NovelToon NovelToon

ASMARA CINTA DUA TITISAN GHAIB

Satu

"Sayang, cepatlah, kita harus pergi hari ini, sebab acaranya esok hari." Kenzo mengamati jam tangannya yang sudah memperlihatkan pukul delapan pagi.

Ia akan menghadiri pernikahan putera dari rekan bisnisnya yang berada diluar kota.

"Iya, sudah siap, Kok." tampak wanita cantik sedang bersiap didepan cermin, dan kali ini mengikat rambut puterinya.

"Aku tunggu dimobil, ya, Sayang." Kenzo mengangkat dua buah tas yang berisi pakaian ganti dan sepertinya mereka akan menginap beberapa malam dihotel.

"Iya, Sayang," jawab sang istri yang bernama Adhisti. dan ia menyelesaikan kuciran dirambut puterinya.

"Sudah, Sayang. Ayo!" ajaknya, lalu beranjak dari tempatnya, dan mereka keluar dari ruang kamar, lalu menuju halaman depan tempat dimana Kenzo sang suaminya sedang menunggu mereka.

Pria itu melirik sang istri yang terlihat sangat begitu cantik sekali, meskipun hanya berdandan sederhana tanpa make up yang tebal.

"Kamu cantik sekali, Sayang." pujinya dengan mengembangkan senyumnya yang mana ia selalu merasakan cinta saat bersama dengan sang wanita.

"Kau juga tampan," balas sang istri, yang tak lain adalah Adhisti.

Seketika wajah suaminya memerah saat mendapatkan pujian dari istrinya.

Sedangkan disisi lain, gadis kecil yang berada dijok tengah, seolah tak mereka anggap. Ia hanya menjadi saksi keromantisan dari dua insan yang sedang dimabuk cinta.

Gadis kecil itu adalah Dewi Pandita, yang mana merupakan puteri mereka satu-satunya dan ia hanya menonton kedua orangtuanya, yang tak henti-henti selalu mengucapkan kata 'Sayang'.

Kenzo menyetir mobilnya dan melaju membelah jalanan yang mulai tampak lengang.

Setelah hampir delapan jam menempuh perjalanan, Kenzo mulai memasuki jalanan sepi, karena harus melewati hutqn pinus yang berkelok .

Bahkan medan jalanananya selalu menanjak dan menurun.

Tiba-tiba saja, gadis kecil itu memandang sebuah jalanan setapak yang sekarang sudah mulai ditumbuhi rerumputan dengan hati yang terenyuh.

Disana ia pernah dibesarkan, dan tempat itu adalah saksi dimana jika ibundanya pernah mengasuh dirinya hingga sebesar ini.

Kenzo memperhatikan pandangan puterinya yang melirik kearah tersebut, hingga mobil melewatinya--pun ia memutar tubuhnya.

Kenzo memperlambat laju mobilnya, lalu memutar arah.

"Kita mau kemana?" tanya Adhisti dengan nada penasaran.

"Membawa Dewi Pandita pada kenangannya." Kenzo berbalik arah, lalu menerobos jalanan setapak yang mulai ditumbuhi rerumputan liar.

Setelah cukup jauh masuk ke dalam, akhirnya mereka tiba didepan sebuah rumah panggung dengan tungkainya setinggi hampir dua meter yang saat ini tampak tidak berpenghuni.

Suasana sepi, dan begitu lengang. Adhisti turun dari dalam mobil, begitu juga dengan Dewi Pandita yang saat ini tampak begitu antusias.

"Nenek...!" panggilnya dengan berteriak. Ia melewati rerumputan dan menapaki anak tangga untuk segera tiba diatas.

Tok tok tok

Pintu diketuk dengan begitu kencang. "Nenek, ini Dita," panggilnya dengan hati yang gelisah.

Adhisti ikut menapaki anak tangga, lalu mendorong pintu dengan perlahan.

Kreeeek

Pintu terbuka dengan lebar. Suasana begitu sepi, tak ada sesiapapun, sepertinya sudah beberapa waktu ditinggalkan.

"Nenek." Dewi Pandita melangkah masuk dengan langkahnya yang sangat hati-hati, dan ia mengedarkan pandangannya kesegala arah, namun tidak ada sesiapa-pun yang terlihat.

Gadis kecil itu menuju dapur, disana terlihat tumpukan piring yang baru saja dicuci terakhir kali saat ia dan ibunya meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, Adhisti memasuki kamar. Ia dikejutkan oleh sisik ular berwarna kuning keemasan yang baru saja berganti, dan sepertinya itu baru beberapa hari yang lalu.

