"Gue nginep di rumah lo?" sentak Arimbi tak terima saat diturunkan di depan rumah berpagar putih nan tinggi, di kala hujan lagi.
Sore itu Arimbi dan Sabda sengaja pulang bersama, lebih tepatnya Arimbi nebeng Sabda. Sebenarnya Arimbi bisa saja pulang besok pagi hanya saja keadaan kos sepi. Sudah memasuki pekan sunyi (pekan menunggu UAS selama seminggu) wajar para penghuni kos banyak yang pulang, sedangkan Arimbi baru selesai tahap akhir revisi skripsi pukul 5 sore.
Dia iseng WA Sabda, siapa tahu cowok itu pulang. Maklum rumah mereka berjarak 2 km, sedangkan Arimbi dilarang pulang malam oleh sang ibu. Hanya saja kalau harus tidur di kos sendiri, rasanya kok merinding disko.
Sapiiiii (panggilan Sabda saat SMA). Lo pulang gak? Kalau iya gue nebeng dong!
Tak kunjung dibalas, Arimbi pun menelepon Sabda.
"Apa?" jawab cowok itu tanpa salam.
"Waalaikumsalam Pak Haji Sabda," sindir Arimbi yang dibalas decakan sebal oleh cowok di seberang sana.
"Baik, Nyai Arimbi!" balas Sabda tak kalah menyebalkan, namun Arimbi tertawa juga.
"Lo di mana, Sap?"
"Masih di kos, mau pulang kampung. Kenapa?"
"Uhuy, pas cuy. Nebeng dong!"
"Yakin? Gue naik motor loh ya?"
"Iya gak papa. Daripada gue naik bis, pasti ramai dan desak-desakan."
"Oke, habis maghrib gue samperin ke kos loh. Jangan lupa bawa jas hujan, buat jaga-jaga."
"Oke makasih!"
Arimbi pun segera mandi, siap-siap sholat maghrib, dan mempersiapkan barang bawaan untuk pulang kampung. Ia mengambil ranselnya, memasukkan pakaian dalam, pembalut, laptop, charger ponsel, dan juga mengambil jas hujan milik Nafisah, teman kamar kosnya. Setelah mendapat pesan dari Sabda, Arimbi segera chat Nafisah, pinjam jas hujannya.
Gue udah di depan kos lo, Mbek!
Pesan Sabda kepada Arimbi, yang dipanggil Mbek oleh teman-teman SMAnya.
Oke gue turun.
"Jas hujan?" tanya Sabda memastikan.
"Beres!" jawab Arimbi sembari memakai helm.
"Yakin gak pakai jaket?"
"Enggak, cukup sweater aja!" jawab Arimbi yang memang memakai celana jeans dan sweater hitam serta pashmina.
"Gak usah kenceng-kenceng. Gue gak mau ya meluk lo!" Arimbi sudah mode jutek, Sabda hanya tersenyum meremehkan.
"Nebeng, banyak aturan!" ketus Sabda.
Mereka pun berangkat pulang kampung mengendarai motor, Arimbi berpegangan pada pundak Sabda. Perjalanan menuju rumah mereka kurang lebih 3 jam kalau lewat alas (hutan).
Ketika masuk hutan, Sabda sudah memperingatkan Arimbi untuk tidak bercakap, banyak doa saja, karena saat ini sudah menunjukkan pukul 8 malam. Bus sejuta umat yang biasa dinaiki mahasiswa pun tak ada yang melintas. Motor mereka hanya berpapasan dengan mobil keluarga, maupun motor dan truk pembawa material bangunan.
"Peluk gue, Mbek. Gue mau ngebut, biar gak terlalu lama di alas!" ucap Sabda sedikit berteriak, apalagi dia memakai helm full face.
Arimbi pun segera mengikuti perintah Sabda, ia memeluk perut Sabda yang datar, sedikit erat. Arimbi sendiri mulai merinding sejak masuk alas, suara hewan bersahutan, jangan lupa angin malam berhembus sedikit kencang, lampu jalan hanya mengandalkan lampu sorot kendaraan motor yang berpapasan dengannya.
