Malam itu menjadi malam yang menegangkan, membahagiakan, sekaligus malam yang penuh dengan duka bagi seluruh pasukan militer. Suara tembakan dan jerit kesakitan masih terngiang di telinga, namun di balik itu, terselip kebanggaan pahit. Sang Letnan Citra telah mengorbankan dirinya untuk memancing musuh keluar dari tempat persembunyiannya. Pengorbanan letnan Citra itu dibayarkan manis dengan kemenangan, namun sayang, letnan itu harus gugur di medan pertempuran. Tubuhnya yang penuh luka tergeletak dingin, napas terakhirnya diembuskan bersama debu dan asap mesiu. Dunia militer telah kehilangan salah satu jenderal terbaiknya.
Sementara itu di sebuah mansion megah yang diselimuti tirai malam, teriakan histeris memecah keheningan. "Tidakkkk, tolongg siapapun tolong Leticia!" Suara itu milik Petricia, sang kembaran Leticia.
Max, gegas berlari ke belakang. Jantungnya berdebar kencang saat menyadari Leticia tidak bisa berenang. Tanpa pikir panjang, dia memutuskan untuk menceburkan diri ke kolam dan menolong Leticia. Dinginnya air langsung menusuk kulit, namun kepanikannya jauh lebih besar. Dengan sekuat tenaga, ia meraih tubuh Leticia yang mulai melayang tak berdaya. "Leticia, kumohon sayang, bertahanlah!"
Ia mengangkat Leticia ke pinggir kolam dengan tubuh gemetar. Wajah Leticia pucat pasi, bibirnya membiru, dan tubuhnya sudah mulai dingin. Max berteriak pada supirnya untuk segera menyiapkan mobil untuk membawa Leticia ke rumah sakit.
"Sayang, kumohon bangunlah, apa yang terjadi padamu sayang, bangun, jangan membuatku khawatir!" Tak terasa, air mata Max menetes, membasahi pipinya yang basah oleh air kolam. Kengerian mencekam jiwanya, membayangkan kehilangan wanita yang sangat dicintainya.
Di halaman belakang, tanpa Max sadari bahwa Petricia saat ini sedang tersenyum dalam wajah paniknya dia merasa sangat puas dengan apa yang terjadi. Senyum licik terukir di bibirnya, nyaris tak terlihat dalam kepanikan. "Kuharap kau tak pernah lagi bangun Leticiaku sayang dan tunanganmu si Max akan jatuh kepelukanku, hahahaha" gumamnya. Tawanya terdengar dingin dan penuh kemenangan.
Tanpa membuang waktu, Max langsung berlari sambil menggendong Leticia ke dalam rumah sakit. "Dokterrrr, tolong tunanganku!" teriaknya memecah keheningan lobi rumah sakit.
Para suster berlarian membawakan brankar untuk membawa calon menantu dari pemilik rumah sakit ini. Wajah-wajah mereka tegang, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun, atau pekerjaan mereka yang akan jadi taruhannya. Leticia dibawa ke dalam IGD. Di sana, para dokter dan suster sangat tegang, karena tubuh Leticia yang sudah dingin dan terbujur kaku seolah takdir tak berpihak pada mereka semua. Monitor berbunyi monoton, harapan perlahan memudar.
Dengan langkah lemas, dokter keluar dari IGD. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia sudah takut akan nasib pekerjaannya dan seluruh rekannya, karena mereka gagal menyelamatkan tunangan Tuan Max, sang pewaris tunggal dari rumah sakit ini.
"Dokter, bagaimana dengan keadaan Leticia? Dia baik-baik saja, kan?" Max terus mencecar banyak pertanyaan kepada sang dokter. Namun, dokter itu terus terdiam dan tertunduk, yang mengakibatkan Max sangat marah. "Jawab bodoh! Kau tidak bisu, bukan?"
