NovelToon NovelToon

Arsellysa

Bab I :// Kabur Bersama

Seorang gadis yang tengah duduk menyandar di penyangga kasur menyeluruh kan impulsnya pada layar MacBook miliknya. Fokus menunggu bilah biru pada pengiriman video YouTube-nya sampai pada titik akhir.

Ting! Your video was posted!

Berlysa Kanantasya spontan membulatkan bola matanya, berbinar, tersenyum sumringah. Sejenak sebelum kemudian ia merasakan perih pada ulu hatinya.

Penyakit asam lambungnya kambuh lagi. Pasti karena ia terlalu sibuk membuat video sampai lupa makan kemarin.tidak heran lagi, sudah jadi kebiasaan tiap kali terlalu asyik merekam video untuk konten YouTube, ia pasti selalu melupakan jam makannya dan berakhir terlambat makan.

Ponsel berdering, menampilkan panggilan vidio dari Farrel, sahabat sedari kelas tujuh di sekolah menengah pertama. "Woi! Lysa Blacpink!".

Lysa mengerucutkan bibir. Baru saja memulai panggilan, Farrel sudah ngajak ribut saja. "Apaan sih?, Kenapa lo telepon gue? Kangen?".

Cowok tampan berwajah Asia dengan rambut hitam itu lalu berlagak mau muntah. Lysa terkekeh singkat kemudian. "Pede amat lu Mba! Cuma mau ingetin, nanti malam kita latihan karate" .

"Ya elah, kalau itu gue juga tau kali! Memangnya gue selupa itu, hah?".

"Memang!" jujur Farrel polos. "Lo kan, memang pelupa! Makan aja lupa, tuh sampai bibir lo pucat gitu. Mag lagi kan, Lo?" tuding cowok itu kemudian.

Lysa terkekeh polos. Mau berbohong pun cowok itu pasti akan mengetahuinya. Tidak akan mudah membohongi cowok itu, Farrel sudah cukup mengenali dirinya.

Lysa lantas meraba bibirnya. "Ketara banget, ya?"

Farrel memutar bola matanya malas. "Iya, Lysa Blacpink-ku sayang"

Lysa hanya meletakkan lidahnya mencibir sebutan cowok itu untuknya.

Farrel terkekeh. "Sini, sini... Aa Farrel bantu merahin," ujar cowok itu jail seraya memonyongkan bibirnya. Membuat Lysa bergidik jijik.

"Iyuh! Enyah sana lo otak mesum!"

Farrel kian tergelak, mengganggu Lysa sudah menjadi hobinya sejak lama. "Gue kan sebagai sahabat yang ganteng dan perhatian ingin membantu teman yang tengah dilanda kesusahan. Terima aja bantuan gue kenapa, sih?"

Lysa berdecih, mencibir lelaki itu. "Bodo amat! Tapi by the way... thanks ya, editan Lo keren,"

"Iya, lah, gue master!" kekeh Farrel narsis. Lysa hanya mencibir.

Mendengar suara kesibukan dari luar membuat Lysa menolehkan kepala ke arah sumber suara. Dan sontak mematikan panggilannya dengan Farrel, langsung saja keluar dari kamar. Mencari tahu ada apa.

"Mama sama Papa mau ke mana buru-buru banget ?"

Diana berjalan cepat dan mengecup puncak kepalanya sekilas. "Mama sama Papa ke rumah sakit dulu, ya. Sakitnya Arga kambuh, dia hiper ventilasi lagi."

Yang Diana maksud Arga itu adalah saudara kembar Lysa yang hanya beberapa jarak beberapa menit dengannya. Cowok itu menderita penyakit paru interstisial sejak insiden kebakaran di gudang pabrik sembilan tahun yang lalu. Karena itulah cowok itu sering keluar masuk rumah sakit seperti saat ini.

"Terus yang antar Lysa latihan karate siapa?"

Diana diam sejenak, lalu menjawab, "Nebeng Farrel aja. Nanti Mama suruh dia datang. Mama sapa Papa pergi, ya, Sayang?"