"Mbek, jangan tidur!" ucap Sabda sekali lagi, sembari menepuk tangan Arimbi yang sedang memeluknya.
"Enggak!" jawab Arimbi pelan.
Perjalanan di alas memakan waktu kurang lebih satu jam setengah, berbagai doa dibaca Arimbi dalam hati. Memohon keselamatan, karena baru kali ini ia pulang kampung naik motor saat malam hari. Dulu pernah nebeng Nimas, naik motor tapi mereka berangkat dari kos siang hari, jadi tidak terlalu horor. Apalagi jalan alas meliuk-liuk.
"Mau mampir gak?" tanya Sabda setelah keluar alas, posisi mereka berada di daerah persinggahan untuk makan. Banyak mobil yang parkir untuk mengisi perut mereka.
"Lo lapar?" tanya Arimbi balik.
"Enggak!"
"Lanjut aja deh, khawatir kemaleman."
Sabda pun melanjutkan perjalanan, lewat daerah ini tidak terlalu horor hanya saja harus hati-hati khawatir begal. Arimbi kembali diminta Sabda memeluk, mau ngebut dan Arimbi tahu wilayah ini rawan.
"Mbek, hujan deras gimana ini?"
"Pakai jas hujan gimana?" mereka sudah tidak sempat memakai jas hujan, karena tiba-tiba hujan turun dengan deras. Padahal mereka sudah masuk kota tempat tinggal mereka, mungkin kurang dari satu jam sampai bila tidak hujan.
"Lewat rumahku saja ya, lebih dekat!" saran Sabda.
"Kalau lewat rumah lo, ke rumah gue rawan banjir, Sapi!"
"Terus gimana?" Sabda bimbang sebentar lagi menuju pertigaan kalau kiri ke arah rumahnya dan lebih dekat, kalau lurus langsung ke rumah Arimbi dengan jarak 1,5 km.
"Pulangin gue Sapi!" rengek Arimbi sembari menepuk pundak Sabda.
"Iya tapi ini hujan deras banget!"
Sabda langsung sign kiri, dan tak peduli omelan Arimbi. Kondisi hujan deras ini menyeluruh, jarak pandang jelas berkurang, sangat berbahaya, apalagi menuju rumah Arimbi dari mana saja rawan banjir.
"Nyesel gue bareng lo, Sap. Sengaja kan kalau lo gak mau anter ke rumah gue?" tuduh Arimbi dengan baju yang sudah basah.
"Nih motor gue, pakai aja ke rumah lo. Gue ikhlas!" ucap Sabda di puncak kesabaran karena Arimbi terus merengek mau pulang.
"Hish!" terpaksa Arimbi mengikuti Sabda yang sudah membuka pagar.
"Nanti kalau sudah reda gue antar, meskipun tengah malam!" bujuk Sabda dengan suara lembut sembari menuntun motornya masuk ke halaman. Arimbi diberi kunci pintu rumah Sabda, agar segera masuk, karena hujan semakin deras.
Arimbi tidak mau, lebih baik menunggu Sabda yang sedang mengunci pagarnya.
"Awas kalau kamu mesum!" ancam Arimbi dengan wajah cemberut. Sabda langsung tertawa, bahkan menghentikan tangannya saat memutar kunci.
"Gue gak nafsu sama lo!" ucap Sabda sembari menonyor kening teman SMAnya itu. Bisa-bisanya gadis jutek itu berpikir macam-macam padanya, padahal dari teman SMA mereka, Sabda doang yang tak pernah pacaran apalagi melakukan pergaulan bebas.
Gelap dan sepi.
Justru Arimbi yang langsung berpegangan tangan Sabda. "Gak usah dekat-dekat, nanti kalau gue nafsu sama lo gimana?" protes Sabda menuju saklar lampu.
Arimbi menghentakkan kaki kesal, bisa-bisanya dia masuk rumah laki-laki, mana terlihat kosong lagi. Benar-benar kondisi di luar nalar.
