"Aku hanya ingin tau, aku hanya ingin jawaban, kenapa kamu melakukan ini padaku" Lirih gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
Setiap malam, gadis itu melamun, menatap kosong punggung suaminya yang tengah terlelap. Menatap punggung suaminya yang satu kalipun tidak pernah menghadap kearahnya ketika mereka terlelap.
Sudah satu tahun mereka menikah, tapi rasanya tidak ada yang berubah. Anindhiya, seorang gadis yang berusia sembilan belas tahun itu masih merasa sama seperti sebelumnya. Anin tetap saja merasa hidup sendiri, sepi, sunyi, tanpa adanya seorang suami. Padalah dirinya sudah menikah dari satu tahun yang lalu.
Setiap hari Anin berharap, semua ini akan cepat berakhir. Anin berharap segera mendapatkan jawaban dari suaminya. Tetapi apakah bisa, apakah bisa semua itu akan menjadi nyata? bahkan ini sudah satu tahun kebersamaan mereka, tapi Anin masih saja merasa tidak ada yang berubah. Mereka bahkan seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
"Selamat terlelap, semoga hari esokmu menyenangkan" Lirih Anin tersenyum sendu. Gadis itu menatap punggung suaminya sesaat. Detik kemudian, Anin menarik selimut putih yang semula hanya menutupi sebagian kakinya, Perlahan, Anin memejamkan mata untuk mengistirahatkan hatinya yang selalu saja terluka. Hanya punggung, ya hanya punggung laki-laki yang berstatus suaminya itu yang selalu Anin tatap tiap kali akan terlelap.
***
Pagi hari, Anin sudah siap untuk berangkat ke kampus. Gadis itu segera turun ke lantai bawah setelah sedikit berdandan. Anin berjalan perlahan menuju meja makan.
"Selamat pagi Stev" Sapa Anin tersenyum, kemudian, Anin segera duduk di kursi kosong yang ada di depan Stevan.
"Hm" Hanya itu yang disahuti oleh pria yang bernama Stevan. Ya, Stevan adalah suami Anin. Pria yang seusia dengan Anin, pria yang masih berusia sembilan belas tahun itu bahkan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun pada Anin yang berada tepat di depan matanya. Pria itu hanya menunduk, menikmati makanannya sendiri.
"Hari ini kamu ada kuliah pagi juga?" Tanya Anin.
"Hm" Lagi, dan lagi, hanya kata hm yang diucapkan oleh Stevan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Anin.
"Oo gitu... Selamat makan" Ucap Anin ragu. Anin dengan cepat menyantap makanan yang ada di hadapannya, makanan yang sudah disiapkan oleh Bi Ana dengan suasana hati yang sangat tidak baik. Jujur saja, hati Anin terluka, inilah yang setiap hari Anin rasakan selama satu tahun belakangan. Menahan sesak di dadanya tanpa ingin bercerita pada siapa-siapa, bahkan pada ibunya sendiri.
Anin sama sekali tidak mau menceritakan apapun yang ia hadapi dengan Stevan pada orang lain, apalagi kepada Bunda dan keluarganya. Karena Anin tidak ingin orang-orang berfikiran buruk dan membenci Stevan sementara Anin sendiri belum tahu pasti kenapa pria itu melakukan semuanya pada Anin. Meminta Anin menjadi istrinya lalu mengabaikan gadis itu begitu saja.
Setiap kali Bunda Anin menanyakan tentang keadaan Anin dan Stevan, maka Anin akan selalu menjawab bahwa mereka baik-baik saja dan hidup bahagia. Anin sama sekali tidak pernah menceritakan apa yang ia alami dengan Stevan pada keluarganya.
Bunda Anin, maupun Mama Stevan tentu saja percaya. Karena dulu, saat Stevan meminta Anin untuk menjadi istrinya, pria itu benar-benar terlihat sangat serius dan benar-benar terlihat sangat mencintai Anin.
Flashback Masa SMA
Anin adalah seorang siswa yang mendapat beasiswa di salah satu sekolah Favorit yang ada di Jakarta. Pada saat itu Anin memang hidup jauh dari keluarganya. Anin yang mulanya tinggal di jogja, harus hidup sendiri demi bersekolah di Jakarta untuk mencapai cita-citanya. Anin bisa sekolah di sana juga karena gadis itu mendapatkan beasiswa dengan prestasi yang ia miliki.