Adhisti menyentuhnya, dan sepertinya tempt ini tqk lagi berpenghuni.

"Bu, apakah nenek ditemukan?"

"Hah!" Adhisti tersentak kaget saat puterinya tiba-tiba saja datang dan sudah berdiri dibelakanngnya.

"Apa itu, Bu?" tanya sang gadis kecil saat dengan rasa penasaran.

"Oh, tidak apa-apa, hanya sisik ular yang sedang berganti kulit." Adhisti meletakkannya kembali ke atas ranjang dengan kasur kapas yang tampak mengempis.

"Apakah ada hal buruk yang terjadi pada nenek? Mengapa ada ular yang naik le atas ranjang?" tanyanha dengan penasaran.

"Namanya juga dihutan, pasti banyak ular." Adhisti berjalan keluar dan mengamit pergelangan tangan puterinya.

"Ayo kita pergi, sepertinya nenekmu sedang berbelanja ke kota," Adhisti berbohong pada puterinya.

"Jadi tidak bertemu nenek hari ini?" gadis kecil berusia 7 tahun itu tampak cemberut.

"Tidak untuk hari ini, Sayang. Lain kali kita berkunjung kembali." Adhisti menuruni anak tangga dan diikuti oleh puterinya yang masih belum puas untuk tinggal disini, dirumah penuh kenangannya.

Adhisti sudah tiba dihalaman, sedsngkan Kenzo menunggu mereka dihalaman, sembari mengutip beberapa bunga pinus yang terjatuh dibawah pohon.

Ia memungutnya, dan cukup banyak yang didapatnya, lalu mengambil bijinya dan memakannya, sebab ini adalah jenis pinus merkusii atau disebut kacang pinus tusam.

Adhisti memperhatikan tingkah suaminya yang layaknya seperti anak kecil dan berburu makanan.

"Apa yang sedang kau makan, Sayang?" tanyanya dengan mengerutkan dahinya.

Kenzo mengangkat sebutir kacang pinus tusam ke arah sang istri. "Ini, cobalah, enak rasanya, dan jika digongseng akan lebih gurih," ucapnya dengan santai.

"Heeem," Adhisti hanya mendehem.

Dewi Pandita sudah tiba dibawah. Ia masih merasakan ada sesuatu yang kurang, sedangkan Kenzo sibuk memasukkan kacang Tusam ke dalam mobil.

Setelah itu ia menghampiri keduanya. "Apakah ibu ada didalam? Tanyanya sembari mengunyah kacang pinus.

Adhisti menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ibu pergi," jawabnya lirih.

"Apakah sudah memeriksanya? Mungkin juga sedang ke kali," Kenzo terlihat celigukan mencari keberadaan sang ibu mertuanya.

"Ibu tidak ada disini, sebaiknya kita kembali ke tujuan awal saja, menghadiri pesta rekan bisnismu,"

Kenzo mencoba unruk memahami sang iatri sepertinya ia tidak ingin membahas tentang sang ibu yang tidak lagi menempati rumah tersebut.

"Bu," panggil Dewi Pandita dengan nada lirih.

"Ya, ada apa?"

"Sepedaku mengapa tidak ada?" tanyanya pada sang ibunda yang mana tentu saja hal itu membuat Adhisti tercengang.

"Oh, sepeda itu, ya? Mungkin dibawa nenekmu ke kota," lagi-lagi jawaban yang spontan dan iantakmingin membahasnya, sebab ia melihat dalam siluet bayangannya, jika sepeda puterinya seperti ada yang membawanya, namun masih tertutup oleh sesuatu.

Dewi Pandita tampak sendu, sebab sepeda itu sebuah kenangan dari sang papa yang mana merupakan awal mereka dipertemukan setelah bertahun lamanya tidak pernah saling bertemu.

Kenzo menghampiri puterinya. "Sudah, jangan bersedih. Nanti kita kemari lagi, setelah acara pesta selesai, mungkin nenek masih ada urusan," pria itu mencoba menenangkan puterinya.

Dewi Pandita menganggukkan kepalanya. Lalu mereka kemnali ke mobil, dan akan kembali menuju hotel tempat dimana mereka akan menginap.

Ketiganya memasuki mobil, lalu melanjutkan perjalanan mereka.

Setelah mobil meninggalkan rumah panggung tersebut, seorang wanita keluar dari balik pohon pinus yang berada dikejauhan.

