Masa lalu? Sebuah masa yang sudah tidak dapat aku ulang, walaupun aku sangat menginginkannya. Entah sejak kapan penderitaan ini dimulai, kurasa hidupku memang sudah menderita sejak awal.
Aku selalu hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak bisa ku singkirkan dalam hatiku. Selalu ada tempat bagi masa yang tidak bisa terulang itu di dalam hatiku, seolah aku sudah memberikan sebuah singgasana yang luas untuknya.
Aku Teresa, sekarang aku berumur hampir 30 tahun, lebih tepatnya aku berumur 28 tahun sekarang. Aku disini, di rumah sakit besar yang ada di pusat kota. Aku termenung duduk di kursi tunggu sembari menatap kosong sebuah ruangan pemeriksaan di depanku
Wajahku tidak menampakkan sedikitpun senyuman, aku seperti seseorang yang kosong tanpa aura kehidupan. Aku seperti orang yang telah kehilangan separuh hidupku, dan memang seperti itulah aku. Aku yang sekarang hanyalah sekedar melanjutkan hidup, karena kebahagiaanku sudah tertinggal di masa lalu.
Sampai pintu ruangan terbuka, disana nampak terlihat seorang pria dengan kursi rodanya. Aku tersenyum tipis dan segera menghampirinya. Namun pria itu sama sekali tidak membalas senyumanku.
“Kenapa wajahmu seperti malas melihat suamimu sendiri?” Ucapnya.
Ya, dia adalah suamiku. Arnold, seorang suami yang tidak pernah aku inginkan dalam hidupku. Sebuah pernikahan bisnis yang aku jalani sejak usiaku 19 tahun, dimana saat itu aku baru saja lulus dari Sekolah. Dan orang tuaku langsung memaksaku menikah dengan anak rekan bisnisnya yang menderita kelumpuhan.
Dan semenjak itulah kehidupanku menjadi semakin rumit, semakin menyedihkan dan membuatku muak. Karena hidupku bukanlah milikku sendiri, aku hidup untuk orang lain di sekitarku. Kira-kira seperti itulah orang tuaku mengatakannya padaku.
“Ayo kita pulang sekarang suamiku” ucapku dengan sopan, lebih terdengar seperti ucapan pembantu kepada majikannya.
Aku mendorong kursi roda melewati lorong rumah sakit. Aku selalu melakukan hal seperti ini secara rutin sejak usiaku 19 tahun, aku lebih terlihat seperti pengasuhnya, sangat menyedihkan. Aku benar-benar telah meninggalkan semua masa laluku yang indah demi sebuah penderitaan.
Setiap langkah kaki yang aku lewati, selalu di selimuti dengan banyak penyesalan dalam hidupku, dimana aku selalu mengatakan ‘seandainya’. Seandainya waktu bisa di ulang, maka aku adalah orang pertama yang akan berlari untuk memperbaiki semuanya.
Seperti hari ini, langkahku tiba-tiba berhenti saat mataku melihat kembali orang dari masa laluku. Air mataku selalu menetes setiap kali aku melihatnya, tanganku gemetar setiap aku berpapasan dengannya. Seorang pria dari masa laluku yang telah aku sakiti, seorang pria yang selalu menempati singgasana dihatiku, dia adalah Prince.
Cinta pertamaku yang mempunyai nama yang tak biasa, Prince.
Rasa bersalah kepada pria itu, membuatku menangis setiap melihat wajahnya, seolah kenangan masa lalu kembali berputar di ingatanku. Mengingatkanku kembali dengan rasa sakit yang aku berikan padanya.
“Kenapa berhenti?” Ucap Arnold, membuatku tersadar.
“Ah maafkan aku!” Ucapku dengan cepat mengusap air mataku.
Aku melanjutkan langkahku, aku selalu melihat kearahnya saat dia semakin mendekat kepadaku. Tapi apa yang kuharapkan? Dia bahkan sama sekali tidak melihat kearahku. Dia hanya melangkah dengan wajah dinginnya seperti orang asing.
Dan disitulah aku tersadar, bahwa kesalahanku memang tidak bisa termaafkan.
Sampai pada akhirnya waktu cepat berlalu, suamiku Arnold baru saja meninggal dunia.
