NovelToon NovelToon

Khilaf Semalam

Bab. 1 Khilaf Semalam Yang Membuat Candu

Happy reading

Selimut malam mulai tersingkap. Berganti sentuhan mentari pagi yang menghangatkan bumi.

Membangunkan insan yang masih serasa enggan membuka mata karena raga-nya terasa lelah seusai melakukan ritual semalam.

Tubuh menggeliat diikuti sepasang netra yang mulai terbuka perlahan, mengerjap_menyesuaikan cahaya di dalam kamar yang tak lagi temaram karena pancaran sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela.

Kedua sudut bibir melengkung, membentuk seutas senyum.

Terbayang dalam ingatan, hal termanis yang dilakukannya semalam bersama Dira. Wanita yang saat ini masih tampak lelap di dalam pelukan.

Menyatukan ra-ga. Mereguk kenikmatan surga dunia. Memiliki wanita yang dicinta meski hanya satu malam.

"Selamat pagi, Dira." Kecupan lembut berlabuh di kening Dira dan sukses membuat Dira terbangun dari mimpi.

Mimpi yang dirasa nyata. Dan sebenarnya memang nyata.

Sepasang netra Dira terbuka perlahan, lalu mengerjap.

Sepersekian detik wanita berparas ayu itu terdiam untuk mengumpulkan kesadaran.

Namun setelah benar-benar tersadar, manik mata Dira seketika membulat sempurna kala wajah Dariel memenuhi ruang pandang.

Ia terkejut sekaligus marah ketika menyadari kelancangan Dariel. Memeluk dan berbaring di atas ranjang yang sama dengannya.

"Dariel, kamu --"

Dariel mengulas senyum dan memangkas ucapan Dira dengan melabuhkan kecupan di bibir.

"Kurang ajar!" Dira melayangkan tangannya dan bermaksud memberi hadiah tamparan pada Dariel yang dirasa telah berbuat kurang ajar.

Namun sebelum tangan Dira menyentuh pipi, Dariel berhasil menangkap dan membuat wanita yang telah digau-linya itu tak berkutik karena tatapan mata yang mampu menghipnotis.

"Apa kamu lupa hal termanis yang kita lakukan semalam, Ra?" Bisikan Dariel terdengar lembut, membuat tubuh Dira seketika meremang.

Dira mematung. Bibirnya tak kuasa untuk berucap karena terbius rasa yang membuat raganya tak berdaya.

"Nadhira Farzana, coba kamu ingat kembali ritual yang telah kita lakukan semalam." Dariel kembali berbisik lembut dan memaksa Dira untuk mengingat kejadian semalam yang dirasa hanya mimpi.

                 ---

Tiga jam, Dira menanti Aldi yang berjanji akan menemuinya malam ini di Sunshine Cafe. Tempat pertama mereka bertemu. Namun yang dinanti seolah melupakan janji.

Berpuluh-puluh kali Dira mengirim chat ke nomor WA Aldi. Namun tak satu pun chat darinya dibaca, apalagi dibalas oleh kekasihnya itu.

Bahkan, telepon dan vidio call darinya pun tak diangkat.

Tentu saja Dira merasa kecewa, marah, dan teramat sedih karena penantiannya selama tiga jam sia-sia.

Dira yakin, kali ini Aldi tidak akan menepati janjinya lagi.

Bodoh! Kenapa aku masih menunggunya?

Ia merutuki dirinya sendiri.

Cinta membuat otak cerdasnya menjadi tumpul dan tak bisa tegas menghadapi sang kekasih yang sering kali mengabaikan janji.

Dira tetap bertahan dengan hubungan yang sudah terjalin selama tiga tahun karena cintanya pada Aldi. Meski mencintai Aldi sama seperti menggenggam kaktus yang penuh duri. Ke mana hubungan mereka akan bermuara pun seolah tak pasti.

Air langit mulai membasahi bumi, bersamaan dengan detik mesin waktu yang kini menunjuk angka dua belas malam.

Sepi menuntun jari lentik untuk mendial nomor Dariel--sahabatnya.

