NovelToon NovelToon

Ruby Yang Berduri

RYB 1. Sebagai Pembayar Kekalahan.

Malam itu, Cakra pulang. Sedari keluar dari dalam mobil, langkah pria berusia dua puluh empat tahun itu sudah begitu cepat. Setengah berlari ia masuk ke dalam rumah, dan langsung mengarah ke sebuah kamar yang berada di bagian belakang lantai pertama—deretan kamar pelayan.

Brakk!

Cakra membuka salah satu pintu kamar dengan kasar. Ia masuk dan langsung mencengkram erat tangan Ruby yang terkesiap akan kedatangannya.

"Kak, Cakra?" Ruby terkejut. Ia berusaha menarik tangannya dari cengkraman tangan Cakra. "Ada apa?"

"Sudah jangan banyak tanya. Ikut aku! Sekarang!"

Cakra menarik paksa Ruby. Menyeretnya keluar dari dalam kamar dan ingin membawanya untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Kak, tunggu, Kak! Lepas! Kakak mau membawaku ke mana? Aku tidak mau ikut!" Ruby berusaha keras melepaskan diri. Penciumannya bisa merasakan aroma alkohol yang menguar dari pakaian Cakra.

Kakaknya mabuk, batin Ruby waspada. Gadis itu merasakan jika Cakra akan melakukan hal yang buruk terhadapnya. Apa ia akan disiksa lagi? Tapi kesalahan apa yang sudah ia lakukan?

Ruby menahan kuat langkahnya, berusaha menghentikan apa yang ingin Cakra lakukan. Ia tidak ingin ikut ke manapun Cakra membawanya.

Namun, tarikan Cakra yang merupakan seorang laki-laki begitu kuat, kalah dengan pertahanan Ruby. Tubuhnya tetap terseret dan ia terus memohon agar Cakra tidak membawanya.

"Kak Cakra, mau ke mana kau membawa Ruby?"

"Rachel... Rachel... tolong aku! Kak Cakra sepertinya sedang mabuk." Di sela langkah Cakra menariknya, Ruby berusaha meminta tolong pada Rachel yang baru saja turun dari lantai atas. Di belakang adik tirinya itu juga ada mommynya-Shinta Sechan. "Mom, tolong Ruby, Mom. Kak Cakra ingin membawa Ruby."

Rachel dan Shinta menatap heran pada Cakra, seakan menunggu jawaban dari pria itu. Apa yang sebenarnya ingin Cakra lakukan pada Ruby?

"Aku hanya membawanya sebentar. Kali ini dia bisa berguna untukku."

Hanya itu jawaban yang Cakra berikan pada Mommy dan adiknya. Ia kembali menyeret Ruby yang masih terus dengan usaha penolakannya terhadap keinginan Cakra.

Cakra menarik tangan Ruby dengan kasar, memaksanya untuk mengikuti. Ruby berusaha melepaskan diri, tapi Cakra terlalu kuat.

"Tolong lepaskan aku, Kak! Aku tidak ingin ikut!" Ruby sudah terisak kecil. Merasakan sakit, tak hanya di pergelangan tangannya, tapi juga pada setiap perlakuan kasar yang ia dapatkan dari sang kakak.

Ini bukan pertama kalinya Cakra berbuat demikian. Cakra mudah dan ringan tangan pada Ruby. Cakra bahkan terbiasa membentak adiknya itu, jika tengah memberikan perintah ataupun membutuhkan bantuan Ruby.

Cakra terus menyeret Ruby hingga mereka mencapai mobil yang terparkir di depan rumah. Ruby berusaha melawan, tapi Cakra dengan mudah mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam mobil.

"Diam! Kau tidak punya hak untuk menolak. Aku adalah kakakmu!" Cakra membentak, selalu menekankan bahwa ia adalah kakak Ruby—Ruby harus menuruti semua perintahnya.