Aku menangis seperti orang yang berduka pada umumnya, memakai pakaian serba hitam sembari memegang payung hitam untuk melindungi diriku sendiri dari guyuran air hujan. Banyak orang yang mengkasihaniku karena aku menjadi seorang janda di usiaku yang baru menginjak 28 tahun.
Uluran tangan untuk menguatkanku selalu datang bergantian, sementara aku? Aku hanya terus menatap gundukan tanah yang sudah menjadi tempat peristirahatan terakhir suamiku. Aku mengucapkan banyak kata di hatiku, seperti…
“Maafkan aku suamiku. Aku tidak pernah mencintaimu selama ini” batinku sembari menatap kuburannya.
Sampai orang-orang mulai kembali, menandakan bahwa upacara pemakaman telah selesai. Aku melangkah maju untuk mengelus batu nisan itu, aku tersenyum hangat kepadanya. Bagaimanapun aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk merawatnya selama ini, aku akan melupakan perlakuan buruknya selama ini.
“Aku memaafkanmu Arnold” ucapku.
Hujan semakin deras, aku berbalik bermaksud untuk kembali ke dalam mobilku. Tapi langkahku terhenti, tubuhku membeku saat melihat seseorang di depanku sedang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku mendadak membisu, tidak bisa mengeluarkan satu kata pun dari mulutku.
“Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu” ucapnya dan pergi begitu saja meninggalkanku yang masih diam membeku.
“Prince!” Teriakku.
Tapi pria itu terus melangkah menjauh dariku, saat ini aku merasa bahwa yang aku alami hanyalah sebuah khayalanku. Aku tidak benar-benar berteriak memanggil namanya, dan dia tidak benar-benar datang ke pemakaman suamiku.
Aku menangis sejadi-jadinya, merasakan rasa sesak di dadaku kembali. Mengingat kembali kesalahanku yang tak termaafkan. Aku ingin kembali ke masa indah itu, aku ingin memperbaiki semuanya…
••••••••
Terimakasih sudah baca cerita aku ya… :)
Kisah ini berawal dari kisah manis yang di alami oleh remaja berusia 18 tahun.
Star High School, sebuah tempat belajar bagi siswa dari kalangan atas. Harga biaya sekolah disini sangatlah tinggi, membuat hanya sebagian orang saja yang bisa masuk ke sekolah ini. Bagi mereka yang beruntung, mereka bisa menggunakan beasiswa untuk bersekolah di tempat ini.
Dan untuk yang pertama kalinya, Teresa menginjakkan kaki di sekolah ini. Dia turun dari mobil hitamnya dengan rambut panjang yang dia biarkan cantik tergerai. Banyak pasang mata yang memperhatikannya. Tapi Teresa tidak peduli dengan semua itu, dia hanya akan menyelesaikan tahun terakhirnya di sekolah ini dengan tenang.
“Ini adalah sekolah ketiga yang aku datangi dalam setahun” ucapnya mengedarkan pandangannya ke gedung sekolah yang megah.
“Teresa?” Ucap seseorang yang tiba-tiba datang dengan papan namanya.
“Kau?” Teresa menatap kearahnya bingung.
“Aku Zeva! Aku teman sekelasmu yang ditunjuk untuk menjemputmu dan mengantarkanmu kedalam kelas” ucap Zeva dengan ramah.
“Salam kenal Zeva, aku Teresa” ucapnya dengan senyuman tipis.
Mereka berjalan bersama memasuki gedung sekolah, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka di setiap langkahnya. Sampai mereka berada di lantai tiga, tempat kelas mereka berada. Teresa masuk dengan langkah yang ragu saat suasana kelas menjadi sunyi saat dia pertama kali masuk kedalam kelas. Dia mulai berpikir apakah ada sesuatu yang salah darinya.
‘Duar!!!
“Selamat datang murid baru!!!” Teriak mereka semua dengan sangat antusias.
Teresa tersenyum saat mendapatkan penyambutan yang mengejutkan ini. Dia membungkukkan tubuhnya untuk berterimakasih kepada mereka semua. Zeva segera menarik tangannya untuk pergi ke meja belajarnya.
“Ini adalah kursi yang sudah di sediakan khusus untukmu” ucap Zeva menepuk bahu Teresa pelan.
“Kamu dimana?” Tanya Teresa menanyakan meja Zeva.
“Aku disini!” Ucapnya sembari menunjuk kursi yang tepat berada di sampingnya.
“Ahh jadi kita adalah teman sebangku” ucap Teresa mengangguk mengerti.
