Hujan di pagi hari adalah hal yang menjengkelkan bagi gadis berusia 16 tahun yang masih mengukir mimpi di balik selimut. Ada rasa malas berlebih untuk segera bangun. sementara hujan terus bergantian menyerang pepohonan yang mulai lelah karena pengeroyokan mereka. Terkadang hujan memang sangat kejam. Tapi cobalah pikir imbasnya. Setelah menyerbu dedaunan itu bukankah akan menjadi nyawa bagi setiap tumbuhan hidup?
Hooaamm...
Selimut itu tersingkap. Mata bulatnya sudah mulai terbuka. “Jam berapa sakarang?” Matanya tertuju pada jam dinding yang tergantung di atas meja belajarnya. Masih jam enam lebih sepuluh.
“Non. Bangun udah siang...”
Suara seseorang memanggilnya dari balik pintu. Ada lap kotak kotak yang tersampir di pundaknya. Yang di dalam hanya menguap.
“Ayo Non. Udah siang.” Teriaknya lagi.
“Iya. Ini udah bangun.”
Langkahnya terhuyun huyun menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Dilucutinya piyama yang menempel di badannya dengan badan setengah miring tersangga pada tembok kemudian menyiram badannya dari ujung rambut hingga menjalar ke kaki menggunakan shower.
Moli Anggiana Saputri.
Itulah namanya. Seorang gadis yang manja dan sedikit bandel. Bukan kah sebagian anak remaja memang nakal? Namun bukan tanpa alasan, Ia seperti itu bukan lain karena kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kurang kasih sayang dan pengertian itulah alasannya.
Suara gemericik hujan masih terdengar memukuli atap rumah dengan pengeroyokan yang sempurna. Di ambilnya setelan seragam putih abu abu di lemari, semprot parfume kanan kiri dan bedak sekenanya. Oke beres cantik seperti biasanya. Tak lupa buku masukkan kedalam tas. Untung semalam tugas dari Bu Tiara udah dikerjain.
“Sarapan dulu Non.” Kata mbok Ijah ketika sang majikan menuruni anak tangga. Mbok Ijah adalah pembantu sekaligus pengawas Moli. Ia sudah bersama Moli sejak umur lima tahun. Awalnya si mbok hanya bekerja setengah hari, namun setelah kepergian sang Nenek, Ia ditugaskan untuk merawat Moli di rumah bak istana ini.
“Sarapan sama apa Mbok?” Moli duduk dengan tas di pangkuannya. Baju nya sedikit menyembul dari rok abu abunya ciri khas dari anak SMA katanya.
“Nasi goreng Non.” Jawab Si mbok. Tangannya masih mengelap piring yang ditumpuk di samping wastafel.
Suap demi suap tak terasa nasi goreng pun habis. Hanya tersisa dua irisan ketimun diujung piring. “Pak Ujang!” teriaknya yang sontak membuat mbok Ijah terjinjit kaget.
“Si eNon bikin kaget.”
“Pak Ujang. Lama ih dipanggil juga.” Semprot Moli ketika pak Ujang sudah berada di hadapannya.
Pak ujang yang sedang menguras air di halaman selimpungan menghampiri nona mudanya itu. “Iya Non. Maaf. Ayo berangkat.”
06.40 WIB
Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Tentu saja karena masih keburu untuk masuk sekolah. Suasana jalanan sedikit longgar namun mendungnya awan sedikit membuat pemandangan jadi sulit terlihat. Mungkin sebagian dari mereka mogok keluar rumah karena kehadiran sang Hujan. Kenapa hujan selalu jadi alasan? Kan kasihan. Menguntungkan ataukah menyebalkan?
“Pak nanti nggak usah jemput ya. Aku mau mampir ke rumah temen.” Kata Moli ketika turun dari mobilnya.
“Baik Non...”
Moli berlari dengan kepala ditutup. Ia berlari di lorong menuju kelasnya di lantai dua.