"Lo tinggal sendiri?" tanya Arimbi memastikan keadaan rumah Sabda.
"Iya gue tinggal sendiri," ucap Sabda yang bersiap naik tangga. "Segera tutup pintunya, Mbek!"
"Janji dulu lo gak bakal macam-macam sama gue!"
"Ck, enggak. Gue masih waras juga!"
Barulah Arimbi menutup pintu rumah Sabda, baju mereka basah. Saat Sabda sudah mencapai lima anak tangga, ia pun menunjuk kamar di dekat ruang tamu.
"Lo pakai kamar situ, nanti baju ganti pakai baju gue dulu, gue taruh kasur!"
Arimbi mengangguk saja. Saat akan masuk ke kamar yang ditunjuk Sabda, cowok itu kembali bersuara.
"Daleman lo pasti basah, mau pakai celana dalam gue juga?" goda Sabda diringi tawa renyah.
"Setaaan!" teriak Arimbi.
"Mbek, baju udah gue taruh di kasur!" teriak Sabda yang sudah berganti baju, dan meletakkan kaos serta celana training miliknya sebagai baju ganti Arimbi.
Sembari menunggu Arimbi, Sabda menuju dapur membuat dua mi rebus. Percayalah kondisi hujan deras, paling nikmat makan mi rebus pakai cabe dan telor serta sayur. Sabda membuka kulkas ternyata hanya sayur kol yang tersisa, mungkin Bik Asih belum belanja.
Di rumah ini, Sabda memang tinggal sendiri. Hanya saja untuk urusan kebersihan rumah, Sabda meminta tolong pada Bik Asih, tetangga gang sebelah perumahannya, yang biasa membersihkan dan mengisi telor, mi dan beberapa sayuran, bila Sabda akan pulang.
Mi ready bertepatan dengan Arimbi yang keluar kamar. Rambutnya ia tutup dengan handuk, wajahnya sudah tampak segar, tapi masih cemberut.
"Makan dulu!" Sabda santai saja toh dia gak berniat macam-macam, murni menghindari hujan deras saja.
"Gak dikasih racun kan?"
"Lo kok negatif terus sama gue sih, Mbek!"
"Eh Juned, ini rumah laki. Gue khawatir lah gue bakal lo apa-apain apalagi lewat makanan begini!"
"Lo belum bilang makasih, lo belum bayar bensin," Sabda perhitungan, dan bikin Arimbi melongo. "Ngapain gue ngeracunin lo kalau lo belum bayar semua!" balas Sabda tak kalah jutek.
"Pelit loh ah!" Sabda tertawa saja saat Arimbi tak bisa membalasnya, gadis itu kemudian menggeser mangkuk mi jatah untuknya. Keduanya makan dengan tenang tanpa ada obrolan, malah Sabda sudah membuka laptop entah apa yang sedang ia buka, berupa grafik yang Arimbi sendiri belum pernah tahu.
"Ngapain, Sap?" tanya Arimbi yang sudah selesai makan mi. Mangkunya bersih tinggal kuah saja.
"Kerja!"
"Lo udah kerja?"
"Udah! Sejak SMA malah."
"Masa' sih?"
Sabda hanya mengedikkan bahu tak mau memperjelas lebih detail. Hanya saja Arimbi yang kelewat cerewet, mau tak mau Sabda dengan sabar menjawab pertanyaan gadis itu.
"Emang kamu kerja apa saat SMA? Perasaan lo main futsal mulu."
"Ya masa' gue kerja harus siaran dulu ke semua orang!" Arimbi menahan kesal, beginilah kalau ngomong sama Sabda selalu ada emosi menyertai.
"Jadi kerja apa Tuan Sabda?" tanya Arimbi menahan kesal karena tak kunjung mendapat balasan.
"Kurir laundry!"
"Sumpah?" Arimbi tak percaya, bahkan badannya langsung menghadap kepada Sabda.
"Kenapa?"
"Kapan lo jadi kurirnya?"