"Bun, plis... izinin Anin ya. Anin pengen banget nanti kuliah kesehatan Bun. Anin pengen jadi orang sukses, Anin mau bahagiain Bunda dan bikin Bunda bangga. Plis bun, izinin Anin ya" Mohon Anin pada sang Bunda.
"Nin, kalo kamu mau masuk kuliah dengan jurusan yang berhubungan dengan kesehatan, disini juga banyak sayang. Kamu nggak perlu jauh-jauh ke Jakarta sendirian." Jelas Dini Bunda Anin.
"Bun, Anin tau. Tapi kalo sekolahnya di Jakarta bakalan lebih gampang juga masuk kuliahnya. Anin mohon Bun"
"Nin, Jakarta itu bahaya buat kamu. Disana pergaulannya terlalu bebas. Bunda nggak mau nanti kamu kenapa-napa. Dan Bunda juga nggak mau setelah kamu sekolah disana kamu justru jadi ikut-ikutan sama anak-anak bandel."
"Bun, nggak semua anak-anak di Jakarta itu bandel Bun. Bunda sih keseringan nonton sinetron yang bandelnya doang" Celetuk Anin. "Anin janji sama Bunda, Anin janji akan jaga diri. Karena tujuan Anin kesana benar-benar buat belajar Bun, bukan untuk yang lainnya" Ucap Anin memohon dan mencoba meyakinkan sang Bunda.
Pada saat itu, Anin benar-benar ingin sekali melanjutkan sekolah SMA nya di Jakarta. Sementara Bunda Anin yang tinggal di Jogja tidak memberikan izin dan tidak mau melepaskan putri satu-satunya itu. Ibu mana yang tidak mengkhawatirkan anaknya jika harus bersekolah di kota besar itu sendirian? Di kota Besar yang menurut Bunda Anin masih sangat bahaya untuk melepas Anin seorang diri.
Namun, Anin sama sekali tidak pernah menyerah. Anin tetap bersikeras dan mencoba segala hal agar dirinya mendapat beasiswa ke Jakarta. Hingga akhirnya, Bunda Anin akhirnya pasrah. Dini memberikan izin pada Anin karena Alhamdulillah gadis itu tinggal di asrama.
Saat itu Anin benar-benar merasa bahagia. Akhirnya gadis itu perlahan bisa mewujudkan mimpinya. Anin akhirnya diterima di sekolah Favorit, sekolah dimana tempat anak-anak pintar dan kaum atas berada.
Dari awal Anin masuk ke sekolah tersebut, Anin sudah meraskan ketertarikan pada salah satu temanya, yaitu Stevan. Pria yang kini menjadi suami Anin. Pada saat itu, Stevan dikenal sebagai pria dingin, jarang bergaul dan sangat sombong plus songong melebihi langit dan bumi.
Namun, seorang Anin, tetap saja tidak pernah mengemis cinta, meskipun dirinya menyukai Stevan. Anin juga sadar siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Anin hanya sekedar mengagumi. Gadis itu hanya bisa mencintai Stevan yang ia fikir saat itu tidak akan bisa ia miliki dalam diam.
Setiap ada waktu, setiap bertemu dan berpapasan jalan dengan Stevan, Anin selalu saja mencuri pandang pada pria tersebut. Namun, dibalik semua itu, Anin tak pernah lupa dengan tujuan utama dirinya datang ke Jakarta.
Anin tetap mendahulukan belajar sebagai prioritasnya. Karena gadis itu tidak ingin mengecewakan sang Bunda yang sudah percaya pada dirinya. Anin memang bernuat sekali ingin menjadi perawat. Sebenarnya Dokter sih, tapi Anin lebih sadar diri. Untuk kuliah jurusan keperawatan saja dirinya harus mati-matian mencari beasiswa. Apalagi jurusan kedokteran. Dan Anin cukup tau diri.
Namun, suatu ketika, kejadian yang tidak pernah di duga menimpa Anin. Di mana, di hari itu, salah satu teman kelas Anin tidak sengaja membaca buku diary Anin yang tertinggal di dalam kelas. Buku diary yang berisikan tentang isi hati Anin pada Stevan.