Akhirnya, sang dokter pun menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Maafkan saya, Tuan. Nona Leticia tidak bisa saya selamatkan. Dia telah meninggal dunia Tuan." kata dokter itu dengan suara tertahan.
Max pun marah besar. Matanya memerah, tinjunya melayang meninju muka sang dokter. "Kau bodoh!! Bagaimana bisa kau membuat tunanganku meninggal? Apakah kau tidak becus menjadi dokter? Sialan kau harus membayarnya dengan nyawamu, bodoh!" Keributan itu memancing perhatian banyak orang yang ada di sekitar sana. Bahkan satpam pun ikut hadir berniat untuk memisahkan keramaian tersebut. Namun, setelah melihat siapa pelakunya, nyali satpam itu ciut, karena dia tahu siapa Max di rumah sakit itu.
Saat keadaan di luar terasa mencekam dan dokter pun hanya bisa pasrah dengan kehidupannya, tiba-tiba dari dalam ruangan muncullah seorang suster dan berteriak, "DOKTER! JANTUNG NONA LETICIA KEMBALI BERDETAK!"
Max pun melepaskan sang dokter dengan lemas. Dia mamatung dan terdiam, haru mendengar kata-kata suster itu. Setetes air mata kelegaan menetes dari matanya. Dokter itu pun seketika bangkit dan berlari ke dalam ruangan Leticia.
Max merasa hidupnya hari ini seperti di roller coaster. Tadi merasakan kepanikan, lalu keputusasaan, dan sekarang secercah harapan seperti menghampirinya. "Anda bisa berdoa pada Tuhan, Tuan agar Nona Leticia bisa kembali sehat dan kembali bersama dengan Anda lagi," kata dokter itu dari ambang pintu. "Kalau begitu, saya pamit ke dalam untuk mengecek keadaan Nona Leticia Tuan, Permisi." Setelah itu, dokter pun kembali masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa keadaan Leticia.
Syukurlah, Leticia sudah sadar. Bahkan dia terlihat baik-baik saja. Akhirnya, Leticia dibawa ke ruang perawatan.
Sedangkan Citra langsung tersentak dia terkejut karna bukan deru senapan atau bau mesiu yang menyeruak dalam indra penciumanya, melainkan aroma antiseptik yang menusuk hidung dan desingan alat medis. Tubuhnya terasa aneh, lebih ringan, dan ada rasa pusing yang melilit. Saat ia membuka mata, yang pertama kali ia sadari adalah plafon putih bersih, bukan langit-langit tenda komando atau langit malam yang penuh bintang. Dia merasakan kebingungan yang luar biasa. Dia Letnan Citra, yang seharusnya sudah gugur. Namun mengapa ia ada di sini, di tempat asing ini?
Saat dia sedang kebingungan memikirkan dia ada di mana, tiba-tiba seorang laki-laki menerobos masuk dan langsung memeluknya. "Sayang, bagaimana perasaanmu? Kamu sungguh membuatku khawatir, apa yang terjadi sampai kau bisa tenggelam?"
Citra, yang belum sepenuhnya sadar bahwa dia berada di tubuh orang lain, merasa asing dengan Max. Naluri militernya yang kuat membuatnya langsung mendorong Max dengan sangat kuat.
"Kau siapa bodoh? Kenapa kau memelukku sembarangan?" Suaranya serak dan jauh lebih lembut dari yang biasa ia dengar dari dirinya sendiri.
Max pun terkejut karena Leticia tidak mengenalinya. Wajahnya seketika pias. Dia gegas memanggil dokter karena dia takut Tianya kenapa-napa "Dokter, kenapa dia tidak mengenaliku?"
Dokter yang dipanggil Max datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya menunjukkan kebingungan saat melihat Max menunjuk ke arah Leticia yang menatap marah pada Tuan Max. "Ada apa Tuan Max? Nona Leticia sudah sadar dan kondisinya stabil" kata dokter itu, mencoba menenangkan serta menjelaskan.
