NovelToon NovelToon

Suami Masa Depan

Sup Tanda Cinta

Tok. Tok.

Suara ketukan pelan di pintu ruang rawat membuat Bi Rani menoleh dari kursi pengawasannya. Di ranjang, Aruna tengah duduk bersandar dengan wajah cemberut permanen sejak pagi. Bi Rani melangkah pelan ke pintu dan mengintip keluar, lalu buru-buru menutupnya kembali dan membalikkan badan.

“Non Aruna... itu Mas Bagas ada di luar. Mau jenguk katanya.”

Aruna mendesah panjang, lalu melempar pandang tajam ke jendela, seolah di sana ada jalan keluar darurat menuju dunia paralel. Nama itu lagi. Raden Bagaskara.

“Bilang aja aku lagi tidur. Atau... mimisan. Atau lagi tes MRI. Terserah. Pokoknya aku gak mau ketemu.”

Bi Rani mendekat dengan ekspresi setengah khawatir, setengah gatel pengen tahu.

“Tapi kan... dia itu, katanya calon suami Non Aruna. Mas Bagas baik lho. Ganteng juga, tinggi, nggak banyak gaya—”

“Bi!” potong Aruna cepat. “Itu semua akal-akalan Ayah. Laki-laki itu gila, mau-mau aja dijodohin sama aku. Baru ketemu dua kali langsung bawa sup ayam ke rumah sakit. Itu bukan cinta, Bi. Itu krisis identitas!”

Bi Rani menahan tawa yang nyaris meledak. “Jadi... Non maunya saya usir dia?”

“Kalau bisa, pakai alarm biar kena laser buat dia pergi,” sahut Aruna sambil menarik selimut sampai dagu.

Bi Rani mengangguk mantap, lalu membuka pintu dengan tenang. Bagas berdiri di koridor dengan senyum penuh harap dan... sekotak puding mangga di tangan.

“Oh... halo, Bu,” sapanya, sedikit gugup. “Aruna... eh, Non Aruna... bisa ditemui?”

Bi Rani menarik napas seperti mau memberi ceramah.

“Mas Bagas, maaf ya... Non Aruna sedang dalam fase... pengaruh obat. Maksudnya, habis minum obat. Sekarang Non Aruna sedang tidur, nggak bisa diganggu,” bisik Bi Rani sambil melangkah keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Bagas memaksakan senyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Sayang sekali, saya bawa sup buatan Mama. Kalau gitu... titip sup ini aja, Bu.”

Bi Rani menerimanya dengan penuh drama seolah menerima warisan terakhir.

“Wah, terima kasih, Mas. Perhatian banget kamu, Mas. Tapi ya itu tadi... Aruna lagi istirahat. Tadi sempat ngomong sambil nguap tiga kali, tandanya udah ngantuk banget.”

Padahal yang tiga kali nguap itu Bi Rani sendiri tadi pagi.

Bagas memandang pintu dengan pandangan seorang pahlawan yang gagal menyelematkan dunia. Ia menyerahkan termos itu pada Bi Rani.

“Kalau gitu, titip ini ya, Bu. Bilang aja... semoga cepat sembuh. Tapi jangan bilang aku datang, ya. Kalau dia tahu, nanti malah tambah nggak enak badan.”

Bi Rani menahan tawa, tapi wajahnya tetap penuh empati. “Siap, Mas Bagas. Saya sampaikan. Semoga yang masak cepat jodoh juga ya...”

Bagas hanya nyengir, lalu berjalan pergi sambil melambai. Bi Rani mengintip balik ke dalam. Aruna masih pura-pura tidur dengan posisi yang terlalu dramatis untuk disebut alami.

Bi Rani meletakkan termos di meja.

“Nih, dari laki-laki gila yang katanya mau dijodohin.”

Aruna diam. Matanya melirik sekilas, lalu bersungut pelan. “Kalau dari toko yang enak, boleh aku coba.”

Bi Rani tersenyum menang. Aruna mendengus, tapi tak menjawab. Pipi kirinya sedikit memerah, entah karena demam... atau sesuatu yang lebih hangat dari sup ayam.

Ponsel Aruna bergetar di meja samping ranjang. Layarnya menyala, menampilkan nama yang langsung membuat alis Aruna naik satu sentimeter: Bagas.