Ia terlihat tersenyum saat menatap kebahagiaan yang dirasakan oleh Adhisti.

Dua

Pagi tampak cerah. Terlihat Adhisti sedang sibuk mengurus dua bayi besar yang mana mereka harus segera bersiap untuk menghadiri acara akad pernikahan putera pertama dari rekan bisnisnya.

"Ayo, kita berangkat." Kenzo meraih jam tangannya, lalu mengenakannya.

Dewi Pandita terlihat sangat sumringah pagi ini, sebab ia melihat kedua orangtuanya sangat begitu romantis dan berbeda dari hari sebelumnya, yang tampak tak acuh satu sama lainnya.

"Ayo." Adhisti berjalan mengikuti sang suami yang sudah terlebih dahulu berjalan keluar dari kamar hotel.

Paduan kebaya dengan full payet berwarna hijau botol dengan rok berbahan tenunan Melayu dari daerah pesisir Batu Bara-Sumatera Utara, yang bermotif pucuk rebung merupakan sehingga menjadikan pilihannya dan membuat ia semakin terlihat sangat anggun mempesona.

Sedangkan Dewi Pandita menggunakan stelan baju kurung yang tak kalah anggun dengan warna senada yang sesuai dengan usianya.

Ketiganya berjalan menyusuri koridor hotel, dan memasuki lift, untuk menuju ke parkiran.

****

Suasana hotel tempat pernikahan sepasang pengantin bernama Samudera dan Aira terlihat begitu mewah, namun tidak begitu megah, sebab pesta pernikahan hanyalah simbol, dan keberkahan dari acara tersebut yang diharapkan.

Pengantin wanita terlihat sangat anggun, namun anehnya para tamu justru memuji kecantikan ibu mertua, alias Mirna.

Mereka mencoba membandingkan kecantikan dua wanita beda usia tersebut, namun dengan suara bisikan yang hanya terdengar diantara mereka saja, dan mereka tetap berpihak pada Mirna yang mana wajahnya seolah tak pernah menua.

Deretan kursi yang berbalut dengan kain satin berwarna rose gold menjadi pilihan sang empunya hajat, dan semua sudah tersusun rapih, yang berpadu dengan bunga dekor yang terkesan kalem dan lembut.

Mereka para tamu yang diundang dalam acara akad sudah datang dan mengambil tempat mereka masing-masing.

Mirna mengenakan pakaian kebaya dengan warna rose yang lebih kalem, dipadu dengan kain songket bermotif bunga cempaka dengan warna senada. Sungguh sangat anggun, ditambah dengan sanggulnya yang dihiasi sebuah mahkota kecil diatasnya.

Sedangkan Aira menggumakan kebaya putih dengan adat Sunda dipadu selendang yang menutupi kepalanya.

Mereka semua terlihat anggun, hanya saja Mirna terlalu mencolok akan kecantikannya, dan menjadikannya pusat perhatian, meski usianya sudah hampir memasuki kepala lima.

Acara akad nikah sedang berlangsung, sedangkan Dewi Pandita menghilang dari pengawasan ibunya, sepertinya ia tertarik melihat sesuatu yang berada dibalik ruangan sebelah, seekor kupu-kupu yang entah dari mana datangnya, terbang dengan mengepakkan sayapnya yang berkilau dan bercahaya, lalu terbang menuju tempat dimana orang sedang dimake up.

Gadis berusia tujuh tahun itu berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang. Ia celingukan melihat suasana pesta. Langkahnya terus membawa hingga hampir dipenghujung ruangan. Ia kehilangan jejak sang kupu-kupu.

Saat bersamaan, seorang pria dewasa berusia sekitar dua puluh tujuh tahun sedang berjalan tergesa-gesa karena ia sudah tertinggal diacara sakral sang kakak yang akan melakukan akad nikah.

Ia sudah terkena omelan sang ibunda karena terlambat pulang, disebabkan ia harus melakukan perjalanan mendaki gunung, dan terjebak badai yang hampir saja tidak dapat membawanya pulang.

Ia merapikan pakaiannya, dan berjalan tergesa-gesa, lalu tanpa sengaja membuat ia menabrak seorang gadis kecil yang tampak celingukan melihat dekorasi yang ada.

"Eh, Sorry, Sorry, maaf ya, Dik." ucapnya dengan rasa bersalah dan mencoba membantu sang gadis kecil untuk bangun.