Setelah Ruby berhasil dimasukkan ke dalam mobil, Cakra segera mengunci pintu dan menyalakan mesin kendaraannya, sementara Ruby terus berusaha melawan, tapi sia-sia. Mobil sudah melaju meninggalkan rumah.

Ruby merasa marah sekaligus tak berdaya untuk melawan paksaan kakaknya. Ia hanya bisa menangis dengan gumaman kecil agar Cakra membebaskannya.

Sampai saat mobil Cakra berhenti di depan sebuah club. Pria itu kembali menyeret Ruby dengan kasar. Ia membawa paksa Ruby masuk ke tempat hiburan malam itu. Cakra menuju ke salah satu ruangan VIP—tempat ia dan teman-temannya berkumpul.

Mendapati dirinya dibawa ke sebuah club, Ruby semakin ketakutan. Ia terus memohon kepada kakaknya agar melepaskannya juga mengurungkan apapun niat buruk Cakra yang ingin dilakukan terhadapnya.

Akan tetapi, teriakan bahkan tangis memohonnya diabaikan oleh Cakra. Ruby terkesiap saat kakaknya membawa ia masuk ke sebuah ruangan yang sudah begitu ramai dengan para laki-laki.

Ruby menatap semua pria yang terlihat terkejut dan sebagian tertawa menyambut kedatangan Cakra. Ruby mengenal beberapa di antara mereka yang merupakan teman-teman kakaknya-Cakra.

"Wah...wah... Kau benar-benar membawa adikmu, Cakra?"

"Aku pasti akan menepati kata-kata yang sudah aku janjikan!" jawab Cakra tegas.

Mereka yang bukan bagian dari teman-teman Cakra itu seketika tergelak—tertawa bersamaan mendengar ucapan Cakra.

"Cakra, kau tidak serius ingin memberikan Ruby pada mereka, kan? Ini hanya permainan. Kau jangan gila!" Kevin mendekati temannya itu. Ia menatap prihatin pada Ruby yang berusaha melepaskan cengkraman tangan Cakra dengan menangis.

"Haha, temanmu itu sudah kalah, Kevin. Dia sendiri yang menawarkan kesepakatan untuk memberikan adiknya pada Emer."

"Tapi, bukankah yang diinginkan Emer adiknya-Rachel?" sela pria lain yang merupakan teman dari lawan taruhan Cakra.

"Dia juga adikku." Cakra menarik kuat Ruby dan melemparkan adiknya itu pada pria-pria yang ada di hadapannya. "Aku membayar kekalahanku dengannya. Katakan itu pada Emer!"

Deg!

Ruby tersentak dengan ucapan Cakra.

Mata basah gadis itu terbelalak, terbuka lebar menatap Cakra dengan luapan emosi kemarahan, terkejut, dan juga syok.

"Kak, a-pa yang kau katakan? Tidak mungkin! Aku tidak mau! Jangan jadikan aku bahan taruhan!"

Cakra hanya tersenyum sinis, tidak perduli dengan reaksi Ruby. "Kau tidak berhak menolak. Setidaknya kau berguna untuk memuaskan napsu mereka. Tidak hanya menjadi beban keluarga. Dasar anak penyakitan!" ucap Cakra dingin.

Duar!

Ruby merasa seperti dihantam petir. Dunia di sekelilingnya seketika runtuh, hancur berkeping tanpa ampun.

Kakaknya sendiri menjadikan dirinya sebagai bahan taruhan? Menyerahkan adiknya sendiri tanpa hati nurani? Apakah ini semacam hukuman yang biasa Ruby dapatkan? Tapi hukuman menjijikan apa ini? Apakah ini akhir dari segalanya? Ruby merasa jijik, marah, sekaligus sedih—tidak percaya bahwa kakaknya bisa tega melakukan hal seperti ini padanya.

"Tidak! Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Kak!" Air mata Ruby mengalir deras, tubuhnya yang ditahan dua orang pria itu bergetar ketakutan.