“Hi Mol...” Sapa Mia. Sahabatnya yang Ia kenal sejak kelas satu SMP. Sahabat yang penampilannya selalu seperti seorang pria. Rambutnya yang di potong cepak lebih mirip seperti cowok maco. Untung nya Dia masih mau pake rok. Kalau pakai celana bisa bisa banyak cewek yang naksir kali.
“Hi juga...” jawab Moli sambil mengibaskan baju dan roknya yang sedikit basah kena hujan.
“Nggak dianterin?” tanya Mia yang melirik Moli.
“Di anterin tapi kan Cuma nyampe depan doang.” Jelasnya sedikit sewot. Si Mia mah nggak ngerti banget deh.
“Hi gays!” Sapa Fani yang termasuk sahabat Moli juga. Ia mengenalnya ketika masuk ke SMA. Tampilannya berbeda dengan Mia. Fani jauh lebih feminim bahkan bisa dibilang terlalu feminim. Ya Itulah Fani cewek yang suka dandan. Bahkan koleksi make upnya sudah tak terhitung lagi jumlahnya.
“Lo kehujanan Mol?” Tanya Fani terkekehmelihat baju Moli yang sedikit basah.
Moli melotot dengan tangan yang tak lepas mengibaskan roknya. “Masalah?”
“Nggak sih.” Saur Fani yang langsung asik dengan cermin di tangan kanannya.
“Selamat pagi semuanya!” Sapa bu Tiara.
“Pagi, Bu.”
Bu Tiara berjalan mendekati mejanya di pojok dekat jendela. Ada buku setebal 5 cm meter di tangannya. Ia mulai mengabsen satu persatu muridnya.
“Maaf saya telat,” Ucap seseorang dari balik pintu.
“Diki? Silahkan masuk. Lain kali jangan terlambat lagi.” Kata Bu Tiara memperingatkan. Diki mengangguk dan berjalan menuju ke mejanya di barisan paling belakang.
“Psstt, dari mana kamu?” tanya Moli penasaran.
Diki menoleh. “Ada urusan tadi.”
“Ooo”
Diki adalah kekasih Moli. Hubungan mereka
sudah berjalan sekitar 4 bulan. Sampai saat ini hubungan mereka selalu baik baik saja, walau sebenarnya Moli belum juga menemukan alasan yang bisa membuatnya menerima cinta Diki.
Fani mengangkat sedikit pantatnya, tangannya meraih pundak Moli. “Mol, Nanti siang jadi kan?”
Moli menoleh malas. “Iya, Gue udah pamitan sama orang rumah tadi.”
“Sipp deh, kalau gitu Elo juga ikut ya.” sikut Fani pada Mia.
Jam pelajaran usai. Seperti halnya murid lain mereka bertiga langsung menuju ke kantin. Bunyi dari gentong berisi usus dan teman sebangsanya mulai menabuh gendang. Gemericik seperi air mengalir dari sebuah keran. Rasa lapar sudah tak tertahan kan.
“Mau ikut ngantin nggak?” Tanya Moli pada Diki yang sibuk dengan ponselnya.
“Masih kenyang.”
“Ya udah aku duluan.”
Diki masih sibuk mengotak atik ponselnya, hingga membuat Moli memanyunkan bibir tipisnya. Diki melihat sebuah pesan whatsapp nya. Entah itu dari siapa tak ada yang tahu.
Mia terlebih dulu duduk di kursi, kakinya menyilang dengan tangan menyangga dagunya. “Mol, Lo lagi nggak berantem kan sama Diki?”
Moli menoleh. “Nggak, emang kenapa?”
“Kayaknya Diki cuek banget, gue kira lagi berantem.”
Moli mendengus kemudian membenarkan kerah bajunya yang Kota Xx. “Nggak, emang biasanya kaya gini kan?”
“Bener juga si.” Mia manggut manggut. Kemudian berpaling pada satu mangkok soto yang baru saja di antar ke mejanya oleh Ibu kantin. “Tapi terlalu cuek sih menurut gue.”
Fani yang sedari tadi masih sibuk memainkan ponselnya tiba tiba menyikut lengan Moli. “Lo pacaran sama Diki tapi nggak ada mesra mesranya kayaknya.”
“Ye! lo kira kemesraan harus di umbar gitu?” semprot Moli.