"Stabil bagaimana? Dia tidak mengenali ku! Dia bilang aku orang asing! Apa yang terjadi padanya, Dokter?" Max benar-benar panik. Ia menatap dokter itu dengan tajam.
Dokter itu segera mendekati ranjang, memeriksa pupil mata Leticia, dan menanyakan beberapa pertanyaan sederhana. Citra (dalam tubuh Leticia) hanya menatapnya dengan pandangan kosong dan menggeleng. Ia merasakan sakit kepala berdenyut.
"Nona Leticia, bisa sebutkan nama Anda?" tanya dokter lembut.
Citra mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Aku... aku tidak tahu. Kepala saya sakit," jawabnya, suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri.
"Sepertinya Nona Leticia mengalami amnesia Tuan"
Max langsung lemas. "Amnesia? Bagaimana mungkin? Dia hanya tenggelam Dokter bukan kecelakaan yang parah."
Dokter menghela napas, "Tuan Max, benturan atau trauma psikologis hebat bisa memicu amnesia. Air yang dingin, shock saat tenggelam, atau mungkin ada hal lain yang mendahuluinya. Kami perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk CT scan dan MRI, untuk memastikan tidak ada kerusakan neurologis" jelasnya.
Max mengangguk cepat. "Lakukan apa pun, Dokter! Berapa pun biayanya, asalkan Leticia kembali seperti semula!"
Di sisi lain rumah sakit, Petricia menerima panggilan telepon. Bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan. "Oh, benarkah? Dia tidak mengingat apa-apa? Bagus sekali! Rencanaku berhasil, hahahaha" tawanya kecil, suara tawanya terdengar dingin dan licik. "Sekarang tinggal langkah selanjutnya. Aku akan datang menjenguknya. Max pasti akan sangat terpukul, dan di saat itulah aku akan menjadi pelabuhan hatinya" tambahnya dengan nada puas.
Petricia segera beranjak, merapikan rambutnya dan memastikan penampilannya sempurna. Ia ingin terlihat simpati, namun di dalam hatinya, ia menari di atas penderitaan kakaknya. Ia membayangkan bagaimana Max akan bergantung padanya, betapa mudahnya ia akan menggantikan posisi Leticia. Sejak kecil, Petricia selalu merasa iri pada Leticia. Leticia selalu menjadi pusat perhatian, selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan, termasuk Max, cinta pertama Petricia. Kali ini, Petricia bertekad untuk mengubah takdir itu.
Beberapa jam kemudian, Leticia menjalani serangkaian pemeriksaan. Max tidak pernah beranjak dari sampingnya, meski Leticia masih menganggapnya orang asing. Max terus berbicara padanya, menceritakan kenangan mereka, berharap bisa memicu ingatannya. Ia memegang tangannya, mengelus rambutnya, namun Citra (dalam tubuh Leticia) hanya menatapnya dengan kebingungan.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Petricia masuk dengan wajah sendu yang dibuat-buat, mata berkaca-kaca. Ia berlari ke arah Max dan memeluknya erat. "Max! Apa yang terjadi pada Leticia? Aku sangat khawatir!" katanya dengan suara parau yang dibuat-buat. Ia melirik Leticia sekilas dengan seringai tipis yang hanya bisa ia sembunyikan dari Max.
Max membalas pelukan Petricia dengan lemas. Ia merasa sedikit lega ada seseorang yang memahami kepanikannya. "Dia amnesia, Petricia. Tia tidak mengenaliku, tidak mengenali siapa pun" bisiknya.
Petricia berpura-pura terkejut. "Amnesia? Astaga, kasihan sekali Leticia. Pasti sangat berat untuknya," katanya dengan nada penuh keprihatinan palsu. Ia kemudian mendekati ranjang Leticia. "Leticia, ini aku, Petricia, kembaranmu. Apa kau ingat aku?"
