangis dalam diam.

Kayla menatap ibunya.

"Bu... Ayah marah ya? Aku ganggu ya, Bu?" tanya Kayla dengan sedih

"Enggak, Nak. Kamu nggak ganggu siapa-siapa. Kamu anak ibu, Ibu sayang banget sama kamu." jawab Retno

"Tapi... Ayah nggak pernah lihat aku... Nggak pernah peluk aku kayak di film..." ujar Kayla

Retno menahan air mata. "Nggak semua orang bisa tunjukin sayangnya dengan pelukan. Tapi ibu, ibu selalu peluk kamu, kan?"

Kayla mengangguk.

"Aku cuma pengen Ayah lihat aku... Sekali aja." ujar Kayla sedih

Beberapa hari berlalu Kayla sudah sehat kembali. Di dapur, Retno sedang menyuapi Kayla yang masih berusia lima tahun. Tubuh kecil itu duduk di kursi plastik dengan bubur hangat di hadapannya.

"Pelan-pelan makannya, Sayang. Nanti seret," ucap Retno sambil meniupkan bubur.

"Mama nggak makan?" tanya Kayla.

Retno tersenyum. "Mama udah kenyang. Tadi Mama udah nyicipin garam di dapur."

Kayla tidak mengerti. Ia hanya melanjutkan makan. Dari ruang tengah, terdengar suara pintu dibanting keras.

"RETNO! Mana kopi pagiku?!"

"Iya, Mas! Ini Retno buat dulu."

"Lambat banget kerja kamu! Apa gunanya tinggal di rumah kalau nggak bisa layani suami?!" marah Arman

Bersambung

Bab 2 kepergian dan kesedihan

Kayla menoleh ke arah suara itu. Matanya mencari wajah ayahnya, tapi seperti biasa, Arman tak pernah menoleh padanya.

"Ayah mau berangkat kerja?" tanya Kayla pelan.

"Diam kau! Anak tak tahu diri. Nggak sopan ikut campur urusan orang tua!" Marah Arman

Retno buru-buru menghampiri Kayla. "Ssst… sudah, sayang. Makan aja ya."

Sore harinya, Retno menjemur pakaian saat Kayla berlari kecil menghampirinya.

"Bu, Bu! Kayla nemu kupu-kupu! Warnanya kuning!" seru Kayla senang

"Wah, cantik banget ya? Boleh ibu lihat?" tanya Retno

"Tapi udah terbang, Bu. Kayla mau kejar, tapi sayapnya cepet banget!" Jawab Kayla

"Nanti ibu bikinin gambar kupu-kupu ya. Tapi kita harus hemat kertas, oke?"ujar Ratno menghibur Kayla kecil

"Oke, Ibu sayang!" jawab Kayla senang

Retno mengusap kepala Kayla. Meski hidup mereka sempit, cinta yang ia beri tak pernah sedikit.

Beberapa malam kemudian, Arman membawa seorang wanita muda ke rumah. Wanita itu cantik, tapi congkak. Ia menatap Kayla seperti melihat debu.

"Ini anak siapa?" tanyanya.

"Bukan urusanmu," jawab Arman.

"Bu, tante siapa?" bisik Kayla.

"Dia cuma tamu, Kayla. Nggak perlu ditanggapi." Jawab Retno

Wanita itu menyeringai. "Aku calon mama barumu."

Retno menggenggam erat jemuran. "Dia cuma tamu."

Wanita itu mendekat. "Sampai kapan kamu betah jadi pembantu di rumah sendiri?"

"Selama saya masih bisa jagain anak saya, saya rela." jawab Retno

Keesokan harinya, Kayla ikut ibunya ke warung. Mereka hanya membeli seikat bayam, dua tahu, dan bumbu dapur seadanya.

"Bu, Kayla mau beli permen satu, boleh?" tanya Kayla

Retno membuka dompet. Hanya ada dua lembar lima ribuan.

"Besok aja ya, Sayang. Kalau ada sisa uang. Hari ini kita beli nasi buat malam." jawab Retno dengan menahan kesedihannya

"Kayla ngerti, Bu. Nanti Kayla nggak minta jajan, tapi Kayla mau peluk ibu dua kali ya!" jawab kayla yang luar biasa pengertian

Retno menahan air mata sambil memeluk Kayla. "Peluk kamu itu yang paling mahal buat Mama."

...----------------...

Kayla masuk TK saat usianya lima tahun, tapi hanya bertahan satu semester karena Arman menolak membayar sekolah. Retno pun mengajar sendiri anaknya di rumah.

"A... B... C..." Kayla mengeja.