Namun, Cakra abai. Ia segera berlalu dari sana setelah menyerahkan Ruby sebagai pembayar kekalahannya.

"KAU TIDAK BISA MELAKUKAN INI PADAKU, KAK!!" Ruby berteriak. Kemarahan dan kekecewaan tercermin jelas dari mata basahnya yang melihat Cakra pergi begitu saja meninggalkan dirinya.

"KAU...KAU MEMANG IBLIS!" teriak Ruby kencang. Ia begitu hancur. Ruby terus berteriak penuh emosi, seolah-olah dia berusaha melawan nasib yang selalu saja ditentukan untuknya.

Ruby merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri, seperti terseret ke dalam jurang keputusasaan tanpa harapan untuk bisa keluar.

***

Taruh episode pertama dulu, dah mendesak kali Ruby dalam kepala Author minta dikeluarkan🤣

Lanjut lagi garap Nathan-Ivan😉😆

🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️😆🤣

RYB 2. Gadis Penyakitan.

Ingin rasanya tak percaya, tapi inilah realita. Ruby kembali dikorbankan. Lagi, untuk kesekian kalinya, dan ini lebih keji dari semua perlakuan semena-mena yang pernah Ruby terima dari keluarganya.

Ia dijadikan penebus kekalahan oleh kakanya sendiri.

Ruby terisak. Teriakan marah serta kekecewaannya tak memiliki arti—lenyap begitu saja ditelan hembusan malam seiring kepergian Cakra yang benar-benar meninggalkannya.

Dunia seorang Ruby Carlene telah berhenti berputar. Kini, ia dibawa masuk ke dalam sebuah kamar dan dikunci.

"Biarkan dia di sana. Kita tunggu Emer datang."

"Aku kira Cakra hanya memiliki Rachel sebagai adiknya, ternyata dia masih memiliki adik lain yang jauh lebih cantik," suara lain menimpali.

"Kita lihat saja, apa Emer akan menerimanya."

"Aku yakin Emer akan langsung menyukainya," jawabnya dengan tertawa.

Ruby bisa mendengar suara-suara para pria itu dari balik pintu yang sudah dikunci. Netranya yang menatap lurus kian memerah menahan tangis dan amarah. Tangannya mengepal kuat. Jadi yang mereka inginkan sebenarnya adalah Rachel? Tapi kenapa dirinya yang diberikan Kak Cakra?

Senyum pahit terukir di bibir Ruby. Air matanya kembali menetes. Meratapi nasibnya yang tidak pernah dicintai bahkan kini harga dirinya dikorbankan—setidak bernilai itu dirinya di mata keluarganya sendiri.

"Kenapa? Kenapa harus aku, Kak?" isak Ruby. Seakan masih bisa melontarkan protesnya pada Cakra. "Mereka menginginkan Rachel. Bukan aku! Tapi kau malah memberikanku! Kau selalu tidak adil padaku!"

Parau sudah suaranya. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya.

Ruby menghapus kasar air mata saat pintu kamar terbuka. Seseorang masuk dan mereka saling menatap.

Emer yang baru datang terdiam tanpa suara. Sempat terkejut saat melihat sosok yang ada di dalam kamar ternyata bukanlah seseorang yang ia harapkan.

"Kau adiknya Cakra?" tanya Emer, suaranya tegas dan dingin, mata tajamnya menembus jiwa, sementara wajah tampan dengan rahang yang kuat membuatnya terlihat seperti patung hidup.

"Bukan!" jawab Ruby lekas. Sebisa mungkin ia menyembunyikan getar takut di balik suaranya saat menerima tatapan Emer. "Cakra sudah menipumu. Adiknya adalah Rachel. Aku bukan adiknya!" Lebih tegas lagi Ruby mengatakannya.