Citra (dalam tubuh Leticia) menatap Petricia lama. Ada sedikit kerutan di dahinya, seolah mencoba menguraikan sesuatu yang samar di benaknya, kepingan-kepingan ingatan yang bukan miliknya. Namun, akhirnya ia hanya menggeleng lagi. "Maaf, saya tidak ingat," jawabnya, berusaha menjaga ekspresi polos.
Senyum tipis di wajah Petricia hampir tidak terlihat, namun ia tidak bisa menyembunyikan kilatan kepuasan di matanya. "Tidak apa-apa, Leticia. Kami akan membantumu mengingat semuanya," katanya. Ia kemudian menatap Max dengan tatapan penuh harap. "Aku akan selalu ada di sini, Max, untukmu dan untuk Leticia."
Max mengangguk lemah, tidak menyadari niat busuk di balik kata-kata simpati Petricia. Ia hanya berharap keajaiban datang dan mengembalikan Leticianya.
Namun, di balik itu semua, ternyata Citra mendapatkan kepingan ingatan dari si pemilik tubuh yang dia tempati sekarang. Potongan-potongan visual dan emosi mengalir, mengungkap pengkhianatan dan rencana busuk Petricia. Citra, sang letnan yang tangguh, memutuskan untuk terus berpura-pura amnesia untuk membongkar semua kebusukan adiknya. Pertempuran baru telah dimulai, bukan di medan perang, melainkan di dalam sebuah rumah sakit, di tengah intrik keluarga yang keji.
Max duduk termenung di samping ranjang Leticia, tangannya menggenggam jemari mungil yang kini terasa begitu asing baginya. Wajah pucat di depannya adalah wajah wanita yang ia cintai, namun jiwanya terasa jauh. Gadis yang ia kenal, dengan segala kepolosan dan kecanggungannya, seolah telah pergi, digantikan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenalinya, bahkan juga menatapnya dengan tajam seolah dirinya kini hidup dengan penuh kewaspadaan. Ingin sekali rasanya Max untuk memeluk dan membantu menyelesaikan segala masalah yang mengganggu pikirannya. Saat ini pikirannya melayang jauh menembus kabut kepanikan, dan kembali di masa lalu. Ia meingat dengan jelas hari ketika Leticia datang dengan segala kesederhanaan dan kemurniannya, pertama kali muncul di hadapannya dan merenggut seluruh perhatian bahkan detak jantungnya.
...*FLASHBACK ON*...
Dua tahun yang lalu, sebuah acara amal mewah diselenggarakan di ballroom utama hotel bintang lima milik keluarga Max. Gemerlap lampu kristal memantulkan kemewahan pada setiap sudut ruangan, diiringi dentingan gelas anggur dan bisikan-bisikan obrolan kelas atas. Max, yang saat itu merasa lelah dengan tuntutan kedua orang tuanya tentang mencari seorang wanita untuk dijadikan pendamping hidup. Max bertekad mencari wanita itu didalam kegiatan amal yang sedang berlangsung. Ia yang jarang tertarik pada keramaian atau wanita-wanita yang sengaja menampilkan diri dengan dandanan paling mencolok demi menarik perhatiannya. Baginya, mereka semua terlihat sama: penuh kepalsuan dan ambisi tersembunyi.
Namun sepertinya malam itu pandangannya terpaku pada satu titik yang berbeda. Di antara lautan gaun desainer dan jas mahal, Max melihat sosok mungil yang tampak kikuk di dekat meja prasmanan. Seorang gadis muda, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang sedikit kebesaran, terlihat jelas tidak nyaman dengan suasana glamor di sekelilingnya. Rambut cokelat gelapnya diikat asal, beberapa helai jatuh membingkai wajah bulatnya yang polos, sesekali ia meniup poninya yang menghalangi mata. Dia bukan tipe wanita yang biasanya menarik perhatian Max tidak mencolok, tidak modis bahkan sedikit canggung dalam gerak-geriknya.