Akan tetapi, sebuah panggilan menghentikan aksinya. "Mas Kasa, buruan, acara akad akan dimulai!" panggil seorang pria yang tak lain adalah bodyguard yang merupakan orang kepercayaan keluarganya dan merangkap sopir juga.

Pemuda bernama Angkasa itu menganggukkan kepalanya, dan bergegas meninggalkan sang bocah yang sepertinya tidak mengalami luka apapun.

Ia melangkah dengan cepat menuju ruangan untuk akad nikah sang kakak yang akan dilakukan sebentar lagi.

Tatapan sang ibunda yang tertuju padanya menyiratkan jika ia harus cepat.

Pemuda itu merundukkan kepalanya, sebab keterlambatan yang dialaminya juga karena kesalahannya, bukankah waktu itu sang ibu sudah mengingatkannya untuk tidak pergi mendaki, tetapi ia terlalu keras kepala dan melakukan kegiatan tersebut bersama para mahasiswanya.

Ia duduk disisi sang ibu yang terlihat begitu anggun, dan acara akad dimulai dengan penuh hikmat.

Angkasa merasakan wajahnya sedikit gatal, ia ingin menggaruknya, namun sesuatu membuatnya terdiam. Ia hening sejenak, dan mengarahkan jemarinya ke arah hidungnya.

"Heeemh!" ia mengendus kembali aroma jemarinya tangannya yang tadi sempat menyentuh sang gadis kecil.

"Mengapa aroma ini membuatku mengingatkan pada gadis kecil dihutan sana?" gumamnya lirih dalam hati. Sesaat ia merasakan sesuatu yang tak biasa, ada sebuah rasa tercipta dan membuatnya begitu bahagia, entah apa.

Ia tampak semakin gelisah, dan sesekali melirik ke arah koridor tempat dimana ia menemukan sang gadis kecil. Ingin rasanya ia kembali ke tempat itu, namun akad sedang berlangsung, dan ia tak mungkin pergi begitu saja.

Bahkan acara itu sedikit tertunda karena keterlambatannya, dan jika ia pergi begitu saja, maka sang ibunda akan mengomelinya tanpa henti.

Kegelisahan mulai merasukinya. Ia ingin segera menemui sang gadis kecil, namun kondisi yang tidak memungkinkan, hingga akhirnya kata sah terdengar dari sang wali hakim yang disertai ucapan 'Sah' dari para saksi yang ikut mensakralkan pernikahan tersebut.

Acara doa dan juga lainnya berlanjut. Dan ketika semuanya telah selesai, Angkasa bergegas kembali ke tempat itu, namun sang gadis kecil tak lagi ia temukan. "Apakah hanya sebuah ilusi belaka, karena rasa yang tak dapat ia sembunyikan.

Apakah ini cinta gila? Dia hanya seorang gadis kecil, seharusnya Angkasa sadar akan hal itu.

Ia merasa kesal, mengapa tadi tidak melihat wajah sang gadis dan ia begitu menyesalinya.

Sementara itu, Adhisti dan Kenzo merasa kebingungan mencari Dewi Pandita yang menghilang dari pengawasan mereka, namun baru saja Adhisti ingin menemukannya dengan menggunakan mata bathinnya, puteri mereka tiba-tiba saja sudah berada disisi kanan sang papa.

"Dita, kamu keluyuran kemana saja? Buat ibu khawatir!" omel Adhisti pada puterinya.

Gadis itu hanya tersenyum gemas, lalu meraih pergelangan tangan papanya.

"Kita bersalaman dengan tuan rumah, sebab kita akan pergi ketempat lain untuk berwisata," ajak Kenzo pada istri dan puterinya.

Adhisti menganggukkan kepalanya, lalu menghampiri pengantin yang sedang berbahagia dan saat ini sedang berada dipelaminan.

"Selamat, ya." ucap Kenzo pada Satria yang akhirnya menikahkan anaknya.

"Terimakasih. Ini puteri kamu, ya?" Satria mencolek pipi sang gadis kecil. Seketika bayangan wajah Angkasa putera bungsunya terbayang dibenaknya. Ia mengulas senyum misterius.

"Iya, lambat nikah, makanya anaknya msih bocil" Kenzo berkelakar.

"Tak apa. Biasanya kalau anak perempuan, malah cepat punya menantu, balas Satria.

Keduanya tertawa renyah. Lalu terpaksa mengakhiri obrolan mereka karena ada tamu lain yang ingin bersalaman.