Dara mengangguk pelan. Mama sama Papanya lalu pergi, dengan Arga yang sudah lebih dahulu dibopong ke dalam mobil.

Cewek itu menunduk, tersenyum pahit. "Lysa juga sakit, Ma, Pa..."

...*****...

"Oy, Sa!"

Gadis yang tengah meringkuk itu menggeram, lalu mengangkat kepala dari lututnya dengan wajah kesal, Farrel mengacaukan tidur nyenyaknya.

"Ya Allah, ini anak segala tidur, sendiri-sendiri lagi, enak juga tidur bareng," kekeh Farrel menaik-naikkan alis dengan raut wajah menyebalkannya.

Cewek yang memakai pakaian serba putih dengan sabuk hitam itu langsung menjitak kepalanya. "Ogah gue tidur bareng elo! haram, tau nggak?"

"Dih, memang gue kembaran babi?"

"Baru sadar, ya?" Lysa tiba-tiba meringis. Tadi kepalanya pusing, sekarang perutnya terasa mual.

"Lo kalau mau Isti, pulang aja gih. Entar gue bilangin ke Sensei."

Lysa menatapnya, memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Menyetujui ujaran Farrel untuk pulang saja. Tadinya Farrel ingin mengantarnya pulang, tapi Lysa bersikeras ingin pulang sendiri. Mau tidak mau, Farrel membiarkannya saja karena gadis itu sangat keras kepala.

Di sinilah cewek itu berada sekarang, di depan minimarket dua puluh empat jam sesuai membeli parasetamol sembari menunggu taxi online pesanannya datang. Lysa lalu berjalan ke depan agar mempermudah taxi online yang ia pesan untuk menemukannya.

Tiga lelaki yang sedari tadi meliriknya tanpa izin ikut berjalan menghampirinya. Mulai berani menggerakkan tangannya menegur gadis itu.

"Mau pulang kemana, Dek?"

Lysa tersentak dan menoleh. "Rumah," jawab Lysa acuh seraya memeriksa ponselnya kembali.

"Ooh. Dari mana, Dek? Pakai baju putih-putih kayak mau ngelayat aja?"

Lysa tak menjawab, memilih tidak menggubris omongan om-om itu yang jelas tidak ia kenali.

"kenalin, Dek, Abang namanya Romi. Yang ini Rama, terus yang sebelahnya Rusli."

Lysa memutar bola matanya malas. Aish! nama apa nama enggak jelas banget!

"Masih sekolah, ya, Dek?"

Lysa menatap om-om tadi tidak percaya. Apa tidak jelas bahwa sikapnya menunjukkan bahwa dia tidak ingin diajak bicara?

Om-om itu mulai berani menggerakkan tangannya. Menggerayangi bagian belakang Lysa dengan kurang ajarnya. Lysa langsung memutar pergelangan tangan om-om tadi yang berani menyentuhnya itu. Menatap tiga om-om itu dengan nyalang.

"Brengsek! Berani-beraninya lo sentuh gue!"

Om-om itu sontak menepis tangannya. Lysa yang sedang lemah sukses mendominasi kekuatan om-om itu untuk mendorong nya hingga terjatuh. Di tambah lagi mereka bertiga, sedangkan Lysa sendirian.

Cewek itu menggeram, ingin melawan lagi namun pukulannya sudah lebih dahulu diwakilkan oleh seseorang.

Bugh!

Om-om yang bertubuh gempal terjatuh tiba-tiba Sete mendapat tendangan asing dari seorang laki-laki. Kedua temannya langsung menatap lelaki muda itu. Mengisyaratkan secara tidak langsung bahwa mereka tidak terima lelaki itu sudah berani menendang salah satu teman mereka.

"Wah! Berani Lo?!"

"Bisa, nggak, kalian berhenti cabuli cewek-cewek di daerah ini?!" hardik lelaki yang tampak seumuran dengan Lysa tersebut, menatap om-om itu sinis.

"Cari masalah Lo sama kami?"

