Chapter 01
“Kamu kira aku mau jadi istri pria psikopat seperti kamu?”
Pria bermata seperti elang itu menarik tanganku hingga aku kesakitan. “Kamu sudah tanda tangan kontrak Islana, kamu pikir aku mau jadi istri suami kamu secara resmi?”
“Kamu yang memaksa kan?!”
“Lalu kamu cuman mau uang aja kan? Demi keluarga kamu?”
Plakkk...aku menamparnya.
Dia melihat aku dengan wajah murka. Dia menarik aku saat aku hanya bisa berteriak di lorong kosong ini.
Aku akan mati hari ini.
Aku tidak akan hidup lagi hari ini....
***
Aku tidak sengaja melihat jam tangan dan bersiap menuju stasiun bis untuk menuju kampus.
Setelah menghabiskan teh berri, aku keluar dari pintu rumah kami dan sebelum keluar dari pagar kayu rumah kami, mataku melihat kotak pos merah rumah kami. Kotak pos itu setengah terbuka dan banyak surat berada disana.
Tanpa pikir panjang aku segera mengambilnya, memasukkannya ke tas dan berlari menuju stasiun bis. Setelah menghabiskan jalan pagi yang melelahkan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai ke stasiun bis dan mengambil bis nomor dua puluh dua.
Duduk di kursi nomor tujuh dari depan di sebelah jendela. Kursi favoritku. Mengatur napas sambil melihat semua orang mulai mengisi bis.
Aku membuka tas dan melihat satu per satu surat disana. Mayoritas adalah surat penagihan biaya rumah kami. Surat-surat itu hanya membuat suasana hatiku menjadi buruk.
Tapi ada satu surat dengan amplop biru tua yang begitu kontras dengan yang lain. Aku membukanya tanpa pikir panjang. Di dalamnya sebuah kertas tebal dengan tulisan dari bulpen tinta. Tulisan tangan seseorang.
Aku akan segera datang
K.R.A
Apa seseorang salah mengirim surat? Ini seperti surat cinta kepada seseorang. Tapi aku tidak melihat nama apapun di amplop itu. Tidak ada nama penerima.
Aku memasukkan lagi surat itu. Pikiranku sekarang sudah berada di kampus dan memulai kelas pagi ini.
***
Samirah – aku memanggilnya dengan Mirah – duduk di sebelahku dengan mata terpejam. Matanya terbuka dan tertutup layaknya lampu sepuluh watt yang sudah perlu diganti.
Dosen kami sama sekali tidak menegurnya karena lampu satu ruangan ini sedang dipadamkan karena kami sedang mempelajari apapun yang ditampilkan proyektor.
Aku menyenggol lengan Mirah. Saat matanya terbuka lebar, aku hanya bisa tersenyum padanya. “Lebih baik buka handphone dan mencari sesuatu supaya nggak ketiduran.”
Mirah menopang dagunya dengan tangan. Lalu membuka berita di handphone-nya. “Nggak ada yang benar-benar mengejutkan di kota sepi ini. Nggak ada yang viral.”
Tidak lama kemudian….
“Siapa ini? Orang baru di kota kita? Dia seperti model. Terlalu ganteng untuk berada di kota lembab kita ini.” Mirah menyodorkan berita di depanku.
Pria yang ada di berita kota itu memang sejujurnya terlalu tampan untuk dibicarakan. Hidung yang tinggi, alisnya yang tebal, matanya yang tajam dan rambutnya yang sempurna itu, terlalu sulit untuk diucapkan dengan kata-kata.
“Disini dikatakan kalau dia adalah keturunan pendiri kota ini yang sudah lama nggak tinggal di sini. Dia akhirnya kembali ke kampung halamannya,” Mirah mulai membaca kelanjutannya. “dan dia adalah pemilik Universitas Arumbay. Alias kampus kita.”
Mirah terus membacakan berita itu hingga sesi pembelajaran selesai. Mirah terdengar sangat terpesona dengan orang yang berada di berita itu. Sementara aku hanya mengangguk saja karena aku harus bergegas menuju kerja sampinganku di café siang ini.
***
Melewati waktu kerja di café dan kemudian menghabiskan waktu di pekerjaan lainnya di sebuah toko kelontong hingga jam sebelas malam membuat badanku remuk seketika.
Aku mengganti pakaian untuk kembali ke rumah. Aku mengambil sepeda yang dipinjamkan pemilik toko kelontong padaku dan mulai mengayuh di jalanan gelap menuju rumah.