Kenzo menyalami Samudera dan pria itu tercengang, saat mengetahui jika Papanya ternyata mengenal Kenzo yang seminggu lalu datang kepadanya untuk melakukan tes DNA pada gadis kecil tersebut.

Namun, tanpa di tes juga mereka memiliki kemiripan yang hampir sembilan puluh enam persen mirip dari wajahnya dan juga beberapa anggota tubuh lainnya.

Tiga

Angkasa terus mencari keberadaan sang gadis kecil, namun tak dapat menemukannya.

Sedangkan Kenzo akhirnya foto bersama dengan sang pengantin, lalu berpamitan untuk pergi.

Keluarga yang sedang berbahagia itu pergi meninggalkan lokasi hotel, dan akan kembali ke penginapan.

Angkasa tampak sibuk mencari sang gadis kecil yang saat ini hanya meninggalkan aroma tubuhnya yang begitu khas.

"Aku merasakan kehadirannya, namun mengapa ia begitu cepat menghilang?" gumamnya dengab hati yang perih, saat menyadari jika yang sedang ia cari sudah tidak lagi terendus aromanya.

Rasa sesal hadir didalam hatinya. Bagaiamana mungkin ia dapat mengabaikan cinta yang telah lama ia cari terlewat begitu saja. Ia menepuk keningnya dengan kesal.

*****

Sepuluh tahun kemudian....

Seorang pria berusia empat puluh tahun sedang berjalan menuju kelas yang mana ada mata kuliah Management Keuangan sebayak dua SKS dan ia adalah dosen yang ditunjuk karena memiliki dedikasi yang cukup baik dibidangnya.

Selain sebagai dosen, ia juga merupakan pebisnis yang membantu perusahaan ayahnya.

Pria itu masih juga belum menikah, dan sepertinya ia sangat betah dengan kejombloannya yang sudah sangat akut.

Banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Bahkan terang-terangan menyatakan cinta padanya, sebab ketampanannya tak dapat ia pungkiri telah membuatnya sangat dikagumi banyak wanita.

Namun sikap dingin yang begitu kuat, membuat para pengagumnya hanya dapat mundur teratur, dan mencintainya dalam angan semu.

Ia melangkah memasuki kelas. Meski usianya sudah matang, namun tidak akan ada yang menyangka jika umurnya sudah menginjak kepala empat, sebab ia memiliki kelebihan yang diturunkan oleh sang ibu, yaitu wajah baby face.

Melihat ia memasuki ruangan, kelas yang tadinya ricuh, mendadak hening. Mereka sangat menghormatinya, dan itu disebabkan oleh kewibawaan dan kharismatik yang terpancar dari seorang bernama Angkasa.

Para mahasiswi selalu berbisik jika dosen yang menjadi idola mereka masuk kedalam kelas.

Ia mulai menyapa para mahasiswa yang berjumlah sekitar dua puluh lima orang. Lalu membuka layar laptopnya, dan menyambungkan file materi mata kuliah ke alat proyektor dan terpantul pada layar papan putih yang sudah tersedia.

Saat ia akan materinya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki setengah berlari menuju kelas.

Lalu terlihat seorang gadis cantik berambut ikal dengan warna pirang yang diikat ekor kuda sedang mengatur nafasnya yang terengah karena ia baru pertama kalinya memasuki kelas tersebut, dan ia harus cukup lelah mencarinya.

Bangunan yang cukup luas dan bertingkat, membuatnya harus bertanya pada banyak orang, hingga akhirnya menemukan kelas yang ditujunya.

Ia berdiri diambang pintu, sembari berpegangan pada kusen dan kepalanya merunduk untuk mengatur nafasnya.

Setelah merasa normal, ia mengangkat wajahnya. Memamerkan dua manik biru yang sangat indah.

Semua mata menatap tertuju padanya, tak hanya para mahasiswa, tetapi sang dosen dingin yang juga memperhatikannya dengan deguban jantungnya yang memburu.

Wajah sang gadis membuat ia merasa dejavu, dan entah apa yang saat ini sedang dirasakannya, ia sangat gugup, dan ini tak seperti biasa.

"Maaf, Pak. Saya terlambat. Ini hari pertama saya masuk kelas bapak." ucapnya dengan sopan, lalu memasuki kelas dan mencari tempat duduknya yang merupakan bangku kosong satu tersisa untuknya dipaling sudut depan dekat dengan meja sang dosen.