"Malam, habis maghrib, tergantung callingan dari pemilik laundry juga. Intinya gue bisa stand by pulang sekolah, dan full kalau weekend.
"Kenapa lo kerja, Sap?" tanya Arimbi yang tak tahu menahu latar belakang keluarga temannya ini. Seingat Arimbi dulu, sang ayah meninggal saat Sabda kelas XI, dan teman sekolah ikut melayat di rumah ini.
"Kerja buat apa sih, Mbek. Kalau gak cari uang!"
"Iya maksud aku kenapa lo sekeras itu cari uang?" Arimbi mendesak terus hingga Sabda gemas.
"Sejak papa meninggal, mama sudah mencari pengganti papa setelah 100 hari beliau. Mama gue cantik, dan jadi istri kedua seorang pengusaha dan sekarang tinggal di Batam."
"Terus?"
"Nabrak lah Mbek!"
"Lo bisa gak sih serius, gue bakal dengar cerita lo!"
"Apa untungnya?"
"Ya gue habis ini juga lulus siapa tahu gue mau kerja kayak lo!"
"Mending jadi istri gue gak usah kerja, di rumah aja sama gue!" Arimbi langsung menggeplak lengan Sabda, cowok itu tertawa saja.
"Cepetan jawab napa si Sab!"
"Sejak mama gue nikah lagi, gue dipaksa untuk hidup mandiri dan kalau bisa mulai bekerja, karena belum tentu suami baru mama mau biayain gue!"
"Jangan-jangan yang di depan pos satpam dulu," Arimbi tiba-tiba ingat. Saat itu hari ekskul, namun Arimbi terpaksa pulang dulu karena nyeri haid, dan saat di depan pos ia melihat Sabda sedang dimarahi oleh seorang ibu-ibu di samping mobil sedan putih mewah.
Sabda mengerutkan dahi, mengingat moment yang diucapkan Arimbi memang pernah terjadi. "Oh itu, iya. Sejak hari itu gue mencari kerja."
"Terus biaya sekolah lo sampai kuliah?"
"Biaya sekolah sampai semester 2 papa tiri gue yang transfer uang ke gue, tanpa melalui mama. Tiba-tiba chat aja dan minta nomor rekening gue!"
"Terus?"
"Ya sebagai laki-laki yang pernah dibuang oleh ibu ya gue juga harus berdiri sendiri, Mbek. Gak mungkin gue mengharap uluran tangan papa tiri gue terus. Gue kerja apa aja yang penting halal, jaga game PS 5 pernah, kurir makanan pernah, cuma gue mulai banyak uang itu saat masuk semester 3 kayaknya. Gue diajak dosen bikin coding, dan gue dapat bayaran yang lebih gede ketimbang kurir."
Arimbi menangis, menepuk lengan Sabda seolah puk puk memberi kekuatan. "Lah kenapa lo nangis, Mbek?"
Arimbi masih menangis bahkan sampai sesenggukkan, "Gue gak nyangka lo sesuah itu, Sap! Terus lo makan gimana?" tanya Arimbi masih menangis, bahkan Sabda ikut mengusap pipi Arimbi pakai tisu.
"Ya pasti jarang makan lah, Mbek. Gue benar-benar harus menghemat uang saat itu. Udah ah jangan nangis, udah lewat juga. Sekarang gue udah lumayan kaya kok."
Arimbi kembali menggeplak lengan Sabda. "Sekaya-kayanya lo, jangan lupain perjuangan lo juga, Sap!"
"Gak bakal lah, Mbek. Gue gak bakal lupa jungkir baliknya hidup gue setelah papa meninggal."
"Papa lo gak ada warisan?" sebuah pertanyaan konyol dari Arimbi, sampai Sabda menonyor kening gadis itu. Bisa-bisanya di tengah acara menangis, bahas warisan. Ya Allah punya teman kok segesrek gini pikirannya.
"Mulut lo, Mbek!"
"Ya gue benar kan, papa lo kecelakaan pasti dapat jasa raharja juga kan? Belum lagi santunan dari perusahaan."
