"Saya terima nikah dan kawinnya Belva Kalea Gefanda---"
"Stop! Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan."
Semua mata tertuju pada sosok wanita yang baru saja berhasil menghentikan acara akad pernikahan. Dengan langkah tegapnya, wanita itu berjalan menghampiri kedua mempelai.
"Maksud Kamu apa, Kak?" Belva menatap datar wanita yang kini berdiri angkuh di hadapannya.
"Kamu tidak boleh menikah dengan Gema," ucap wanita yang dipanggil Kakak itu dengan seringai tipis di bibirnya. "Karena aku sedang mengandung anaknya." Ucapnya lagi sambil menunjuk Gema, calon suami Belva.
Deg
Tatapan Belva kini mengarah pada Gema Kanaga, calon suaminya. Matanya menatap dalam cinta pertamanya itu dengan penuh pertanyaan. Namun lidahnya kelu untuk sekedar meminta penjelasan. Diamnya Gema seolah mengiyakan apa yang terjadi saat ini.
"Apa benar itu, Kak?" Setelah hening beberapa saat, Belva memberanikan diri untuk membuka suaranya. Dengan suara yang bergetar wanita itu meminta penjelasan pada calon suaminya.
"Maafkan aku, Hon."
Satu kalimat yang berhasil membuat Belva menitikkan air matanya.
"Jahat Kamu, Kak!" Air mata yang sejak tadi Belva tahan, kini luruh menganak sungai. Dengan napas yang memburu wanita cantik itu terisak dengan pilu.
Hancur hati Belva, mengetahui pengkhianatan calon suaminya tepat di hari pernikahannya. Cinta pertamanya, orang yang paling Belva percayai selama ini ternyata mengkhianatinya.
Menjalin hubungan selama 5 tahun tidaklah menjamin kesetiaan. Nyatanya seorang pria tetaplah kalah dengan godaan hawa nafsunya sendiri.
Belva dan Gema menjalin hubungan sejak SMA. Keduanya adalah pasangan paling serasi, tak jarang semua siswa dibuat iri oleh keromantisan pasangan itu, tak terkecuali Glory. Glory adalah kakak tiri Belva yang selama ini diam-diam menaruh rasa pada Gema.
Jarak tak membuat hubungan keduanya merenggang, walaupun kala itu Belva harus kuliah di luar negeri atas tuntutan Daddynya. Gema tetap setia sampai hari ini tiba, keduanya hendak melangsungkan pernikahan.
"Aku khilaf, Hon. Tolong maafkan aku!" Gema menggenggam erat tangan Belva, matanya menatap penuh sesal pada wanita yang sangat dicintainya itu.
"Khilaf Kamu bilang? Sampai Dia mengandung, Kamu bilang khilaf?" Belva berteriak histeris dengan air mata yang terus membasahi pipinya. "Sejak kapan kalian mengkhianatiku?" Walaupun hatinya sesak, namun Belva ingin mengetahui sejak kapan mereka mengkhianatinya.
"2 bulan lalu," lirih Gema. "Tapi aku tidak sengaja melakukannya. Aku dijebak, Hon. Bahkan, aku tidak yakin Dia mengandung anakku." Gema menatap Glory dengan tatapan tajamnya.
Sementara itu Glory mengepalkan erat tangannya, wanita itu tidak terima karena merasa Gema telah merendahkan harga dirinya.
"Oke, kalau Kamu bilang malam itu Kamu dijebak. Tapi, apa Kamu lupa dengan malam-malam selanjutnya, Gema?" Glory tersenyum smirk menatap wajah Gema yang kini berubah pucat. "Kamu ketagihan dengan tubuhku, bahkan hampir setiap malam Kamu memintaku untuk melayani mu. Dan Kamu seenaknya bilang, anak ini bukan anakmu?" Teriak Glory dengan lantang.
Dengan tak tahu malunya Glory membeberkan semua yang terjadi antara dirinya dan Gema. Glory bahkan sudah tidak memperdulikan tatapan semua orang yang menatapnya jijik. Yang ada dalam pikirannya hanyalah mendapatkan Gema bagaimana pun caranya.
"Cukup! Aku bilang cukup."
Belva meraung, namun air matanya kini mulai mengering. Entah sudah sehancur apa hatinya saat ini, untuk menangis pun rasanya Belva sudah tidak mampu lagi.