"Bagus, Sayang. Sekarang tulis huruf 'I' buat Ibu." ujar Retno

"I... kayak tiang ya, Bu?" tanya Kayla

"Iya, pintar banget kamu!" jawab ibu Retno

Hari-hari mereka sederhana. Tapi dalam keheningan rumah yang dingin, suara tawa Kayla dan senyum Retno mengisi ruang kecil itu dengan harapan.

Namun cinta dan tawa tak selalu cukup. Dan rumah tanpa cinta dari seorang ayah tetaplah neraka kecil bagi anak yang belajar mencintai terlalu dini.

Waktu berlalu. Kayla tumbuh jadi anak cerdas, meski sering mengurus dirinya sendiri. Ia belajar membaca dari buku bekas yang dikumpulkan ibunya. Ia belajar menulis dari potongan kertas kalender. Tapi satu hal yang tak pernah ia dapatkan: kasih sayang dari ayahnya.

Dan setiap malam, sebelum tidur, Kayla selalu berdoa.

"Tuhan... kalau Ayah nggak sayang aku sekarang, semoga suatu hari dia lihat aku berdiri di panggung. Dan dia tahu... anak yang dia buang, bisa berdiri sendiri." doa kayna dengan penuh kesedihan

---Usia Kayla memasuki tujuh tahun saat suara batuk ibunya mulai terdengar lebih berat dari biasanya. Retno tetap memaksakan diri untuk memasak, menyapu, mencuci pakaian, dan tetap tersenyum di depan anaknya.

"Bu, batuk ibu belum berhenti. Kita ke dokter yuk?" ajar Kayla

"Ibu cuma masuk angin, Nak. Nanti juga sembuh." jawab ibu Retno

Kayla menatap ibunya sambil menyentuh tangan Retno yang panas.

"Kalau cuma masuk angin, kenapa mata ibu sering kelihatan gelap? Kayla lihat ibu duduk sambil pegangan tembok kemarin." ujar Kayla

"Iya... ibu cuma pusing. Tapi ibu baik-baik aja." jawab ibu Retno menenangkan sang putri tapi Kayla yang pintar tentu tidak bisa langsung percaya.

Kayla berlari ke kamar ayahnya. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Ayah... ibu sakit. Kayla minta uang buat bawa ibu ke dokter." ujar kayla

Pintu terbuka cepat. Arman menatap Kayla tajam.

"Kau pikir aku ATM? Pergi sana! Urus ibumu sendiri." jawab Arman marah besar

"Tapi ibu sakit, Yah. Batuknya parah. Kayla takut..." jawab Kayla lagi

Plak! Satu Tamparan terdengar

Tangan besar Arman mendarat di pipi kecil Kayla begitu saja tanpa belas kasihan sedikit pun

"Jangan pernah minta apa pun dariku! Dasar pembawa sial!" seru Arman dengan kemaran dan kebencian

Kayla jatuh terduduk. Ia tak menangis. Ia hanya menatap ayahnya dengan mata yang mulai mengerti bahwa kasih sayang bisa sepenuhnya hilang dari hati seseorang.

Di malam hari, Retno menggigil di kamar. Kayla menyelimuti ibunya dengan semua kain yang mereka punya. Ia duduk di samping sang ibu sambil menggenggam tangan yang mulai dingin itu.

"Ibu jangan tinggalin Kayla... ibu satu-satunya yang Kayla punya..." tangis Kayla

Retno tersenyum tipis. Suaranya lemah.

"Kamu anak hebat, Kayla. Jangan pernah berubah. Maaf... ibu nggak bisa lama-lama nemenin kamu..." suara lemah Retno terdengar penuh penyesalan

"Nggak, bu! ibu jangan ngomong kayak gitu. ibu harus sembuh! Kayla janji Kayla kerja, Kayla bisa cari duit buat ibu ..." tangis Kayla semakin terdengar

Namun malam itu, Retno mengembuskan napas terakhirnya. Tanpa ambulans, tanpa dokter, tanpa obat. Hanya ada Kayla—sendiri—memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa.

Dan dunia pun menjadi tempat yang jauh lebih dingin untuk seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang baru saja kehilangan segalanya.

Langit mendung menggantung di atas pemakaman sore itu. Tanah basah, daun-daun gugur tertiup angin. Seakan alam pun turut berkabung. Sebuah liang telah digali di sudut pemakaman desa. Di sana, tubuh Retno yang telah dibungkus kain kafan bersih terbujur kaku dalam peti kayu sederhana.

Kayla berdiri diam, menunduk dalam balutan jaket usang milik ibunya. Tangannya memegang erat gambar kupu-kupu yang kemarin ia gambar—seperti yang biasa ibunya buat untuknya dulu.

Seseorang menepuk bahunya pelan. Itu Bu Marni, tetangga mereka.