Dalam sekejap, tiga om-om tadi langsung saja menyerang lelaki itu. Namun dengan sigap ia tangkis. Menghindari pukulan beberapa kali dan melayangkan tendangan yang sukses membuat dua dari om-om itu tumbang, lali menyikut dagu yang lainnya dengan lutut. Lelaki itu menambah pukulan bertubi-tubi sampai om-om tadi menyerah dan alhasil memilih pergi.

Lysa bangkit berdiri, membersihkan seragam putihnya yang pasti kotor karena terjatuh tadi. Cewek itu kemudian memperhatikan lelaki dengan piercing hitam di sebelah telinganya yang tadi membantunya. Perlahan berjalan mendekat ke arahnya.

Lysa kenal lelaki itu. Siapa yang tidak mengenalinya? Dari penjuru SMA Bina Bakti sampai sudut ke sudut sekolah selalu membicarakannya. Tentu saja Lysa tahu siapa dia.

Namanya Arselyno M Arxell. Orang-orang menyebutnya Monster Bina Bakti, pembunuh bayaran yang katanya kejam dan tak punya perasaan. Tapi hari ini pernyataan buruk tentang Arsel sukses membuat Lysa meragukan sisi mana dari Arsel yang katanya menyeramkan itu?

"Lo nggak apa-apa, kan?"

Lysa tidak langsung menjawab, namun kemudian mengangguk.

"Mereka memang sering cabuli anak cewek di daerah ini. Tapi lo nggak sempat di diapa-apain sama mereka, kan?"

"Mereka cuma sentuh gue, nggak sempat lebih. Kalau aja gue nggak lagi lemas, argh, pasti gue bejek-bejek mereka! Berani-beraninya sentuh gue!"

Arsel manggut-manggut lega. Kemudian memiringkan kepalanya memperhatikan wajah cewek itu. "Lo kelihatan pucat, sakit?"

Lysa meraba bibirnya sendiri yang pucat. Bibirnya terasa kering dan kasar, seharusnya ia juga membeli lip balm saat di minimarket tadi.

"Cuma nggak enak badan"

"Dimana rumah lo? Biar gue antar pulang."

Lysa membulatkan matanya. Mereka baru kenal, apa tidak masalah langsung menerima ajakan cowok itu untuk pulang bersama?

"Nggak usah, deh. Gue naik taxi aja."

"Yakin? Terserah lo kalau gitu. Tapi gue nggak bisa temani lo sampai taxi datang. Dan gue nggak bisa jamin orang-orang cabul tadi nggak bakalan datang lagi, atau mungkin bawa gerombolannya lebih banyak?"

Lysa melotot. Entah Arsel sedang menakutinya atau memang ada benarnya, Lysa sukses di buat bergidik ngeri. Kondisinya sedang lemah, tidak memungkinkan berkelahi. Bagaimana jika mereka benar-benar muncul lagi, bahkan membawa lebih banyak pasukan percabulan?

Ayolah, Lysa tidak ingin mati konyol atau apalah itu saat ini. Dia masih perlu menaikkan jumlah subscribe serta viewer-nya di YouTube. Jadi lebih baik, ia menerima tawaran laki-laki itu saja.

" Ya udah gue duluan, ya—"

Dengan keyakinan diri yang sudah mantap, Lysa memotong, "Gue pulang... Bareng lo, deh"

...*****...

Ranzi menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah Lysa. Membukakan kunci pintu mobil agar putrinya bisa keluar. Lelaki berpakaian formal itu mengecup puncak kepala putrinya lembut setelah Lysa menyalami punggung tangannya.

"Maaf Papa nggak bisa antar jemput kamu latihan karate"

Senyum Lysa terbit. "Nggak masalah kali, Pa!" ujarnya. "Arga udah mendingan, kan?"

Ranzi mengangguk. Lysa tersenyum, senang mendengar saudara kembarnya sudah jauh lebih baik.

"Sebagai gantinya, mau nggak Papa temani nonton bola nanti malam?"

Lysa mencibir. "Lysa kali yang temani Papa!"

Ranzi tergelak, Lysa juga turut tertawa kecil. Mengusap puncak kepala putrinya lembut, tersenyum hangat khas seorang ayah.