Entah kenapa mala mini semuanya terasa sangat sepi. Tidak banyak orang berkeliaran. Tidak banyak orang lalu lalang seperti biasa.
Udara malam yang semakin lembab membuatku semakin cepat mengayuh roda untuk sampai di rumah. Kiran pasti belum tidur karena dia selalu cemas jika salah satu dari kami belum pulang.
Plakkk
Ada masalah di rodaku. Aku turun dan melihat roda belakangku kempes dan aku tidak akan bisa mengayuh sepeda ini.
Jalan ke rumah masih panjang dan aku harus mendorong ini sampai ke rumah. Hari yang sempurna.
Dari arah belakang, aku mendapati sebuah mobil hitam panjang yang begitu berkilau menghampiriku dan berhenti tepat di sebelahku.
Jendela terbuka perlahan. Siluet seseorang. Pria. Ada di dalamnya dan dia sedang melihatku. Suaranya muncul dengan nada berat.
“Nggak baik berjalan malam hari, cantik.”
Jantungku menjadi berdebar. Ini bukan pertanda yang baik. Aku mulai berjalan menjauh tapi dua orang keluar dari mobil itu dan mendekatiku dan tanpa aku sadari mereka menutup hidungku dengan sebuah serbet putih dan meskipun aku meronta-ronta, mereka tidak menggubrisnya.
“Bawa dia masuk.”
Pinta pria yang ada di dalam.
Keduanya membawa aku yang sudah hampir kehilangan kesadaran. Hal pertama yang aku rasakan adalah begitu harumnya interior mobil itu. Wangi aroma maskulin mengelilingiku.
Tidak terkecuali pria yang sekarang duduk di sebelahku. Dia seperti menatapku dari kegelapan itu. Dia mendekatiku setelah pintu ditutup.
Tangannya membelai rambutku ketika aku tidak bisa bergerak. Kenapa aku tidak menggerakkan tanganku?
“Tenang, Islana. Aku nggak akan melakukan sesuatu diluar batas.”
Dia berjanji di depan wajahku tapi tangannya berkata berbeda. Tangannya menyentuh leherku, mengintarinya dengan begitu pelan hingga terasa seperti menyiksaku secara perlahan.
Dan tidak lama kemudian mataku tertutup dan semuanya menjadi gelap….
Chapter 02
Aku menggerakkan tangan dan kakiku. Tapi yang aneh adalah tempat tidurku benar-benar sangat berbeda dari biasanya. Tempat tidurku yang keras dan tidak wangi sama sekali sangat berbeda kali ini. Rasanya berada di atas awan yang begitu empuk dan wanginya melebihi shampoo yang sering aku pakai.
Aku tidak ingin terbangun sama sekali karena tempat tidur ini begitu hangat dan nyaman. Tapi matahari seperti memintaku untuk bangun dari alam bawah sadar dan kembali ke realita.
Aku pun membuka mataku dan menatap langit-langit. Pada awalnya tidak ada ingatan apapun yang bisa aku ulangi semalam. Tapi bentuk langit-langit kamarku dengan lampu chandelier putih membuatku terbangun seketika.
Ini bukan kamarku. Aku melihat sekeliling. Semuanya bernuansa putih. Jendela kaca besar dengan tirai berwarna putih, sofa panjang berwarna senada dan sebuah piano besar berada di ujung ruangan. Tidak ketinggalan sebuah televisi lima puluh inchi menyita perhatianku.
Tidak hanya itu, aku memakai gaun piyama berwarna putih lengkap dengan outer tebal. Memori tiba-tiba kembali seperti air terjun di kepalaku yang pusing tujuh keliling di pagi hari ini.
Seseorang menculikku. Pria dengan siluet misterius. Bersuara berat dan aku pingsan ketika bertemu dengannya. Dan pingsan itu karena dia.
Aku turun dari tempat tidur dan langsung membuka pintu. Di lorong yang mirip seperti istana kerajaan inggris itu, aku tidak mendapati siapapun disana. Tanpa pikir panjang aku berlari dengan cepat dan membuka pintu satu per satu. Berusaha mencari jalan keluar. Tapi semuanya bukan pintu keluar, melainkan kamar-kamar kosong yang tidak kalah mewahnya.
Seseorang berdeham di belakangku. Saat aku menoleh seorang pria lengkap dengan jas mahalnya menatapku tapi ketika dia melihat pakaianku dia menundukkan kepala untuk menghindari melihat badanku. “Maaf.”