Selain berharap pria yang ada di hadapannya bisa terpengaruh dan membatalkan semua niat buruknya, kata-kata Ruby juga seakan menggambarkan kemarahannya saat ini—Cakra bukan lagi kakaknya.

Melepas blazer yang menjadi outer kaos putih yang ia kenakan, Emer dengan santainya mendekati Ruby. Pria itu memperhatikan Ruby intens; wajah sembab, mata merah dan bengkak, serta bibir yang juga ikut memerah, tapi tetap terlihat memiliki daya tarik yang kuat.

Emer tersenyum kecil. Ruby tidak terlalu buruk, pikirnya. Ia mendorong tubuh gadis itu hingga terjerembab ke atas ranjang dan Emer langsung mengukungnya.

"Aku pasti akan mengurus Cakra sialan itu nanti, karena berani menipuku. Saat ini aku menginginkanmu."

Emer mencium Ruby. Ia juga langsung mencengkram erat tangan Ruby yang berontak memukulinya. Ia memangut paksa bibir lembut itu, menyusuri leher jenjang Ruby dan meninggalkan jejaknya di sana.

Ruby menangis, tubuhnya bergetar hebat di bawah paksaan yang terus Emer lakukan. Menjijikan!! batin Ruby terisak dan berteriak. Air matanya mengalir deras. Ia frustasi dan putus asa.

"Tunggu..." parau Ruby. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Tunggu..."

"Apa lagi?" Emer akhirnya menghentikan aksinya. Ia menatap tajam Ruby yang menangis di bawah kungkungannya. "Cakra sudah memberikanmu padaku! Kau milikku sekarang! Jadi sia-sia saja kau berontak ataupun menolak!"

Ruby mengangguk. Ia menghentikan isakannya dan menatap Emer. "Biarkan aku bersiap. Ini...ini pertama kalinya untukku."

Netra Emer melebar, terkejut dengan ucapan Ruby.

"Aku hanya perlu mandi."

Sejenak Emer tampak berpikir, sebelum akhirnya beranjak turun dari atas tubuh Ruby. Ia juga yang menarik gadis itu untuk bangun, dan menggerakkan kepalanya—mengizinkan Ruby untuk mandi.

"Tunggulah," kata Ruby sebelum ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

Emer hanya diam, ia duduk di tepi ranjang menunggu Ruby yang mempersiapkan diri untuk ia tiduri.

Sementara itu di dalam kamar mandi, Ruby benar-benar membersihkan dirinya. Tanpa melepaskan pakaiannya, gadis itu terduduk di bawah derasnya shower dingin yang mengguyur seluruh tubuhnya.

"Menjijikan," isaknya dengan tangan yang mengusap bibir serta lehernya yang sempat dicumbu Emer. Ruby terus melakukannya, ia menggosok kuat tubuhnya, lehernya bahkan semakin memerah karena perbuatannya itu.

Shower mengalir begitu deras, mampu menyamarkan banyaknya air mata yang Ruby tumpahkan. Dinginnya menusuk kulit, membuatnya mulai menggigil, tapi Ruby tidak perduli. Ia membiarkan air itu terus menerus menghantam dirinya, bahkan saat Emer memanggilnya pun Ruby hanya diam, mengabaikannya.

Hingga beberapa saat berlalu, Ruby akhirnya mengakhiri pembersihan dirinya. Dengan hanya menggunakan bathrobe putih, gadis itu keluar.

"Kenapa lama sekali? Kau tidur di dalam sana?!" tanya Emer tajam, karena Ruby terlalu lama berada di dalam kamar mandi.

Ruby tak menjawab, ia berlalu melewati Emer begitu saja dan berdiri di tepi ranjang. "Kau bisa memulainya," ucap Ruby. Ia siap menghadapi takdirnya.

Emer bisa melihat perbedaan dari wajah Ruby. Wanita itu terlihat pucat, sorot matanya tak lagi berpendar. Namun, Emer tetap maju. Ia tetap menginginkan Ruby.