Dengan ragu—dan sedikit kesal yang tidak terlalu jelas sumbernya dari mana—Aruna membuka pesannya.

“Hope you get well soon. Hope you like the soup :)”

Aruna mendecak. “Huh. Pake bahasa Inggris segala. Mau bikin aku jatuh cinta? Bahkan kalau dia kirim sup dari planet Mars juga nggak ngaruh.”

Bi Rani, yang sedari tadi sibuk mengaduk-aduk termos sup di atas meja, melirik sambil tersenyum nyengir.

“Jadi Non nggak mau makan supnya? Sayang lho, aromanya aja udah kayak masakan hotel bintang lima.”

“Bibi aja yang habisin. Anggap aja hadiah dari calon menantu... versi gagal,” kata Aruna, lalu menyender sambil menatap layar ponselnya lagi, sok cuek. Tapi tangannya nggak juga menaruh ponsel itu.

Bi Rani sudah siap dengan sendok dan mangkuk. “Wah, rezeki saya nih. Sup cinta berakhir di perut pengasuh.”

Aruna menghela napas. Jemarinya menggulir ke pesan Bagas yang sebelumnya. Semua sopan, perhatian, dan... menyebalkan.

“Dia pikir dengan sup hangat dan emot senyum bisa bikin hati cewek luluh?”

Bi Rani menyeruput supnya dengan puas. “Kadang iya, Non. Tergantung ceweknya... dan kaldunya.”

Aruna mengerling ke arah Bi Rani, lalu kembali ke ponselnya. Ia mengetik balasan singkat, lalu menghapusnya. Mengetik lagi. Menghapus lagi.

Akhirnya ia menaruh ponselnya dengan wajah jengkel—atau mungkin terlalu bingung untuk diakui.

“Bi, kenapa sih laki-laki baik itu datang di waktu yang salah?”

Bi Rani menjilat sendoknya dengan tenang. “Atau jangan-jangan... yang salah bukan waktunya. Tapi perasaan Non yang belum ngaku.”

Aruna memelototinya. “Bi!”

Bi Rani pura-pura sibuk dengan suapan berikutnya. “Saya cuma bilang supnya enak, kok.”

Dan di layar ponsel, pesan dari Bagas masih terpampang dengan harapan sederhana: semoga kamu suka supnya.

Pintu ruang rawat terbuka, dan sosok Pak Agam—dengan jas mahal dan aroma parfum khas pengusaha sukses yang terlalu dini pagi—muncul sambil membawa sekotak buah potong dan senyum lebar.

"Putriku!" serunya dramatis, seolah Aruna habis pulang dari ekspedisi ke Kutub Selatan, bukan sekadar opname karena demam tinggi.

Aruna mendesah pelan. “Papa...”

Pak Agam duduk di kursi sebelah ranjang, menaruh buah dengan hati-hati seperti sedang menata kontrak bisnis bernilai miliaran.

“Bagas datang tadi, ya? Papa senang, setidaknya hubungan kalian mulai... cair, dekat, harmonis.”

Aruna menyeringai kecil. “Pa, aku lagi tidur pas dia datang. Cair dari mana?”

Pak Agam mengernyit, lalu melirik ke arah Bi Rani. “Bi, dia tidur beneran atau bohong? Jangan-jangan akting lagi kayak pas pura-pura pingsan waktu disuruh ikut ke rumah Bagas?”

Aruna menatap tajam. “Pa!”

Bi Rani tertawa gugup. “Eehh... yang jelas... Non Aruna suka supnya. Itu beneran.”

Aruna mendengus. “Sup enak nggak berarti hatiku ikut lembek, Bi.”

Pak Agam menyandarkan badan, lalu menatap Aruna dengan gaya CEO yang sedang menjelaskan rencana merger ke investor keras kepala.

“Aruna, Papa serius. Perjodohan ini nggak bisa dibatalkan. Bagas itu calon yang tepat. Dia dari keluarga baik-baik, sukses, punya prinsip, dan—”

“Dan apa? Bisa bikin sup?” sela Aruna sinis.

“Dan dia bisa jaga kamu,” lanjut Pak Agam, tak teralihkan. “Papa butuh seseorang yang bisa Papa percaya buat mendampingi kamu. Apalagi sekarang kamu makin gede, makin... lincah pikirannya.”

“Lincah pikirannya?” Aruna melotot. “Pa, aku masih kelas tiga SMA, bukan pensiunan yang butuh pengasuh!”