Suaranya berbeda dengan pria semalam. Tapi dia juga bukan salah satu dari pria yang yang membius aku. Siapa dia?
“Siapa kamu?” suaraku bergetar.
Pria dengan rahang indah itu masih tidak mendongak sama sekali. “Maaf jika aku yang pertama bertemu anda, seharusnya para pelayan yang datang kesini. Tapi mereka pikir anda akan bangun satu jam lagi.”
“Kenapa aku ada disini?” aku tidak ingin mendengar penjelasan mengenai hal lain.
“Karena,”
“Omar.” Suara lain membuat kami berdua menoleh.
Disana berdiri pria dengan wajah yang pernah aku lihat. Suaranya adalah suara yang aku kenali semalam. Ya, itu dia. Pria yang menculikku tanpa alasan yang jelas. Psikopat kelas atas.
Aku mengamati wajahnya. Dia...dia pria yang ada di berita itu. Matanya yang tajam, rahangnya yang sempurna dan hidung mancungnya begitu menggoda.
Mulutku terbuka sejenak sebelum tertutup kembali ketika dia berjalan tanpa melepaskan pandangannya dariku.
“Kamu nggak seharusnya disini. Ini tempat terlarang.” Pria dengan suara berat dan penuh otoritas menegur laki-laki di depanku.
Omar menjauh dariku. Wajahnya merasa bersalah. “Maaf, aku sedang berada di lantai bawah. Suara pintu terbuka dan menutup dengan keras membuat aku naik kesini.”
Pria dengan tatapan seperti elang itu seperti tidak puas. Dia seperti mengontrol emosinya dengan mengepalkan tangannya. “Keluar dari rumah ini sampai aku panggil lagi.”
Omar mengangguk dan pergi tanpa mengucapkan kata-kata lainnya.
Sekarang, di lorong sepi ini hanya ada aku dan pria ini. Aku mundur perlahan hingga menabrak pintu di belakangku. “Kenapa aku disini? Kamu melakukan penculikan. Kamu tau kalau di kota ini nggak ada yang bisa melewati hukum?”
Pria itu melihat pakaianku dan melihat kakikku yang tidak ada alas kaki. “Kamu bisa sakit jika berjalan di marmer tanpa alas kaki.”
Apa?!
“Aku bertanya soal kenapa kamu melakukan ini! Dan kamu bertanya tentang alas kaki?!”
Pria itu menundukkan kepalanya saat sudah berada di depanku. Aku terperangkap di antara kedua tangannya. Wangi maskulinnya benar-benar sama seperti yang aku cium tadi malam. Kenapa wangi ini terasa begitu memabukkan?
“Kairav Raktaguna Arumbay. Panggil aku Kai,” pria itu membisikkan itu di telingaku.
Dia sepertinya punya kebiasaan untuk berbisik. “Aku nggak peduli siapa nama kamu. Sekarang apa alasan kamu menculik aku seperti seorang psikopat di film hollywood?”
“Kamu belum makan sama sekali sejak kemarin. Lihat wajah kamu begitu pucat. Kita akan makan bersama siang ini setelah kamu ganti pakaian.”
Aku memicingkan mata. “Bagaimana kamu tau kalau aku belum makan dari kemarin?”
Kai tersenyum. Senyuman yang bisa meluluhkan wanita manapun. Aromanya bahkan bisa membuat iri pria lain. “Aku tau semuanya tentang kamu,” dia masih berbisik. “kamu juga punya kebiasaan kurang fokus saat perut kamu belum terisi.”
Kai mengambil tangan kiriku. Mengelus jari manisku.
Bukan lebih tepatnya dia mengelus sebuah cincin di jari itu.
Cincin dengan berlian berbentuk mahkota berada disana tanpa aku sadari.
Untuk kedua kalinya bibirku terbuka lebar di depan pria psikopat ini.
***
Setelah berganti pakaian dengan penuh penolakan dariku, akhirnya aku duduk di meja yang sama dengan pria psikopat itu. Kami duduk bersebelahan dimana dia duduk di sisi ujung meja.
Aku berdoa ratusan kali berharap jika ini hanya mimpi tapi ternyata hidupku bisa berubah seperti ftv hanya dalam satu malam saja.
“Kamu harus makan banyak.” Kai meminta para pelayan dengan pakaian berwarna biru tua untuk membawa makanan lebih banyak lagi.