Emang suka nyebelin nih si Fani. Kan jadi sedikit tersindir karena memang sebenarnya pacaran mereka jauh dari kata mesra sih. Tapi itu kan lebih baik, biar nggak terjadi hal yang aneh aneh. Ya kan? Selama Diki setia dan sayang, kenapa harus di permasalahkan?
“Tapi ya Mol, kalau gue jadi elo, gue nggak bakal betah pacaran sama Diki, terlalu adem kaya kulkas di rumah gue.”
Cerocosannya Fani terkadang emang banyak benernya sih. Banyak gadis di luar sana yang lebih memilih mengakhiri sebuah hubungan karena pasangannya terlalu cuek. Bagi wanita yang paling di inginkan adalah sikap lembut dan sebuah perhatian. Apakah Moli menerima ke dua itu dari Diki?
Moli tak menghiraukan ocehan Fani yang sedikit menyinggungnya. Ia tak akan pernah bisa marah pada sahabatnya itu. Karena sebagian omongannya memang selalu benar. Mungkin hati ini saja yang terlalu apa adanya yang lebih memilih lanjut dari pada berhenti hanya karena satu alasan tak penting.
“Yang jalanin si Moli, Elo yang ribet.” Semprot Mia sambil menjitak kepala Fani dengan sendok bekas untuk menyuap soto.
“Ihh... kotor tahu! Jorok lo mah!”
“Makanya diem! Nyerocos mulu kaya tetangga gue.”
Moli tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya. Ini lah kenapa Moli tak pernah bisa marah jika salah satu dari mereka menyindir atau menyinggung perasaannya, karena mereka yang hampir setiap selalu menemaninya. Walaupun jika hanya di luar istananya dan kembali sepi jika Ia kembali di rumah hampa itu.
Beberapa langkah sebelum sampai di Mobil Fani, seseorang menegurnya dari belakang.
“Pulang bareng yuk.” Ajak Diki.
“Eh Diki.”Moli setengah berjinjit. “Sory. Aku udah janji mau main ke rumah Fani.”
Diki memanyunkan bibirnya. “Yahhh, Pulang sendiri dong.”
“Nggak papa ya.” Moli memegang lembut tangan Diki.
“Iya deh. Besok pagi aku jemput ya.”
“Oke.”
Diki berlalu pergi ke tempat Mobilnya terparkir. Moli kembali pada kedua sahabatnya yang sedang menunggunya di dalam mobil.
“Lama deh ah!” Celetuk Fani ketika Moli sudah duduk di dalam mobilnya. Moli mencibir kemudian merogoh ponsel di saku kirinya melihat notifikasi di akun instagramnya.
“Sebenarnya kita mau ngapain sih ke rumah elo?” tanya Mia yang memilih berbaring di jok belakang.
“Nemenin gue jalan nanti malam.”
“Gue kan nggak bawa pakaian ganti Fan." Protes Moli.
“Gue juga.” sambung Mia.
“Allahuakbar!” Teriak Fani tiba tiba ketika menabrak seseorang yang sedang menyebrang jalan di hadapan mobilnya. Moli yang sedang tertunduk langsung tersungkur menabrak jok depan hingga ponselnya terpental mengumpat di bawah jok. Sementara Mia terjatuh dari jok hingga ke bawah karena posisinya yang tiduran. Kepentok juga kan kepalanya, Fani emang ceroboh!
“Turun ayo! Lihat siapa yang kita tabrak.” Kata Moli yang langsung turun dari mobil melihat sosok yang ditabrak.
Pria itu mencoba berdiri dan mengangkat kembali sepedanya yang roboh.
“Lo nggak papa?” tanya Moli sambil membantu pria itu berdiri. Lututnya berdarah dan ada goresan di bagian lengannya.
“Heh bocah! Lihat lihat dong kalau jalan.” Semprot Fani dengan nada tinggi. Ia tak merasa bersalah atas apa yang menimpa bocah itu.
Moli mencubit lengannya dengan mata melotot. “Apaan sih lo? Tolongin kek.”
Fani masih cuek dan membuang muka.