Tiga puluh menit berlalu, Dariel tiba di hadapan Dira yang kini berdiri menanti di depan pintu gerbang Sunshine Cafe.

Rupanya cafe tersebut telah tutup lima belas menit yang lalu.

Tanpa banyak kata, Dariel segera menuntun Dira masuk ke dalam mobil.

Wajah Dira tampak pucat, tubuhnya menggigil kedinginan karena guyuran air langit.

"Ra, aku antar ke rumah ya?"

Dira menggeleng pelan. "Jangan, Riel," ucapnya lemah.

"Lalu, kamu mau diantar ke mana?"

"Ke rumah Aldi. Dia sudah berjanji akan menemui ku malam ini."

"Ck, si breng-sek itu nggak mungkin menepati janji lagi. Dia lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang menemui kamu. Buktinya, malam ini dia membuatmu menunggu lagi. Tapi apa? Dia nggak datang 'kan? Dan malah membiarkanmu menggigil kedinginan seperti ini."

"Riel, ada yang perlu aku omongin sama dia. Jadi, antarkan aku ke rumahnya."

"Sudahlah, nggak usah menemui dia!"

"Tapi, Riel --"

"Apapun alasanmu, aku nggak bakal mengantarmu ke rumah pria breng-sek itu, Ra."

Dariel selalu terpancing emosi setiap Dira membicarakan Aldi.

Ia sungguh muak dengan sikap Aldi yang sering tak acuh pada Dira dan teramat gila kerja.

Dira terdiam. Kali ini, ia enggan berdebat dengan Dariel dan memilih untuk memejamkan mata karena tubuhnya serasa lemah. Seolah tiada daya.

Lelah dan kehilangan semangat. Itu yang dirasa Dira saat ini.

Angin bertiup kencang, disertai air langit yang turun semakin deras.

Tanpa bertanya pada Dira, Dariel memutuskan untuk menghentikan laju kendaraan besinya dan bermalam di Omah Kenangan--penginapan bernuansa Jawa romantis, sebab ia merasa bingung harus mengantar Dira kemana.

Dira tidak mau diantar pulang ke rumah. Sementara dia tidak ingin mengantarkan Dira ke rumah Aldi.

Setelah memesan satu kamar, Dariel membawa Dira masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuh mungil sahabatnya itu di atas ranjang yang terbalut kain sprei berwarna putih dan bertabur bunga mawar, selayaknya ranjang yang dipersiapkan untuk pengantin baru.

Dariel dilanda ragu.

Ia tidak tega melihat Dira yang tertidur dengan pakaian basah dan ingin membantu melepas pakaian yang dikenakan oleh sahabatnya itu. Namun serasa tidak mungkin.

Ia tidak ingin dianggap lancang dan kurang ajar oleh Dira.

"Ra, aku harus gimana?"

Dariel duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Dira.

Panas.

Dira demam.

Karena teramat mengkhawatirkan keadaan Dira, Dariel menghempas ragu dan memberanikan diri untuk melepas pakaian yang membalut tubuh Dira.

Namun sebelum melakukannya, Dariel mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang temaram, sehingga tubuh Dira tak begitu terekspos.

Dengan tangan gemetar, Dariel membuka kancing kemeja yang dikenakan Dira, hingga terlepas satu persatu.

Berulang kali diraupnya udara dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan seraya menghempas gejolak rasa yang dengan lancangnya hadir.

"Ra, ma-af. A-aku terpaksa melepas semua pakaianmu," ucapnya terbata sambil menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Dira yang kini tampak polos, tanpa sehelai benang pun yang membalut.

"Riel, dingin." Dira mengigau. Tangannya menarik ujung kaos Dariel cukup kuat dan membuat tubuh Dariel terjatuh tepat di atas da-da.

"Ra --"

Dariel menelan saliva saat da-da bidangnya membentur bagian tubuh Dira yang terasa empuk.

"Ra --"

"Dingin, peluk aku --" Dira kembali mengigau dengan suaranya yang terdengar lemah. Seakan teramat memohon untuk dipeluk.

"Baiklah, Ra. Aku akan memelukmu."

Rasa kasihan memaksa Dariel untuk memenuhi permintaan Dira.