Melihat makanan yang begitu banyak di depanku membuat perutku menari-nari ingin memakannya tapi mengingat serbet putih semalam lebih baik aku menghindari mengkonsumsi apapun di meja ini.
“Kamu takut?”
Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. “Siapa yang percaya dengan pria penculik seperti kamu?”
Ruangan itu mendadak sunyi karena suaraku. Beberapa pelayan terlihat saling lirik dan ketakutan mendengar ucapanku. Sementara Kai dengan wajahnya yang tidak bisa aku baca sama sekali, hanya diam.
“Semuanya tinggalkan kami berdua,” Kai berkata dengan nada amarah datar.
Semua keluar meninggalkan kami. Di ruangan makan yang bisa mengalahkan ruang makan Ratu Victoria ini, aku merasa seperti tahanan manusia yang siap ‘dijual’ oleh orang disampingku sekarang ini.
“Cincin itu,”
“Akhirnya kamu membicarakan cincin fenomenal ini,” aku melihat cincin di tanganku. “apa ini artinya....”
“Kamu istriku,” Kai mengatakan dengan tanpa beban. “kamu berusaha melepaskan cincin itu sampai jarimu menjadi merah.”
“Yang anehnya aku nggak bisa melepaskan ini sama sekali,” jariku masih merasa sakit karena ditarik ratusan kali. “kamu sepertinya juga tau ukuran jari manisku.”
“Aku tau semuanya tentang kamu. Kamu hanya sia-sia menghabiskan waktu untuk melepaskan cincin itu. Lebih baik kamu mulai menerima apa yang akan ada dihidup kamu mulai dari sekarang.”
Aku tertawa miris. Menertawakan hidupku seperti sinetron yang sering aku lihat di televisi. “Kamu sudah gila yah?”
Kai melihatku dengan tatapan serius. “Aku bukan orang gila. Ini semua sudah seharusnya terjadi. Sayang sekali pertemuan kita terjadi dengan cara seperti ini.”
Aku tidak akan kalah dari pria psikopat ini. Aku menatapnya tanpa bergeming. “Apa ini prank?”
“Bukan.” Kai tersenyum mendengar jawabanku. Senyuman yang mengeluarkan lesung pipinya yang baru aku sadari.
Aku harus fokus pada masalah, bukan wajahnya. Aku menghembuskan napas panjang. Aku harus keluar dari sini. “Apa aku punya pilihan?”
“Nggak ada pilihan, cantik.”
Aku tidak apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Chapter 03
POV – Oza Barabay
“Boss, ini fotonya.” Rimbo memberikan sebuah foto padaku.
“Hmmm…jadi ini adalah calon istri dari keparat itu. Sepertinya dia sudah berpaling dari wanita dengan penuh filler itu. Apa yang kamu tau soal dia?”
Rimbo duduk di sebelahku , kami memandang taman belakang di rumah Klan Barabay. Sudah lama kami tidak ‘berkunjung’ ke Arumbay. Kami sudah merencanakan sesuatu dalam waktu dekat.
“Islana Anurandha, umur dua puluh tahun, anak kedua dari tiga bersaudari, masih kuliah dan keluarganya terlilit hutang.”
Aku merasakan kemenangan di dalam seluruh tubuhnya. Tanganku mengepal karena sudah tidak sabar untuk menghancurkan Kai dalam satu kali pukulan. Pria keparat seperti itu tidak berhak untuk menjadi penguasa yang menghalangi jalan kami selanjutnya. Sejak dulu aku sudah muak dengan kehadiran keluarganya.
“Dia punya kelemahan yang sangat besar sekarang, kita lihat apa yang bisa dia lakukan untuk melindungi perempuan lugu dan rapuh seperti itu.”
Aku merobek foto perempuan yang akan menjadi korbanku selanjutnya.
***
Masa Kini
POV - Islana
Aku mendobrak pintu untuk keluar dari ruang makan itu. Tapi semuanya sia-sia karena pada akhirnya tidak ada yang bisa aku lakukan. Pintu tertutup rapat dan siapapun yang ada disana menguncinya dari luar.
Benar-benar pria psikopat.
“Nggak akan ada yang berani membuka pintu itu tanpa persetujuan aku.”
Aku menyandarkan dahiku di depan pintu. “Apa aku tumbal?”
“Tumbal?” Kai tergelak.
“Ya, kamu berasal dari sekte aliran sesat yang butuh tumbal setiap malam jumat,” sindirku.