“Bocah SMP ugal ugalan!” semprot Fani lagi.
“Fani!” pelotot Mia dan Moli. Fani mendengus dan balik masuk ke mobil.
“Lo duluan. Biar gue yang tolongin Dia.” Kata Moli pada Mia yang masih berdiri disamping-Nya.
Moli mengajak pria tersebut ke pinggir trotoar. “Mau gue anterin ke rumah sakit?” tanya Moli sambil mengelap darah dilutut pria tersebut dengan sapu tangan yang di bawanya.
“Nggak usah.” Jawabnya singkat tanpa berusaha menolak dengan perbuatan Moli.
Moli melirik pria itu. Matanya mengeryit ketika melihat pria itu masih memakai seragam putih dongker. Masih SMP dia? Namun tingginya sudah melampaui anak seumurannya. Mungkin tingginya sekitar 173 cm. Dan ada name tag di dada kirinya Yoga Pramana.
“Gue tinggal ya...” kata Moli sambil melangkahkan kakinya beranjak pergi dari nya.
“Tunggu.”
“Ada apa lagi?”
“Minta nomor HP nya.”
Dahi Moli berkerut. “ Untuk apa?”
“Kalau terjadi apa apa sama gue. Nomor Elo yang gue hubungi.” Kata Yoga setengah menyeringai.
Brengsek nih bocah. “Sini nomor lo. Biar gue missed call.”
Yoga mendikte nomor ponselnya. Dan satu menit kemudian Ponselnya berbunyi. “Oke. Udah masuk.”
“Ya udah gue pergi.” Moli pergi dengan sebuah taksi yang lewat di hadapannya.
“Cantik juga tuh cewek.” Gumam Yoga dengan senyum yang mengandung sesuatu. “Ck! Sakit juga ternyata...”
“Kenapa kamu Ga? ?” tanya Santi atau mamanya Yoga sesampainya dirumah. Ia mendekati anak lelakinya tersebut.
Santi melirik luka di lututnya anak lelakinya itu. “Kok bisa berdarah gitu sih? Mama ambilin obat dulu.”
Yoga duduk menunggu Santi dengan rasa perih yang mulai terasa. “Sini Mama obatin.” Santi mengoles luka itu dengan obat merah.
“Kenapa bisa kaya gini sih?” tanya Santi sambil menutup luka itu dengan perban.
“Ditabrak orang tadi.” Jawab Yoga singkat.
“Hati hati dong kalau di jalan. Untung Cuma lecet lecet.”
“Udah hati hati kali Ma. Mereka aja yang suka meleng kalau berkendara.” Jawab Yoga dan langsung pergi menuju kamar nya. Santi hanya geleng kepala.
Itulah Yoga, anak semata wayangnya yang sangat Ia sayangi, walaupun sekarang perhatian itu harus Yoga bagi dengan saudara tirinya.
Di halaman rumah, Fani dan Mia sudah menunggu Moli sekitar lima belas menit yang lalu. “Lama lo! Kemana aja sih?” gerutu Fani yang tengah duduk di kursi teras rumahnya.
“Baru juga berapa menit.” Saur Moli.
“Gimana bocah tadi Mol?” tanya Mia yang sedang duduk dengan kaki terangkat.
“Baik baik aja sih. Gue anterin ke rumah sakit dia nya nggak mau.” Moli meletakkan pantatnya di atas teras berwarna coklat rumah tersebut.
“Masuk yuk.” Fani membuka pintu rumahnya dan langsung berjalan menuju kamar.
Moli mendengus. “Baru juga duduk.”
Kamar itu lumayan luas. Sekitar 4x4 meter. Ada beberapa foto yang tertempel menghiasi dinding kamar. Kamar itu hampir serisi penuh dengan barang barang yang sebetulnya jauh dari kata berguna. Lihat saja siapa pula yang menata bekas wadah make up di atas rak. Sepatutnya di buang saja.
“Kemana Bokap lo Fan?” tanya Moli sembari memegang sebuah foto kenangan mereka bertiga 1 tahun yang lalu. Sebuah kenangan dimana pertama kali kita masuk sekolah dengan memakai seragam SMA lengkap penuh aksesoris aneh yang tertempel di seluruh badan. Ciri khas kegiatan MOS.