Semenjak saat itu, Anin di bully habis-habisan. Gadis itu sering dibilang tidak tahu diri dan tidak tahu malu karena menyukai laki-laki seperti Stevan. Laki-laki yang bagi mereka terlalu sempurna untuk dimiliki. Karena bagi mereka, Anin tidak pantas menyukai pria se sempurna Stevan.
"Lo liat tuh si Anin. Nggak tau diri banget ya itu anak. Udah untung bisa sekolah disini, tapi dengan nggak tau malunya malah ngarepin Stevan. Haduh punya kaca nggak sih? Heran deh gue!"
"Eh jadi ini. Si Anindhiya yang masuk ke sekolah ini karena beasiswa, tapi saking nggak tau dirinya sukanya sama Stevan idola sekolah kita? Hello! Situ waras?"
*Setiap hari Anin selalu mendengarkan hinaan-hinaan seperti itu sejak isi Diarynya tersebar. Namun, Anin selalu berusaha untuk kuat. Anin selalu meyakinkan diri sendiri setiap kali ia ingin menyerah.
Dan Anin, tidak akan menyia-nyiakan waktu. Anin sudah mulai melangkah untuk mencapai cita-citanya. Dan Anin tidak ingin berhenti begitu saja. Setiap hari, Anin harus mempertebal telinganya mendengar nyinyiran-nyinyiran dari anak orang kaya tersebut*.
Tapi terkadang Anin juga berfikir. Anin tau, Anin sadar, dan semua anak-anak di sekolah ini memang tau bahwa Anin bukanlah anak orang kaya seperti mereka semua. Tapi apakah salah, apakah salah jika Anin menyukai dan mengagumi Stevan?
Anin hanya suka, Anin hanya tertarik, gadis itu bahkan tidak mengganggu ketenangan Stevan. Anin hanya bercerita lewat buku diarynya. Bukan menyebarkan kepada semua orang, Anin tidak mengganggu siapa-siapa. Tapi apakah Anin masih salah? Segitu rendahkah Anin? Sampai mereka mengatakan bahwa Anin tau malu hanya karena menyukai Stevan?
Entahlah, sekalipun Anin berfikiran bahwa itu semua tidak salah. Tapi tetap saja. Mereka semua akan menganggap Anin tidak pantas menyukai Stevan yang begitu sempurna dan memiliki segalanya. Meskipun sejatinya tidak ada yang sempurna di dunia ini.
***
*Hingga suatu ketika, entah nasib baik apa yang tiba-tiba berpihak pada Anin. Saat Anin sudah menginjak kelas tiga SMA. Di saat hari kelulusan Anin, saat semua siswa tengah berkumpul di depan mading sekolah untuk melihat kelulusan mereka, tiba-tiba saja Stevan mengatakan cintanya pada Anin.
Bukan, bukan hanya mengatakan cinta, namun pria itu melamarnya. Stevan melamar Anin di depan semua siswa secara tiba-tiba*.
*Pada saat itu, bukan hanya semua siswa yang dibuat kaget akan pengakuan Stevan. Tapi Anin juga. Anin sama sekali tidak percaya. Mereka bahkan tidak pernah dekat, tidak pernah mengenal. Tapi kenapa? Ada apa ini?
Anin sempat mengira ini semua hanyalah mimpi dan khayalannya semata. Tapi pada kenyataanya itu semua benar-benar nyata. Stevan mengungkapkan perasaannya benar-benar terlihat serius*.
*Pria itu bahkan meyakinkan Anin, bahwa dirinya mencintai Anin. Entahlah, Anin memang benar-benar merasa bahagia. Hingga saat itu Anin bahkan tidak bisa bisa berfikir jernih.
Anin tidak memikirkan bagaimana mungkin seorang Stevan yang tidak mengenali dirinya bisa menyukai Anin begitu saja? Namun, fikiran Anin saat itu tidak sampai kesana. Kebahagiaan yang tiba-tiba itu membuat Anin tak berfikir panjang. Anin bahkan menerima Stevan saat itu juga*.
"Anindhiya" Panggil seorang laki-laki dari arah belakang saat Anin tengah sibuk mencari namanya di daftar siswa yang lulus di depan mading.