Pak Agam menghela napas panjang, lalu menepuk tangan Aruna. “Makanya dipersiapkan dari sekarang. Biar hati kamu nggak kesasar ke cowok-cowok yang... ya kamu tahu sendiri, sok puitis tapi dompet tipis.”

Aruna melempar bantal kecil ke arah Papa-nya, tentu saja meleset.

“Pa, ini zaman demokrasi. Aku mau nikah kalau aku suka orangnya. Bukan karena dia lulus seleksi ala Papa.”

Bi Rani menyisip sup dari mangkuknya sambil menahan senyum. “Tapi yang jelas... seleksi sup-nya lulus, Non.”

Aruna mengerang frustasi. “Aku dikudeta di ruang rawatku sendiri...”

Pak Agam tertawa puas, lalu berdiri sambil merapikan jas. “Nanti Papa suruh Bagas datang lagi. Mungkin kali ini kamu bangun. Atau pura-pura tidur lagi?”

“Kalau dia datang lagi, aku pura-pura pindah rumah sakit.”

“Ya udah, nanti Papa beli rumah sakitnya sekalian,” kata Pak Agam enteng.

Aruna mendesah panjang. Di kepalanya muncul satu pemikiran sederhana: hidup ini memang nggak pernah tenang kalau Papa udah mulai bawa-bawa Bagas... dan bawa investor bernama cinta.

Guru Killer

Pagi itu, Aruna berdiri di depan cermin, merapikan dasi seragam SMA-nya dengan semangat yang entah datang dari mana. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia merasa... ringan. Tidak ada notif baru dari Bagas.

“Thanks God,” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Mungkin cowok itu sadar juga, aku bukan target empuk.”

Dengan langkah ringan, ia menuruni tangga menuju ruang makan. Di meja sudah tersedia roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk kesukaannya—hasil kerja sama dapur dan Bi Rani, tentu saja.

Tak lama, terdengar suara langkah kaki berat yang khas: Pak Agam datang menyusul, masih dengan setelan kerja dan dasi yang belum sepenuhnya rapi.

“Wah, siapa ini? Senyum-senyum sendiri, ... Papa curiga, kamu lagi jatuh cinta, ya?”

Aruna memutar bola matanya. “Kalau anak gadisnya bahagia, kenapa selalu dikaitkan sama cowok sih, Pa?”

“Karena biasanya senyum itu bukan dari nilai ulangan Matematika,” balas Pak Agam, terkekeh.

Aruna mengambil roti panggang dan duduk.

“Aku senang karena hari ini balik ke sekolah, bukan karena cowok, apalagi yang suka nganterin sup dan nulis dalam bahasa Inggris kayak Google Translate.”

Pak Agam terkikik. “Ya sudah, Papa juga senang kamu semangat lagi.”

Mereka makan dalam suasana tenang. Tidak ada argumen tentang perjodohan, tidak ada debat tentang masa depan. Hanya obrolan ringan soal sekolah, guru killer, dan PR yang belum Aruna kerjakan.

Selesai makan, keduanya melangkah ke teras rumah. Dua mobil hitam sudah terparkir rapi. Satu untuk Pak Agam ke kantor, satu lagi untuk Aruna ke sekolah.

Aruna berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah ayahnya. “Pa.”

Pak Agam menatapnya, mengangkat alis.

Aruna tersenyum, lalu memeluknya erat. “Makasih... karena walau suka bikin sebel, tapi tetap jadi ayah paling ngeselin yang aku sayang.”

Pak Agam tertawa pelan dan membalas pelukannya. “Dan kamu tetap jadi anak paling keras kepala... yang Papa banggakan.”

Setelah itu, Aruna masuk ke mobil. Ia melambaikan tangan dari jendela sebelum kendaraan bergerak menjauh.

Di dalam mobil, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.

Bagas:

“Good luck on your first day back to school :).”

Aruna menatap layar, lalu... tersenyum kecil.

“Oke, sup boy. Satu poin buat kamu.”

Langkah Aruna memasuki kelas disambut seperti idol K-pop pulang dari hiatus. Beberapa anak langsung menoleh, menyapa, ada yang berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahnya. Tapi Aruna hanya tersenyum tipis dan melambaikan tangan seperti biasa—elegan, effortless, dan sedikit bosan.