"Lo lupa mama gue mata duitan!"
"Terus lo gak disisain?"
"Di kasih rumah ini, sama tanah belakang!"
Arimbi langsung memeluk Sabda, menepuk lengan Sabda, seolah ikut merasakan kesedihan teman SMAnya itu. Tidak membayangkan bagaimana Sabda sangat terbatas uang yang ia punya, makannya gimana juga.
"Mbek, lo sejak tadi ngancam gue gak boleh macam-macam, tapi lo main peluk aja ah, minggir!" Sabda melepas paksa pelukan Arimbi.
"Gue tuh sedih, Sap. Ya Allah, umur 17 tahun lo harus kerja, sedangkan gue sampai umur segini masih minta sama ibu gue!"
Sabda mengusap kepala Arimbi yang masih tertutup handuk itu. "Emang cewek kan kodratnya minta-minta."
"Enak aja nanti gue juga pengen punya uang sendiri, gak ngandalin uang laki doang!"
Keduanya terdiam sebentar, Sabda meneruskan dengan laptop dan Arimbi membawa mangkuk ke dapur lalu mencucinya.
"Lo ingat gak, Mbek. Saat lo kasih nasi uduk sebelum ujian akhir kelas XII dulu sama beberapa anak termasuk gue?" Sabda mengingat moment ajaib itu.
"Gue pernah ya kasih nasi uduk?" Arimbi sendiri lupa kapan itu. Sabda pun berdecak sebal, biasanya perempuan itu daya ingatnya kuat sekali. Bahkan kalau punya dendam, bakal ingat sampai kiamat, tapi lihatlah Arimbi, ingatannya nol.
"Yang lo bilang heh rakyatku tuan putri membawa sebongkah harapan nasi uduk agar kita siap menghadapi ujian dunia yang fana ini," ucap Sabda menirukan ucapan Arimbi dan sangat persis. Sontak saja gadis cantik itu menutup mulutnya.
"Iya ingat gue sekarang!"
"Kamu tahu, pagi itu adalah pagi yang bermakna bagi gue, Mbek. Gue udah 2 hari gak makan, karena bos laundry gak calling, listrik rumah habis, bensin habis, akhirnya gue gak beli makan, gue mengganjal perut cuma sama air dan roti biskuit harga 1000an. Uang kiriman papa tiri udah gue pakai buat beli formulir masuk kampus, dan pegangan buat tes, gue gak berani ambil uang itu. Saat berangkat sekolah badan gue gemetar, di jalan gue kuat-kuatin, sambil mengadu ke Allah. Ya Allah saya lapar!"
"Sapiiiii!" Arimbi tak kuasa menahan air matanya lagi, sungguh ia tidak mengira nasi uduk yang dibawakan oleh Ibu Arimbi menjadi oase bagi Sabda.
"Makasih ya!" ucap Sabda sembari menepuk lengan Arimbi yang masih menangis.
"Kita nikah yuk, Mbek?" ucap Sabda pada akhirnya setelah obrolan panjang mereka. Sebuah penawaran sakral yang tak pernah Arimbi pikirkan.
Dirinya memang mengenal Sabda sejak SMA, tiga tahun sekelas, bahkan kuliah pun di kampus yang sama hanya beda jurusan. Sudah menjadi teman baik dan tak pernah terlibat cinta sekolah, pure berteman. Tapi malam ini, sedang berdua saja dengannya ditemani guyuran hujan yang semakin malam semakin deras Sabda melamar Arimbi.
"Sinting!" jawab Arimbi ketus, masih menganggap Sabda bercanda, toh sejak tadi cowok itu menceritakan perjuangannya mencari uang, kenapa ujung-ujungnya mengajak nikah.
"Lo sekali aja gak ketus sama gue kenapa sih," protes Sabda kembali menegakkan badan dan menatap wajah polos Arimbi dengan tatapan kesal.
"Ya lo bercanda mulu!"