Ia benahi posisi tubuh dan berbaring di samping Dira. Kemudian membawa tubuh polos sahabatnya itu ke dalam pelukan.

Hasrat tak kuasa dicegah.

Naf-su mengalahkan logika dan membuat lupa.

Kesucian yang seharusnya dijaga, terno-da di malam ini. Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.

Khilaf semalam, menodai janji suci persahabatan yang pernah mereka kumandangkan.

Dariel dan Dira terlupa. Mereka terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga, tanpa ikatan suci yang dihalalkan.

"Ra, maaf."

Dariel melabuhkan kecupan dalam di kening Dira seusai menuntaskan ha-srat.

Sementara Dira, ia tampak terlelap.

Baginya, ritual penyatuan ra-ga yang dilakukannya bersama Dariel hanyalah mimpi.

Mimpi terla-rang yang hadir karena jiwa nya serasa hampa dan menginginkan curahan cinta kasih dari seorang pria berstatus kekasih.

"Ra --"

Suara Dariel memecah kaca lamun.

Kristal bening yang semula menganak di kelopak mata, kini terjatuh membasahi pipi.

Dira tak kuasa berkata-kata, apalagi mengangkat wajah--menatap pria yang telah diizinkannya meno-dai Marwah.

"Ra, maaf."

Dariel menatap lekat wajah Dira yang terlihat sendu dan terbingkai air kesedihan.

"Ra, maafin aku." Kata maaf kembali terucap disertai usapan lembut jari jemari--menyeka wajah ayu yang tampak basah.

Dariel teramat menyesal.

Batinnya merutuki dirinya sendiri karena telah membuat wanita yang dicinta hancur dan meneteskan air mata.

"Kamu nggak sepenuhnya salah, Riel. Tapi aku --"

"Andai aku nggak menunggunya sampai larut malam, mungkin kita nggak akan --" Dira menangis tergugu dan meremas selimut yang masih menutupi tubuh polosnya.

Ia sungguh tak mampu melanjutkan kata-kata karena kesedihan yang dirasa teramat mendalam dan membuat tenggorokannya serasa tercekat.

Kesucian yang semestinya dipersembahkan untuk sang kekasih halal, telah diserahkan pada sahabatnya sendiri. Bahkan tanpa didasari oleh rasa cinta dan ikatan suci--pernikahan.

Dariel tak kuasa menyaksikan Dira yang terlihat sedih dan teramat hancur. Ulu hatinya terasa nyeri.

Direngkuhnya tubuh Dira, lalu dibawanya ke dalam pelukan seraya mentransfer energi positif untuk memberi rasa tenang.

"Ra, aku bakal bertanggung jawab. Aku janji akan segera menikahi kamu."

Dira menggeleng dan mendorong pelan tubuh Dariel, sehingga pelukannya terurai.

"Nggak, Riel."

"Why? Aku yang merenggut kesucian-mu, aku juga yang harus bertanggung jawab, Ra."

"Riel, anggap ... khilaf yang kita lakukan semalam nggak pernah terjadi. Cukup, kita saja yang tau."

"Tapi, Ra --"

"Aku mohon, Riel."

"Ra --"

"Kalau kamu masih menyayangi aku sebagai sahabat, tolong penuhi permintaanku. Aku mohon, rahasiakan semua yang terjadi semalam. Jangan beri tahu ayah dan bundaku, apalagi Aldi. Please, Riel!"

Dariel meraup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.

Sulit baginya untuk memenuhi permintaan Dira, setelah apa yang terjadi semalam.

Candu. Ia candu menyentuh tubuh yang semalam menyatu dengan tubuhnya.

Ingin memiliki utuh. Namun saat ini, serasa tidak mungkin.

Dariel cukup tahu diri. Yang dicintai Dira bukan dirinya, tetapi Aldi dan dia hanya berperan sebagai sahabat.

Tempat untuk bersandar dan mencurahkan isi hati, ketika Dira merasa sepi, hampa, dan terluka.