Anin dan semua siswa yang ada disana menoleh bersamaan. Anin sempat menoleh ke arah sekitar, kekiri dan ke kanan. Gadis itu bingung. Siapa yang dipanggil oleh laki-laki yang sangat ia tau itu. Apa Anin salah dengar? Apa benar, pria yang ada di depan Anin ini memanggil namanya?
"Ka-kamu manggil aku?" Tanya Anin gugup menunjuk dirinya sendiri.
Kini, pandangan semua siswa yang ada di sana terfokus pada Stevan yang tampak berjalan mendekat ke arah Anin. Semuanya kaget, dan tidak percaya.
"Lo Anin kan?" Tanya Stevan setelah pria itu berada tepat di hadapan Anin.
"I-iya. Aku Anin" Sahut Anin gugup. Gadis itu tidak percaya, jantung Anin berdetak kencang. Anin salah tingkah, ini adalah kali pertama Anin berbicara dengan Stevan. Pria populer yang ia suka di sekolahnya.
"Mungkin lo nggak tau sama gue. Tapi gue sangat tau sama lo" Pengakuan Stevan membuat para siswa saat itu kaget bukan main.
"Ma-ksud kamu?" tanya Anin gugup.
"Kenalin, gue Stevan. Gue kelas Duabelas Mipa 5. Gue tau lo udah lama. Dan gue diam-diam suka ngikutin lo. Karena sebenarnya gue suka sama lo."
"What?" Pekik salah satu siswa yang berada di sana. Kini siswa lain sudah ramai mengelilingi Anin dan juga Stevan karena penasaran.
"Stev, lo lagi mimpi?"
"Enggak enggak. Stev, lo lagi ngepreng dia kan? Lo mau ngerjain dia kan Stev?"
"Omaigat Stevan, enggak enggak. Lo nggak boleh ngomong gitu, lo nggak boleh jatohin harga diri lo hanya karena perempuan seperti dia"
"Stev sadar! Sejak kapan Stevan yang begitu angkuh dan songong kaya gini?"
Sorokan-sorakan itu terlontar sangat jelas dan berhasil dicerna baik oleh Anin. Jujur saja, hati Anin terluka mendengar omongan mereka semua. Anin tidak tahan, gadis itu hendak pergi dari sana, namun tangan Stevan dengan cepat menarik kembali tangan Anin.
"Jangan pergi, nggak usah peduliin mereka. Gue mau ngomong sesuatu sama lo" Ucap Stevan.
Anin kembali menoleh ke arah belakang. Sementara Stevan menarik tangan Anin perlahan hingga kini posisi mereka saling berhadapan. Stevan menggenggam erat kedua tangan Anin.
"Anin, gue tau kita nggak pernah kenal. Gue tau kita nggak pernah dekat, gue tau kita nggak pernah jalan bareng, gue tau kita nggak pernah ngomong sebelumnya. Tapi selama ini gue tau sama lo dan gue suka sama lo udah lama. Anin, gue mau menjalin hubungan sama lo. Tapi bukan pacaran kaya mereka pada umumnya. Gue mau lo jadi istri gue Nin" Ucap Stevan tanpa ragu.
Mata Anin membulat, gadis itu benar-benar tidak percaya, begitu juga dengan seluruh siswa yang ada di sana.
"Kamu salah. Bahkan selama ini aku yang sangat tau dan mencintai kamu dalam diam." Lirih Anin dalam hati.
Stevan memang tidak tahu tentang diary Anin yang tersebar, karena pria yang terkesan angkuh itu memang tidak pernah mau tau tentang apapun di sekolah itu.
"Stev, tapi aku..."
"Gue tau lo mau lanjut kuliah kan? Gue juga gitu. Kita akan tetap kuliah sama-sama. Kita masih bisa kuliah" Potong Stevan sebelum Anin menyelesaikan ucapannya.
"Bukan itu masalahnya. Tapi aku Stev..."
"Lo nggak perlu mikirin omongan orang. Nggak guna, yang akan ngejalanin hidup kita bukan mereka. Jadi nggak usah di ambil hati, bodoamat aja. Ntar mereka juga capek sendiri" Ucap Stevan.