"Siapa yang bercanda sih. Gue beneran ajak nikah!" ucap Sabda sembari menatap Arimbi, tampak serius.
"Heleh bohong kan lo, jangan bilang lo mau apa-apain gue dengan dalih ajak nikah. Gue gak ngaruh tuh!"
"Ck, ada cowok baik mengajak nikah dianggap lelucon, sedangkan ada cowok modal aku sayang kamu tapi cuma diajak pacaran dia mau, dunia kenapa sekocak ini sih."
"Ya lo tiba-tiba ajak nikah! Sekarang gue tanya kenapa lo tiba-tiba ajak gue nikah? Lo gak cinta sama gue, begitupun gue!"
Sabda tertawa, menonyor kening temannya ini. "Lo pinteran dikit napa, Mbek. Selama ini hiduo gue bisa buat bercanda dengan main cinta-cintaan kayak lo sama Kak Azrel?"
"Apaan sih!"
"Selama ini hidup gue cuma buat pikir gimana dapat uang, gak penting tuh cinta monyet di kampus. Terus gue juga gak tahu gimana cinta sama cewek, makanya gue ajak lo nikah biar gue tahu cinta sama cewek itu seperti apa."
"Maksud lo?" Arimbi belum paham makna tersirat dari pengakuan Sabda.
"Gue udah bosan hidup sendiri, Mbek. Minggu depan gue ujian skripsi, setelah itu waktu gue longgar, biasanya ditemani anak kos, kita bercanda bareng, gitaran bareng, lalu gue harus balik ke rumah ini sendiri. Kok ngenes banget hidup gue. Lebih baik gue nikah aja kan?"
"Ya tapi kenapa harus gue?"
"Lo kapan pinternya sih. Emang selama ini cewek yang gue kenal siapa selain lo?"
"Ya mana gue tahu, meski kita satu kampus, bisa aja lo dekat sama cewek lain."
Sekali lagi Sabda menonyor kening Arimbi. "Udah dibilangin gue hidup cuma mikir uang pe'a! Cewek yang intens chat sama gue itu cuma lo. Sap nebeng pulang!
"Sumpah baru kali ini gue nebeng sama lo, Sapi!"
Sap kalau presentasi enaknya pakai aplikasi apa biar eye catching dan out of the box. Sekali lagi Sabda menirukan chat Arimbi, dan membuat gadis itu tertawa ngakak. Baru sadar kalau selama ini dirinya begitu menyebalkan bagi Sabda.
"Gimana?" tanya Sabda sekali lagi.
"Ini lo serius apa bercanda sih, kok gue gak ada deg-deg an gitu?"
"Ya lo emang cuma anggap gue teman makanya lo gak deg-deg an."
"Emang lo deg-deg an sama gue sekarang, pas melamar gue barusan juga, lo deg-deg an gak?" tantang Arimbi.
"Enggak!"
"Nah, terus atas dasar apa gue harus mau menikah sama lo?"
Sabda terdiam, ia tak tahu juga kenapa Arimbi harus menerima ajakannya untuk menikah. "Asal ceplos kan lo? Mungkin lo baper apa, karena habis ini gak ada anak kos yang ramai, hanya rumah sepi ini. Tapi gue yakin kalau lo kerja, pulang tinggal capeknya doang, dan langsung tidur."
"Gue udah bilang, Mbek. Gue udah kerja. Gue gak berniat jadi budak kantoran, Mbek!"
"Ya emang kerjaan lo sekarang menjanjikan?" suara Arimbi begitu panas di telinga Sabda, seolah meremehkan jerih payahnya menjadi freelancer dan konten kreator.
Sabda membuka website di mana ia menjadi penjual produk digital berupa e-book tutorial mahir Excel, powepoint dan beberapa aplikasi lainnya. Ia juga membuka ytb studio untuk ditunjukkan kepada Arimbi di mana ia mendapatkan sumber cuan. Belum lagi proyek dosen serta joki skripsi anak informatika dari kampus lain.