“Kayla, sayang… ayo ikut ke depan. Ibumu mau dimakamkan sekarang.”

Kayla tidak menjawab. Hanya menatap lurus ke tanah yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir ibunya. Matanya sembab. Ia belum makan, belum tidur. Tapi bukan itu yang membuat tubuh kecilnya gemetar. Ia takut. Setelah ini… ia sendirian.

Azan ashar berkumandang, menggema sayup. Beberapa orang lelaki kampung mengangkat peti dan menurunkannya ke dalam liang. Kayla menggigit bibirnya. Ia menggenggam erat gambar di tangannya.

Langkah-langkah kecil itu maju, pelan-pelan. Ia berdiri di tepi makam, menatap ke bawah. Peti itu sudah dalam tanah. Suara tanah pertama dijatuhkan. Dug. Kayla merintih pelan.

Bersambung

Bab 3 Pemakaman dan pengusiran

Azan ashar berkumandang, menggema sayup. Beberapa orang lelaki kampung mengangkat peti dan menurunkannya ke dalam liang. Kayla menggigit bibirnya. Ia menggenggam erat gambar di tangannya.

Langkah-langkah kecil itu maju, pelan-pelan. Ia berdiri di tepi makam, menatap ke bawah. Peti itu sudah dalam tanah. Suara tanah pertama dijatuhkan. Dug. Kayla merintih pelan.

“Bu… jangan tinggalin Kayla. Kayla belum bisa sendiri. ibu belum ajarin semua. ibi belum liat Kayla sekolah…” tangis Kayla penuh kesedihan

Ia berlutut. Air matanya jatuh satu-satu ke tanah merah itu.

“Ibu janji, kalau Kayla nurut… Ibu nggak pergi. Tapi ibu pergi juga. ibu bohong… ibu bohong…” tangis kayna membuat orang orang yang disana juga merasakan kesedihan itu

Beberapa ibu-ibu mulai menahan air mata melihat Kayla seperti itu. Tapi tidak dengan Arman. Pria itu berdiri jauh di balik kerumunan, mengenakan kaca mata hitam. Bahkan sekilas pun ia tak melirik ke arah anak perempuannya.

Setelah makam ditutup dan para pelayat mulai membubarkan diri, Bu Marni menuntun Kayla pulang. Arman sudah lebih dulu berjalan cepat ke arah rumah. Wajahnya dingin, tidak ada bekas duka sedikit pun.

---

Sore mulai redup. Rumah itu kini lebih sunyi dari biasanya.

Kayla masuk perlahan. Ia menaruh gambar kupu-kupu itu di meja kecil di sudut rumah, dekat foto ibunya yang sekarang

“bu, Kayla di rumah. Kayla jagain rumah. Kayla janji… Kayla bersihin kamar ibu tiap hari…” ujar Kayla sembari menatap foto ibunya dengan sedih

Suara derap kaki terdengar dari belakang. Arman berdiri di pintu dengan kedua tangan menyilang.

“Beresin barang-barangmu.” ujar Arman tiba tiba

Kayla menoleh. “Maksudnya, Ayah?”n

“Kau pikir aku akan tetap pelihara anak sialan yang cuma bikin hidupku berantakan?” jawab Arman kasar

“Kayla bisa bantu di rumah… Kayla nggak rewel… Ayah nggak usah kasih uang…” ujar kayna

“Dengar, Retno sudah nggak ada. Dan aku nggak ada urusan lagi denganmu. Sekarang keluar dari rumah ini.” usir Arman pada Kayla

Kayla menatap mata ayahnya. “Tapi ini rumah ibu juga…”

Arman melangkah maju. “Dan sekarang dia udah mati! Ini rumahku. Dan kamu bukan siapa-siapa.”

Ia menarik lengan Kayla kasar.

“Ayah jangan gitu—” Kayla terhuyung. “ibu baru dikubur, Ayah!”

“Dan makin cepat kamu enyah, makin cepat aku tenang!” jawab Arman tidak punya hati

Kayla terjatuh ke lantai. Ia menangis diam-diam, seperti yang diajarkan ibunya.

Ia bangkit, masuk ke kamar kecil peninggalan Retno, dan mulai memasukkan pakaian ke dalam tas lusuh. Ia mengambil satu-satunya buku gambarnya, lalu berbalik. Sekali lagi ia melirik ke ranjang tempat ibunya biasa tidur.

“ibu … Kayla pergi dulu. Nanti kalau ibu lihat Kayla di mimpi, ibu peluk Kayla ya.” ujar Kayla sedih, air matanya mengalir deras tanpa suara

---

Senja sudah turun saat Kayla melangkah keluar dari rumah yang selama ini disebut rumah. Tanpa satu pun orang mengantar. Tak ada pelukan, tak ada pamitan.