Gadis itu, yang kemudian Max ketahui bernama Leticia, tengah berjuang keras meraih segelas punch buah dari meja prasmanan yang tinggi. Tangannya terlalu pendek, bahkan setelah ia berjinjit dengan sekuat tenaga. Max melihatnya mengerucutkan bibir lucu, matanya membulat penuh konsentrasi seperti anak kecil yang sedang berusaha meraih mainan favoritnya. Beberapa kali ia melompat kecil, namun tetap gagal. Ada sesuatu yang begitu murni dan tulus dari gerak-geriknya, jauh dari kepura-puraan atau pose anggun yang biasa ia temui di lingkungan sosialnya. Ia bahkan tak sadar menjadi pusat perhatian di mata Max.
Max tidak tahu kenapa, tetapi kakinya bergerak sendiri mendekati gadis itu. Ada dorongan aneh, semacam magnet yang tak bisa ia jelaskan. Ia yang biasanya menjaga jarak dan selalu menjaga citranya yang dingin, kini melangkah mendekat dengan satu tujuan: membantu gadis polos itu.
"Butuh bantuan?" suaranya sedikit serak, memecah konsentrasi Leticia dan mengejutkannya.
Leticia terlonjak kaget, tangannya yang hampir menyentuh gelas pun terlepas. Ia berbalik dengan cepat, wajahnya merona merah seperti tomat matang, dan matanya yang besar mengerjap polos menatap Max. Max bisa melihat rasa malu yang tulus di sana. "Oh! Maaf, saya... saya hanya mencoba mengambil minuman ini." Ia menunduk malu, seolah melakukan kesalahan besar karena ketidakmampuannya meraih segelas punch.
Max mendapati dirinya tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang jarang ia tunjukkan di depan orang asing, apalagi di acara formal seperti ini. Kepolosan itu benar-benar menggemaskan dan entah kenapa, menenangkan jiwa Max yang selalu diselimuti ambisi. "Tidak apa-apa. Biar saya bantu." Max dengan mudah meraih gelas punch itu dan menyodorkannya pada Leticia. Tingginya yang menjulang membuatnya tak perlu berusaha keras.
"Terima kasih banyak!" kata Leticia, matanya berbinar cerah seperti anak kecil yang baru saja diberi permen. Senyumnya begitu tulus dan murni, tanpa sedikit pun polesan atau perhitungan. Senyum itu langsung mengikat hati Max. Sebuah perasaan aneh, hangat, dan belum pernah ia rasakan sebelumnya, menjalar di dadanya. Itu adalah jatuh cinta pada pandangan pertama, sebuah konsep yang selalu ia anggap omong kosong bualan para pujangga, namun kini ia merasakannya sendiri, nyata dan tak terbantahkan. Dunia Max yang tadinya hanya berputar pada angka dan keuntungan, kini memiliki fokus baru: gadis dengan senyum polos bernama Leticia.
"Nama saya Max," katanya, suaranya terasa lebih lembut dan hangat dari biasanya. Dia bahkan tak peduli jika ada rekan bisnis yang melihatnya tersenyum tulus kepada seorang gadis polos.
"Leticia," gadis itu membalas, senyumnya tidak memudar, justru semakin lebar.
Sejak malam itu, Max tak bisa melepaskan Leticia dari pikirannya. Ia terpesona oleh kepolosan Leticia yang kontras dengan dunia yang biasa ia geluti. Leticia adalah sebuah oase ketulusan di tengah gurun kepalsuan dan ambisi yang mengelilinginya. Ia mencari tahu tentang Leticia dan menemukan bahwa gadis itu adalah seorang mahasiswi sederhana yang datang ke acara amal tersebut sebagai sukarelawan, bukan sebagai tamu undangan. Hal itu semakin menguatkan pesonanya.