Ditambah lagi ucapan lantang Glory membuat lukanya semakin bernanah. Saudara tirinya itu seolah sengaja menaburkan garam diatas lukanya.
"Sayang...!" Gefanda memeluk tubuh putri kesayangannya. Air matanya luruh ikut merasakan penderitaan sang putri tercinta. "Jangan menangis, Daddy di sini."
Belva mematung dipelukan Daddynya. Namun setetes air mata kembali keluar dari sudut matanya. "𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?"
Di mata Belva hanya Daddynya sosok pria yang sempurna. Walaupun Mommynya sudah meninggal dan bahkan Daddynya itu kini sudah menikah lagi, Gefanda hanya mencintai Geara, mendiang istrinya, Mommynya Belva.
"Saya putuskan, pernikahan Belva dan Gema, batal. Dan Gema harus menikahi Glory," ucap Gefanda. Sorot tajam matanya membuat siapapun tidak bisa membantahnya.
"Tapi, Om---"
"Saya tidak ingin dibantah." Ucapan Gefanda membuat Gema tidak bisa melanjutkan perkataannya. "Bertanggung jawablah dengan apa yang Kamu perbuat!" Gefanda tersenyum sinis sambil menepuk pundak mantan calon menantunya.
Gema hanya bisa pasrah menerima konsekuensi atas kebodohannya.
"Kita pergi dari sini, Sayang!" Gefanda menggandeng tangan putrinya. Alih-alih menyaksikan putri tirinya menikah, pria paruh baya itu lebih memilih meninggalkan tempat itu bersama putri kesayangannya.
"Mas, Kamu mau kemana?" Nadin menghentikan Gefanda yang hendak masuk ke dalam mobilnya.
"Aku mau pulang bersama putriku," ucapnya datar.
"Tapi Glory akan menikah, Mas---"
"Lalu, apa aku harus meninggalkan putriku hanya untuk menyaksikan pernikahan putrimu yang sudah merebut calon suami putriku?"
Nadin bergeming, ucapan Gefanda sangat melukai hatinya. Namun, wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyanggah ucapan suaminya.
...----------------...
Di tempat yang berbeda, seorang pria matang dan berperawakan gagah baru saja keluar dari Bandara, setelah melakukan perjalanan bisnis dari luar negeri.
Sebagai pengusaha nomor satu di dunia, hampir setiap minggu pria bernama Rigel Alaska itu bepergian ke luar negeri.
Memiliki perusahaan di setiap negara membuat Rigel nyaris tidak memiliki waktu dengan istrinya, Livia Veranda. Dan tepat di hari ini adalah hari aniversary pernikahan Rigel dan Livia ke 5. Pria itu hendak memberikan kejutan pada istri tercintanya.
Setelah perjalanan dari Bandara yang hanya memerlukan waktu 30 menit, Rigel akhirnya sampai di kediaman mewahnya. Pria itu tidak sabar ingin segera menemui istrinya.
Dengan membawa satu buket bunga lily kesukaan Livia, pria itu berjalan cepat menaiki anak tangga. Padahal di rumahnya tersedia lift untuk memudahkan aktivitasnya.
Begitu sampai di depan kamarnya, pria itu mematung mendengar suara yang tidak asing di telinganya.
"Faster, Sayang... ahhhhh... aku hampir sampai."
Deg
Rigel mengepalkan erat tangannya. Pria itu bisa melihat dengan jelas karena pintu kamarnya tidak tertutup sempurna. Sepasang pria dan wanita tengah memadu kasih di atas ranjangnya, dan sialnya wanita itu adalah Livia, istri tercintanya.
Sementara itu di dalam kamar, mendengar desahan Livia, membuat pria yang bergerak di atas tubuh Livia itu melambatkan ritme nya. Pria itu sengaja ingin membuat wanitanya frustasi.
"Come on Roland, jangan menyiksaku!" Rengek Livia yang semakin meracau di bawah kungkungan pria bernama Roland.
"Katakan dulu, aku lebih perkasa dari suamimu!"
"Mmhhhh... tentu saja, Kamu lebih perkasa. Kamu yang terbaik, Roland!"