Angin sore berhembus. Kayla memeluk tasnya. Ia berjalan menembus gang-gang sempit. Tak tahu ke mana. Hanya mengikuti langkah kakinya sendiri.

Ia berhenti di dekat taman kosong. Duduk di bangku kayu yang mulai lapuk. Langit berubah gelap.

“Ibu … malam pertama Kayla sendiri. Kayla takut. Tapi Kayla janji, Kayla kuat.” gumam Kayla

---

Malam semakin larut. Kayla berjalan mencari tempat berteduh. Ia berhenti di sebuah musala kecil. Ruang depan masih terbuka.

Ia mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Ia masuk pelan-pelan dan duduk di pojok, memeluk lutut. Seorang bapak marbot melihatnya dari jauh, tapi tak mengusir.

Paginya, Kayla membantu menyapu halaman musala. Sebagai balasan, ia diberi roti sobek dan air putih.

“Terima kasih, Pak.” ujar Kayla sopan

“Kamu tinggal di mana, Nak?” tanya bapak itu

Kayla tersenyum kecil. “Di mana pun yang nggak digusur.”

---

Hari-hari berlalu. Kayla mulai dikenal oleh para pedagang pasar kecil. Ia membantu mengangkat barang, menyapu kios, atau menjaga lapak sebentar jika pemiliknya salat.

“Kayla, bantuin bawa ini ke ujung ya!” seru seorang ibu pemilik warung sembako.

“Iya, Bu!” jawab Kayla cepat

Meski kecil dan lemah, Kayla bekerja dengan semangat. Semua uang recehan yang ia dapat disimpan rapi. Separuh untuk makan, separuh ia simpan di kantong tersembunyi.

Setiap malam ia tidur di teras toko atau pos ronda. Kadang ada yang memberinya nasi bungkus. Kadang tidak ada sama sekali.

Tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya memandangi langit malam dan berbisik:

“Ibu, Kayla baik-baik aja kok. Tapi… kalo ibu boleh turun… Kayla pengen dipeluk.” gumam Kayla

-----

Hari itu pasar lebih ramai dari biasanya. Suara tukang sayur bersahutan dengan pedagang ayam dan penjual kue tradisional. Kayla, dengan baju yang mulai kusam, masih menawarkan jasanya.

“Ibu, mau dibantu bawain belanjaannya?” ucapnya pada seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang sedang memilih tomat.

Wanita itu menoleh, memperhatikan Kayla dari atas sampai bawah.

“Namamu siapa, Nak?” tanya ibu itu

“Kayla, Bu.” jawab Kayla dengan sopan

“Kamu kerja bantu-bantu di sini?”tanya ibu itu lagi

“Iya, Bu. Kalau Ibu nggak keberatan, Kayla bisa bantu bawa belanjaan ke mobil, atau ke rumah.”

Wanita itu terdiam sejenak. “Kamu tinggal di mana?”

Kayla ragu menjawab. Tapi akhirnya menjawab jujur, “Tidur di musala… kadang di teras toko.”

Alis wanita itu mengernyit. “Orang tuamu?”

Kayla menunduk. “Nggak ada.”

Wanita itu—Bu Rika namanya—memandang Kayla dalam diam. Lalu mengangguk.

“Oke. Bantu bawa ke mobil ya. Tapi habis itu ikut Ibu makan dulu.”

Di dalam mobil, Kayla duduk kaku. Tangannya menggenggam buku gambar yang selalu ia bawa.

“Kamu umur berapa?”

“Delapan tahun, Bu. Kayla belum sekolah.”

“Kenapa?”

“Dulu sempat belajar sama ibu di rumah. Tapi ibu udah nggak ada. Terus… Ayah nggak mau urus.”

Bu Rika menoleh cepat. “Kamu diusir?”

Kayla hanya mengangguk. Tak ingin menceritakan semuanya.

---

Mereka berhenti di sebuah rumah kecil tapi nyaman di pinggir kota. Di dalamnya, aroma semur kentang dan nasi hangat menguar dari dapur.

“Masuk sini. Makan dulu.”

Kayla melangkah pelan. Ia belum pernah masuk rumah senyaman ini sejak ibunya meninggal.

Di meja makan, dua piring disiapkan. Bu Rika duduk di seberangnya.

“Makan yang banyak, ya. Jangan malu.”

“Terima kasih, Bu…”

Suapan pertama membuat air mata Kayla menetes. Ia tidak tahan. Rasa semur itu mengingatkannya pada masakan ibunya. Ia buru-buru mengusap wajahnya.

“Maaf… Kayla nggak sengaja…”

Bu Rika terdiam. “Sudah lama kamu nggak makan yang enak ya?”

Kayla hanya mengangguk pelan.

bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!