NovelToon NovelToon

Semua Untuk Cinta?

AWAL

CINTA POV

Hai! Perkenalkan, namaku Cinta Aprilia Rahayu, aku adalah anak tunggal dari kedua orang tuaku.

Umurku baru menginjak usia 20 tahun. Aku kuliah di salah satu Universitas ternama di Jakarta dengan jalur beasiswa.

Hobby ku adalah olahraga, aku menyukai olahraga karena itu akan membuat tubuhku selalu sehat dan tetap terlihat proporsional tentunya.

Di kampus aku bukanlah mahasiswi yang menonjol selain karena keaktifan ku di kelas. Namun, walaupun aku bukanlah mahasiswi yang masuk dalam jajaran mahasiswi populer, aku memiliki wajah yang lumayan cantik, tinggi, dan berat badanku proporsional.

Kalau kalian ada yang tanya, apa olahraga favorit ku? Jawabannya adalah Bulutangkis. Kalian masih mau tau alasannya? Karena aku suka permainan sang Legend, Taufik Hidayat, terus sampai era nya Hendra - Ahsan, dan yang terbaru, Kevin - Marcus yang sering disebut "Minions", dan ditunggal putra ada siapa lagi kalau bukan karena ada Jonatan Christie.

Ada beberapa hal yang paling aku benci, yang pertama adalah pengkhianatan, yang kedua adalah cowok playboy yang sukanya tebar-tebar pesona kesana kemari, selanjutnya aku sangat membenci malam minggu, karena saat malam minggu akan banyak pasangan muda-mudi yang berkencan dengan pasangannya namun, itu tidak bisa aku lakukan. Mengingat kekasihku bekerja di salah satu perusahaan yang ya lumayan besar lah di kota Surabaya.

Apa aku belum mengatakannya pada kalian? Aku memiliki seorang kekasih bernama Dimas. Kami sudah berhubungan sejak aku masih SMA dan dia masih duduk di bangku kuliah. Kami sangat saling mencintai, ya walaupun kami berhubungan jarak jauh hubungan kami berjalan sangat baik. Dimas selalu menyempatkan waktu untuk pulang ke Jakarta dan menemuiku.

Oh ya, di Jakarta, aku tinggal hanya berdua bersama mamaku. Jangan tanya dimana papaku berada karena aku sangat membenci laki-laki itu. Sebenarnya aku tidak ingin membahasnya tapi karena aku tau kalian pasti kepo kan, kenapa aku bisa membenci papaku sendiri? Oke, jawabannya karena dia sudah meninggalkan aku dan mamaku demi wanita lain.

Hal itu yang membuatku sempat sangat membenci laki-laki, dimataku mereka semua sama, pengkhianat. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Dimas yang saat itu sangat keukeuh memperjuangkan hatiku. Jujur saja aku sempat meragukannya namun, dengan kegigihannya untuk mendapatkan cintaku akhirnya akupun mempercayakan hatiku seutuhnya untuk Dimas miliki. (Inget, hati bukan tubuh!).

♥️♥️♥️

ALFIN POV

Nama gue Alfin Zayn Artana, gue adalah seorang mahasiswa semester 5 di salah satu universitas ternama di Jakarta. Gak perlu gue jelasin tentang fisik gue ya, yang jelas gue itu tampan, tinggi, badan gue atletis, perut gue? Jangan ditanya, penuh kotak-kotaknya cuy, lengan gue juga kekar.

Gue adalah idola para cewek-cewek di kampus ini. Tapi jujur gak ada satupun cewek yang bikin gue tertarik. Ya, gue cuma manfaatin mereka demi kesenangan gue sendiri. Lo tau lah ya, seorang laki-laki normal pasti butuh yang namanya sentuhan. Gue gak munafik, gue emang pernah tidur sama beberapa diantara mereka tapi, gak ada satupun dari mereka yang masih segelan saat sama gue.

Jujur aja sebenernya gue dari kecil itu anak yang baik, gak pernah berani untuk nyentuh cewek. Tapi ada satu hal yang membuat gue berubah, itu karena mama. Mama udah ninggalin gue dan papa saat kita lagi susah. Mama lebih milih pergi bersama laki-laki brengsek yang sudah beristri cuma karena harta dari pada harus berjuang bersama dengan gue dan papa.

Hal itulah yang buat gue selalu memandang rendah cewek. Bahkan gue udah gak perjaka sebelum usia gue 17 tahun. Waktu itu gue pacaran sama anak SMA, ya bisa dibilang the most wanted nya tuh sekolah lah. Dan yang paling bikin gue makin gak percaya sama yang namanya perempuan, itu karena cewek gue ternyata juga udah gak segelan. Kebayang gak tuh? Gimana nyeseknya gue dipermainkan sama nyokap sendiri, dan sekarang sama pacar pertama.

Kedengerannya emang gue brengsek tapi itu karena gue sakit hati. Sejak saat itu gue memutuskan untuk gak akan pernah percaya sama yang namanya cinta dan perempuan lagi, karena keduanya menurut gue sama. Sama-sama nyakitin.

♥️♥️♥️

DIMAS POV

Hai! kenalin, gue Dimas Eka Pradipta. Gue pacarnya Cinta. Sekarang kita lagi menjalani sebuah hubungan jarak jauh, jujur aja ini berat buat gue karena gak ketemu Cinta sehari aja itu udah bikin gue sesak nafas, apa lagi ini gue tinggal jauh yang udah pasti sulit banget ketemunya.

Tapi gue sadar ini juga untuk masa depan gue dan juga Cinta. Kita menjalani hubungan ini cuma didasari saling percaya dan saling jujur aja sih. Tapi jujur aja banyak banget penggoda berkeliaran disekitar gue. Tapi mengingat perjuangan gue yang hampir 2 tahun nungguin Cinta mau terima cinta gue, gue selalu tutup mata kalau itu para penggoda udah memulai aksinya.

Gue berharap gue bisa bertahan ngatasi godaan-godaan ini sampai akhirnya gue bisa halalin Cinta. Karena gue emang beneran cinta sama dia. Dan gue juga percaya sama dia kalau dia gak akan khianatin gue.

#####

ALFIN POV

"Kenapa sih, Al? Muka lo kusut bener? Si Felly gak ngasih lo jatah?" Ucap Fery, salah satu sahabat ku.