Ruby membiarkan apapun yang ingin Emer lakukan. Gemuruh di hatinya terus meningkat, tapi ia tak lagi menangis. Wajahnya yang pucat kian memutih, benaknya terus berharap bahwa kekurangannya bisa membuatnya bebas dan Emer tidak lagi menginginkannya.

"Hacimmm!"

Bersin Ruby menghentikan cumbuan Emer.

"Hacimmm! Hacimmm!"

Ruby mengusap hidungnya yang mengeluarkan cairan. Ia akhirnya flu dan bersin-bersin. Entah kenapa kali ini Ruby bahagia akan kedatangan penyakitnya.

"Hacimmm! Hacimmm!"

Bersin Ruby tak berhenti, bahkan mengenai wajah Emer. Pria itu dengan kasar menjauh dari Ruby dan mengusap wajahnya.

"Kau bervirus?!" tanya Emer tajam.

Ruby mengangguk, ia meraih tali bathrobe saat ingin membuang ingus dari hidungnya. Ia melakukan itu semua di bawah sorot mata tajamnya Emer.

Begitu banyak. Menjijikan sekali! batin Emer beranjak semakin jauh dari Ruby.

"Dasar gadis penyakitan! Sialan kau, Cakra!" umpat Emer kesal pada Cakra yang memberikan padanya gadis penyakitan.

"Aku tidak apa-apa. Aku masih bisa melayanimu... Hacimmm! Hacimmm!" Ruby kembali mengeluarkan cairan dari hidungnya, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.

Membuat Emer semakin jijik. Ia tidak ingin menyentuh Ruby.

"Menjauh dariku. Kau membawa virus!" Emer langsung meraih blazernya dan keluar dari dalam kamar dengan membanting pintu.

RYB. 3. Ruby Pergi Dengan Membawa Duri.

Ruby bergegas turun dari ranjang setelah kepergian Emer. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan memakai pakaiannya meski masih basah. Ia harus segera meninggalkan club, sebelum Emer berubah pikiran atau hal buruk lainnya bisa saja menimpanya.

Keluar dari dalam kamar, Ruby langsung menuju pintu club, tapi di tengah langkahnya, ia melihat Emer yang sedang duduk bersama teman-temannya di salah satu meja.

Deg!

Jantung Ruby serasa ingin lepas, ketika mata tajam itu menguncinya. Tapi Ruby tetap meneruskan langkah dengan membuang pandangan—berpura-pura tidak melihat Emer.

"Kau yakin melepaskannya, Emer? Dia sangat cantik. Kalau untukku saja, bagaimana?" tanya teman Emer yang memang sedari awal melihat Ruby sudah terpesona dengan kecantikan wajah gadis itu.

Teman-teman Emer begitu terkejut saat mengetahui Emer tidak jadi menyentuh Ruby. Karena Ruby memiliki rupa yang begitu cantik, mereka yakin Emer akan langsung tertarik. Tapi nyatanya, pria itu melepaskan Ruby begitu saja.

"Dia gadis penyakitan. Bahkan di tubuhnya banyak terdapat krusta (koreng). Kau mau tertular? Aku akan memberi pelajaran pada Cakra, karena sudah berani menipuku!" ucap Emer tegas, netra tajamnya masih memperhatikan kepergian Ruby. Ia lekas meraih gelas minumnya dan langsung menegaknya.

Teman-teman Emer kompak mengangguk. Mereka membiarkan Ruby keluar dari club, karena percaya dengan perkataan Emer.

Ruby masih bisa mendengar semua ucapan Emer tentangnya, tapi ia sama sekali tidak perduli. Terserah Emer ingin menyebutnya gadis penyakitan ataupun lebih buruk dari itu. Ruby hanya ingin bebas, ia tidak ingin membayar kekalahan Cakra dengan tubuhnya.