Roland sangat puas dengan jawaban Livia, pria itu pun mengabulkan keinginan Livia. Roland mempercepat gerakannya, namun sebelum keduanya mencapai puncaknya, pintu kamar yang tidak tertutup sempurna itu tiba-tiba terbuka.
Brakk
Deg
Livia melebarkan bola matanya dengan posisi yang masih berada di bawah kungkungan Roland. Wanita itu menendang tubuh Roland saat mendapati suaminya kini berdiri tidak jauh darinya.
"Ck!" Roland berdecak karena Livia membuatnya terjengkang dengan posisi yang memalukan. Namun pria itu tetap santai kembali bangkit bahkan berlalu lalang dengan alat tempur yang masih tegang.
"Sayang---"
Dengan selimut yang membelit tubuh polosnya, wanita itu beringsut menghampiri suaminya. Namun ucapan Rigel kemudian berhasil membuat istrinya itu mematung di tempatnya.
"Livia Veranda, mulai hari ini Kamu bukan istriku lagi."
𝘛𝘰 𝘣𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘦𝘥
Rigel pergi meninggalkan rumah itu dengan membawa rasa sesak di hatinya. Dikhianati berulang kali oleh istri yang sangat dia cintai, meninggalkan trauma yang mendalam di hatinya.
Ya, ini bukan pertama kalinya Livia berkhianat. Istri Rigel itu sudah beberapa kali tertangkap basah bermesraan dengan pria yang berbeda. Dan dengan bodohnya, Rigel selalu memaafkan istrinya.
Rigel selalu luluh dengan permintaan maaf Livia. Walaupun setelah itu pengkhianatan nya akan kembali terulang.
Namun kali ini, Rigel sudah tidak bisa memaafkan Livia. Istrinya itu benar-benar sudah melewati batas. Livia berani membawa selingkuhannya ke dalam kamarnya. Pria mana yang tidak sakit hati melihat istrinya bercinta dengan pria lain di dalam kamarnya?
Entah Livia yang tidak tahu diri, atau Rigel yang terlalu bodoh.
"Apa kurangku Livia? "
Rigel menggeram kesal, rahangnya mengeras, tangannya berkali-kali memukul kemudi. Pria itu meluapkan amarah yang sejak tadi ditahannya.
Yang paling membuat Rigel kecewa adalah, pria yang bergelut dengan istrinya itu adalah Roland, musuh sekaligus pesaing bisnisnya.
"Arrrrrrgggghhhtttt!! Kenapa harus bajingan itu?"
Rigel melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh, tanpa arah, namun hanya satu tujuannya, ingin pergi sejauh mungkin agar bisa melupakan pengkhianatan keji istrinya.
...----------------...
Sementara itu, setelah kepergian Rigel, Livia terus terisak dengan air mata yang terus menganak sungai. Wanita itu belum beranjak sedikit pun dari posisinya. Masih dalam keadaan polos, dan hanya terbalut selimut tebal.
"Sudahlah, Baby. Kamu tidak perlu menangisinya." Roland mencoba membujuk partner ranjangnya. "Ada aku di sini." Roland menangkup pipi Livia yang sedikit chubby itu, untuk beberapa saat keduanya saling bertatapan penuh makna. "Dan bukankah Kamu bilang, aku lebih perkasa dari pada dia?"
Roland menaik turunkan alisnya menggoda Livia, membuat wanita yang menjadi selingkuhannya itu mencubit perut kotak-kotaknya yang masih bertelanjang.
Roland terbahak melihat wanitanya tersipu. Semburat merah di pipinya membuat pria itu tidak tahan untuk tidak mengecupnya.
Cup
"Kamu lebih cantik tersenyum seperti ini."
Ucapan Roland membuat Livia semakin tersipu. Bersama Roland, wanita itu bisa melupakan kesedihannya. Sikap Roland yang hangat dan humoris membuat Livia dengan mudah berpaling dari Rigel, pria yang sudah 5 tahun ini menjadi suaminya.
"𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘓𝘪𝘷𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢-𝘨𝘪𝘭𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘶. 𝘋𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯, 𝘙𝘪𝘨𝘦𝘭 𝘈𝘭𝘢𝘴𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘯𝘤𝘶𝘳. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪."
...----------------...