"Temen baru dateng, pesenin minum dulu kek, eh malah bahas urusan begituan. Gesrek emang otak lo."

"Sorry, Al, selama gue kenal lo, yang bikin muka lo kusut begitu ya karena apa lagi coba kalau bukan karena urusan itu?" saut Fery sambil tertawa terbahak.

"Eh, Al... Al, itu bukannya si Felly? Dia kayaknya mau ke sini deh," Ucap Rio, yang melihat seorang gadis bernama Felly menuju ke tempat kita nongkrong. Felly adalah gadis yang sangat tergila-gila padaku, ralat mungkin lebih tepatnya tergila-gila sama permainan ranjangku.

"Haduh, ngapain sih tuh cewek ke sini? Bikin badmood gue aja."

"Al, gitu-gitu juga cewek lo. Dia udah sering muasin lo." Ucap Rio.

"Omongan lo perlu diralat. Sorry gue gak pernah punya cewek. Emang gue pernah nembak dia? Gak kan? Dia sendiri yang dateng ke gue. Dan gue laki-laki normal, gak mungkinlah gue nolak daging di depan mata. Lagian ya kalian perlu tau, cewek itu deketin kita itu ada maunya. Kalau bukan harta, ya karena wajah kita yang tampan. Di dunia ini tuh gak ada perempuan yang tulus, semuanya palsu."

"Terserah lo aja deh, Al. Percuma juga bahas masalah cewek ke lo." Ucap Fery.

"Hai, Sayang! Aku kangen deh sama kamu." Ucap Felly yang langsung duduk dipangkuanku dan bersikap manja kepadaku.

"Fel, please deh, gak usah gini. Ini tempat umum, dan gue risih." ucapku jujur.

"Sayang, ngapain sih dengerin orang? Yang penting kan kita, yang nikmatin." Ucap Felly dengan nada sensualnya.

"Udah deh, Fel, ini kampus. Jangan aneh-aneh."

"Kamu tuh ya, gemesin tau gak kalau udah dalam mode juteknya." Ucap Felly sambil menarik pelan pipiku.

"Nanti malam orang tuaku gak ada di rumah. Aku akan dengan senang hati kalau kamu mau nemenin aku karena art ku juga lagi cuti." Lanjutnya seraya beranjak dari duduknya.

"Iya, iya, terserah entar aja deh. Kalau gak sibuk, gue dateng."

"Harus datang, beib, karena aku ingin kepuasan darimu, sekaligus memuaskanmu." Bisiknya sambil mengecup lembut telingaku, membuat aliran darah ku mulai memanas.

"Oke deh. Gue dateng. Tapi awas, kalau lo gak bisa muasin gue, jangan harap gue bakal nurutin nafsu lo lagi." Ucapku dan Felly hanya mengedipkan matanya seraya pergi menjauh dari tempat kami.

"Anjay, giliran urusan begituan aja, lo nurut banget sama si Felly. Gila lo, Al. Jadi kasian gue sama si Felly, dia cinta mati sama lo, dan udah sering banget bikin lo puas, masih aja lo jutekin." Ucap Rio setelah Felly benar-benar pergi.

"Tau tuh, kurang apa coba si Felly? Cantik? Iya. Seksi? Jangan ditanya. Bodynya oke banget. Pinter? Ya, standard lah. Kaya? Gak perlu diragukan. Ditambah lagi, cuma dia yang mampu nyaingin lo dalam hal begituan, bro." sambung Fery.

"Lo mau tau kekurangan dia?" Aku bertanya yang hanya dijawab anggukan oleh Rio dan juga Fery.

"Satu, dia udah gak segel sebelum sama gue. Dua, dia cuma manfaatin kepopuleran gue buat naikin pamornya di kampus ini. Tiga, dia sama gue itu sama, sama-sama rusaknya. Gimana gue mau berubah coba kalau gue sama dia?"

"Nih, ya, gue tuh cari cewek yang segel, yang cuma gue satu-satunya orang yang pernah nyentuh dia, dan cuma nerima sentuhan gue, bukan dari cowok lain. Gue juga cari cewek yang beneran tulus, bukan cuma modus. Yang bisa ngerubah hidup gue, dan bukan dari kalangan mereka-mereka yang deketin gue cuma karena ada maunya."

"Alaah, alasan doang lo. Hari gini, lo masih cari cewek yang segelan? Gue berani bertaruh mobil sport gue, lo gak bakal dapet. Kalaupun ada, gak mungkinlah mau sama cowok brengsek kayak lo." Ucap Rio sambil tertawa dan memberiku tantangan.

"Sialan lo. Udah ah, capek gue, mau pulang dulu, biar entar malem gue bisa bikin Felly nyesel udah nyuruh gue nginep di rumahnya." Ucapku sambil tersenyum tipis.

"Sa ae lo tong." seru Fery, yang lalu diikuti tawa oleh kedua sahabatku itu.

BRUGH...

PYAARRRR...

"Bisa gak sih, jalan tuh sambil lihat-lihat?" Bentak seorang gadis yang ku tabrak saat aku hendak pergi dari kantin.

Aku menatapnya setelah dia membentakku, ku tatap tajam kedua mata indah yang untuk pertama kalinya membuatku merasakan keteduhan. Menyadari ada sesuatu yang aneh dalam diriku, aku langsung menepisnya. Aku tidak ingin terlena oleh arah pandangku saat ini.

"Sorry." Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulutku, karena aku sadar, di sini akulah yang salah. Selain itu, aku juga tidak ingin membuat masalah ini menjadi panjang. Berurusan dengan seorang perempuan, sangatlah merepotkan.

"Lo pikir dengan kata, sorry, bisa buat minuman gue balik ke gelasnya dengan utuh, dan baju gue yang basah ini jadi kering? huh?" Ucapnya.

"Huft, cari perhatian? Gue ganti sepuluh kali lipat harga minuman lo, dan dua puluh kali lipat harga baju lo. Beres kan?" Balas ku.

"Lo pikir gue butuh uang lo? Gue tau lo anak orang kaya, dan gue juga tau lo cowok paling populer di kampus ini, tapi attitude lo itu bener-bener buruk. Dasar cowok brengsek."