Kai tertawa terbahak-bahak seolah hal itu sangat menggelikan. Apa yang tidak mungkin terjadi di dunia ini? Semua hal bisa terjadi. Aku tidak punya energi lagi selain melihat dia yang tertawa dari tempat duduknya.
“Kamu belum makan. Bagaimana kalau kita melakukan ini dengan tetap menjaga ketenangan, Islana, aku akan menceritakan semuanya dari awal.”
“Nggak! Aku nggak mau dengar apapun! Mana ada alasan logis dari sebuah penculikan?”
“Ada,” Kai menoleh. “aku akan menceritakannya jika kamu mulai makan. Kamu harus ingat hidup semua orang di keluarga kamu ada di tangan kamu sekarang.”
“Memangnya kamu siapa? Orang yang lebih tinggi daripada hukum?”
Kai mengangguk. Dia berjalan dan memberikan handphone di depanku. “Kamu bisa mencari sendiri untuk sekedar mencari tahu secara umum.”
Dia pikir ini tugas kampus?
Aku mengambil dengan kesal dan membuka internet dengan rasa kesal. Aku menulis namanya dan keluar banyak sekali foto jarak jauh dan berita-berita terkini.
Kairav Raktaguna Arumbay
Pemimpin tertinggi klan Raktaguna Arumbay
Menggantikan peran sang ayah yang meninggal tiga tahun yang lalu
Akhirnya kembali ke kota asalnya sejak umur lima tahun berada di Jakarta.
Klan Arumbay memiliki sembilan puluh persen tanah yang ada di Arumbay yang tidak bisa disentuh bahkan oleh hukum.
Mereka berperan penting dalam kebijakan Arumbay secara absolut.
“Apa ini bercanda?”
“Apa yang kamu tau tentang Arumbay?”
“Nama kota,” jawabku singkat dan tidak sabaran.
Kai mengangguk pelan. “Nama kota ini berasal dari keluarga kami. Ayah kami memang menyukai bekerja dalam bayangan. Tapi semua itu akan berubah. Aku akan memastikan siapapun tau siapa kami mulai dari sekarang.”
“Jadi,” aku memutar otakku. “keluarga kamu seperti kumpulan psikopat?”
“Mafia, kata yang paling mendekati untuk memperjelas siapa kami. Meskipun kami nggak suka menggunakan itu. Mafia terdengar terlalu ekstrem dan kebrutalan secara terbuka.”
“Bukannya itu yang kamu lakukan tadi malam?”
Kai tersenyum lagi. “Aku suka ternyata kamu punya api membara setiap kali berbicara.”
Apa?
Kai mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan, aku akan menceritakan hal lebih banyak lagi.”
Aku melihat tangannya yang besar dan maskulin itu. Menaruh tanganku disana sama saja dengan menyetujui pernikahan psikopat ini. Tapi sebelum tindakan gila itu aku lakukan, pintu terbuka dan disana Omar melihat kami secara bergantian.
“Kenapa kamu buka pintu?!” Kai membentaknya.
Aku mengambil kesempatan itu untuk keluar dari pintu dan lari sebelum seluruh penjaga dengan wajah seperti preman itu menarik dan membawaku ke depan Kai Arumbay.
Aku berhasil turun ke lantai bawah. Di mana penjaga lainnya terkejut melihat aku yang berlari ke arah mereka. Aku berlari membuka beberapa pintu tapi tidak ada satupun yang terbuka.
“Jangan biarkan Ny. Isla keluar!” Omar memberikan perintah dari atas tangga. Kai sama sekali tidak terlihat.
Semua penjaga mengerubungiku hingga ke pintu terakhir yang belum aku buka. Aku yakin itu pintu keluar dari istana putih psikopat ini. Tapi aku hanya seorang diri. Ketika dua belas penjaga dengan lengan lebih besar dari betisku berhasil mengurungku hingga tidak bisa bergerak, aku hanya bisa terduduk di lantai marmer yang dingin itu.
***
Omar memastikan aku kembali ke kamar. Dia meminta seluruh pelayan yang berbeda umur antara satu dan yang lainnya itu untuk membawa makanan baru ke kamarku.
Aku hanya bisa duduk di lantai dan meratapi nasibku yang berada di neraka. Tanpa sadar air mataku mengalir dengan deras. Tapi aku tidak berani mengeluarkan suara. Aku tidak ingin Kai datang dan menambah luka dengan perkatannya lagi.