Maklum, selain dikenal karena nilai-nilainya yang cukup untuk lulus, Aruna juga punya “nilai tambah” berupa status sebagai putri dari Pak Agam—pengusaha besar yang kebetulan jadi donatur tetap sekolah mereka. Papan tulis baru? Proyektor di kelas? Kursi ergonomis? Itu semua atas nama cinta dan dana dari Agam Corp.

Windi, sahabat sekaligus penyelamat hidup (saat PR menumpuk), langsung menarik kursi Aruna.

“Gimana rasanya libur seminggu tapi nggak liburan?”

Aruna meletakkan tas dan menjawab malas, “Lumayan. Bisa tidur sambil drama Korea.”

Windi mengangkat alis. “Terus PR matematika kamu gimana?”

Aruna mengedip santai. “Nggak dikerjain.”

Windi nyaris tersedak. “Arunaaa... Guru Matematika kita baru dan ia tuh killer! Beda banget sama Bu Naila. Ini cowok, galak, dan katanya... nggak bisa diajak negosiasi. Anak-anak di kelas lain tak ada ampun, makanya aku kerjain PR itu meski belum melihatnya.”

Aruna mengangkat alis. “Galak? Please, aku baru sembuh dari demam tinggi. Dia harusnya bersyukur aku masih bisa duduk manis di kelas ini.”

“Kalau kamu kena hukuman, jangan ajak-ajak aku, ya,” Windi mengangkat tangan kayak sumpah di pengadilan.

Aruna nyengir. “Siapa sih nama guru galak itu?”

“Pak Raden,” jawab Windi dramatis. “Nama aslinya Raden... entahlah, aku lupa. Tapi anak-anak kelas lain udah trauma duluan sama tatapannya minggu lalu.”

Aruna menyandarkan tubuh ke kursi, memutar mata ke atas. “Raden? Namanya aja kayak pahlawan sinetron. Pasti overacting.”

Windi nyengir, “Jangan remehkan tatapan tajam dan setelan jasnya. Ada rumor dia putra pemilik sekolah dan ke sini karena tunangannya.”

Aruna tertawa pendek. “Kedengeran kayak karakter FTV. Nanti juga pasti luluh kalau aku senyum dikit.”

“Aruna,” Windi mendesah lelah. “Tolong jangan bikin drama lagi minggu ini. Baru juga kamu sembuh.”

Aruna mengangkat bahu santai. “Aku nggak bikin drama, Win. Drama yang datang sendiri ke hidupku.”

Bel sekolah berbunyi. Anak-anak kembali ke tempat duduk. Suasana kelas langsung berubah hening saat suara langkah sepatu kulit terdengar mendekat dari koridor.

Aruna menoleh ke pintu. Dan di sanalah dia: seorang laki-laki tinggi, berjas rapi, dengan ekspresi datar dan mata tajam seperti bisa membaca pikiran.

Pak Raden masuk. Tanpa senyum. Tanpa basa-basi.

Aruna menegang. Matanya membulat. Wajah itu.

Windi berbisik, “Itu dia... Pak Raden.”

“Enggak mungkin…” gumamnya pelan.

Windi menoleh. “Kenapa?”

Aruna berbisik dengan napas tercekat, “Itu… Bagas. Bagas Bagas. Si tukang sup.”

Windi hampir jatuh dari kursinya. “Apa? Yang dijodohin sama kamu? Kenapa kamu nggak tahu nama lengkapnya?”

"Mana peduli aku sama nama dia."

Aruna menatap kosong ke depan, seperti baru menyaksikan konspirasi terbesar abad ini.

Sementara itu, Bagas—atau tepatnya Pak Raden Bagaskara—dengan tenang meletakkan buku absen di meja guru. Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Bahkan tidak melirik ke arah Aruna... yang setengah ingin menghilang dari muka bumi.

“Selamat pagi,” suaranya tenang namun tegas. “Saya Raden Bagaskara, guru matematika baru kalian. Mulai hari ini, saya akan pegang kelas ini sampai akhir semester.”

Suara detak jantung Aruna hampir menutupi semua kalimatnya.

Bagas membuka buku absennya. “Sebelum kita mulai, saya ingin memastikan kalian semua membawa PR yang Bu Naila tugaskan minggu lalu.”