Mendengar kalimat terakhirnya sungguh membuat emosiku memuncak, aku mendekat pada gadis itu, dan segera menarik dan mencengkram tangannya dengan kuat, dan dia mulai meronta, berusaha melepas cengkramanku.

"Gue udah bilang sorry, gue juga udah bersedia mengganti minuman lo dan baju lo yang kotor, terus apa mau lo sekarang? Coba katakan." Ucapku sambil menatap matanya tajam dengan penuh amarah.

"Oh ya, kurang, aku memiliki penawaran bagus buat lo. Gimana kalau sebagai tanda permintaan maaf gue, gue traktir lo minum sampai puas di club Dragonfly malam ini, dan gue juga akan muasin lo." Ucapku yang langsung membuatnya membulatkan matanya.

PLAK...

Satu tamparan dari gadis itu mendarat mulus di pipi kiriku. Jujur saja, ini pertama kalinya untukku, mendapat sebuah tamparan dari seorang gadis, yang bahkan tidak aku kenal.

Aku shock, aku hanya mematung sambil memegangi pipi kiriku yang ia tampar, rasa sakitnya masih membekas. Rasanya ingin sekali aku marah atas tamparan yang ia berikan. Namun entah mengapa menatap matanya, tubuh ini tiba-tiba rasanya kaku. Otakku menyuruhku untuk membalasnya saat itu juga, tapi hati dan tubuhku menolaknya dengan keras. Membuat ku benar-benar terdiam seperti batu.

"Jangan samain gue dengan ******-****** lo itu. Gue emang gak populer, gue juga bukan orang kaya, tapi gue bukan cewek murahan seperti yang ada dalam pikiran lo." Ucapnya lantang dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya dan langsung meninggalkan ku yang masih tetap mematung di tempat itu.

"Wow, bro, ini rekor baru. Seorang Alfin Zayn Artana ditampar di tempat umum dan lo hanya diam aja. Rekor tuh cewek." Suara Fery dan pukulannya di bahuku menyadarkanku dari lamunanku.

"Menarik. Mungkin aku akan membalasmu nanti." Batinku.

"Bro, lo gak papa?" Tanya Rio menanyakan keadaanku, karena aku masih terdiam.

"Oh, gak, gue gak papa. Tenang aja, gue pasti akan bales dia. Gue akan cari tau siapa dia." Jawabku dengan senyum smirk yang tersungging di bibir ku.

"Tapi tunggu deh, kayaknya gue pernah lihat dia. Tapi dimana?"

"Eh si ****, dia mahasiswi kampus ini juga, ya terang aja lo pernah lihat dia. Jangan bilang otak lo geser setelah ditampar dia ya Al?" seru Rio.

"Sialan lo." Ujar ku dan sambil menyikut agak keras perut Rio.

"Udah ah, pulang aja yuk, gue bener-bener capek." Aku mengajak kedua sahabatku untuk pulang dan mereka pun menyetujuinya.

Kami pulang bersama dengan mengendarai kendaraan masing-masing. Namun pulang yang dimaksud di sini adalah pulang ke rumahku. Ya aku mengajak mereka ke rumahku.

Dirumah aku hanya tinggal berdua dengan papa dan dua orang pembantu serta seorang supir yang selalu mengantar papa kemanapun dan seorang satpam. Dan dengan kehadiran dua orang gesrek ini, membuat rumahku tidak terasa sepi. Setidaknya papa juga akan senang jika rumah terlihat ramai.

♥️♥️♥️

Hai...hai...hai... Fielsya udah balik dengan karya baru ya...

Yuk bantu like, komen saran dan kritiknya. Mau berbagi poin dan koin untuk karya ini juga boleh lo.

terimakasih 🙏 🙏 🙏

NAMANYA CINTA

CINTA POV

"Sial. Kenapa gue harus sekampus sama cowok brengsek kayak gitu sih?" Batinku.

Sungguh sangat menyakitkan mendengar perkataan Alfin. Sungguh, tidak pernah ada seorangpun yang sampai merendahkan aku seperti itu. Dia telah benar-benar merendahkan aku.

Ini yang membuatku semakin membenci yang namanya laki-laki. Hanya bisa merendahkan perempuan untuk kepentingan dan kepuasan pribadinya. Aku hanya berharap jika Dimas tidak akan pernah melakukan itu padaku.

"Cin, lo kenapa? Kok nangis? Terus minum gue mana?" Tanya Salsa (satu-satunya sahabat yang aku miliki di kampus ini) saat aku tiba-tiba duduk di sampingnya dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Gue gak papa. Sorry ya, minuman lo jatuh, tadi gue ditabrak cowok brengsek terus minuman kita jatuh." Ucapku.

"Ya ampun Cinta, jadi lo nangis cuma karena minumannya jatuh?" Ucapnya membuatku tak habis pikir dengan cara dia berpikir, begitu polos cenderung oon. Tapi aku bersyukur memiliki Salsa sebagai sahabatku, dia tulus dan tak suka memandang rendah orang lain walaupun dia berasal dari keluarga yang cukup berada.

"Anggap aja begitu." Ucap ku pasrah karena menghadapinya dalam mode oon begini, tentu akan membuat masalahnya makin ribet.

"Eh, tapi masak iya sih lo nangis cuma gara-gara minumannya jatuh? Mending lo jujur deh, Cin sama gue." Nah, dia yang nuduh, dia juga kan yang meralat? Ajaib bener deh punya sahabat satu.

"Udahlah gak usah dibahas, gue juga lagi gak mood bahas itu. Atau gue beliin lo minuman lagi ya?" Aku menawarkan membelikan minuman lagi untuknya sebagai pengganti minumannya yang aku ralat maksudku cowok brengsek itu tumpahkan.

"Boleh deh." Ucapnya dan aku hendak berdiri setelah mendengar jawabannya.

"Eh gak usah deh, Cin. Gue aja yang beliin. Lo tunggu sini aja. Entar tumpah lagi, lo nangis lagi." Ucapnya membuatku mendengus kesal.

Aku memandangi sekeliling dan tanpa sengaja mataku tertuju pada seseorang yang beberapa saat lalu membuatku meneteskan air mata ini.

Diapun menatapku intens sambil tersenyum penuh arti, namun entah apa arti dari senyumnya itu. Kemudian dia pun pergi bersama dengan seorang temannya yang ku ketahui bernama Fery.