"𝘈𝘬𝘩𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘕𝘺𝘰𝘯𝘺𝘢 𝘒𝘢𝘯𝘢𝘨𝘢," 𝘨𝘶𝘮𝘢𝘮 𝘎𝘭𝘰𝘳𝘺 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢. "𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘴𝘢𝘵𝘶-𝘱𝘦𝘳𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘪."
Gema dan Glory resmi menjadi pasangan suami istri. Glory sangat puas karena berhasil merebut orang yang paling Belva cintai. Selama ini Glory selalu merasa iri dengan saudara tirinya, karena itu Glory bertekad untuk merebut semua milik Belva.
Dan akhirnya setelah susah payah merayu Gema, Glory berhasil menaklukkan Gema dengan memberikan sesuatu yang tidak bisa Gema dapatkan dari Belva.
"Kenapa Kamu melakukan ini, Glory?"
Ucapan lirih Gema berhasil membuyarkan lamunan Glory yang tengah menertawakan Belva dalam hatinya.
Pasangan pengantin baru itu sedang berada di sebuah kamar hotel. Keduanya memutuskan untuk menginap di hotel yang sebelumnya memang sudah Gema siapkan untuknya dan Belva.
"Maksud Kamu apa, Gema?" Glory mengerutkan keningnya, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu.
Gema mengusap wajahnya kasar, melihat wajah pura-pura bodoh Glory membuat kekesalan dalam hatinya kembali meluap.
"Kamu jangan pura-pura bodoh, Glo." Gema menatap tajam Glory yang kini terlihat gelagapan. "Aku sudah bilang, aku akan bertanggung jawab padamu dan juga bayi itu. Tapi tidak dengan menikahimu."
Glory mengepalkan erat tangannya, tidak terima dengan ucapan Gema yang menurutnya tidak adil. Sebelumnya, Gema sudah membicarakan hal ini dengan Glory. Gema berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya pada bayi yang Glory kandung. Hanya saja untuk menikahi Glory, rasanya tidak mungkin karena yang Gema cintai hanyalah Belva.
"Lalu, yang selama ini kita lakukan apa, Gem? Apa tidak ada sedikit pun perasaan cinta untukku?" Ucapan Glory terdengar sangat lembut berharap Gema akan sedikit iba padanya.
Gema tertawa sinis. Bukannya merasa iba, Gema justru merasa muak dengan wanita yang kini berstatus istrinya itu. Glory telah mengkhianati perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya. Gema merasa Glory telah merencanakan ini sebelumnya. Bodohnya Gema yang tidak mengantisipasinya.
"Dari awal Kamu tahu, aku hanya mencintai Belva. Dan Kamu sudah sepakat hubungan kita hanya sebatas pemuas ranjang."
Deg
Ucapan Gema benar-benar melukai hati Glory, ditambah lagi tatapan Gema yang menatapnya seolah tidak memiliki harga diri. Glory merasa hatinya tercabik-cabik setelah apa yang Glory berikan untuk Gema, prianya itu tidak pernah menghargainya. Bahkan untuk menatapnya pun Gema terlihat enggan, seolah wajah istrinya itu kotoran yang harus disingkirkan.
Namun wanita itu hanya bisa mengumpat Gema dalam hatinya. Karena apa yang suaminya itu katakan memang benar, keduanya sudah sama-sama sepakat hanya sebagai pemuas ranjang saja.
Bahkan dalam setiap percintaan mereka, Gema hanya menyebut nama Belva dalam setiap desahannya.
"𝘒𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘎𝘦𝘮𝘢. 𝘚𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪𝘬𝘶."
"Tapi sekarang Kamu suamiku, Gema. Tidak bisakah Kamu mencoba---"
"Tidak akan pernah. Hanya Belva satu-satunya wanita yang aku cintai."
Setelah mengatakan itu, Gema berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
"𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢-𝘨𝘪𝘭𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘤𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘪𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶."
...----------------...
Sementara itu Belva duduk termenung memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin menerpa kulit mulusnya yang hanya terbalut dress yang tipis.
Belva menghembuskan napasnya berat saat kembali teringat dengan kejadian tadi pagi. Pernikahan impian yang selama ini Belva persiapkan, harus kandas begitu saja karena bukan Belva yang menjadi mempelai wanitanya.
Belva harus merelakan kekasih yang sangat dia cintai menikah dengan saudara tirinya. Pria yang dia cintai setelah Daddynya.