"Belajar yang serius. Jangan tidur di kelas"

Lysa mengangkat tangannya ke dahi, berlagak hormat, "Siap, komandan!"

Ranzi tertawa kecil melihat tingkah putrinya. Lysa kemudian turun dari mobil, tersenyum ceria di balik kaca. Lalu melambaikan tangannya sebelum kemudian pergi masuk ke dalam sekolahnya.

...*****...

"Tau nggak sih Sa? Ngeselin banget, tadi pagi si monster Bina Bakti itu biki gue kecipratan air lumpur di depan gerbang!" Aufa—teman dekat Lysa setelah Farrel—mengeluh kesal. Lysa dan Aufa tengah berjalan di koridor saat ini. Baru saja keluar dari toilet.

Cewek yang memakai seragam putih abu-abu dengan sweater abu-abu itu menaikkan alisnya, tidak mengerti dengan gerutuan Aufa yang random sekali. "Maksud lo Arsel?"

"Iya lah! Siapa lagi? Kalau saja dia bukan pembunuh bayaran yang bisa matiin gue kapan saja, udah gue labrak dia. Pagi-pagi udah bikin emosi"

Lysa sedikit ragu dengan pernyataan buruk tentang Arsel. Apa memang benar Arsel itu pembunuh bayaran?

"Dih, jangan suudzon, Fa. Siapa tau Arsel bulan pembunuh bayaran kayak orang-orang bilang, kan?"

"Lah kok, lo malah bela Arsel? Bukannya gue sahabat lo sendiri?"

Lysa nyengir. "Nggak gitu, njir. Memang Arsel lakuinnya tadi pagi sengaja? Terus nggak minta maaf?"

Aufa bungkam. Setelah Arsel tidak sengaja membuat roda motonya melewati lumpur hingga Aufa terkena imbasnya, cowok itu langsung mendatanginya dan meminta maaf. Tapi tetap saja, roknya sudah dibuat kotor oleh lelaki itu. "Nggak tau, deh!" alih Aufa.

"Bye the way, gue like vidio lo yang baru, Sa!" gila, gila! Udah hampir sejuta aja viewers vidio lo yang sebulan lalu!" seru Aufa histeris di sebelahnya.

Lysa hanya senyum-senyum sok tersipu sembari berlagak menutup nutupi bibir dengan tangan. Kayak kembang desa yang baru saja dilamar oleh sogan kota. Aufa bergidik geli melihatnya. Lysa terkekeh, Aufa kemudian menoyor cewek itu sambil menggeleng.

"Nggak usah sok jaim bangsat lo, Sa!jadi gemas pingin nampol deh"

Lysa terkekeh."Sesekali kan, jadi cewek jaim gitu. Siapa tau banyak yang naksir?"

Aufa tertawa sambil menggeleng. "Yang ada orang pingin pindah ke planet lai gara-gara lihat lo Sa"

Lysa terkekeh"Bangke lo, Fa"

Mereka kemudian berbelok ke arah kanan, melewati ruang BK, bersamaan dengan seorang cowok berbadan tinggi dengan tindik di telinga yang Lysa kenali keluar dari ruangan. Refleks bertemu pandang dengannya.

"Tuh, dia pasti buat ulah lagi. ngapain juga masuk BK tanpa sebab, kan?" terka Aufa sinis setelah melihat Arsel, melipat tangannya di perut.

Lysa masih menatapnya, Arsel kemudian mengalihkan tatapan dan berlalu pergi. Melengos ke arah berlawanan dengan mereka.

Kenapa auranya menarik gravitasi gue banget, sih?

Lysa menggeleng lalu mengalihkan pandangannya.

"Sa, pokoknya lo harus jauh-jauh dari cowok kayak Arsel. Bahaya pokoknya sampai kita lulus, nggak usah kenal sama dia"

Lysa mengerutkan wajahnya, heran. "Dih, lebay lo Fa. Sampai segitunya"

"Ya demi keselamatan, njir"

Namun Lysa tidak langsung mendengar semua ujaran Aufa barusan. Memilih mendengarkan asumsinya sendiri saat ini. Bisa jadi Arsel tidak seberbahaya itu kan?