🌹🌹🌹

Bersambung

Bab. 2 Tanda Merah

Happy reading

"Riel, aku mau mandi." Lirih suara Dira memecah sunyi yang sempat menyelimuti seisi ruang dan sukses mengalihkan perhatian Dariel dari layar gawai.

Rupanya Dariel tengah memesan satu setel baju untuknya dan untuk Dira melalui aplikasi berlogo huruf G.

Tak seperti biasa, kali ini Dira merasa malu dan canggung saat Dariel menatap wajahnya.

Bayangan ritual semalam tiba-tiba hadir dan menari di kepala.

Tepatnya, saat ia meminta Dariel untuk kembali menghujamkan bagian tubuhnya yang tumpul ke dalam sela-put marwah.

Pelan, lama, dan semakin dalam menghujam. Diiringi sentuhan jemari tangan yang bermain nakal di atas bukit, tetapi lembut dan melenakan.

Dira merasa candu dan ingin terus mencecap kenikmatan yang baru pertama kali dirasa, meski meninggalkan sensasi perih di bagian tubuhnya yang telah terkoyak.

Sayang, ritual semalam bukan sekedar mimpi. Namun kenyataan yang menodai Marwah. Bahkan mungkin menghancurkan masa depan yang telah dirangkai indah.

Gila!

Dira merutuki dirinya sendiri. Ia tidak menyangka jika kehampaan jiwa menjadikannya gila belaian, selayaknya seorang wanita malam yang mendamba sentuhan.

"Butuh bantuan ku?" Suara Dariel menyadarkan Dira dari lamun dan membuatnya buru-buru menggeleng.

"Nggak," jawabnya singkat.

Dira segera memalingkan wajah untuk memutus pandangan netra Dariel yang tak beralih dari wajahnya, lalu membawa tubuhnya bangkit dari posisi berbaring.

Sebelum beranjak dari ranjang, Dira membalut tubuh polosnya dengan selimut agar tak terekspos.

Perih kian terasa di bagian marwah saat Dira berusaha menapakkan kaki di lantai. Ia serasa tak sanggup berdiri, apalagi berjalan.

Entah berapa kali Dariel mengoyak sela-put marwah, sehingga membuat Dira tak berdaya untuk sekedar menggerakkan kaki.

Tanpa aba-aba, Dariel menyambar dan membopong tubuh Dira.

Dira pasrah saat Dariel membawanya masuk ke dalam kamar mandi, lalu membaringkannya di dalam bathtub.

"Makasih," ucap Dira lirih. Namun terdengar oleh Dariel dan mencipta sebaris senyum yang teramat manis.

Entah mengapa, saat ini wajah Dariel terlihat begitu tampan di mata Dira. Bahkan melebihi ketampanan seorang Aldi.

Manik mata berwarna cokelat, hidung mancung, bentuk bibir yang terlihat sek-si, dan kulit putih tanpa setitik pun noda.

Dira segera menundukkan wajah. Ia tidak ingin berlama-lama menatap paras rupawan yang tersaji di hadapan dan mungkin akan membuatnya kembali khilaf.

"Jangan lama-lama mandinya, Ra. Kalau sudah selesai, segera panggil aku. Nggak usah merasa sungkan apalagi malu. Aku sudah melihat semuanya."

Ucapan Dariel sukses melukis rona merah di wajah Dira dan membuatnya kembali teringat ritual semalam.

Rasa-rasanya, ia ingin segera hijrah ke Planet Pluto untuk menghindari Dariel karena saking malunya.

"Aku tinggal dulu ya." Dariel kembali berucap, lalu menutup pintu kamar mandi. Meninggalkan Dira yang seolah enggan membalas ucapannya.

Dariel berpikir, Dira masih marah dan kecewa padanya.

Namun ternyata pikirannya salah. Kemarahan dan kekecewaan Dira menguap, karena rasa malu yang lebih mendominasi.

Setelah memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat dan suara langkah kaki Dariel tak terdengar lagi, Dira menghela napas lega dan melepas selimut yang membalut tubuhnya.

Hampir satu jam Dira berendam dan memanjakan tubuhnya dengan air hangat. Wangi dan menenangkan, karena air di dalam bathtub dicampur dengan aneka bunga yang menguarkan aroma khas.