"Oh, silahkan masuk." ucap pria bernama Angkasa tersebut dengan nada datar, meskipun sebenarnya ia sangat gugup hari ini. "Kali ini saya maafkan, jika terlambat lagi, maka akan ada konsekuensi yang akan kamu dapatkan." ucapannya seperti sebuah penekanan yang tak dapat dibantah, dan peraturan apapun yang ia buat harus dipatuhi oleh seluruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah dengannya.

"Baik, Pak." sang gadis menganggukkan kepalanya dengan sopan, dan ia harus menjaga sikap.

Angkasa memeriksa data diri mahasiswi barunya yang baru saja dikirimkan oleh pihak administrasi melalui emailnya, dan ia membacanya dengan wajah yang seolah tak percaya.

"Kamu masih usia tujuh belas tahun, mengapa sudah dapat berkuliah? Bukannya seusia kamu harusnya masih duduk dibangku kelas dua sekolah menengah atas?" tanyanya dengan penuh selidik, bahkan rasa penasaran.

Seketika para mahasiswa lainnya juga tertegun. Baru kali ini mereka mendapatkan rekan yang usianya sangat muda. Lalu bagaimana bisa?

"Saya ambil kelas akselerasi, Pak. Makanya saya lompat kelasnya," jawab sang gadis dengan sopan.

Pria itu tampak termangu, namun segera menutupi kekaguman pertamanya untuk seorang gadis dihari ini, dengan membuka mata kuliah, karena waktu berjalan terus dan jika terlalu lama mengulik tentang pribadi sang gadis, maka akan terbuang sia-sia.

Semua kembali hening, setelah sempat terdengar suara-suara dengung samar dari mahasiswa lainnya yang merasa jika rekan kelas mereka orang yang sangat pintar, namun diantara mereka ada yang merasa iri, sebab untuk pertama kalinya sang dosen bertanya hal pribadi tentang mahasiswanya.

Kuliah pagi ini berjalan dengan sangat baik, begitu juga materi yang disampaikan oleh Angkasa cukup jelas, lengkap dengan berbagai penjelasan yang konkrit.

Setelah mata kuliah berakhir, Angkasa meninggalkan kelas, namun entah mengapa rasanya ia enggan untuk meninggalkan kelas, dan berusaha mencari cara bagaimana ia dapat mencari informasi tentang sang gadis.

Namun apa sebenarnya yang terjadi padanya? Mengapa perasaannya berbeda kali ini? Sungguh sangat aneh sekali.

Untuk menjaga reputasinya, akhirnya ia pergi juga meninggalkan kelaa, meski perasaannya saat ini campur aduk.

Sang gadis yang tak lain adalah Dewi Pandita belum juga keluar dari kelas. Ia tampak sibuk menyelesaikan tugasnya yang mana tadi dikirimkan ke emailnya dengan sebuah draf folder word yang terhubung pada sang dosen.

Seorang gadis berambut panjang yang merupakan mahasiswi paling populer dikampus merasa tak senang dengan kehadiran Dewi Pandita yang dianggapnya sebagai pesaingnya.

Bagaimana tidak? Angkasa yang selama ini sangat dingin pada siapapun, tiba-tiba saja bertanya sesuatu pada anak baru yang bahkan usianya sangat muda diantara mereka, dan seharusnya masih duduk dikelas dua sekolah menengah atas, dan tentunya ada sebuah kelebihan yang pasti dimilikinya.

Ia menarik kursi kosong, lalu duduk didepan Dewi Pandita dengan sandaran kursi didepannya.

Ia menatap tak senang pada gadis bermanik biru tersebut.

"Hei anak baru!" sapanya dengan nada intimidasi, yang mana ia ingin memperlihatkan pada Dewi Pandita, jika ia adalah sang penindas yang harus ditakuti oleh siapapun.

"Ya, ada yang dapat saya bantu?" tanya sang gadis dengan nada sopan, namun bersikap waspada. Ia melihat jika sosok didepannya tampak ingin melakukan sesuatu padanya.

"Aku ingatkan padamu! Jangan sok kecentilan pada Pak Angkasa, jika kamu tidak ingin menemui masalah!" ucapannya memperjelas jika tak ada satupun wanita yang dapat mengganggu pria tampan tersebut.

"Apa?!" Dewi Pandita tampak tersenyum geli. "Tenanglah! Aku bukan wanita penggoda, sebab tujuanku ke kelas ini untuk belajar, bukan untuk tujuan lain!" sahutnya dengan penuh penekanan.

Jawaban Dewi Pandita tentu saja membuat sang gadis populer merasa tersinggung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!