Belum lagi dia menjajal peruntungan fotografi dengan menjual hasil potretnya saat mendaki gunung, ia jual di internet, dan laku dengan bayaran dolar.
Belum lagi dia menjadi affiliator berbagai marketplace dunia seperti amaz*ne, dan adidas, semua dilakoni Sabda dengan memiliki background mahasiswa IT.
Sabda juga membuka portofolio sahamnya, mata Arimbi hanya bisa mendelik, ketika melihat cuan Sabda dari investasi saham. Jadi uang dari kurir ia sisihkan 50 % untuk kebutuhan hidup, 50% lagi untuk investasi saham, dan dia sudah menjalaninya semenjak kelas 12 untuk belajar saham ini.
"Dan ini uang di atm gue, ini uang gue sendiri bukan rekening yang diketahui papa tiri gue," Sabda menunjukkan internet bankingnya dan, Arimbi shock dengan jumlah uang yang dimiliki Sabda, cowok kurus tapi manis di hadapannya ini.
"Sap, kok gue kepikiran matre sih, Sap. Ya Allah!" ucap Arimbi sembari menggetok kepalanya. Sabda tertawa, dan memegang tangan Arimbi untuk tidak meneruskan getokan kepala.
"Secara materi gue udah mampu, Mbek."
"Orang tua lo? Bentar ya Sap, ini tuh menikah bukan tahu bulat yang digoreng dadakan di atas kompor dan tosa."
Sabda kembali tertawa ngakak, teman SMAnya ini masih saja lawak. "Ya siapa yang dadakan, gue minta kita nikah bukan berarti gue bakal nikahi lo besok. Setidaknya habis ujian skripsi lah."
"Sueeekkk. Lo kok udah punya plan sih, sangat rapi coba. Curiga gue. Heh bentar sejak kapan lo punya pikiran buat menikah sama gue?"
"Barusan!"
"Berarti asal ceplos kan?"
"Enggak asal ceplos, ya tiba-tiba kepikiran saja, saat lo cuci mangkok tadi terbersit untuk menikahi lo, gue kerja depan laptop kita satu rumah, gue bisa punya teman ngobrol yang sudah tahu saat gue masih miskin sampai gue punya uang seperti sekarang, dan dipikiran gue cuma lo yang cocok jadi teman hidup gue!" ucap Sabda dengan menatap dalam mata Arimbi. Saat bicara pun santai banget, Arimbi semakin curiga, masa' iya ada cowok melamar sesantai ini.
"Bentar-bentar. Lo lagi gak merencanakan hal jelek buat gue kan?"
"Apa untungnya, Mbek? Coba sebutin rencana jelek apa yang mungkin bisa gue lakukan ke lo? Jual diri lo? Dih mana laku!"
"Sialan!" ucap Arimbi sembari menutup dadanya. Sabda kembali tertawa. Ia kemudian menyentil kening Arimbi.
"Buang pikiran buruk lo tentang gue, malam ini silahkan dipikirkan matang-matang, gue tunggu jawaban lo. Kalau emang lo setuju, besok pagi saat gue antar lo pulang. Gue langsung bilang sama Ibu lo."
Arimbi diam sebentar, menatap wajah Sabda dengan berbagai pemikiran. "Gue gak percaya sama lo, Sap. Lo gak mungkin asal ceplos dan baru kepikiran sekarang kan? Jujur, sejak kapan lo punya niatan kayak gini?" tanya Arimbi beruntun, menatap tajam Sabda untuk menuntut sebuah jawaban yang bisa saja menjadi pertimbangan Arimbi untuk memutuskan iya atau tidak.
"Sejak," Sabda menelan ludahnya kasar, ditatap sedemikian rupa oleh Arimbi ternyata keder juga. Tak disangka, teman sengkleknya ini sangat pintar membaca pikiran lawan bicaranya, hingga Sabda sulit untuk mengungkap fakta sebenarnya.
"Sejak?"
"Sejak gue antar lo pulang saat Ayah lo kena serangan jantung!"
"Apa??" Arimbi berteriak, sangat kaget pasti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!