Perih yang dirasa mulai berkurang dan tubuh yang semula terasa remuk, kini kembali segar.

Puas berendam, Dira lantas membawa tubuhnya keluar dari dalam bathtub.

Ia berdiri di depan kaca yang tergantung di dinding kamar mandi, lalu memeriksa seluruh bagian tubuh.

Manik matanya membulat sempurna, bibirnya menganga lebar ketika mendapati tanda merah yang ditinggalkan oleh Dariel.

Hampir di seluruh bagian tubuh. Bahkan di bagian bawah pu-sar pun tak lepas dari tanda itu.

Gila!

Dira bergidik, lalu segera mengenakan handuk kimono untuk menutupi tubuhnya.

Senyum yang teramat manis tersuguh saat ia keluar dari dalam kamar mandi, diiringi tatapan yang menyiratkan makna.

Namun Dira enggan mengacuhkan makna tatapan itu, sebab ia tak ingin kembali terlena.

"Sudah seger, Ra?" Dariel menyapa dan berjalan mendekat.

"Sudah." Dira menjawab singkat, tanpa menatap lawan bicara yang kini berdiri tepat di hadapan.

"Sudah bisa jalan sendiri?"

"Hm."

"Aku sudah siapin kemeja dan celana kain buat kamu. Beserta ... dalamannya. Mau dibantu, atau --"

"Aku bisa memakainya sendiri," sahutnya memangkas ucapan Dariel.

"Baiklah. Aku mandi dulu. Setelah mandi, kita sarapan. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu."

Dira membalas ucapan Dariel dengan mengangguk ragu.

Ia ragu untuk mengamini ucapan Dariel, sebab saat ini nafsu makannya serasa hilang. Yang diinginkannya segera pulang ke rumah dan menjauh dari sahabatnya itu.

Disaat Dariel sedang asyik dengan ritual mandinya, Dira buru-buru mengenakan pakaian yang telah disiapkan oleh Dariel di atas ranjang.

Ia mematut diri di depan kaca, sembari menyisir rambutnya yang panjang dan hitam.

Cantik dan terlihat lebih fress.

Dalam benak berkata, mungkin ritual semalam memang diidamkannya. Namun sayang dengan orang yang salah. Bukan dengan kekasih halal yang dicinta.

Menyesal dan merasa berdosa? Tentu saja. Tapi khilaf terlanjur dilakukan dan tidak bisa ditebus hanya dengan penyesalan. Apalagi dengan menyalahkan diri sendiri dan bunuh diri.

"Ra, lupakan kejadian semalam! Anggap khilaf yang kamu lakukan bersama Dariel nggak pernah terjadi." Dira bermonolog lirih. Namun terdengar oleh Dariel yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan mencipta senyum di bibirnya.

Dariel yakin, Dira tidak akan bisa melupakan khilaf yang mereka lakukan semalam. Apalagi mereka melakukannya tanpa paksaan dan seakan enggan mengakhiri.

Andai Dira mengizinkannya untuk bertanggung jawab, maka hari ini juga Dariel akan menikahi sahabatnya itu.

"Ra, aku sudah selesai ganti baju," ucapnya seusai mengenakan kaos berwarna putih dan celana cargo pendek berwarna senada.

"Kita sarapan yuk!" imbuhnya, lalu meraih tangan Dira untuk dibawa ke dalam genggaman. Namun Dira segera menepis.

"Riel, aku nggak lapar. Aku mau pulang sekarang."

"Tapi aku lapar, Ra."

"Kamu sarapan sendiri. Aku bisa pulang naik taxi atau ojek."

"Nggak. Aku yang akan mengantarmu. Kita bisa sarapan di mobil."

Dariel berusaha memaklumi sikap Dira yang terkesan menolaknya.

Meski berada di dalam mobil yang sama dan duduk bersebelahan, Dariel dan Dira saling membisu.

Tidak ada kata yang terucap. Hanya terdengar alunan lagu berjudul 'Mangu' yang diputar oleh Dariel.

"Ra, maaf." Dariel memecah suasana dan berharap Dira mengeluarkan suara. Meski hanya satu kata.