Aku hanya berharap tidak akan pernah lagi berurusan dengannya, apa lagi sampai bertemu dengannya lagi.

"Cin, ayo balik aja deh. Gue males lama-lama di sini." Ucap Salsa yang tiba-tiba kembali dengan wajah yang seperti orang panik.

"Lo ken-..."

"Sa, ayolah Sa. Gue beneran suka sama lo. Seenggaknya please jangan menghindar dari gue kayak gini dong." Ucap seorang laki-laki tampan yang mengejar Salsa. Aku mengernyitkan dahi menatap laki-laki tersebut dan perkataannya membuatku mulai memahami sesuatu akan sikap Salsa yang tiba-tiba berubah.

"Udah deh, Rio mending lo gak usah ganggu gue. Gue gak mau berurusan sama cewek-cewek lo itu. Cukup sekali gue dilabrak salah satu pacar lo." Ucap Salsa.

"Siapa yang berani labrak lo, Sa?" Ucapku yang terkejut mendengar Salsa pernah dilabrak seseorang karena memang aku tidak mengetahuinya, sorry maksud ku belum mengetahuinya.

"Eh itu, anu, gu...." Aku menatapnya tajam karena mengetahui dia sedang menutupi sesuatu.

"Lo gak bisa bohong, Sa. Mending lo jujur sama gue."

"Sebenernya malam minggu kemarin gue diajak dia nonton." Ucap Salsa sambil menunjuk kearah laki-laki tampan yang mengejarnya tadi.

"Terus pas gue ke toilet, Stella nyamperin gue dan ngelabrak gue, dan ngancem gue untuk jauhin Rio." Ucap Salsa dengan penuh keraguan seolah takut akan sesuatu.

"Stella bilang apa aja sama lo? Gue gak pernah ada hubungan apapun sama dia." Ucap Rio geram.

"Lo mending jauhin Salsa deh, gue gak mau pacar-pacar lo itu sampek nyakitin sahabat gue lagi. Atau kalau gak, lo yang gue habisin." Ucapku seraya memberi ancaman pada laki-laki bernama Rio itu.

"Lo gak perlu ikut campur urusan gue sama Salsa." Sentak Rio.

"Jelas gue harus ikut campur karena Salsa sahabat gue." Aku menyentaknya balik menatapnya tajam sambil menekan telunjukku ke dada bidangnya.

"Lo bukannya tadi yang nampar Alfin?" Tanya Rio yang baru menyadari bahwa aku yang tadi telah menampar temannya. Sungguh aku mulai merasa ciut, aku takut jika Rio akan membalas perbuatanku pada Alfin. Namun aku tidak menampakkan kekhawatiranku di depannya.

"Apa? Nampar Alfin? Kapan? Dan kenapa, Cin?" Tanya Salsa yang kini bergantian terkejut mendengar aku menampar seorang cowok paling populer di kampus. Tapi aku hanya bungkam.

"Jangan bilang tadi lo nangis karena lo habis diapa-apain sama Alfin terus lo nangis? Iya, Cin?" Tanyanya lagi dengan penuh selidik karena aku hanya diam. Namun pertanyaannya kali ini membuatkan membulatkan mataku sempurna sambil melongo.

"Pikiran lo kejauhan. Mana berani dia ngapa-ngapain gue? Eh, udah deh gak usah ngalihin pembicaraan. Sekarang gue minta lo pergi aja deh dari sini." Ucap ku pada Salsa sambil menyuruh Rio pergi.

"Gue gak akan pergi sebelum Salsa percaya kalau gue gak pernah punya hubungan apapun sama Stella." Ucap Rio dengan tegas.

"Apa pengaruhnya buat lo gue percaya atau gak sama omongan lo? Udah deh, gak usah ganggu gue lagi. Gue bener-bener pengen hidup gue tenang. Gue gak mau dicap sebagai orang ketiga dalam hubungan orang." Jelas Salsa.

"Jelas ada pengaruhnya. Gue suka sama lo, Sa. Gue bener-bener serius saat gue bilang gue mau lo jadi pacar gue." Ucap Rio.

"Hah, pacar? Jangan ngarep. Gue gak akan mau pacaran sama lo." Ucap Salsa.

"Udah yuk, Cinta, dia gak mau pergi, jadi biar kita aja yang pergi. Lagian bentar lagi kan kita ada kuliah." Lanjutnya sambil menarik tanganku untuk pergi dari kantin dan menjauh dari Rio. Laki-laki itu sempat menahan tangan Salsa namun dengan sekuat tenaga Salsa juga menepis tangan kekar itu.

*****

ALFIN POV

"Kemana sih, si Rio? Lama banget. Ke toilet lagi ngeluarin berlian apa ya?" Gerutu Fery yang mulai bosan menunggu Rio di parkiran.

"Lo kayak gak tau Rio aja. Palingan juga lagi godain si siapa tuh nama cewek yang udah bikin Rio klepek-klepek?" Ucapku sambil mengingat gadis yang saat ini telah membuat Rio sahabatku seperti orang bodoh.

"Salsa." Ucap Fery.

"Ya siapalah itu namanya. Gak peduli juga sih gue sebenernya." Ucapku.

"Sorry, lama ya?" Ucap Rio.

"Lo beser apa semedi? Lama banget." Tegur Fery.

"Sorry, sorry, tadi gue masih nyamperin Salsa dulu." Balas Rio.

"Eh, Al, lo tau gak, tadi ketemu sama siapa pas gue nyamperin Salsa?" Tanya Rio dan aku hanya mengerdikkan bahu tanda tak peduli pada siapapun yang Rio temui.

"Gue yakin, lo bakal tertarik sama informasi yang bakal gue kasih." Lanjutnya membuatku mulai sedikit penasaran.

"Kalau itu tentang Felly atau cewek-cewek lebay lainnya itu, sorry gue gak minat buat tau siapa yang lo temui." Ucapku seraya menaiki motor gede kesayanganku. Dan saat aku hendak memakai helm, ucapan Rio benar-benar begitu membuatku tertarik untuk mengetahui info apa yang dia dapat.

"Ya, gue bawa informasi tentang cewek yang tadi udah nampar lo." Ucap Rio.