Aruna langsung menoleh ke Windi dengan panik. “Dia guru barunya? Dia guru barunya?!”

Windi mengangguk pelan sambil mulutnya menganga. “Kamu... dalam... masalah.”

“Satu per satu, maju ke depan dan letakkan PR kalian di meja saya,” instruksi Bagas.

Anak-anak mulai bergerak ke depan, menaruh buku mereka dengan tertib. Semua... kecuali satu orang.

Aruna duduk diam, tangan bersedekap.

“Aruna Putri Agam,” suara Bagas datar. “PR-nya mana?”

Aruna mengangkat dagu. “Saya belum mengerjakannya. Saya sakit, Pak.”

Bagas tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Hanya memandang tajam. “Ada yang memberitahu Aruna soal tugas matematika minggu lalu?”

Semua anak diam. Windi menunduk cepat-cepat, menghindari tatapan siapa pun.

Aruna bersuara, mulai terdengar kesal. “Saya bilang, saya sakit. Baru sembuh tadi malam. Apa Pak Guru juga butuh surat dokter?”

Bagas tetap tenang, terlalu tenang. “Sakit bukan alasan untuk tidak bertanggung jawab. Setelah pulang sekolah, silakan temui saya di ruang guru.”

Aruna mendesis pelan. “Kenapa? Bapak berani kasih saya hukuman?”

Bagas tak bereaksi. “Supaya saya bisa ajarkan ulang materi yang kamu lewatkan. Kita tidak bisa pakai alasan pribadi di kelas ini.”

Aruna mengepalkan tangan di bawah meja. “Oh, dia pura-pura profesional sekarang,” gumamnya kesal.

Windi melirik Aruna dengan ekspresi please don’t explode.

Bagas kembali ke bukunya dan melanjutkan pelajaran, seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Aruna mendidih dalam diam. Bagas bukan hanya muncul kembali dalam hidupnya—dia muncul sebagai guru matematika killer yang mempermalukannya di depan kelas.

Dan itu, bagi Aruna, sudah lebih dari cukup untuk membenci satu.

Hukuman Cinta

Jam istirahat tiba. Bel istirahat berbunyi, dan Aruna langsung bangkit dari kursi, seolah kelas barusan bukan sesi matematika tapi persidangan.

“Cepat, sebelum aku berubah jadi kalkulator hidup,” keluhnya sambil menarik tangan Windi keluar kelas.

Di kantin, mereka berhasil mengamankan dua kursi di pojok favorit mereka. Aruna menjatuhkan tubuh ke kursi dan membuka bekalnya.

Windi menatapnya sambil mengunyah roti. “Gue masih nggak percaya cowok yang dijodohin sama lo... sekarang guru matematika kita.”

“Yap,” gumam Aruna sambil memotong ayamnya. “Dunia ini sempit. Atau Ayahku yang terlalu luas jangkauannya.”

“Lo serius pernah ketemu dia sebelum ini?”

Aruna mengangguk, malas. “Dia nganterin sup ke rumah sakit waktu gue sakit. Puding, buah-buahan dan banyak hal. Katanya sih buatan ibunya. Tapi gue curiga itu strategi jebakan perjodohan.”

Windi mengernyit. “Dia musuh keluarga lo, ya?”

Aruna tersenyum misterius. “Musuh... atau senjata makan tuan, kita lihat nanti.”

Windi langsung terkekeh. “Lo nggak berubah. Drama banget.”

Setelah menyelesaikan makan, Aruna berdiri.

“Gue ke toilet dulu ya. Jaga tempat, jangan kasih siapa pun duduk sini, bahkan kalau Brad Pitt datang.”

“Siap, Jenderal.”

Di koridor, Aruna berjalan santai menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tak asing berdiri di dekat tangga.

Atta.

Laki-laki tinggi, rapi, dan... terlalu sering digosipkan dengan Aruna. Mereka memang dekat, tapi tidak pernah benar-benar ada apa-apa. Tapi sayangnya, sekolah mereka lebih cepat menyebarkan gosip daripada WiFi sekolah.

Atta melihat Aruna, lalu mendekat dengan senyum ramah.

“Aruna,” sapa Atta.

Aruna mengangguk sopan. “Hai.”

“Maaf ya, aku belum sempat jenguk waktu kamu sakit. Papa sempat cerita kamu dirawat,” ujar Atta tulus.