Ditambah lagi kenyataan jika saudara tirinya tengah mengandung anak Gema, membuat kekecewaan amat menikam hatinya.
"𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘨𝘢, 𝘒𝘢𝘬." Pertanyaan yang berulang kali berputar di kepalanya. Kenapa? Kenapa Gema melakukannya?
Ingin sekali Belva meminta penjelasannya, namun dia sendiri belum siap mendengar jawabannya.
Air mata Belva kembali mengalir, saat wajah Gema terus terbayang di benaknya. Kata-kata manis pria yang 5 tahun ini dia pacari, perhatian dan kasih sayangnya seolah mustahil untuk menduakan nya.
Tidaklah mudah melupakan seseorang yang sudah bertahta di hatinya selama 5 tahun. Kepulangannya ke tanah air setelah menimba ilmu di negara lain, hanya untuk menepati janjinya pada Gema.
Namun ternyata kenyataan pahit begitu menamparnya. Hari yang harusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya, justru menjadi hari penuh duka yang sangat sulit Belva enyahkan dari pikiran dan juga hatinya.
"𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨? 𝘈𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪?"
Belva tidak sanggup jika harus bertemu dengan Gema dan Glory setiap hari. Apalagi jika kedua pasangan pengantin baru itu tinggal satu atap dengannya.
...----------------...
Keesokan harinya, sang fajar menyingsing begitu cepat, mengganti kegelapan malam yang berselimut dingin. Namun tidak mengganti kesedihan yang Belva rasakan.
Ketakutan Belva benar-benar terjadi, pagi-pagi sekali Gema dan Glory sudah berada di rumahnya. Belva hanya bisa menghembuskan napasnya kasar saat tak sengaja beradu tatap dengan keduanya.
"Kita hampir saja kelaparan menunggumu," sindir Glory.
"𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘬𝘶."
Belva hanya bergumam dalam hati. Terlalu malas untuknya menanggapi perkataan saudara tirinya itu.
Melihat Belva diam saja dan terlihat tenang, membuat Glory kesal dan kembali membuka suaranya.
"Kita saja yang pengantin baru tidak bangun kesiangan," celetuk Glory dengan seringai di bibirnya.
Wajah sembab Belva seolah hiburan tersendiri untuk Glory. Wanita itu yakin pasti Belva menangis semalaman, karena itu terlambat bangun, pikirnya.
Gema yang duduk di samping Glory begitu kesal mendengar ucapan istrinya yang tidak menghargai perasaan Belva. Ingin sekali pria itu menghajar mulut beracun yang sayangnya adalah istrinya.
Sementara itu, Belva yang hendak memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya, mendadak menghentikan gerakannya. Wanita itu menaikkan sebelah alisnya saat mendengar ucapan Glory.
"Siapa yang pengantin baru?" Tanya Belva pura-pura bingung. "Memangnya ada pengantin baru yang sudah hamil duluan?"
"𝘒𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳!"
𝘛𝘰 𝘣𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘦𝘥
Niat hati ingin membuat Belva kepanasan, justru berakhir dengan dirinya yang dipermalukan. Glory mengepalkan erat tangannya di bawah meja, andai tidak sedang berada di meja makan, mungkin Glory sudah mencakar mulut Belva tanpa ampun.
Sementara Belva berusaha tetap kuat walaupun hatinya masih begitu sakit. Wanita cantik itu tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan siapapun terutama Glory. Belva tidak ingin saudara tirinya itu semakin puas menertawakannya.
"Kamu---"
"Cukup, ini di meja makan. Bukan tempat berdebat," ucap Gefanda penuh penekanan.
Tidak ada yang berani melawan jika Gefanda sudah angkat bicara. Semua orang terdiam dan kembali fokus pada makanannya.
Belva terlihat buru-buru menghabiskan makanannya. Wanita cantik itu tidak ingin lebih lama lagi melihat pasangan pengkhianat itu. Hatinya teramat sesak dan nyaris tidak bisa bernapas, apalagi saat melihat rambut keduanya yang terlihat setengah basah.
Uhuk uhuk
Karena terburu-buru, Belva sampai tersedak makanannya. Gema yang duduk di seberang Belva dengan reflek menyodorkan air minumnya pada Belva.