"Aku yang seharunya minta maaf, Riel." Sesuai harapan Dariel, Dira yang semula membisu kini berkenan mengeluarkan suara.

"Boleh aku bertanya?" sambungnya. Namun tanpa menatap lawan bicara.

Dariel melirik sekilas ke arah Dira dan menarik kedua sudut bibir.

"Tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan?"

Dira merasa ragu. Namun keraguan itu segera dihempas karena rasa ingin tahu membuat jiwa kepo nya meronta.

"Riel, sudah berapa wanita yang pernah kamu gau-li?"

"Baru sekali. Dan wanita itu kamu," jawabnya--jujur. Tanpa mengalihkan fokus yang tertuju pada jalanan di depan.

"Benarkah?" Dira kembali bertanya.

"Tentu saja."

"Tapi, kenapa semalam ... kamu seperti pria yang sudah lihai dan sering melakukan itu?"

Dariel terkekeh, lalu menepikan mobil di bahu jalan sebelum menjawab pertanyaan Dira yang terkesan ambigu.

"Ra, kamu pasti mengira ... aku berbohong. Kamu nggak percaya dengan jawabanku tadi. Tapi demi Tuhan, hanya kamu wanita yang pernah aku gau-li. Aku nggak menyangka jika keisenganku membaca buku yang berjudul Asmaraloka malah membuatku pandai dan lihai memanjakan wanita yang aku gau-li."

Lagi-lagi ucapan Dariel sukses melukis rona merah di wajah Dira.

Ia menyesal telah bertanya hal yang ambigu pada Dariel dan ujung-ujungnya malah mempermalukan dirinya sendiri.

Dira bodoh! Kenapa malah bertanya hal yang memalukan.

Dira merutuki dirinya sendiri. Tentu saja hanya di dalam hati dan tak terdengar oleh Dariel yang saat ini menatapnya penuh arti.

🌹🌹🌹

Bersambung

Bab. 3 Cara Berjalan

Happy reading

Suasana rumah tampak sepi ketika Dira menginjakkan kaki di ruang tamu.

Hanya terdengar suara Milah yang sedang bersenandung.

Suara itu berasal dari arah dapur. Tapi menggema sampai ke ruang tamu.

Dira berjalan pelan sambil menahan sensasi perih yang masih tersisa.

Ia berharap Milah tidak mendengar langkah kakinya.

Tapi sayang, wanita paruh baya itu tiba-tiba muncul dan menyapa, sehingga membuatnya terkesiap.

Dira berusaha menghalau rasa takut yang kini memenuhi ruang pikir.

Ia takut jika Milah menyadari cara jalannya yang berbeda dan bertanya macam-macam.

"Mbok, Ayah dan Bunda sudah berangkat ke kantor?" Dira sekedar berbasa-basi.

"Sudah, Mbak. Baru saja."

"Oh. Simbok lanjut masak gih. Aku mau ke kamar."

"Simbok sudah selesai masak dari tadi, Mbak. Sudah nyuci piring dan ngepel juga."

"Eng, ya udah Simbok istirahat saja sambil nonton TV."

"Waduh, biasanya 'kan jam segini Simbok menemani Mbak Dira ngobrol, kalau Mbak Dira ndak berangkat ke rumah sakit."

"Tapi, Mbok ... aku --"

"Oya, Mbak. Semalam Tuan dan Nyonya bingung. Mereka ndak tau harus mencari Mbak Dira ke mana. Tuan dan Nyonya khawatir karena nomor Mbak Dira ndak aktif. Ditelepon ndak nyambung, di chat cuma centang satu. Mau lapor polisi harus nunggu dua puluh empat jam. Minta tolong Damkar, nanti malah mengganggu tetangga yang sedang tidur nyenyak," ujar Milah panjang lebar, memangkas ucapan Dira.

"Jam berapa mereka menelepon, Mbok?"

"Sekitar jam satu malam, Mbak. Begitu pulang dari Jakarta, Tuan dan Nyonya mencari Mbak Dira. Ya Simbok bilang saja kalau Mbak Dira baru ketemuan sama Mas Aldi."