“It’s okay,” jawab Aruna pendek.

Setelah hening sebentar, Atta menambahkan dengan nada bercanda, “Selamat ya... atas pertunangannya.”

Aruna menghentikan langkah. Menoleh cepat. “Kamu tahu?”

Atta mengangkat alis. “Tahu lah. Papa diceritain sama Om Agam. Katanya... calon suami kamu itu cucu pendiri sekolah kita. Aku dengar ia sekarang jadi guru matematika. Keren juga sih. Guru, tapi... berdarah biru.”

Aruna mendengus. “Tunggu. Kamu pikir itu... beneran?”

“Ya... bukannya memang udah diumumin keluarga?”

Aruna menghela napas panjang. Menatap sekitar, lalu mendekat ke arah Atta. “Atta, kamu bisa simpan rahasia?”

Atta langsung serius. “Tentu. Ada apa?”

Aruna menunduk pelan, lalu berkata lirih, “Aku juga baru tahu pagi ini, kalau... ‘Mas Bagas’ itu guru matematikaku. Dan, ya, aku nggak pernah setuju sama perjodohan itu.”

Atta menatap Aruna dalam diam. Lalu dengan suara pelan, “Jadi... kamu nggak suka sama dia?”

Aruna menggigit bibirnya. “Yang aku suka adalah hidup normal, tanpa drama telenovela di sekolah.”

Atta tertawa kecil. “Tenang, rahasiamu aman sama aku.”

Aruna tersenyum. “Thanks.”

Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Aruna buru-buru balik arah, dan sebelum pergi, Atta sempat berseru, “Kalau begitu sampai jumpa di latihan teater.”

Aruna menoleh sekilas, tertawa sinis. “Makasih, Atta.”

Dia berjalan pergi, meninggalkan Atta yang masih berdiri dengan senyum kecil.

“Bagaskara, kamu bukan cuma masalah. Kamu magnet masalah.”

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Aruna menatap langit-langit kelas seperti habis menang perang.

“Finaly. Bebas.”

Windi mengemasi bukunya. “Lo ingat, kan? Lo harus ke ruang guru.”

Aruna langsung berdiri dan menepis tangan Windi dramatis. “Kita lupakan bagian itu. Yuk, pulang. Dunia di luar masih luas dan belum ada pria menyebalkan yang menungguku dengan absensi PR. Mau nonton, kan?”

Windi nyengir. “Masalahnya, guru menyebalkan itu masih ada dan lagi nunggu kamu.”

Saat keduanya melangkah keluar kelas, langkah mereka langsung terhenti.

Di ujung lorong, berdiri satu sosok bersandar tenang ke dinding, tangan menyilang, dengan wajah datar dan... terlalu santai untuk ukuran guru killer.

Bagas.

Aruna menelan ludah. “Duh.”

Windi menyikut pelan. “Kabur sebelum ketahuan?”

Terlambat.

Bagas mendongak dan menatap lurus ke arah mereka. “Aruna.”

Seketika suasana lorong seperti membeku. Beberapa siswa menoleh. Aruna pura-pura bersin.

“Aku demam kambuh lagi... kayaknya...”

“Ke ruang guru. Sekarang,” ucap Bagas, nada suaranya netral, tapi cukup kuat membuat Aruna tak bisa mengelak.

Aruna menghela napas. “Fine.”

Windi mundur perlahan. “Gue nunggu di lobi ya. Semoga dia nggak suruh lo nyanyi lagu wajib sambil hafal rumus.”

Aruna mengikuti Bagas dalam diam. Rasanya seperti dibawa menuju ruang interogasi. Langkah-langkah mereka bergema di koridor yang mulai sepi.

"Mau dibawa kemana saya, Pak?! Ruang gurunya nggak lewat sini," tanya Aruna kesal.

"Ke ruangan saya."

"Oh. Ruangan khusus ternyata."

Sesampainya di ruang guru, Bagas membuka pintu kecil ke ruangan kosong di ujung. “Masuk.”

Aruna melangkah masuk, dagu terangkat dengan aura anti kalah.

“Apa hukumanku, Pak? Lari keliling lapangan sambil bawa kalkulator?”

Bagas tetap tenang. “Duduk dulu.”

Aruna mendesah, lalu menjatuhkan diri ke kursi kayu.

Bagas duduk di hadapannya, membuka sebuah buku catatan. Tapi belum bicara apa-apa.