"Namanya Cinta. Dia sahabatnya Salsa. Dia juga anak fakultas pendidikan, jurusan MIPA. Calon guru, men." Ucap Rio sambil tertawa.

"Cinta." Gumamku sambil tersenyum.

"Kenapa lo Al? Jangan bilang lo suka sama tuh cewek?" Tanya Fery memastikan keadaan hatiku lebih tepatnya.

"Ngaco. Udah gue bilangin, gue gak akan pernah suka sama cewek manapun. Kalaupun gue main, gak bakal pernah gue pake perasaan. Gue males berurusan sama perempuan. Semuanya sama aja." jawabku sambil melanjutkan memakai helm dan kemudian langsung melajukan motor kesayangan ku menuju ke rumah dan diikuti dua sahabat gesrek ku.

"Cinta. Kenapa gue jadi penasaran sama tuh cewek? Argh, mikirin apa sih gue? Gak, gak, gue cuma mau bales tamparan dia." Ucapku dalam hati sambil tetap fokus ke jalanan.

*****

CINTA POV

"Cinta, lo hutang penjelasan ya sama gue! Ada urusan apa lo sama Alfin? Kenapa lo nampar dia? Apa yang udah dia lakuin ke lo sampai bikin lo nangis dan nampar dia?" Salsa mengintrogasiku tentang kejadian yang membuat ku menampar Alfin, setelah kami sampai di kelas.

"Udah gue bilangin gak ada apa-apa, Sa. Tadi gue cuma kesel aja karena dia udah nabrak gue dan buat minuman kita jatuh." Ucapku tanpa berani menatap mata Salsa karena aku takut dia mengetahui kebohongan ku jika aku menatapnya.

"Lo gak pandai jadi pembohong, Cinta. Mending lo jujur sama gue." Ucap Salsa sambil memegang bahu dan menatap mataku tajam.

"Oke, kalau lo gak mau cerita sama gue, kita gak usah sahabatan lagi. Gak ada gunanya kan kita sahabatan tapi lo gak mau berbagi masalah sama gue." Lanjut Salsa seraya membalikkan tubuhnya.

"Sa, oke gue cerita. Sebenarnya tadi gue nampar Alfin karena dia kurang ajar sama gue. Di-..."

"Lo diapain sama dia? Lo dicium? Digrepe? Dipukul? Dilecehin? Mana yang luka?" Tanya Salsa panik saat mendengar sedikit penjelasanku sambil membolak balikkan tubuhku, menelitinya setiap inci seolah sedang mencari sesuatu.

"Mulai deh alaynya." Batinku.

"Sa, bukan, bukan fisik. Dia nawarin gue minum di club dan ngajak gue, gue....." Ucapku menggantungkan kalimat selanjutnya.

"Ngajak apa? Jangan bilang lo mau diajak ena-ena sama dia?" Tanya Salsa dengan mimik wajah khawatirnya.

"Ya begitulah, makanya gue nampar dia." Ucap ku lirih.

"What? Dia ngajak lo tidur? Brengsek emang tu cowok. Kayaknya gue harus ngasih dia pelajaran." Ucap Salsa dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat mahasiswa yang berada di dalam kelas memperhatikan kami.

"Sa, pelan dikit dong. Malu di denger orang. Entar dikira gue godain Alfin. Lagian ya, gue tadi udah nampar dia. Jadi lo gak perlu lagi ngasih dia pelajaran." ucapku lirih.

"Hhhmmm, oke, kali ini gue maafin dia. Tapi kalo dia lecehin lo lagi, lo bilang aja sama gue, biar gue yang ngasih dia pelajaran." Ucap Salsa yang sok berani untuk menghadapi Alfin. Padahal ketemu Rio saja dia sudah takut setengah mati. Kadang tingkah Salsa yang seperti ini membuatku merasa benar-benar memiliki saudara kandung.

"Eh iya Cin, gimana kabar babang Dimas? Kapan dia pulang?" pertanyaan Salsa membuatku teringat pada kekasih ku yang sejak 4 tahun lalu selalu menghiasi dan memberikan warna di hidupku.

"Kabarnya baik. Mungkin minggu ini dia pulang. Kan udah satu bulan dia balik ke Surabaya. Jadi harusnya minggu ini jadwalnya pulang." jawabku.

"Kok lo kayak gak yakin gitu sih? Lo gak lagi ada masalah kan sama Dimas? Inget loh, Cin, hubungan jarak jauh itu banyak rintangannya, dan untuk mempertahankannya juga sangat sulit. Satu-satunya cara untuk mempertahankan hubungan kalian itu ya dengan cara menjaga komunikasi. Lo...."

"Gue gak ada masalah kok sama kak Dimas. Tapi emang hari ini dia belum ada kabar. Mungkin lagi sibuk." Ucapku memotong ceramah Salsa.

"Lo gak takut gitu, cowok lo di sana ada main serong sama cewek lain? Cowok lo itu cakep, karirnya bagus, pasti banyak yang ngincer dia. Apa lo gak khawatir?" Jujur saja di hati kecilku aku sangat takut. Terlebih masa laluku yang buruk karena ditinggal papa demi wanita lain yang tak lain adalah sekretaris papa sendiri, membuatku harus menanggung trauma mendalam. Aku takut kalau kak Dimas akan tergoda rayuan cewek-cewek di luar sana, apa lagi aku belum pernah sekalipun bersikap dan menerima kemesraan dari kak Dimas, meskipun itu hanya sekedar ciuman.

"Gue percaya kok sama kak Dimas. Gue yakin dia akan setia sama gue." Ucapku yang juga sekaligus meyakinkan hatiku sendiri.

"Guys, hari ini pak Didik gak bisa ngajar karena ada rapat dosen. Jadi kita boleh pulang. Tapi minggu depan pak Didik akan langsung ngasih Quiz untuk kita." Ucap Angga, ketua kelas di kelasku.

"Hhuuu, dosen tuh ya kebiasaan banget deh, bikin seneng sesaat, abis itu langsung dilempar ke jurang." Gerutu beberapa mahasiswa setelah mendengar pengumuman dari Angga.