"Nggak nggak lo gila Stev. Lo gila. ini nggak mungkin" Ucap salah satu siswa. Namun, Stevan bahkan tidak memperdulikan itu semua. Stevan segera menarik tangan Anin untuk segera menjauh dari mereka semua.
Keesokan harinya, Stevan segera membawa Anin ke rumahnya. Pria itu mengenalkan Anin kepada orang tuanya. Pada saat itu, Anin benar-benar masih tidak percaya dan tidak menyangka, gadis itu bahkan merasa insecure.
Anin takut jika orang tua Stevan tidak akan bisa menerima dirinya. Namun, dugaan Anin ternyata salah. Orang tua Stevan bahkan sangat menyukai gadis itu. Karena memang, Stevan adalah anak satu-satunya. Dan orang tua Stevan dari dulu memang selalu menginginkan seorang putri dalam keluarganya.
*Alice dan Anggara yang tidak lain adalah Papa dan Mama Stevan, sangat menyayangi Anin selain karena cantik, gadis itu juga sangat baik dan ramah.
Untuk masalah harta, orang tua Stevan tidak pernah memperdulikan itu semua. Mereka menerima Anin dengan baik dan sangat terbuka di rumah mereka*.
Hingga beberapa hari kemudian, giliran Anin yang membawa Stevan ke Jogja untuk menemui Bunda dan Abang Anin yang bernama Arthur. Karena Ayah Anin memang sudah tiada dari lima tahun yang lalu. Dan selama ini, sebelum Anin sekolah di Jakarta, Anin memang hanya tinggal bertiga dengan abang yang lebih tua tiga tahun dari dirinya itu.
Awalnya, Dini dan Arthur sangat kaget mendengar ucapan Anin bahwa gadis itu meminta izim untuk menikah muda. Pasalnya, saat itu usia Anin baru delapan belas tahun, dan Anin baru saja lulus dari SMA, bagaimana mungkin gadis itu tiba-tiba pulang ke kampung halaman membawa seorang pria dan mengatakan bahwa dirinya ingin menikah muda?
Namun, Stevan sungguh pintar meyakinkan, hingga akhirnya Bunda dan Abang Anin luluh dan mempercayakan Anin pada Stevan yang pada saat itu benar-benar terlihat tulus dan serius.
Hingga pernikahan mereka dilangsungkan satu bulan kemudian tepat sebelum mereka masuk kuliah. Siswa-siswa yang mulanya meremehkan Anin juga ikut datang ke pesta tersebut meskipun masih tidak percaya.
Pada saat itu Anin benar-benar merasa bahagia, dengan bodohnya Anin mempercayai Stevan begitu saja. Hingga entah mengapa, seminggu setelah pernikahan, setelah mereka tinggal di rumah sendiri yang dibelikan oleh orang tua Stevan, tiba-tiba sikap Stevan berubah tanpa sebab. Pria itu tiba-tiba bersikap dingin pada Anin, tidak seperti saat pria itu melamar Anin dan hari pernikahan mereka.
Benar, semuanya terjadi secara tiba-tiba, tanpa penyebab, tanpa alasan yang jelas. Benar, tidak ada alasan apapun. Anin bahkan tidak tau kenapa laki-laki itu seperti ini. Anin pun tidak mau bertanya. Ia hanya menerima diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Meskipun awalnya Anin terlihat canggung dengan perubahan Stevan, namun lama-lama Anin justru terbiasa menghadapi Stevan yang selalu bersikap dingin padanya. Bahkan sampai sekarang, setelah satu tahun pernikahan mereka, mereka seperti orang Asing yang hanya tinggal di atap yang sama.
Flashback off
***
Anin baru saja sampai di kampus. Dia segea turun dari Taxi yang barusan ia tumpangi. Benar, setiap pagi, Anin selalu datang ke kampus menggunakan Taxi atau angkutan umum lainnya.
Di rumah Anin dan Stevan memang tidak ada supir pribadi. Karena Stevan punya mobil sendiri. Dan orang tua Stevan fikir, pasangan suami istri muda itu akan selalu kemana-mana berdua. Itulah sebabnya mereka tidak mempekerjakan supir pribadi di sana.
Namun, yang terjadi tidaklah sesuai dengan ekspetasi mereka. Seorang Anindhiya selalu saja terlantar sedangkan Stevan enak-enakan dengan mobilnya kemana-mana tanpa memikirkan istrinya. Kejam sekali memang.