"Terus --"

"Karena nomor Mbak Dira ndak bisa dihubungi, Nyonya menelepon Mas Aldi. Eh ternyata hp Mas Aldi ketinggalan di rumah dan baru menelepon balik pagi tadi."

"Kata Bunda, Aldi ngomong apa saja, Mbok?"

"Kata Nyonya, Mas Aldi bilang ... semalam ndak jadi ketemuan sama Mbak Dira karena ada meeting mendadak dengan klien. Sialnya, hp Mas Aldi malah ketinggalan di rumah dan Mas Aldi lupa ndak ngabarin Mbak Dira dulu sebelum berangkat meeting."

Dira menghela napas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.

Kesal, marah, dan kecewa.

Ia serasa lelah mempertahankan hubungannya dengan pria yang teramat egois.

Bukan kali pertama Aldi memperlakukannya seperti itu.

Membiarkannya menunggu tanpa memberi kabar.

"Semalam, sebenarnya Mbak Dira ada di mana? Dan dengan siapa?"

Dira terdiam dan tampak berpikir. Ia bingung harus menjawab apa.

"Mbak --"

"Mbok, aku ingin istirahat. Simbok istirahat juga ya, tapi di kamar Simbok sendiri. Sambil menonton drama kesukaan Simbok," ucapnya. Kemudian mengayun langkah dan menaiki anak tangga. Pelan dan sedikit mengangkang, sehingga membuat Milah menaruh curiga.

"Kenapa cara jalan Mbak Dira seperti itu ya? Apa jangan-jangan --" Milah bermonolog lirih, lalu bergegas menyusul Dira yang sudah sampai di ujung tangga.

Pikirannya menjadi tak tenang saat melihat cara berjalan Dira yang berbeda dan mencurigakan.

Seperti cara berjalan seorang wanita yang baru saja di unboxing.

"Mbak, sebenarnya apa yang sudah terjadi pada Mbak Dira?"

Milah memberanikan diri bertanya pada Dira setelah berhasil menyusulnya.

Pandangan netranya fokus tertuju pada manik mata Dira dan menyiratkan rasa khawatir.

Bagi Milah, Dira bukan sekedar putri sang majikan.

Ia sudah menganggap Dira seperti putrinya sendiri, yang selalu dijaganya sejak masih bayi.

Dira mendaratkan bobot tubuh di sofa yang berada di pojok kamar dan meminta Milah untuk turut duduk bersebelahan dengannya.

"Mbak, apa yang sebenarnya terjadi?" Milah kembali bertanya dan menggenggam tangan Dira.

"Mbok, semalam aku menunggu Aldi sampai larut di tempat yang sudah kami sepakati berdua, Sunshine Cafe.Tapi Aldi nggak datang dan nggak memberi kabar. Karena kafe mau tutup, ditambah lagi hujan deras, aku meminta Dariel untuk menjemput ku." Dira menjeda ucapannya dan sedikit menundukkan wajah.

Ia teramat takut dan malu mengakui khilaf yang telah dilakukannya bersama Dariel.

"Lalu apa yang terjadi, Mbak?"

"Mbok, aku dan Dariel bermalam di penginapan. Lalu ... kami melakukan khilaf terlarang." Dira menjawab dengan suaranya yang terdengar bergetar dan tertahan.

Tentu saja pengakuan Dira membuat Milah teramat syok.

"Ya Allah, Mbak," ucapnya lirih.

"Aku berdosa, Mbok. Aku sudah kotor."

"Simbok mengerti apa yang Mbak Dira rasakan saat ini. Mbak Dira harus kuat, harus tabah, dan ndak boleh menyalahkan diri sendiri." Milah merengkuh tubuh Dira dan membawanya ke dalam pelukan.

Tangannya mengusap punggung Dira dengan lembut, seraya menenangkan putri majikannya itu.

"Mbak, bagaimana khilaf itu bisa terjadi? Selama ini, Mas Dariel selalu menjaga Mbak Dira dengan baik dan ndak pernah berbuat macam-macam." Milah sedikit mengurai pelukan dan menatap manik mata Dira yang terbingkai kristal bening.