"Ya udah yuk, Sa kita pulang." Ajakku yang langsung diiyakan oleh Salsa.

ddddrrrtttt....dddrrrtttt...dddrrrttt

"Eh, tunggu bentar, Sa. Hp gue getar. Kak Dimas telfon, bentar ya." Ucapku seraya menjauh dari Salsa setelah melihat siapa yang menelfonku.

"Halo, kak."

"....."

"Aku masih di kampus, kak. Ini aku mau pulang. Kak Dimas sibuk banget ya?"

"....."

"Oh gitu. Ya udah deh, aku tutup dulu telfonnya." Ucap ku dan langsung mematikan sambungan telfon dari kak Dimas.

"Kenapa?" Tanya Salsa yang memahami perubahan raut wajahku.

"Gak, gak papa. Balik yuk." Ucapku dan Salsa pun enggan melanjutkan pertanyaannya karena memahami aku yang saat ini sedang tidak bersemangat.

***

ALFIN POV

"Papa udah dateng?" Tanyaku pada satpam rumahku.

"Belum den. Mungkin sebentar lagi." Jawabnya dan aku hanya mengangguk.

"Bi, bi Sumi." Aku memanggil salah satu art di rumahku setelah aku dan kedua sahabatku masuk ke rumah dan mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

"Iya den?" Ucap bi Sumi.

"Bi, tolong buatin minum untuk nih curut dua, sekalian sama camilannya." Titahku yang langsung dilaksanakan oleh bi Sumi.

"Gue, ke kamar dulu. Gerah, mau mandi dulu." Aku bergegas pergi ke kamarku untuk membersihkan diri tanpa menunggu jawaban dari Rio dan juga Fery.

♥️♥️♥️

hai...hai...hai...

jangan lupa langsung like, vote, dan komennya yaa setelah kalian baca...

Buatlah author ini senang karena like dari kalian, sebagai balasannya, kalian akan dapat pahala karena udah bikin senang hati author... eeeaaakkk... 😁😁😁

Teringat Masa Lalu

"Loh, udah rame aja nih." Seru papa saat baru saja masuk ke rumah dan mendapati Rio dan Fery sedang bergurau.

"Eh om? Baru dateng om?" Tanya Fery basa-basi.

"Iya, kalian udah lama di sini? Alfin mana?"

"Kita gak lama-lama banget kok om di sini. Alfin lagi mandi."

"Oh gitu ya udah kalian nikmati dulu ya minuman dan camilannya. Om juga mau ke kamar dulu. Nanti kita makan malem bareng di sini."

"Wah om, kita jadi gak enak nih, sering dikasih makan gratis sama om. Jadi pengen tinggal di sini aja biar dapet gratisan tiap hari. Hehehe." Ucap Fery cengengesan.

"Lo mah emang maunya begitu. Gratisan mulu pikirannya." cela Rio.

"Sirik aja lo." dengus Fery.

"Sudah, sudah, kalau kalian mau ya gak papa tinggal aja di sini, om juga senang rumah jadi rame."

"Gak perlu pa, kalau mereka tinggal di sini, bukannya rame lagi, rusuh iya." sahutku dari arah tangga.

"Alfin, kebetulan. Ada yang mau papa bicarakan sama kamu. Tapi papa ganti baju dulu ya, gerah."

"Oke, pa."

♥️♥️♥️

CINTA POV

"Mama." Ucapku yang baru saja tiba di rumah dan langsung memeluk mama.

"Anak mama baru pulang?"

"Iya, ma. Mama istirahat aja ya, biar Cinta yang gantiin beresin ini semua. Mama pasti capek kan?" Ucapku saat melihat kondisi dapur yang berantakan. Ya dapur rumahku memang akan selalu berantakan setiap harinya karena mamaku adalah penjual kue. Mama melakukan itu demi melanjutkan kehidupan kami.

Jujur sedih rasanya jika mengingat masa lalu dimana aku dan mama hidup berkecukupan sebelum akhirnya wanita jalang itu hadir di tengah-tengah kami.

Semenjak mama dan papa berpisah, mama memilih tinggal di sebuah rumah berukuran kecil yang hanya cukup ditinggali tidak lebih dari empat orang itu. Sebenarnya papa telah memberikan kami fasilitas yang lengkap serta uang bulanan yang sangat cukup untukku dan mama sebagai bentuk tanggung jawab terhadapku sebagai seorang ayah. Bukankah itu masih wajar? Mama dan papa memang boleh saja berpisah dan tak memiliki hubungan apapun lagi, mereka hanya terikat karena keberadaanku.

Saat mereka berpisah, papa sudah mengatakan bahwa papa akan tetap memegang tanggung jawabnya terhadapku. Walaupun sejujurnya saat itu aku lebih menginginkan jika papa dan mama tetap bersama, tapi melihat mama yang hampir setiap hari menangis membuatku harus mengikhlaskan kehilangan papa dalam pandanganku namun tidak dari hatiku. Akan tetapi istri barunya yang tidak menyukai hal itu dan melakukan segala cara hingga akhirnya papa mencabut semua fasilitas itu.

Satu bulan setelah perceraian mama dan papa, wanita itu sukses membuat papa menjadi monster yang mengerikan dimataku. Papa menjadi sangat arogan dan emosional. Bahkan papa tidak lagi memperdulikan ku dan mama, hingga akhirnya wanita itu mengusir aku dan mama dari rumah yang papa berikan untuk ku dengan alasan rumah itu adalah milik perusahaan papa dan akan dijual untuk penambahan modal pembukaan cabang perusahaan yang baru.

Mama yang waktu itu tidak ingin berdebat dengan wanita itu, memilih untuk meninggalkan rumah tanpa mengabari papa, memblokir semua akses papa untuk menemuiku dan akhirnya mama menempati rumah kecil ini, rumah yang mama beli dari sisa tabungannya saat masih bersama papa dulu. Sejujurnya aku sangat sakit dengan keadaan seperti itu. Sosok ku yang waktu itu masih berusia tiga tahunan masih sangat membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuaku. Tapi papa, dengan egoisnya dia mengorbankan perasaan ku hanya demi kesenangannya.