Air mata Ruby kembali menetes. Cakra sungguh tega mengorbankannya. Ruby memeluk erat tubuhnya yang semakin dingin diterpa angin malam. Bersin serta flu ia usap sekedarnya dengan ujung lengan pakaiannya. Ruby terlihat begitu kacau, juga menyedihkan.

Dalam keadaan yang memperhatikan itu, Ruby memutuskan untuk langsung pulang ke rumahnya. Perbuatan Cakra sudah sangat keterlaluan. Ruby akan mengatakan ini pada Mommy dan juga daddynya. Ruby berencana mengadu.

Memasuki rumah melalui pintu samping, langkah Ruby semakin gemetar karena sudah menahan dinginnya angin malam. Wajahnya yang merah dan bengkak karena menangis membuatnya terlihat seperti telah kehilangan harapan, tapi ia akan tetap mengadukan perbuatan Cakra pada kedua orang tua mereka. Ruby berharap bisa mendapatkan pelukan dari mommynya dan pembelaan dari daddynya.

Tapi yang Ruby dapatkan bukanlah pelukan hangat ataupun pembelaan. Yang ia dengar adalah percakapan yang membuatnya merasa seperti disambar petir.

"Aku sudah memutuskan; Ruby akan dijodohkan dengan Tuan Herison, pria kaya raya dan berpengaruh." Suara daddy Ruby-Roger Sanders terdengar.

Duar!

Ruby mematung di balik tembok pembatas antar ruang tamu. Tubuhnya yang menggigil kini seakan mati rasa seiring suara-suara yang terus ia dengar.

"Tapi, bagaimana jika Ruby tidak setuju, Dad?" Shinta Sechan-mommy Ruby bertanya pada suaminya. Ia tampak khawatir Ruby akan menolak, mengingat usia Tuan Herison yang sudah sangat tua.

"Ruby tidak akan membantah ucapanku. Ini adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga kita. Tuan Herison adalah pria kaya raya dan berpengaruh. Ruby akan hidup dengan baik di sampingnya," jawab Roger dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Ruby merasa seperti dipukul keras. Ia tidak percaya bahwa Roger bisa membuat keputusan seperti itu tanpa mempertimbangkan perasaannya. Ia merasa seperti tidak dihargai dan tidak dicintai.

Ruby ingin maju, ia tidak terima dan akan menolak perjodohan itu. Tapi kedatangan kakaknya-Cakra mengurungkan niatnya, dan juga pertanyaan yang Rachel lontarkan pada Cakra.

"Kau meninggalkan Ruby, Kak?" tanya Rachel menyambut kedatangan Cakra yang baru saja kembali. Ia menuruni anak tangga dan lekas bergabung di ruang keluarga—duduk manis di samping Shinta.

"Hm."

"Ke mana kau membawa Ruby?"

"Aku kalah taruhan. Aku serahkan dia sebagai pembayarnya, Dad."

"Apa?!" Suara keras Roger terdengar. Ia sudah menatap putra pertamanya dengan kilatan amarah. Namun, sang istri-Shinta dengan lekas mengusap pelan lengan suaminya.

"Dad, jangan marah pada Cakra."

"Kau tidak dengar? Dia sudah membawa Ruby dan memberikan anak itu pada temannya? Bagaimana janjiku dengan Tuan Herison, hah?" tanya Roger.

"Siapa Tuan Herison?" Cakra melempar pertanyaan pada kedua orang tuanya.

Roger yang tengah menahan amarah itu duduk kembali dengan menghempaskan diri. Ia minta Shinta untuk menjelaskan siapa Tuan Herison pada Cakra.

"Aaa... ternyata begitu. Bagus juga rencana Daddy. Dia jadi lebih berguna untuk keluarga ini, jika menikah dengan pria tua yang kaya raya. Daddy tenang saja, Ruby tetap bisa menikah dengan Tuan Herison, ia pasti pulang setelah ia melayani Emer."