"Mbok, aku yang salah. Aku yang membuat Dariel melakukan itu --"

Dira menceritakan semua yang terjadi semalam, tanpa ada satu pun yang terlewat.

Sementara Milah mendengarkan dan memperhatikan Dira, tanpa menyela.

"Mbak, bukankah Mas Dariel sudah berniat untuk bertanggung jawab. Kenapa Mbak Dira ndak bersedia? Apa karena Mbak Dira sangat mencintai Mas Aldi? Menurut Simbok, Mas Dariel lebih sayang dan pengertian sama Mbak Dira ketimbang Mas Aldi," tutur Milah.

"Mbak, benih-benih cinta bisa tumbuh seiring waktu. Simbok yakin Mbak Dira akan hidup bahagia jika menikah dengan Mas Dariel," sambungnya.

"Mbok, aku dan Dariel nggak akan pernah bisa menikah. Tembok yang menghalangi kami terlalu tinggi."

"Maksud Mbak Dira apa?"

"Mbok, keyakinan kami berbeda. Aku nggak akan pernah memaksa Dariel untuk mengorbankan iman yang diyakininya demi menikahi aku. Begitu juga sebaliknya. Iman yang aku yakini, tidak akan pernah aku korbankan demi menikah dengannya." Dira menekankan kata 'tidak'.

Yang berarti bahwa, Dira bersungguh-sungguh tidak akan mengorbankan iman yang diyakininya.

Dira sadar bahwa ia seorang pendosa dan jauh dari kata saleha. Namun tidak ada setitik pun keinginan untuk meninggalkan Tuhan-nya.

"Astagfirullah, maafkan Simbok. Simbok benar-benar lupa kalau Mas Dariel ndak seiman dengan kita, Mbak."

Milah mempererat pelukannya dan menangis tergugu. Ia teramat prihatin dengan nasib malang yang dialami oleh Dira.

"Mbok, tolong jangan beri tau Ayah dan Bunda. Simpan sebagai rahasia di antara kita."

"Tapi, Mbak. Tuan dan Nyonya berhak tau."

"Meski Ayah dan Bunda berhak tau, tapi ... tolong jangan beri tau mereka, Mbok. Aku takut jika mereka syok dan marah. Bahkan mungkin menyalahkan Dariel."

Milah terdiam dan sejenak berpikir.

"Baiklah, Mbak. Simbok mengerti. Simbok berjanji, ndak akan memberi tau siapapun, terutama Tuan dan Nyonya," ucapnya kemudian.

"Makasih, Mbok."

Cukup lama Dira dan Milah saling berpeluk diiringi isak tangis. Meluapkan kesedihan.

Namun tiba-tiba terdengar suara nada dering yang berasal dari gawai dan memecah suasana.

Setelah mengurai pelukan, Dira menyeka wajahnya yang basah dengan jemari tangan, lalu mengambil gawai yang tersimpan di dalam tas.

Ia tampak ragu untuk menggeser layar gawai dan menerima telepon yang ternyata dari Dariel.

"Telepon dari siapa, Mbak?"

"Dari Dariel, Mbok."

"Kenapa ndak segera diangkat?"

"Nggak pa-pa, Mbok. Aku ingin istirahat." Dira beralibi dan Milah memahaminya.

"Ya sudah. Sekarang Mbak Dira istirahat dulu. Ndak usah banyak pikiran." Milah mengusap punggung tangan Dira, lalu membawa tubuhnya bangkit dari posisi duduk.

"Simbok tinggal dulu, Mbak," pamitnya.

"Iya, Mbok." Dira mengangguk lemah dan membiarkan Milah beranjak pergi.

Mbak Dira, tetaplah tersenyum. Lewati ujian ini dengan ketabahan. Insya Allah, kelak Mbak Dira akan bahagia. Entah bersama Mas Dariel, atau pria lain yang mencintai Mbak Dira dengan tulus dan menerima Mbak Dira apa adanya tanpa menuntut kesucian.

Batin Milah berbisik, melangitkan doa tulus untuk Dira.

🌹🌹🌹

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!