Dan demi menyambung hidup, mama menggunakan keahliannya membuat kue dan menjualnya dengan sistem titipan. Saat itu kami benar-benar berada di titik terendah, sehingga membuatku sadar bahwa semua ini gara-gara papa, dan sejak saat itu aku membenci papa. Papa yang sudah meninggalkan kami dan membuat hidup kami susah, bahkan mama pernah tidak memiliki uang sama sekali dan harus meminta belas kasih dari tetangga agar mereka mau memberikan mama sedikit makanan untuk bisa aku makan. Beruntungnya ada mbak Anita, tetangga sebelah rumah kami yang sangat baik dan selalu menolong kami disaat kami membutuhkan pertolongan orang lain.

"Gak papa, sayang. Mama gak begitu capek hari ini. Kebetulan mbak Anita baru resign dari kantornya. Jadi dia tadi ke sini bantuin mama dan ngasih mama tawaran kerja sama."

"Kerja sama?"

"Iya, jadi mbak Anita punya rencana mau buka toko kue, dan karena kue buatan mama ini enak-enak, jadi mbak Anita mau ngajak kerja sama, dia yang siapin modal dan mama yang bikin kuenya."

"Mbak Anita baik ya ma! Suami dan anak-anak nya juga baik. Besok Cinta akan menemui mbak Anita dan berterimakasih sama mbak Anita."

"Anak baik. Ya udah, kamu mandi, ganti baju, terus makan, gih."

"Cinta udah makan tadi di luar diajak Salsa mampir ke resto dekat komplek sebelah ma."

"Loh kamu sama Salsa? Kok gak kamu ajak mampir? Mama kangen sama dia."

"Iya ma, tadi udah Cinta ajak mampir tapi dia buru-buru karena maminya mau berangkat ke KL. Biasa, nemenin papinya perjalanan bisnis. Dan katanya besok mau nginap di sini. Boleh kan, ma?"

"Boleh dong sayang. Salsa sudah mama anggap seperti anak mama sendiri."

"Ya udah kalau gitu Cinta mandi dulu ya ma!" Ucapku sambil mencium pipi mama dan berlalu ke kamarku untuk membersihkan diri.

Selesainya mandi aku segera bergegas untuk membantu mama mengecek bahan-bahan kue yang sudah mau habis dan membelinya ke toko bahan kue terdekat.

"Ma, ini yang mau habis butter cream, margarin, so-..."

For your information aja nih ya buat kalian, karena hampir setiap hari aku membantu mama membuat kue kalau sedang senggang, jadi sedikit banyaknya aku tau dan paham bahan-bahan kue yang biasa mama pakai.

"Iya sudah kamu tolong belikan apa aja yang kurang ya nak. Oh iya Cinta, tadi om Iwan telfon, lusa dia mau ke Jakarta. Jadi dia minta tolong sama kamu untuk jemput dia di bandara. Udah kangen sama kamu katanya."

Mendengar nama om Iwan hatiku sedikit pilu. Om Iwan adalah adik dari papa ku sekaligus satu-satunya keluarga papa yang masih menganggap ku dan mama ada. Karena entah apa yang wanita jalang itu katakan pada papa dan keluarga papa yang lain termasuk kakek dan nenek, hingga membuat mereka membenci mama dan tak mau tau lagi tentang kami. Namun om Iwan tetap memperhatikan kami, dia selalu memperhatikan kebutuhanku. Om Iwan memang sangat baik, sikap dan wataknya sangat berbeda dari keluarga papa yang lain bahkan dengan papaku yang notabene adalah kakaknya.

Saat aku dan mama pergi dari rumah pemberian papa, hanya om Iwan lah yang mencari kami hingga akhirnya saat aku menginjak bangku SMA, om Iwan dapat menemukan keberadaan kami. Cukup lama memang waktu yang om iwan butuhkan untuk menemukan keberadaan kami karena mama betul-betul menutup akses agar tak ada satupun keluarga papa dapat menemukan kami dan menyakiti kami lagi. Aku paham dan tak protes akan sikap mama yang seperti itu karena aku tau mama benar-benar sakit hati atas perlakuan papa dan wanita jalangnya itu, akupun juga merasakan hal yang sama seperti yang mama rasakan, kehilangan sosok papa dalam hidupku benar-benar itu sangat menyakitkan.

"Kamu kenapa? Kok sedih?" Tanya mama yang melihat raut wajahku berubah.

"Gak papa ma."

"Kamu gak mau ketemu sama om Iwan?" Pertanyaan mama itu hanya aku jawab dengan gelengan kepala.

"Cinta cuma keinget papa, ma. Papa benar-benar melupakan kita. Dia sudah lupa pernah memilikiku sebagai anaknya. Kakek dan nenek juga. Mereka tidak pernah sekalipun mencari dan menemui kita." Lirihku dengan mata berkaca-kaca mengingat sikap papa terhadapku dan juga mama.

"Hei! Ngapain nangis? Bukannya kamu yang selalu bilang kalau kita akan baik-baik saja walaupun tanpa mereka? Sekarang kamu lihat keadaan kita! Bukankah lebih baik dari tujuh belas tahun yang lalu? Maafkan mama yang telah memisahkanmu dari papamu. Mama hanya tidak ingin kamu terlalu terluka. Maaf juga sempat menutup akses keluarga papamu agar tidak dapat menemukan kita." Ucap mama lembut seraya memelukku memberiku ketenangan.

"Mama gak salah. Maafin Cinta, ma. Bukan maksud Cinta mengungkit masa lalu. Cinta bersyukur kehidupan kita saat ini jauh lebih baik. Dan ya benar kata mama, kita baik-baik saja tanpa mereka. Dan kita tidak membutuhkan mereka." Ucapku merasa bersalah pada mama.

"Yaudah, Cinta beli bahan-bahan kuenya dulu ya ma sebelum kemaleman." Lanjutku.

♥️♥️♥️

ALFIN POV

Setelah lama aku bergurau dengan dua sahabat tengilku ini, bi Surti memamggil kami untuk makan malam. Akupun menghampiri papa ke meja kerjanya untuk mengajaknya makan malam bersama.

"Alfin, kita bisa bicara sebentar?" Tanya papa setelah aku mengajaknya turun namun papa menghentikanku saat hendak keluar dari ruangan kerjanya.

"Boleh, ada apa pa?"

"Semenjak mama mu memilih pergi bersama bosnya itu, papa perhatikan kamu tidak pernah lagi melihatmu dekat dengan teman perempuan?"