“Kamu benar sekali Teresa!” Ujar Zeva tersenyum dengan lebarnya.
‘BRAK!!
Tiba-tiba pintu terbuka, dan munculah seorang lelaki berwajah datar masuk dengan banyak buku menumpuk ditangannya. Dia meletakan tumpukan buku itu diatas meja guru, dan selanjutnya dia berdiri di depan kelas dengan sorot mata yang tegas.
“Perhatian semuanya!!” Teriaknya, dia berhasil membuat kelas yang ramai menjadi sunyi.
“Dia adalah ketua kelas kita, dia berkepribadian buruk” bisik Zeva.
Teresa menatap Zeva sekilas setelah mendengar bisikannya. Lalu matanya kembali menatap lelaki yang sedang berdiri di depan kelas dengan aura kepemimpinannya. Tatapannya yang menusuk, mampu membuat semua orang terdiam patuh.
“Hari ini guru matematika sedang rapat, jadi kalian di perintahkan untuk belajar mandiri dengan buku yang akan aku bagikan sebentar lagi” ucapnya.
Semua orang yang mendengar kabar absennya guru matematika seketika bersorak gembira. Mereka bahkan terdengar seperti merayakan ketidakhadiran sang guru matematika. Membuat Teresa tersenyum melihat keadaan kelas yang ramai.
“Dan kau!” Ucap sang ketua kelas menunjuk Teresa.
“A-Aku?” Teresa menjawabnya dengan terbata.
“Kau murid baru kan?” Tanyanya, dan Teresa mengangguk.
“Majulah sebentar dan perkenalkan dirimu!” Ucap ketua kelas dengan nada memerintah.
Dengan ragu Teresa mulai bangkit dari duduknya. Dia berjalan maju dan berdiri di samping sang ketua kelas yang memiliki postur tubuh jauh lebih tinggi darinya. Teresa meliriknya sekilas, dia segera memalingkan wajahnya saat mata mereka saling bertemu.
“Namaku Prince, aku ketua kelas disini” ucapnya, mengulurkan tangan kepada Teresa.
Teresa menatap uluran tangan itu, lalu tatapannya beralih menatap wajahnya yang sedang melihat kearahnya. Dia menatap lekat-lekat tanpa berkedip kearah lelaki yang bernama Prince itu.
“Tunggu! Prince! Namamu Prince?” Ucap Teresa menatapnya tak percaya.
“Aku tau namaku memang sedikit berbeda dari yang lain, tapi aku tidak bisa mengubahnya karena menghargai orang tuaku yang sudah memberikan nama untukku” jelas Prince dengan tatapan dinginnya.
Teresa yang mendengarnya dengan cepat menggeleng pelan, dia berusaha menyadarkan dirinya sendiri yang berbicara dengan seenaknya dan melupakan perkenalan sopan yang harus dia lakukan sekarang.
“Maaf! Namaku Teresa!” Teriaknya dengan ragu.
Perkenalan yang terlihat terlalu bersemangat itu membuat semua orang menatapnya aneh. Termasuk Prince yang langsung bergeser untuk sedikit menjauh darinya. Membuat Teresa memainkan ujung rambutnya karena gugup.
“Kau bisa perkenalkan dirimu kepada mereka sekarang” ucap Prince menoleh kearahnya sekilas.
Teresa memejamkan matanya sejenak menahan rasa malu di dalam dirinya. Ia mengutuk dirinya sendiri yang gugup akibat mendengar nama seseorang yang tidak biasa. Sang ketua kelas yang bernama Prince itu berhasil membuatnya salah tingkah.
“Perkenalkan semuanya, namaku Teresa. Semoga kita bisa berteman baik kedepannya, dan mohon bantuannya untuk hal-hal baru yang mungkin belum aku mengerti!” Ucap Teresa dengan senyuman yang dipaksakan.
“Baiklah, kau bisa kembali ke kursimu” ucap Prince tanpa melihat kearah Teresa.
Setelah semuanya kembali seperti semula, Prince mulai membagikan buku yang akan di gunakan untuk belajar mandiri hari ini. Dia membaginya satu persatu setiap meja.
“Latihan soal akan di kumpulkan 30 menit lagi! Aku akan menarik semua kertas tugas kalian tanpa terkecuali!” Ucapnya dengan tegas, membuat semua orang patuh kepadanya.