Max mulai mendekatinya, awalnya dengan dalih bantuan atau obrolan ringan, namun tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ia ingin lebih. Ia ingin melindungi kepolosan itu, menjaganya dari kerasnya dunia yang bisa menghancurkan kemurnian sepertinya. Ia ingin menjadi satu-satunya yang melihat senyum tulus itu setiap hari. Mereka mulai berkencan, dan setiap pertemuan selalu terasa segar dan berbeda dari hubungan-hubungan Max sebelumnya. Leticia tidak pernah meminta apa-apa, hanya kebersamaan. Leticia tidak pernah menilai Max dari statusnya, hanya dari hati.
...*FLASHBACK OFF*...
Max menghela napas panjang, kembali ke kenyataan pahit di kamar rumah sakit. Ia menatap wajah Leticia yang terbaring lemah. "Tia-ku yang dulu... akankah kau kembali?" gumamnya, suaranya dipenuhi kepedihan. Ia tahu ini bukan Leticia yang dulu sepenuhnya, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih kuat dan misterius dari tatapan mata itu saat ia memandangnya tadi. Bahkan, ada kilatan tajam yang mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Namun, Max bersumpah akan melakukan apa saja untuk mengembalikan Leticia-nya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi segala kebohongan yang kini mulai tercium di balik insiden tenggelamnya Leticia. Ia hanya berharap di balik mata asing itu, jiwa Leticia yang polos masih ada dan menunggunya, dan dia bisa kembali bersama dengan Leticia yang polos dan murni itu.
Max pun sudah meminta pada orang suruhannya untuk segera mencari tau apakah jatuhnya Leticia ke dalam kolam kemarin merupakan kecelakaan biasa, atau memang ada unsur kesengajaan dan ada dalang dibalik semua ini.
Beberapa hari yang terasa panjang dan penuh adaptasi telah berlalu. Leticia, atau lebih tepatnya Citra yang kini menempati raganya, akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Keputusannya untuk tetap berpura-pura amnesia agar bisa membongkar semua kebusukan Petricia telah bulat dan tak tergoyahkan. Citra, sang jenderal dengan pengalaman tempur yang tak terhitung, tahu betul bagaimana memainkan peran. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang terlalu mewah, aturan sosial yang asing dan terkadang terasa konyol, dan yang terpenting, dengan kehadiran Max yang terus menempel padanya seperti perangko.
Sejak kepulangannya, aura Leticia memang berubah drastis, nyaris tak dikenali oleh siapa pun yang mengenalnya dulu. Gadis yang dulu ceria, polos, dan sedikit kikuk itu kini tampak lebih pendiam, tenang, bahkan cenderung dingin. Tatapan matanya yang dulu penuh kejujuran polos kini seringkali menyimpan kedalaman dan ketajaman yang sulit diartikan, seolah ada rahasia besar yang tersimpan di baliknya. Senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya kini jarang terlihat, tergantikan oleh ekspresi datar yang sesekali diselimuti kerutan berpikir, terutama saat ia mengamati sekeliling. Gerak-geriknya pun berubah; dia bergerak dengan efisien, terkadang terlalu presisi untuk seorang gadis biasa, mengingatkan pada disiplin militer. Para pelayan di rumah pun merasakan perubahan itu. Mereka melihat Leticia yang baru lebih dingin, lebih waspada, seperti seorang prajurit yang selalu siaga menghadapi musuh tak terlihat. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, namun tak ada yang berani mengungkapkan kecurigaan secara terbuka.
Max, bagaimanapun, tidak menyerah. Cinta dan kesetiaannya pada Leticia seolah tak tergoyahkan oleh perubahan sikap sang kekasih. Siang dan malam ia selalu berada di sisi Leticia. Ia menjaga Leticia dengan penuh perhatian, membawakannya makanan yang baru dimasak oleh pelayan, membacakan buku-buku favorit Leticia yang lama, dan tanpa lelah menceritakan kembali kenangan-kenangan manis mereka. Max berharap setiap cerita, setiap sentuhan, bisa memicu kembali ingatan Leticia yang hilang. Ia tak peduli dengan perubahan sikap Leticia yang menjadi lebih dingin dan acuh tak acuh; baginya, Leticia tetaplah "Tia-nya" yang harus ia lindungi dan sembuhkan dari trauma amnesia ini.