"Pelan-pelan, Hon!"
Deg
Untuk sesaat netra Gema dan Belva saling beradu, sampai akhirnya Belva memutuskan lebih dulu tatapannya. Panggilan Honey yang biasa Gema sematkan untuk Belva, meluncur begitu saja dari mulut Gema, membuat Belva nyaris kembali tersedak.
Panggilan itu Gema ucapkan seperti dulu, sangat lembut dan tulus. Jika dulu Belva bahagia walaupun hanya dengan mendengar satu kata panggilan itu, berbeda dengan saat ini. Mendengarnya saja membuat hati Belva teriris.
Belva tidak mengambil air minum yang Gema tawarkan, wanita cantik itu memilih mengambil air minum yang Daddynya berikan. Hal itu membuat Gema menghembuskan napasnya kasar seraya menatap tangannya yang menggantung di udara.
Sementara itu si pemilik tatapan sinis mengepalkan erat tangannya. Melihat Gema sama sekali tidak merasa bersalah setelah memanggil Belva dengan panggilan honey, membuat Glory tidak tahan ingin meledak.
Sarapan yang penuh ketegangan pun akhirnya selesai. Belva hendak naik ke kamarnya, namun langkahnya terpaksa harus terhenti, karena Glory kembali mengutarakan kekesalannya.
"Apakah tidak sebaiknya Kamu keluar dari rumah ini, Belva?" Ucapnya tidak tahu diri. "Aku tidak ingin Kamu merasa tidak nyaman tinggal dengan kami. Karena aku dan Gema memutuskan untuk tinggal di rumah ini."
Gema dan Glory sebelumnya sudah membicarakan tempat tinggal mereka setelah menikah. Keduanya sepakat untuk tinggal di rumah yang kini di tempati Glory yang juga ada Belva di dalamnya.
Awalnya Glory bahagia jika tinggal bersama Belva, bahkan dia sendiri yang meminta Gema untuk tinggal di rumahnya, dengan tujuan wanita itu bisa memanas-manasi Belva. Dalam benaknya, Glory berencana akan menyuguhkan kemesraan dirinya dengan Gema setiap harinya di depan Belva.
Namun melihat sikap Gema pada Belva beberapa saat lalu, Glory mulai goyah dan merasa sedikit takut jika Gema akan semakin sulit mencintainya. Dan justru akan mencari celah untuk kembali pada mantannya itu. Glory tidak akan membiarkan hal itu terjadi!
Belva membalikkan tubuhnya, seringai tipis terukir di wajah cantiknya saat menatap si pemilik tatapan sinis itu. Belva menangkap dengan jelas ada kekhawatiran di wajah saudari tirinya itu.
"Kenapa tidak kalian saja yang pergi?" Ucap Belva dengan santai. Wanita cantik itu melipat tangan di posisi berdirinya. "Ini rumahku, kenapa aku yang harus pergi?" Ucapnya lagi sambil tersenyum mengejek.
"Belva, jangan kurang ajar Kamu!" Nadin yang sejak tadi diam saja melihat perdebatan kedua putrinya, kini mulai angkat bicara. Wanita paruh baya itu tidak menyukai sikap Belva yang berubah.
Jika dulu Belva sangat penurut dan selalu mengalah, berbeda dengan sekarang. Belva lebih berani bahkan tidak gentar beradu mulut dengan si pemilik tatapan sinis.
"Beraninya Kamu membentak putriku!" Ucap Gefanda menggelegar. Mata tajamnya menatap Nadin penuh kekecewaan.
"𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘔𝘢𝘴 𝘎𝘦𝘧𝘢𝘯𝘥𝘢," 𝘨𝘶𝘮𝘢𝘮 𝘕𝘢𝘥𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢.
Nadin menunduk tak berani menatap suaminya. Selama ini Nadin baik pada Belva saat di depan suaminya saja. Nadin akan bersikap kasar dan tidak segan-segan menyiksa Belva seperti ibu tiri dalam kisah dongeng.
Untung saja Gefanda meminta Belva kuliah di luar negeri, membuat wanita cantik itu terbebas dari penderitaannya. Walaupun pada akhirnya Belva harus kehilangan calon suaminya.
"Jadi, seperti ini sikap Kamu di belakangku pada putriku?"