Aruna mendongak. “Jadi?”

Bagas menatapnya datar. “Kamu tahu kamu bisa kena poin pelanggaran karena tidak mengerjakan PR.”

Aruna mengangkat alis. “Wow. Poin pelanggaran dari tunangan sendiri. Romantis sekali.”

Bagas mengabaikan sindirannya. “Tapi kamu baru sembuh. Jadi saya kasih opsi.”

“Opsi?”

“Kerjakan PR-mu dua kali lipat. Kumpulkan lusa. Dan... kamu bantu saya urus klub matematika minggu ini.”

Aruna langsung duduk tegak. “Klub matematika?! Aku lebih milih dihukum nonton seminar ekonomi sambil makan pare mentah!”

Bagas tersenyum kecil, pertama kalinya sejak pagi.

“Pilihanmu, Aruna.”

Aruna memelototinya. “Kamu menikmati ini, ya?”

Bagas berdiri, membereskan bukunya. “Sedikit.”

Aruna menatapnya penuh curiga. “Kamu dendam karena aku nolak sup kamu waktu itu, ya?”

Bagas membuka pintu dan menoleh sebentar. “Bukan karena sup-nya. Tapi karena kamu buang kesempatan mengenal orang yang... mungkin bisa lebih dari sekadar guru killer.”

Aruna terdiam. Matanya menyipit.

“Sampai lusa. Jangan lupa PR-nya."

Aruna keluar dari ruang guru dengan langkah panjang dan napas tertahan. Begitu hendak melewati ambang pintu, suara itu kembali terdengar.

“Aruna.”

Ia menoleh malas. Bagas berdiri di ambang pintu dengan wajah datarnya yang sok cool itu.

“Tidak ada pamit pada calon suamimu?” tanyanya santai.

Aruna melotot. “Kamu itu guru.”

Bagas mengangkat bahu, tetap dengan wajah kalem menjengkelkan itu. “Dan kamu itu murid... sekaligus tunangan yang susah banget disuruh senyum.”

Aruna mendengus dan langsung berjalan menjauh seolah kalau ia menoleh lagi, ia bakal melempar sepatu.

Di pelataran sekolah, mobil hitam sudah menunggunya. Begitu masuk, ia langsung menjatuhkan tubuh ke jok belakang sambil menarik napas panjang.

“Ke kantor Ayah,” katanya tajam. “Sekarang.”

Sopir pribadi itu, Pak Anwar, hanya mengangguk. “Baik, Non Aruna.”

Selama perjalanan, Aruna menatap ke luar jendela, wajahnya kusut seperti kertas PR yang lupa dikerjakan. Ia memutar otaknya.

Kenapa Bagas bisa tiba-tiba jadi guru di sekolahnya? Sejak kapan orang yang diundang makan malam bisa langsung muncul bawa absensi? Apa Papa sengaja?

Tangannya mengepal. Ini sudah bukan main mata, ini sudah sabotase pendidikan!

Mobil berhenti di depan gedung tinggi menjulang milik perusahaan keluarganya. Logo AGAM GROUP berkilau keemasan di bawah sinar matahari.

Aruna melangkah masuk seperti misi penyelamatan hidupnya dimulai.

“Selamat siang, Non Aruna,” sapa sekertaris ayahnya, Mbak Lusi, dengan senyum profesional.

Aruna langsung ke intinya. “Papa ada?”

Mbak Lusi menoleh ke layar monitornya. “Maaf, Pak Agam sedang makan siang dengan tamu di luar kantor.”

Aruna mendesis. “Tentu saja. Saat dibutuhkan, beliau sedang makan. Saat nggak diminta, beliau jodoh-jodohin orang sembarangan.”

Mbak Lusi menahan senyum. “Ada yang bisa saya bantu, Non?”

Aruna menggeleng. “Nggak. Kecuali Mbak bisa jelasin kenapa calon suami aku tiba-tiba jadi guru killer di sekolah.”

Mbak Lusi membuka mulut, tapi hanya bisa tertawa kecil.

“Kayaknya itu kamu harus tanya langsung ke Pak Agam, Non.”

Aruna menghela napas panjang dan menjatuhkan diri ke sofa tunggu. Ia menatap langit-langit ruangan kantor mewah itu.

“Ini semua salah sup ayam.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!