...*****...

Tadinya Lysa hanya izin ke toilet pada guru karena ingin buang air kecil saja. Tapi begitu mendengar suara riuh yang ada di belakang toilet, membuat langkahnya jadi terhipnotis untuk menuju ke arah sumber suara itu. Mencari tau pa yang sedang terjadi.

"Ha! Astaga!" Lysa menutup mulut dengan tangan, terkejut dengan apa yang baru saru saja ia lihat.

Dua orang tengah saling baku hantam di belakang toilet. Oh, mungkin tidak dapat disebut 'saling' karena hanya satu orang yang lebih mendominasi perkelahian. Dan orang itu adalah Arsel.

Lysa semakin membulatkan bola matanya tidak percaya, meringis ngeri melihat beberapa pukulan bertubi-tubi, sekolah tidak memberi laki-laki itu kesempatan untuk melawan balik.

"Jadi benar? Arsel itu... Berbahaya?"

Salahkan saja rasa penasaran Lysa yang terlalu overdosis sampai membawanya ke sini. Kalau tidak, Lysa tidak akan sengaja menonton pertunjukkan mengerikan ini bukan?

Lysa memang atlet karate. Tapi baru kali ini cewek berambut panjang itu melihat seseorang menghajar orang lain habis-habisan dengan pasal yang masih abu-abu. Lysa pikir Arsel mungkin tidak sejahat yang orang lain katakan, melihat bagaimana cowok itu menolongnya tadi malam. lali yang ada di hadapannya ini, apa maksudnya?

"Aduh, gue harus gimana ini? Lapor? Lari? Atau melerainya?"

Arsel terus menerus menonjok lawan yang terlihat tidak mampu melawan di bawahnya itu. Lysa semakin bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Gimana kalau entar gue yang kena? Kalau gue yang di hajar gimana? YouTube gue gimana? Subscribe gue belum naik, elah! Followers IG gue baru empat ratus ribu!"

"Ah! Bodo amat! Gue pergi aja" Lysa buru-buru pergi. Namun sialnya ia terpaksa terjungkal gara-gara tali sepatunya yang ternyata terlepas dari ikatannya. Bunyi yang ia sebabkan sukses mengambil alih perhatian Arsel. Cowok itu langsung berhenti melayangkan bogemannya.

"Aishhh" Lysa meringis lali bangkit berdiri. Ia berbalik badan, gelagapan, karena kini tengah ditatap intens oleh Arsel dari jauh sana.

"Gue-gue... Nggak bakal laporin! Lo... Lo tenang aja!" gumam Lysa gelagapan. Dengan langkah terseok-seok ia lalu pergi dari sana. Berlari kalau bisa. Karena mungkin saja, keamanannya sedang berada di garis merah sekarang.

Bab II :// Nggak Perlu Kenal

Kalau kata orang, punya teman yang super ganteng itu adalah hal yang sangat luar biasa. Tapi asumsi itu tidak berlaku lagi bagi Lysa. Dia berteman dengan Farrel, anggota geng paling ganteng dan most wanted di SMA Bina Bakti. Bahkan ia juga sudah terbiasa berinteraksi dengan Rafa dan Candra, teman-teman sepergengan Farrel yang tak kalah kerennya.

Ia sudah terlalu terbiasa, bahkan mungkin teman lelakinya jau lebih banyak ketimbang teman perempuannya. Tapi bagi Lysa, tidak ada yang berbeda mau berteman dengan siapa saja. Semua teman itu sama. Bedanya dari sikap dan kelakuan mereka, terutama dalam tulis atau tidaknya mereka dalam berteman. Sejauh mereka tulis, Lysa akan tersenyum lebar menerima mereka untuk menjalin pertemanan dengannya.

"Sa, bisa kali bagi satu. Masa iya itu cogan lu embat semua" Begitulah kiranya celetukan Aufa mengenai Farrel dan teman temannya.