Suaranya yang lantang tiba-tiba melemah saat dia melihat sang murid baru tengah memperhatikannya. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Teresa memalingkan wajahnya.
“Apa dia tipe pria dingin yang ada di dalam novel-novel romantis?” Bisik Teresa kepada Zeva.
“Dia memang seperti itu! Julukannya adalah ‘Ice Prince!’” Bisik Zeva.
“Ice Prince? Apa dia sedingin itu?” Bisik Teresa lagi.
“Dia sedingin kutub utara” bisik Zeva sembari terkekeh.
Teresa menahan senyumannya, dia kembali menoleh untuk memperhatikan lelaki bernama Prince yang sudah menarik perhatiannya. Dan sialnya, mata mereka justru saling bertemu satu sama lain. Membuat Teresa membeku tak tau harus melakukan apa. Pada akhirnya dia hanya bisa mengabaikannya, melarikan diri dengan beralih menatap buku tebal di depannya.
••••
Jam pulang sekolah akhirnya berbunyi, semua siswa mulai mengemasi barang-barang mereka. Teresa dan Zeva berjalan bersama untuk menunggu jemputan mobil mereka di pintu masuk utama, kemudian hal yang menarik perhatiannya kembali melewatinya begitu saja.
“Prince? Dia naik sepeda ke sekolah?” Ucap Teresa tak percaya saat melihat Prince mengendarai sepedanya.
“Dia selalu seperti itu, dia memang suka sekali mencari perhatian” ucap Zeva sembari terkekeh.
“Apa keluarganya kurang mampu?” Tanya Teresa asal.
“Keluarganya kaya, ayah dan ibunya dokter. Tapi Prince selalu hidup dengan kesederhanaan” jelas Zeva.
Teresa benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki bernama Prince itu. Dia masih menatap kagum Prince yang berbeda dari siswa lainnya, dia memiliki daya tarik sendiri yang mampu mencuri perhatiannya.
“Aku duluan Zeva! Mobilku sudah sampai” ucap Teresa saat mobil jemputannya sudah datang.
“Sampai jumpa lagi Teresa!” Teriak Zeva melambaikan tangan padanya.
Teresa membuka kaca mobilnya dan membalas lambaian tangan itu. Kemudian mobilnya mulai melaju, Teresa mengarahkan wajahnya ke kaca mobil untuk melihat Prince yang sedang mengendarai sepedanya.
“Tolong jangan tutup kaca mobilnya pa!” Ucap Teresa pada supirnya.
“Baik nona” balasnya.
Teresa meletakan dagunya di jendela mobil yang terbuka. Tanpa sadar dia tersenyum saat memperhatikan Prince yang mengendarai sepedanya. Sampai mobil bertemu dengan lampu merah, Prince terlihat menjauh untuk berbelok kearah yang berlawanan dengannya. Seketika rasa kehilangan itu muncul dihatinya, membuat mata yang semula bersinar menjadi redup.
...----------------...
“Jangan lupa les nanti malam di tempat baru” ucap seorang wanita berumur 48 tahunan.
“Iya bu” balas Teresa kepada ibunya yang memasuki kamarnya.
Teresa menghela napasnya panjang, dia baru saja pulang dari sekolah, dan ibunya sudah memintanya untuk melakukan hal lain. Dengan terpaksa dia pergi ke kamar mandi untuk cepat membersihkan dirinya. Karena jam sudah menujukan pukul 6 sore, dan les akan di mulai jam 7 sebentar lagi.
Setelah bersiap dengan kaos putih dan rok jeans pendeknya, Teresa memoleskan lipstik tipis ke bibirnya. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai seperti biasa. Kemudian dia membawa tas ranselnya yang berisi buku-buku untuk kegiatan belajarnya.
“Apa tempat les nya sudah benar bu?” Tanya Teresa pada ibunya yang sedang fokus dengan dokumen di tangannya.
“Sudah” ucapnya singkat.
“Baiklah Teresa berangkat sekarang bu” ucap Teresa dan pergi keluar dari rumahnya.
Hawa dingin di malam hari membuat Teresa merapatkan jaket yang dia pakai. Dia sedikit menyesal karena memakai rok pendek di malam hari yang dingin ini. Dengan cepat Tere masuk kedalam mobilnya.