Aku tersentak dengan pertanyaan papa. Sejujurnya aku bukan tidak pernah dekat dengan perempuan, tapi aku hanya tidak pernah bermain perasaan dengan mereka. Entah kenapa, kepergian mama waktu itu benar-benar membuatku kecewa.

Saat itu usaha papa ku sempat bangkrut, dan mama yang waktu itu memang pernah bekerja sebagai sekretaris papa memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan besar pesaing perusahaan papa. Di perusahaan itu mama diterima kerja sebagai sekretaris pemilik perusahaan itu karena mungkin kemampuan mama dibidangnya cukup baik.

Semuanya masih berjalan normal, hingga satu tahun setelah itu, papa mulai bangkit dengan support dari beberapa rekan bisnis dan juga nenek yang menjual beberapa aset peninggalan kakek agar papa bisa mulai mendirikan usahanya lagi. Cukup memakan waktu memang karena menarik hati investor tidaklah mudah terlebih karena kondisi perusahaan papa yang sempat bangkrut. Namun papa tidak menyerah demi tetap bisa menghidupi aku dan mama, papa rela bekerja keras hingga jarang tidur agar perusahaannya bisa kembali seperti dulu.

Namun jujur, saat itu aku merasa sedih karena mama justru mulai tidak memperhatikan aku dan papa lagi. Hampir setiap malam aku mendengar mama dan papa bertengkar. Aku takut, aku frustasi. Sampai akhirnya suatu hari papa pergi ke sebuah hotel karena ada pertemuan bisnis dengan calon investor baru dari Jepang. Namun sesampainya di hotel, papa melihat mama sedang bermesraan dengan bosnya di depan salah satu kamar, dan kemudian mereka berdua masuk ke kamar itu. Hari itu juga papa membatalkan pertemuannya dengan calon investor asing secara sepihak dan pergi meninggalkan hotel itu.

Papa pulang dalam keadaan kacau namun tetap memperhatikan aku. Papa memandikanku dan menyuapiku makan setelah itu menidurkanku di kamar. Karena memang saat itu usiaku masih tiga tahunan. Sampai akhirnya tengah malam mama pulang, dan seperti biasa papa dan mama bertengkar namun kali ini bertengkar hebat dan membuatku penasaran dan mengintip ke kamar mereka.

Aku mendengar ucapan mama yang sampai detik ini masih terngiang dalam ingatanku. Malam itu juga mama pergi di jemput oleh bosnya ke rumah kami, papa benar-benar hancur saat itu. Mama tidak hanya pergi meninggalkan papa, tapi dia juga meninggalkan dan melupakanku sebagai anaknya. Dan bi Surti yang melihatku meringkuk segera merengkuhku, memelukku memberikan ketenangan. Bi Surti ikut menangis melihat kejadian itu sambil memelukku seperti seorang ibu.

Kejadian-kejadian itu selalu berputar di memory ku. Membuatku tak pernah bisa mempercayai perempuan manapun kecuali nenek, bi Surti, dan bi Sumi.

"Buat apa pa, dekat dengan perempuan? Mereka hanya akan menyakiti, dan meninggalkan kita." Ucapku sambil menahan amarah yang bergemuruh di dalam dada.

"Alfin, papa memahami perasaanmu. Kamu betul-betul terluka atas sikap mama mu. Tapi bukan berarti kamu harus mengorbankan masa depan mu. Papa mungkin salah dan gagal memilih teman hidup, tapi papa berharap apa yang terjadi pada papa tidak terjadi padamu. Kamu anak papa satu-satunya kebanggaan papa. Papa juga ingin melihat kamu menikah dan memiliki anak, memberikan papa cucu yang lucu-lucu." Jujur perkataan ini sangat membuatku sesak.

Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk berpacaran serius apa lagi untuk menikah. Aku takut jika nantinya wanita pilihanku itu seperti mama. Aku benar-benar takut, aku tidak ingin ditinggalkan lagi. Aku tidak ingin disakiti lagi.

"Pa, usia Alfin masih dua puluh tahun. Alfin belum ada kepikiran untuk menikah."

"Setidaknya kamu carilah pacar, Al. Ingat Al, tidak semua perempuan itu seperti mamamu. Diantara mereka pasti ada yang jauh lebih baik dari mama mu dan siap mendampingimu dalam kondisi apapun."

"Tapi nyatanya perempuan-perempuan yang mendekati Alfin saat ini itu tidak jauh beda dari mama, pa. Mereka hanya ingin menguras dompet Alfin untuk kesenangan mereka. Alfin gak pernah nemuin perempuan yang lebih baik dari mama."

"Hanya belum, Al, bukan tidak pernah. Kamu hanya butuh membuang rasa sakit hati dan kekecewaanmu terhadap mama mu, dan bukalah sedikit hatimu untuk para gadis di luar sana. Papa yakin pasti ada diantara mereka yang betul-betul tulus mencintaimu."

"Kita lihat saja nanti, pa. Tapi untuk saat ini, Alfin masih ingin sendiri, menikmati kebebasan Alfin." Ucapku sambil tertawa yang diikuti oleh tawaan papa juga.

"Ya sudah ayo kita makan. Teman-teman mu pasti sudah sangat lapar karena telah lama menunggu kita."

Sesampainya di meja makan Aku melihat Rio dan Fery sudah mulai makan terlebih dulu, kemudian aku dan papa menyusul.

"Al, malam ini papa akan pergi ke Surabaya untuk mengecek perusahaan kita di sana."

"Berapa hari pa?"

"Lusa papa pulang."

"Baiklah pa, papa hati-hati dan jaga kesehatan papa. Kalau ada sesuatu yang serius hubungi Alfin segera dan Alfin akan membantu papa."

"Hahahaa, Alfin, Alfin. Papa hanya mau mengecek perusahaan bukan mau tawuran."

"Ya pokoknya Alfin gak mau papa kenapa-kenapa. Papa jangan sampai terlalu capek."

"Baik pangeran. Hamba akan ingat pesan pangeran." Ucap papa mengundang gelak tawa semua orang.

♥️♥️♥️

hai...hai...hai...

jangan lupa like, komen dan vote sebanyak-banyaknya yaa... biar author makin semakin nulisnya... 😍😍😍

terimakasih 🙏 🙏 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!