"Apanya yang cogan? Titisan kodok zuma iya"

"Mata lo tuh yang ketutupan belek, goblok" ujar Aufa sarkastis sambil menoyor jidat Lysa. Terkadang Aufa suka heran, bagaimana bisa cewek itu tidak tertarik dengan aura kegantengan Farrel? Apa Lysa tidak normal?

"Izinkan aku...uuu... Untuk terakhir kalinya... Akkk... Akkk...!"

Seluruh kontak mata seketika melirik ke arah Farrel yang tiba-tiba masuk ke kelas mereka. Membawa galon milik siapa seraya memukul-mukulinya, tak lupa bernyanyi sambil berjoget-joget ria.

"Semalam saja bersamamuuu... E aaa eee.. Mengenang asmara kitaaa... Asek! Mang!"

Farrel melambai-lambaikan tangannya di depan meja cewek itu, sekolah mengajak Farrel bernyanyi bersama. Lysa dan Aufa saling bertatapan sambil mengerjap. Memandangi Farrel yang tidak ada urat malunya sama sekali.

"Mau nggak Sa? Mengenang asmara sama gue?" tanya Farrel sambil menaik-naikkan alis.

Sorakan 'cie' dari anak kelas spontan terdengar kemudian. Sementara Lysa malah melemparkan cowok itu dengan gumpalan kertas sampahnya.

"Mengenang, mengenang... Pala lo disleding kuyang!"

"Memang kuyang sleding pakai apa? Usus?" cibir Farrel pura-pura polos.

Meskipun merasa malu punya teman semacam Farrel, Lysa tetap tidak bisa menahan tawanya mendengar guyonan receh temannya itu.

"Pakai pankreas!" kekeh Lysa. "Lagian lo ngapain, sih, sok-sokan nyanyi gitu. Dikira mau ditembak, gue sama lo" Lysa menggeleng heran.

"Eh jangan sekarang dong, main tembak-tembakannya. Entar di kamar aja" goda Farrel berbisik, Lysa bergidik jijik.

Cewek itu melempar kotak pensilnya. "Dasar lo Farrel!"

"Eittts" Farrel menghindar. Tapi malah tidak sengaja memijak kaki Bu Anis yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.

"FARREL!"

"Hadir, Bu" sahutnya polo.

Bu Anis melotot sambil menjewer kuping Farrel, "Ngapin kamu ngamen di kelas ini, hm? Bawa-bawa galon lagi?"

Farrel terkekeh. "Kepada Ibu Anis, guru kimia yang terhormat, tadi saya di suruh mengantarkan galon ini ke depot air oleh Ibu kantin. Tapi tampaknya, saya salah alamat?"

Bu Anis memutar bola matanya. "Ngeles aja kamu. Kembali ke kelas!"

Farrel manggut-manggut cepat."Ashiiaaapp, Ibu Teacher." Cowok itu lantas berlari cepat keluar kelas tanpa membuang-buang waktu. Sempat balik kembali karena galonnya ketinggalan.

Bu Anis menggeleng sekilas setelah membuang napas gusar. Sesuai meletakkan buku dan tasnya, Bu Anis menyuruh Lysa yang duduk paling depan untuk mengambil bahan alat peraga kimia untuk praktikum hari ini.

"Di lab kimia, ya, Bu?"

Bu Anis mengangguk. "Pokoknya kamu cari di atas lemari, paling ujung."

Lysa mengangguk sekilas, sebelum izin keluar kelas untuk ke lab kimia.

Bab III :// Penasaran

Lysa memasuki ruangan lab kimia. Bergerak mencari alat peraga yang Bu Anis maksud. Ketika ingin berbelok ke lorong rak sebelahnya, reflek ia hampir menabrak seseorang. Lysa lantas memundurkan langkah. Ada Arsel...

Lysa gelagapan. Belum lagi ingatan bagaiman cowok itu menghajar siswa di belakang toilet yang masih membekas di kepalanya. Apa Arsel berniat memaksanya tutup mulut?

"Gu-gie benar-benar nggak bakal ngadu. Serius!" Lysa mengangkat dua jarinya, berusaha meyakinkan Arsel.