Tidak butuh waktu lama, akhirnya Tere sampai di sebuah tempat les yang sudah ramai dengan orang-orang seusianya yang masuk dengan tas di tangan mereka. Ada beberapa orang juga yang hanya membawa iPad.
“Apa mereka belajar hanya menggunakan iPad?” Batin Teresa, alisnya mengernyit tak mengerti.
“Pa supir bisa pulang dulu, aku akan pulang pukul 9, Pa supir bisa jemput aku di jam itu” ucap Teresa berbicara kepada supirnya.
“Baik nona” ucapnya dengan patuh.
Teresa mengangguk mengerti, dia hendak melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam gedung tiga tingkat di depannya. Tapi langkahnya terhenti saat dia melihat seseorang yang dia kenal sedang memarkirkan sepedanya di depan gedung les.
“Prince?” Ucap Teresa dengan kikuk.
Prince menoleh kearahnya, dia terlihat kebingungan saat pertama kali menyadari kehadiran Teresa. Dia berjalan mendekat dengan wajahnya yang datar, menatap Teresa sekilas sebelum akhirnya dia membuka mulutnya berbicara.
“Kau les disini juga?” Tanyanya, dan Teresa mengangguk.
“Ahh oke” ucapnya dengan sangat singkat dan padat ‘ahh’.
Teresa kebingungan saat Prince langsung pergi begitu saja setelah mengucapkan kata ‘Ahh’ yang terdengar sangat acuh tak acuh itu. Bagaimanapun di tempat ini hanya Prince lah yang Teresa kenal, mau tidak mau Tere harus berlari mengejarnya.
“Anu, Prince?” Ucap Teresa setelah berlari mengejarnya.
“Hm?” Balasnya dengan sangat singkat.
“Aku baru masuk ke tempat les ini, bisakah kau menjadi temanku di tempat ini?” Ucap Teresa dengan suara yang sangat imut.
“Oh oke” lagi-lagi Prince menjawabnya dengan singkat.
“Anu… Prince!” Ucap Teresa lagi.
“Hm?” Balasnya.
Teresa sedikit kesal dengan sikap acuh Prince kepadanya, bagaimanapun sebelumnya tidak ada yang berani mengabaikannya seperti sekarang. Diabaikan seperti ini membuat Teresa tidak nyaman.
“Bisa beritahu aku dimana kelas ini?” Ucap Teresa sembari memberikan detail kelas lesnya.
“Di sudut ruangan ini, disana ada kelas khusus murid baru” ucapnya.
Teresa mengangguk mengerti, dia menatap wajah Prince yang lebih dekat dengannya. Seperti sebuah waktu yang di perlambat, Tere merasa seperti terhipnotis dengan wajahnya yang tampan.
“Saat pulang nanti, bisakah kau menungguku?” Ucap Teresa memberanikan diri untuk mencuri kesempatan.
“Atas dasar apa aku harus menunggumu?” Ucapnya tanpa senyuman sedikitpun.
“Hah?” Respon alami Teresa saat mendengar jawaban Prince.
“Aku harus pergi sekarang” ucapnya dan pergi begitu saja meninggalkan Teresa yang masih menatapnya tak percaya.
•••
Pukul 20.30.
Les hari ini selesai lebih awal dari yang sudah di jadwalkan, membuat Teresa mempunyai waktu luang 30 menit sebelum supirnya menjemput. Dan waktu ini dia manfaatkan untuk mengajak Prince berbicara. Kebetulan kelas Teresa selesai lebih cepat dibandingkan kelas Prince.
Teresa berdiri di dekat sepeda milik Prince yang terparkir rapi di area khusus sepeda. Dia melihat bagaimana sepeda itu dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Karena penasaran, Teresa mengambil foto sepeda itu untuk mencari tau harga jualnya.
“Harganya terlalu mahal untuk ukuran sepeda” ucapnya setelah mengetahui harga sepeda milik Prince.
Tidak berselang lama Prince datang dengan ekspresi wajah khasnya, dia menatap Teresa sekilas sebelum dia menatap sepeda miliknya. Dan tanpa menyapa sedikitpun Prince membuka kunci sepedanya, dia mengabaikan Teresa yang jelas-jelas ada di dekatnya.
“Anu…Prince!” Panggil Teresa, terdengar sangat dipaksakan.
“Kenapa?” Jawabnya singkat tanpa menoleh sedikitpun.