Wajah Nadin berubah pucat saat Gefanda bertanya penuh selidik. Bukan Nadin saja, si pemilik tatapan sinis pun mulai takut dengan perangai ayah tirinya.
"Sayang, sekarang jawab Daddy dengan jujur. Apa selama ini mereka benar-benar baik padamu, atau hanya pura-pura baik?"
"𝘈𝘸𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘶," 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘕𝘢𝘥𝘪𝘯 𝘸𝘢𝘴-𝘸𝘢𝘴. Matanya menatap tajam Belva penuh ancaman.
Melihat ketakutan di wajah ibu tirinya justru membuat Belva semakin senang dan mulai mengobarkan api. Belva sudah bertekad dalam hatinya, dia tidak akan mengalah lagi. Cukup selama ini menjadi budak ibu tiri dan juga saudara tirinya. Belva tidak ingin kembali kehilangan orang-orang yang disayanginya. Cukup Gema yang Glory rebut darinya. Belva tidak ingin Daddynya ikut memihak benalu yang berkedok keluarga itu.
Rasa bersalah kini menyelinap di relung hati terdalam Gefanda. Melihat Belva menganggukan kepalanya, membuat pria paruh bayar itu mengeraskan rahangnya.
"Mereka menyiksaku selama ini, Dad." Belva menatap Daddynya dengan mata berkaca-kaca. Wanita cantik itu menunjukkan setiap bekas luka yang sejak kecil Belva terima dari penyiksaan ibu tirinya.
"𝘒𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘉𝘦𝘭𝘷𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺," 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘎𝘭𝘰𝘳𝘺.
"Kenapa Kamu baru mengatakannya sekarang?" Gefanda memeluk putrinya. Pria paruh baya itu merasa tidak berguna sebagai orang tua, karena tidak bisa menjaga putri kesayangannya.
"Belva tidak mau Daddy khawatir," ucap Belva dengan lirih di sela-sela isak tangisnya.
Gema mengeraskan rahangnya, pria yang berdiri tak jauh dari Belva itu tidak terima melihat wanita yang dicintainya menangis.
"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘫𝘢, 𝘏𝘰𝘯𝘦𝘺. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶," 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘎𝘦𝘮𝘢.
Gefanda mengepalkan erat tangannya, selama ini dia benar-benar telah ditipu mentah-mentah oleh Nadin. Gefanda tidak pernah mencintai Nadin, dia terpaksa menikah dengan janda satu anak itu atas permintaan mendiang istrinya.
Gefanda awalnya tidak mau menuruti permintaan terakhir Mommy Belva itu, namun melihat putrinya yang terlihat nyaman bersama Nadin, Gefanda pun terpaksa menerima mengiyakan.
"𝘒𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳! 𝘑𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘱𝘶𝘬𝘶, 𝘕𝘢𝘥𝘪𝘯."
Gefanda menatap Nadin dan Glory bergantian. Gema yang sudah dia anggap putranya sendiri pun tak luput dari tatapan kecewanya.
"Gema, sebaiknya Kamu bawa istri dan mertua Kamu itu pergi dari sini!"
Deg
...----------------...
Rigel membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Matanya memandang nanar langit-langit kamarnya. Kejadian beberapa waktu lalu kembali teringat dalam benaknya. Percintaan istrinya dengan selingkuhannya membuat hati Rigel hancur berkeping-keping.
Bukan hanya itu saja, dengan kejamnya mereka melakukan hubungan terlarang itu di kamar pribadi Rigel.
"Jahat kamu Livia. Aku akan membalas semua rasa sakit yang kamu berikan ini." Seringai terukir di wajah tegasnya. Pria itu bertekad akan membalas rasa sakit karena pengkhianatan yang dilakukan mantan istrinya.
Rigel bangkit dari tidurnya, pria itu terlihat menghubungi seseorang. Entah apa yang dibicarakan Rigel dengan seseorang di telpon, namun pria itu tersenyum tipis setelah mengakhiri sambungan telponnya.
"Kamu salah, jika berpikir dengan merebut Livia dariku, akan menghancurkan ku." Rigel terbahak setelah mengetahui fakta baru yang seseorang kirim padanya. "Kita lihat siapa yang akan tertawa paling akhir?"
𝘛𝘰 𝘣𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘦𝘥
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!