"Hm" namun Arsel hanya bergumam, lali berjalan melewati Lysa, hendak membersihkan rak kaca di depan cewek itu.

Lysa memiringkan kepala heran. Reaksi Arsel barusan jauh dari apa yang ia bayangkan, "Lo... Nggak mara, ya? Gue udah mergokin elo, loh. Lo nggak takut gue laporin? Gue bisa aja loh laporin elo sekarang?"

Arsel menatapnya sekilas. "Itu hak lo. Gue nggak bisa larang"

Melihat Arsel yang ternyata tidak seemosional yang ia prediksi, Lysa tersenyum. Cowok itu bersikap seperti di hari ia menolongnya. Jadi yang orang-orang tuduhlan itu hanya hoaks, kan?

"Lo ngapain di sini?" tanya cewek itu memberanikan diri.

"Dihukum".

Lysa berjalan mendekat, berdiri di sebelah cowok itu. Menilik Arsel yang fokus membersihkan rak dengan kemoceng. "Gara-gara?"

"Nggak masuk pelajaran"

Mungkin yang Aufa bilang ada benarnya. Arsel itu sejenis bad boy yang doyan bolos masuk kelas, langganan di hukum seperti saat ini. Lama-lama, Lysa jadi semakin penasaran dengan cowok satu ini.

"Jadi benar, ya... lo itu... Pembunuh bayaran?" tanya Lysa hati-hati.

Arsel melirik Lysa sekilas. Tetap fokus membersihkan bagian rak yang lain.

"Lo benar-benar bisa bunuh orang, ya? Lo pernah masuk penjara? Lo itu jahat, ya, Arsel?" pertanyaan naif Lysa membuat Arsel sempat menghentikan pekerjaannya. Tapi kemudian memilih mengabaikannya lagi.

"Emm... Sorry kalau pertanyaan gue ganggu—"

"Kenapa lo mau tau?" Arsel bersuara. Lysa spontan menaikkan tatapan.

"Karena gue mau kenal lo lebih jelas aja. gue yakin, yang orang-orang bilang tentang lo itu nggak benar jadi gue mau pastiin... Langsung ke elo" jujur Lysa seraya menyengir kuda.

Arsel sontak meletakkan kemoceng yang ia pegang di atas rak.

"Karena menurut gue, gosip itu cuma hoaks doang. lo kelihatannya baik, kok. Kalau enggak, mana mungkinkan lo tolongin gue waktu itu?" timpal Lysa dengan wajah antusiasnya. Cewek dengan rambut panjang sepunggung itu tersenyum, menebas aura tegang di antara keduanya.

Arsel mengembuskan napas pelan. Sebelum balik badan, berjalan mendekat. Melihat reaksi Arsel, Lysa refleks mundur. Tidak sengaja siku cewek itu menabrak pilar lemari, membuat lemari itu refleks bergoyang. Arsel bisa melihat kalau molekul-molekul buatan yang ada di atas lemari itu hendak jatuh, dengan sigap cowok itu sontak menarik Lysa ke dalam pelukannya. Melindungi kepala cewek itu dari molekul-molekul buatan yang berjatuhan.

Lysa tersentak kaget dengan gerakan tiba-tiba itu. Cewek cantik itu kemudian melirik Arsel yang masih merangkul pinggang dan kepalanya, masih melindunginya. Astaga, jantung Lysa berdebar tidak karuan sekarang.

Kemudian cowok itu bergumam, perlahan menjauh. "Nggak perlu kenal gue lebih dekat" Arsel menatap Lysa intens, tidak selalu pun melirik ke arah lain. Lysa menaikkan alis bingung. " Seperti kata teman-teman lo, gue bukan anak baik-baik. Gue berbahaya buat lo."

Lysa meneguk salivanya berat. Beradu tatap lebih dari satu menit dengan Arsel-lah menurutnya berbahaya.

"Ba-bahaya?" ulangnya sekali lagi.

"Gue bisa bikin lo jatuh cinta. Dan dia saat gue juga rasain hal yang sama, gue nggak bakalan pernah bisa lepasin lo gitu aja".

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!