Tapi aku mendengar sesuatu yang janggal dari balik pintu yang terbuka sedikit. Beberapa pelayan berbisik dengan nada ketakutan dan ada yang berbicara dengan nada menyindir.
“Aku nggak sabar melihat Nyonya Malikah datang. Apa yang dia akan katakan ketika melihat anaknya sudah punya istri sekarang,” ucap seorang pelayan penasaran.
“Aku berani jamin Nyonya Malikah akan murka,” ucap pelayan lainnya dengan tawa kecil.
“Belum lagi Nona Astaria. Nona pasti nggak akan tinggal diam kalau Tuan muda Kai direbut dengan cara seperti ini,” kata pelayan berikutnya. “kita akan melihat perang di rumah ini!”
Aku menjauh dari pintu itu untuk mengontrol emosi dan tidak lama kemudia seseorang membuka pintu itu lebar-lebar.
“Ny. Isla,” Omar memanggilku dengan panggilan menjengkelkan itu.
Dengan umur masih dua puluh tahun, bisa-bisanya aku sudah berada di depan takdir ketika semua orang memanggilku Nyonya. Menyedihkan.
“Perkenalkan namaku,”
“Omar,” aku menyelesaikannya sendiri. “apa kamu tangan kanan pria psikopat itu?”
Omar terdengar tidak bisa menahan tawanya. Tapi itu hanya sebentar. Dia tidak terbahak-bahak layaknya Kai. “Apa aku bisa memanggilmu dengan Isla selama Kai nggak ada?”
Aku mendongak. Ternyata Omar sudah berjongkok di depanku. Ekpresinya berubah ketika melihat wajahku dan mataku yang sembab. Aku pasti terlihat seperti orang gila. Lagipula siapa yang tidak berubah menjadi orang gila di posisiku sekarang ini??
“Maaf kalau semuanya terjadi seperti ini. Atas nama keluarga kami, aku meminta maaf,” Omar berkata dengan simpatik.
“Kamu kira maaf cukup?”
“Tentu saja nggak,” Omar duduk di sampingku. “tapi hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai orang yang berada di bawah Kai. Nggak ada yang bisa menghalangi keinginan dia. Apalagi setelah ayahnya meninggal. Dia pemimpin tertinggi di seluruh Arumbay.”
“Jadi semuanya benar? Kalian ini nyata? Keluarga mafia?”
Omar menahan senyumnya. “Kamu terlalu banyak nonton film mafia sepertinya. Tapi bisa dibilang kalau menentang keluarga ini sama saja cari mati.”
Kepalaku sudah hampir pecah mendengar ini semua. “Apa aku bisa keluar dari sini? Itu yang terpenting.”
Dahi Omar berkerut. “Kamu masih mau lari dari sini? Kamu lupa dengan semua penjaga di bawah tadi?”
“Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Aku nggak mau menjadi Nyonya dari pria psikopat itu.”
“Dipanggil menjadi Nyonya hanya masalah kecil dibandingkan masalah lain di dalam hidup kamu kan?”
Aku tidak percaya yang aku dengar. “Omar, tentu aja kamu bela dia. Kamu bagian dari dia dan tindakan penculikan ini!”
“Aku nggak pernah menyetujui penculikan ini. Lagipula leherku menjadi taruhannya kalau memberontak. Kai memang suka melakukan hal-hal yang berlebihan. Kamu harus terbiasa mulai dari sekarang.”
“Berlebihan? Penculikan bukan hanya berlebihan tapi itu tindakan kriminal! Kamu bilang aku harus terbiasa? Aku tidak bisa menyukai dan tidak akan mencintai orang itu!”
Omar yang memperhatikan keluh kesahku dengan seksama hanya bisa menggeleng. “Kamu tau terkadang apa yang kita ucapkan bisa sebaliknya yang terjadi.”
“Omar,” aku memohon dengan linangan air mata baru. “tolong aku keluar dari sini, aku janji akan melakukan apa aja yang kamu mau.”
“Aku tidak butuh apapun, seperti yang aku bilang sebelumnya, leherku menjadi taruhannya,” Omar bersandar santai. “tapi ada satu yang bisa aku bantu sekarang, setidaknya menghapus air mata kamu sebentar,”
“Apa?”
Omar memberikan handphone miliknya. “Kamu bisa menghubungi keluarga kamu tanpa Kai tau.”
Tanganku tidak bisa bergerak karena aku sedang menebak apakah ini adalah jebakan berikutnya….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!