"Emer?" tercengang Rachel mendengar ucapan kakaknya yang setengah mabuk itu. Rachel mengenal Emer-kakak tingkatnya yang merupakan putra seorang konglomerat. Salah satu pewaris perusahaan besar Rykhad Holdings.

Namun, Cakra tidak mengetahui siapa Emer sebenarnya. Mereka hanya saling mengenal karena menjadi salah satu pelanggan club malam yang sama.

Rachel tampak protes pada kakaknya saat mengetahui ke mana Cakra sudah menyerahkan Ruby. Keduanya berdebat dan membuat Roger serta Shinta pusing.

"Hentikan pertengkaran kalian. Kau harus memastikan Ruby pulang, Cakra!" tekan Roger pada putra pertamanya. "Dan kau, Rachel. Daddy juga akan menjodohkanmu dengan salah satu putra penguasa."

Rachel tentu terkejut mendengar perkataan Roger. Ia langsung menolak keras keputusan daddynya. Ia tidak ingin bernasib sama seperti Ruby—yang dijodohkan dengan pria tua

"Daddy tidak mungkin menjodohkanmu dengan pria sembarangan. Daddy ingin kau menikah dengan salah satu putra Tuan Reagan. Daddy sudah bicara dengannya." Senyum puas terukir di wajah Roger. Membayangkan dua perjodohan putrinya yang ia rencanakan terjadi, maka bisa dipastikan, tak hanya harta yang akan semakin berlimpah, tapi juga namanya yang akan semakin besar.

"Tuan Reagan? Pemilik Rykhad Holdings, Dad?"

Roger memberikan anggukan pada putrinya.

Melihat hal itu sontak saja Rachel bersorak riang, ia mendapatkan kabar yang begitu mengejutkan sekaligus membuat hatinya senang. Ia tentu saja tidak akan menolak.

"Tapi Daddy belum tahu; putra Tuan Reagan yang mana yang akan bertunangan denganmu." Roger mengusap sayang kepala Rachel yang kini sudah berpindah duduk di sampingnya dan langsung memeluknya.

Rachel tersenyum dengan mata terpejam. Ia membayangkan wajah Emer yang begitu tampan, berharap pria itu yang akan bertunangan dengannya. Tapi meskipun bukan Emer yang akan bersamanya, Rachel tidak keberatan jika harus bertunangan dengan saudara Emer yang lainnya.

Keempatnya tampak bahagia ketika membahas dua perjodohan yang terdengar begitu luar biasa.

Tak menyadari bahwa ada hati yang kini begitu hancur dan terluka saat mendengar semuanya dan juga melihat kehangatan mereka.

Di balik dinding, Ruby menahan isakan, air matanya mengalir deras seperti sungai. Tangannya mengepal erat. Perasaan sedih, kecewa, serta amarah serasa ingin meledak dari hatinya saat ini, tapi Ruby menahannya.

Bagai sebuah pion, hidupnya diatur dan dikendalikan sesuka hati. Ia tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Sesuatu yang dingin dan keras mulai muncul di hati Ruby. Kelemahan dan ketidak berdayannya selama ini seakan menyala. Ia merasa muak saat terus menjadi korban lemah dan tak berdaya.

"Aku tidak akan membiarkannya," gumam Ruby pelan. Namun, begitu menekan. "Tidak akan aku biarkan; kalian terus mengorbankanku."

Kemarahan dan kecewa yang terus dirasakan Ruby perlahan-lahan berubah menjadi dendam yang membara. Ia langsung berbalik dan memilih pergi meninggalkan rumah keluarga Sanders.

"Keinginan kalian tidak akan pernah terjadi. Tidak akan aku biarkan!"

Ruby pergi detik itu juga. Ia memutuskan meninggalkan rumah serta keluarga yang selama ini terus saja menancapkan duri di hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!