“Bisa antar aku ke-“
“Tidak!” Prince menolaknya mentah-mentah bahkan sebelum Tere menyelesaikan ucapannya.
“Ahahahaha…” tawa palsu terdengar hampa.
Teresa menggigit bibir bawahnya menahan malu, ia menelan ludah dengan susah payah. Menarik nafas pelan, berusaha menenangkan diri. Sementara jemarinya gelisah memainkan ujung baju. Pipinya memanas, dengan cepat ia menutupnya dengan tangan.
“Aku pergi sekarang” ucap Prince hendak mengayuh sepedanya, tapi tangan Teresa memegangi tas ranselnya, membuat Prince nyaris terjatuh.
Prince menatap Tere geram, rahangnya mengeras tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tere menatap matanya cepat, lalu langsung menghindar. Prince sampai turun dari sepedanya dan berkacak pinggang di depan Teresa yang gugup.
“Apa kau tertarik padaku?” Ucapnya, membuat Teresa salah tingkah.
“Tidak! Aku hanya ingin lebih akrab dengan teman sekelasku. Kau pasti tau jika aku baru pindah ke kota ini, aku tidak memiliki banyak kenalan” jelas Teresa, matanya sibuk menghindar dari tatapan mata Prince padanya.
“Oke aku mengerti. Jadi kau ingin aku mengantarmu kemana?” Tanyanya terlihat sangat terpaksa.
“Toserba yang ada di perempatan sana” ucap Teresa menunjuk arah dengan jari tangannya.
“Baiklah cepat naik!” Ucap Prince kembali menaiki sepedanya.
Teresa terdiam, dia kebingungan mencari dimana tempat duduknya. Ia memegangi bagian belakang sepeda milik Prince yang seharusnya ada tempat duduk disana, tapi dia tidak menemukan tempat duduk itu. “Dimana aku harus duduk Prince?” Tanya Teresa tak mengerti.
“Disini” ucapnya sembari menunjuk sebuah besi di bagian depan sepeda. Yang itu tandanya, punggung Teresa akan sangat berdekatan dengan Prince saat dia menaiki sepeda itu.
“Tapi aku memakai rok pendek” ucap Teresa memperlihatkan roknya.
Prince hanya melihatnya sebentar, lalu dia melepaskan tasnya, kemudian melepaskan jaketnya. Teresa kebingungan melihatnya, tapi kemudian Prince memberikan jaket itu padanya.
“Ikat ini untuk menutupi rok pendek itu” ucapnya melemparkan jaketnya ke Teresa.
Teresa menatap jaket berwarna hitam di tangannya, dia meremasnya kemudian menciumnya, ada bau harum di jaket ini. “Inikah aroma wangi khas Prince” batinnya.
Dengan senyum tipisnya, Teresa segera mengikat jaket itu di pinggangnya. Kemudian dia langsung naik ke sepeda Prince dengan ragu, bahkan jantungnya sudah berdegup lebih kencang saat wajah Prince berada sangat dekat dengannya.
“Berpegangan yang erat!” Ucapnya sebelum melajukan sepedanya.
“Oke Prince” gumam Teresa.
Angin yang menerpa wajah Teresa membuat rambut panjangnya tergerai kebelakang mengenai wajah Prince. Tangannya semakin kuat memegang stang sepeda saat ia mencium bau harum strawbery khas shampo seorang gadis muda dari rambut Teresa. Prince sesekali melihat kearah wajah Teresa yang selalu tersenyum saat melihat pemandangan di malam hari dari atas sepeda bersamanya.
Sampai pada akhirnya mereka sampai di toserba yang di maksud Teresa. Prince menghentikan sepedanya tepat di depan toserba itu, sementara Teresa langsung turun dari sepedanya. Mulutnya baru terbuka bermaksud untuk mengatakan sesuatu, tapi Prince langsung pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padanya.
“Prince!! Jaketmu!” Teriak Teresa dengan sangat keras, tapi suara kendaraan mengalahkan suaranya. Prince melaju cepat mengayuh sepedanya.
“Benar-benar Ice Prince!”
“Aku akan mengembalikan jaketnya besok”
Teresa melepaskan jaket yang mengikat di pinggangnya. Tanpa sadar dia tersenyum saat menatap jaket berwarna hitam itu, sementara tangannya reflek memegangi dadanya yang berdegup kencang.
“Ada apa denganku?” Batinnya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!