Setiap kali Max mencoba menggenggam tangannya atau memeluknya, Citra harus mengerahkan seluruh konsentrasi dan kekuatannya untuk tidak bereaksi secara militan, tidak menarik diri atau bahkan secara reflek melumpuhkan Max. Tubuh Leticia yang mungil dan lembut masih terasa asing baginya, apalagi sentuhan kasih sayang yang tak pernah ia alami sebagai seorang jenderal di medan perang. Ia tahu ia harus membiasakan diri dengan sentuhan ini, dengan peran sebagai kekasih Max, demi menuntaskan misi balas dendamnya. Terkadang, tatapan khawatir Max menyentuh sisi kemanusiaannya, menimbulkan sedikit rasa bersalah karena telah membohongi pria yang begitu tulus ini. Namun, ia tak punya pilihan.
Kedekatan Max yang tak tergoyahkan ini tentu saja menjadi duri dalam daging bagi Petricia. Ia sering terlihat mengawasi mereka dari kejauhan, dari balik pilar atau ambang pintu, dengan senyum manis palsu di bibirnya, namun matanya memancarkan amarah yang membara dan dengusan frustrasi. Rencananya adalah Max akan menjauh karena Leticia yang amnesia dan aneh, lalu dia akan masuk sebagai "pelabuhan hati" yang pengertian dan siap menggantikan. Tapi Max malah semakin menempel! Seringai puasnya di hari Leticia masuk rumah sakit kini berubah menjadi gerutuan dalam hati yang nyaris tak tertahankan.
"Apa-apaan ini? Kenapa Max malah semakin lengket seperti lintah? Seharusnya dia jijik melihat Tia yang tidak lagi secerdas dan seceria dulu!" batin Petricia suatu malam, saat ia melihat Max menyuapi Leticia dengan sabar di ruang makan. Pemandangan itu bagai api yang menyulut bara cemburu dihatinya. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya menusuk telapak tangan, mencoba meredam gejolak amarahnya yang mengancam meledak. Untuk saat ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Max adalah pewaris tunggal rumah sakit keluarga mereka dan sangat dihormati. Bertindak gegabah hanya akan membahayakan posisinya, bahkan mungkin tercium niat busuknya. Jadi, Petricia hanya bisa memaksakan senyum ramah dan terus berbuat baik di depan semua orang, berpura-pura menjadi saudari kembar yang paling khawatir dan peduli. Dia bahkan sering membawakan makanan atau minuman favorit Leticia, meski dalam hati ia berharap itu semua menjadi racun yang mematikan.
Di tengah ketegangan yang menyelimuti rumah itu, sebuah kabar mengejutkan tiba, memicu kepanikan baru. Jauh di luar negeri, di pusat kota yang sibuk, Tuan William dan Nyonya Clara, orang tua Leticia dan Petricia, sebenarnya tengah disibukkan dengan masalah besar di salah satu kantor cabang perusahaan mereka. Urusan penting itu menuntut kehadiran langsung mereka, mengharuskan mereka menunda kepulangan ke Indonesia. Namun, semua itu seketika terlupakan dan terasa tidak penting begitu mereka menerima telepon yang mengabarkan tentang Leticia.
"Apa?! Leticia terjatuh di kolam renang dan mengalami amnesia?" Nyonya Clara berteriak panik melalui telepon, suaranya bergetar hebat hingga terdengar jelas ke seluruh penjuru ruangan. Wajahnya pias, darah seolah mengering dari wajahnya yang biasanya anggun. Tuan William, di sampingnya, langsung menjatuhkan berkas penting di tangannya, matanya membelalak kaget.