Fani merebahkan tubuhnya diatas ranjang.
“Lagi ke toko. Mantau para karyawan katanya.”
Ayah Fani adalah pemilik toko ternama di kota Jakarta. Sudah ada beberapa cabang yang tersebar di seluruh kota pulau Jawa. Itulah sebabnya Dia tak pernah berhati hati dalam membelanjakan uangnya.
Moli masih sibuk dengan foto tersebut. Sedangkan Mia tengah tidur di samping Fani yang sedang menatap layar laptopnya browsing dengan seseorang. Terkadang Ia tertawa sendiri seperti orang gila.
“Kenapa lo Fan? Kesurupan?” tanya Moli.
Fani masih terkekeh dengan mata terfokus pada layar laptopnya. “Lihat deh Mol. Ganteng kan?” Fani menyodorkan laptopnya menunjukkan sebuah gambar seseorang.
“Siapa dia?”
“Itu lho penyanyi Kafe yang nanti malam bakal tampil di Watt Coffee.” Jawab Fani dengan mata berbinar.
“Segitu nge-fans nya lo sama dia.”
***
Assalamualaikum...
Suara seseorang dari balik pintu ruang tamu. Ia melangkah dengan menenteng tas punggungnya. Bajunya sudah menyembul keluar tak rapi seperti sedia kala.
“Baru pulang Dik?” tanya Santi yang sedang duduk di sova ruang TV.
Diki berjalan mendekatinya dan mencium punggung tangannya. “Iya Ma...”
“Ganti baju. Terus makan. Mama udah nyiapin di meja ya.”
Diki mengangguk.
Perlu diketahui, Diki dan Yoga adalah saudara. Mereka kakak beradik namun bukan kandung. Santi menikah dengan Ayah Diki sekitar 2 tahun yang lalu. Pernikahan mereka sebenarnya ditentang oleh keluarga Diki. Keluarganya tidak suka dengan orang yang hidup dari kalangan bawah. Mereka dari golongan orang berada sementara Yoga dan Santi dari keluarga biasa. Namun lain halnya dengan Diki yang menerima Santi dengan senang hati. Ia begitu menyayangi Santi seperti menyayangi Mamanya dulu. Tapi tidak begitu menerima kehadiran Yoga yang menjadi adik tirinya.
Bahkan mereka berdua jarang berbicara, hampir tak pernah mungkin. Untuk alasannya kenapa Santi sendiri pun tahu. Selama tak terjadi apa apa di antara mereka, semua di anggap tak masalah oleh Santi.
18.30 WIB
“Gue pake baju apa? Kan nggak bawa ganti tadi dari rumah.” Tanya Moli pada Fani yang sudah sibuk membongkar isi lemarinya.
“Gue juga Fan. Mau pake baju apaan?” sambung Mia yang masih bermalasan di atas ranjang empuk itu.
Fani menggamit sebuah dress yang terletak di lemari paling atas, kemudian dilemparnya di atas kasur. “Kalian pake ini.”
Mia mengambil baju dress dengan renda di lengan dan tali pita di pinggang itu dan ditempel di badannya yang tegap. “Gila lo ya Fan? Nggak salah lo nyuruh gue pakai baju kaya gini?” Mia mengeryit melihat baju itu. Sepertinya Fani memang sudah nggak waras, mana mau si Mia di suruh pake dress begituan.
Moli tertawa geli. “Cocok kok Ia.” Kekeh Moli. “Sesekali boleh lah lo tampil feminim.”
“Najis!” Mia melempar dress itu tepat di wajah Moli. Moli mendengus.
“Yee. Cewek tomboy emang beda.”
Sementara itu Fani sudah siap dengan penampilannya. Ia memakai dress berwarna coklat dengan bando di atas kepalanya. Tak lupa anting besar menggantung di telinganya. Lipstik pink yang menghiasi bibirnya dan high heel hitam melekat menutupi kaki nya membuat tampilannya begitu glamour.