Terkadang, Anin ingin sekali meminta penjelasan pada Stevan. Apa arti dari semua ini? apa yang ada di fikiran Stevan, untuk apa Stevan melakukan ini? dan kenapa? Anin yang menjadi korban?
Ingin sekali rasanya Anin melontarkan pertanyaan itu. Tapi Anin tak cukup berani dan memilih menahan luka seperti ini. Karena Anin sadar, Anin juga salah karna mengambil keputusan terlalu cepat saat itu saking bahagianya.
***
Anin kini berjalan seorang diri di koridor kampus. "Selamat pagi Anin cantik" Sapa seseorang dari belakang Anin.
Anin menoleh. Bibir gadis itu seketika tersenyum. "Hai Bar" Sapa Anin balik.
Barra dan Anin kini berjalan beriringan di koridor kampus hendak menuju kelas. Barra adalah teman kelas Anin di jurusan Keperawatan.
Benar, Anin saat ini kuliah di Universitas Indonesia Jurusan Keperawatan. dan Stevan, pria itu masih berada di kampus yang sama dengan Anin, namun Stevan adalah anak Kedokteran. Tampak serasi bukan? namun, semua tidaklah sesuai ekspetasi.
"Sebenarnya, rumah lo dimana sih Nin?" Tanya Barra penasaran. Pasalnya, gadis itu selalu saja menyembunyikan data pribadinya termasuk rumah.
"Masih di atas bumi dan di bawah langit" Sahut Anin cengengesan.
"Aishh dasar" Umpat Barra tertawa. Barra tak henti melirik Anin dengan bibir tersenyum.
"Kenapa lo ke kampus naik Taxi mulu? Kenapa nggak bareng gue aja" Usul Barra. Pasalnya, setiap kali Barra mengajak Anin untuk berangkat bersama, Anin pasti akan selalu saja menolak dengan alasan yang sama. Dengan alasan Anin tidak ingin menyusahkan siapa-siapa.
"Nggak usah Bar, aku nggak mau ngerepotin siapa-siapa, termasuk kamu" sahut Anin.
"Nggak ada yang ngerasa direpotin juga kali Nin" Yakin Barra.
"Nggak usah Bar. Aku nggak papa. Udah biasa juga kok" Sahut Anin tersenyum.
Barra masih diam memperhatikan Anin. Barra, dan mahasiswa di kampus serta teman-teman Anin yang lain memang tidak ada yang tau bahwa Anin sudah menikah. Karena gadis itu sangat merahasiakan data pribadinya.
Bukan, ini bukanlah permintaan Stevan. Bukan Stevan yang meminta Anin untuk menyembunyikan status mereka. Tapi Anin sendiri yang tidak mau berbicara dan memilih untuk menyembunyikan semuanya.
Karena Anin, gadis itu tidak ingin orang-orang berfikiran yang tidak-tidak pada Stevan. Karena di kampus, mereka bahkan terlihat seperti orang yang tidak mengenal satu sama lain. Anin fikir, sekalipun ia berbicara, orang-orang juga tidak akan mempercayainya. Jadi menurut Anin, biarlah semua begini saja.
Anin juga tidak ingin meperkeruh masalah dengan memberi tahu semua orang bahwa Stevan adalah suaminya. Anin fikir semua itu juga tidak ada gunanya, Stevan juga tidak akan peduli. Dan orang-orang pasti akan kembali menghujat Anin habis-habisan seperti saat dirinya masih diduk di bangku SMA.
Anin tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Anin tidak ingin belajar sambil mendengar hujatan dan hinaan setiap hari. Sekarang, Anin hanya ingin memfokuskan dirinya untuk belajar dengan tenang tanpa ada yang merendahkan dan mencaci dirinya seperti dulu hanya karena Stevan.
Pasalnya, Stevan tidaklah jauh berbeda seperti dulu. Stevan masih sama. Pria itu masih menjadi idola para wanita karena ketampanan dan kecerdasan yang ia miliki. Apalagi Stevan adalah anak orang kaya dan bisa di bilang sempurna. Meskipun sejatinya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi begitulah peumpamaannya oleh mereka semua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!