Tanpa pikir panjang, mereka segera menginstruksikan tim mereka untuk menangani masalah kantor cabang, memutuskan untuk menunda semua pekerjaan penting yang ada di luar negeri. Kekhawatiran akan Leticia jauh lebih besar. Mereka segera bergegas kembali ke Indonesia, langkah tergesa-gesa dengan jantung berdebar kencang.
Begitu tiba di rumah, Nyonya Clara tanpa menunggu sedetik pun segera memeluk tubuh Leticia yang terbaring di sofa kamar, air matanya tumpah ruah membasahi bahu Leticia. "Sayangku, apa yang terjadi padamu? Mama sangat khawatir! Kenapa kamu bisa sampai begini, Nak?" Nyonya Clara terus-menerus melontarkan pertanyaan, suaranya penuh kepedihan..
Citra, dalam tubuh Leticia, merasa sedikit canggung dan kaku dengan sentuhan sehangat ini. Ia tidak terbiasa dengan pelukan, kehangatan, atau luapan emosi berlebihan. Sebagai seorang jenderal, sentuhan fisik biasanya hanya berarti pertempuran atau luka. Ia hanya bisa mengangguk pelan, tetap menjaga ekspresi datarnya, meskipun dalam hati ia mengamati setiap reaksi orang tua ini. Ia merasakan sentuhan Nyonya Clara yang tulus dan penuh kasih sayang, dan melihat kepanikan serta kekhawatiran yang mendalam di mata Tuan William. Ini adalah orang tua kandung Leticia. Bagaimana mereka akan bereaksi terhadap "Leticia" yang baru ini? Apakah mereka akan curiga terhadap perubahan sikapnya? Citra tahu perannya harus semakin meyakinkan, agar tak ada celah sedikit pun yang bisa membahayakan misinya.
Max, yang sedari tadi menemani Leticia, segera menjelaskan keadaan Leticia, detail demi detail, dengan suara penuh kekhawatiran dan kesedihan. Ia menceritakan bagaimana ia menemukan Leticia, proses penyelamatan, hingga diagnosis amnesia. Sementara itu, Petricia mendekat dengan wajah pura-pura sedih dan mata berkaca-kaca yang dipaksakan. "Iya, Ma, Pa. Semuanya terjadi begitu cepat. Leticia bahkan tidak mengenali Max dan aku," ucapnya, nadanya terdengar sendu dan penuh keprihatinan palsu, namun diam-diam melirik Leticia untuk melihat reaksinya, mencari tanda-tanda kecurigaan atau kesalahan.
Tuan William mengamati Leticia dengan cermat, seolah mencari petunjuk di wajah putrinya. "Amnesia total?" tanyanya kepada Max dan dokter yang ikut datang mendampingi kunjungan orang tua itu. "Apakah tidak ada cara lain? Kita akan cari dokter terbaik di dunia, ahli saraf dari mana pun! Biaya bukan masalah!"
Max mengangguk lemah. "Sudah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, Om. Dokter bilang amnesia ini bisa jadi karena trauma fisik atau psikologis yang hebat. Kita hanya bisa berharap ingatannya kembali perlahan. Semua ahli sudah mencoba, tapi hasilnya tetap sama."
Nyonya Clara terus menggenggam tangan Leticia, mengelusnya lembut, seolah mencoba menyalurkan semua energinya dan kasih sayangnya. Tatapannya penuh kesedihan, namun juga harapan yang tak pernah padam. Citra, sang jenderal, diam-diam menyusun strateginya. Kedatangan orang tua Leticia berarti lapisan intrik yang lebih tebal dan kompleks. Mereka adalah salah satu faktor yang harus diperhitungkan. Ia harus lebih berhati-hati dalam setiap langkah dan perkataannya, tapi juga harus memanfaatkan situasi ini untuk mengumpulkan lebih banyak informasi dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik tragedi Leticia. Pertarungan mentalnya baru saja dimulai, dan kali ini, ia tak hanya bertempur untuk kemenangan, tetapi juga untuk keadilan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!