“Udah siap aja lo.” Celetuk Moli yang berusaha memasukkan dress itu ke kepalanya.
“Nggak ada yang lain Fan?” tanya Moli ketika dress seksi berwarna ungu sudah melekat di tubuhnya. Bagian dadanya lumayan terbuka hingga menampilkan belahan payudaranya.
“Nggak ada. Udah pakai itu aja. Nih buat lo.” Fani melempar sebuah celana jeans panjang dan T-sirt berwarna abu.
“Ini baru pas buat gue.” Mia manggut manggut. Emang dasar si Fani suka ngerjain orang. Lagian mana mau Mia pakai dress. Nggak banget deh!
Lima belas menit kemudian mereka sudah siap. Moli berjalan sambil menarik dressnya yang terlalu pendek hingga memperlihatkan paha mulusnya. Risih! Sialan si Fani.
“Pasti rame nanti disana.” Celetuk Fani dalam perjalanan. Mia dan Moli hanya diam saling pandang. Dasar maniak cowok ganteng. Fani tersenyum dengan penuh percaya diri.
Malam ini pengunjung kafe lumayan rame. Banyak dari mereka yang datang bersama pasangan. Namun ada pula yang hanya sendirian. “Kita duduk disana yuk.” Fani berjalan menghampiri kursi kosong di dekat jendela kaca.
Moli masih saja sibuk dengan dress nya yang feminim. Gara gara Fani sih! Jadi nggak sreg gini kan?
“Kenapa Mol? Ruweh banget kelihatannya?” tanya Mia yang melihat Moli sedang menarik bagian baju atasnya berusaha menutupi belahan dadanya.
“Nggak pede gue pakai baju kayak gini.” Gerutunya sedikit sewot. Yang bikin ulah justru sedang asik memandangi penyanyi kafe yang sedang tampil dengan bandnya. Mata nya fokus menatap lelaki tersebut. Lumayan tampan sih. Kulitnya nggak terlalu putih, hidungnya mancung tingginya sekitar 178 cm.
“Lihat deh. Ganteng kan Dia?” Fani cengar-cengir memandangi lelaki itu.
“Semua cowok juga di bilang ganteng sama lo.” Kekeh Mia.
“Lha iya! Fani kan gitu...” sambung Mia yang matanya sedang membaca tulisan kecil di ponselnya.
“Hai....”
Sapa Lelaki tersebut ketika usai menyanyi. Ia mendekati Fani.
“Fani kan?” sapa nya lagi dengan uluran tangan.
“I...iya. gue Fani. Aldo kan?” Fani mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan Aldo.
“Boleh duduk?”
“Boleh kok. Silahkan...” Fani menyodorkan satu kursi kosong di samping nya.
Dari kejauhan ada sosok mata tajam yang ternyata sedang mengamati Moli. Sepertinya ada sesuatu yang ingin direncanakan. Ia terus menatap Moli dengan pandangan picik.
“Gue permisi ke toilet bentar ya...” Moli yang merasa risih dengan kehadiran Aldo lebih memilih untuk menghindar.
“Sory gays. Gue balik dulu ya. Nyokap udah SMS nih.” Mia tiba-tiba bangkit dan keluar dari kafe.
“Yak kok lo pulang sih?” ucap Moli yang hendak ke toilet.
“Lo pulang berdua sana Fani ya. Daagh. gue balik dulu.” Mia ngibrit lari keluar.
Moli terdiam di depan cermin kamar mandi. Ia memandangi pantulan wajahnya di cermin. Tubuhnya yang sintal di balut dengan dress ketat sungguh membuat siapapun ingin mencoba mendekapnya. “Sialan Fani! Gue nggak tenang gara gara ini baju.” Gerutunya jengkel. “Mia udah balik lagi!”
Moli membasuh mukanya kemudian keluar dari toilet.
“Hai cantik...” Sapa seorang Pria yang tiba tiba menyentuh janggut Moli.
Moli mengibaskan tangan itu “Apaan lo? Jangan kurang ajar ya...” Moli berusaha mendorong pria itu yang menghalangi jalannya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!