"Mas, kita jadi kan ke makam Ibu dulu?" Tanya seorang wanita bernama Luna, wanita dengan paras yang begitu cantik itu mengenakan balutan hijab di kepalanya.
Laki-laki yang duduk di sampingnya tersenyum seraya mengusap puncak kepala Luna, "Tentu saja sayang." Jawab laki-laki bernama Jay itu.
"Tapi aku ngga tau makam Ibu dimana Mas." Ucap Luna dengan kepala menunduk.
"Ayah sudah memberitahu alamatnya sayang, nanti kita tinggal tanyakan pada kuncen nya saja makam Ibu sebelah mana." Jawab Jay.
Luna tersenyum senang, rasanya dia sudah tidak sabar ingin melihat makam Ibunya.
Sesampainya di makam, Luna yang baru pertama kali datang ke makam Ibunya pun tak kuasa menahan tangis.
"Mas, apa ini bener makam Ibu?" Tanya Luna tak menyangka dengan kondisi makam di hadapannya.
"Iya sayang, menurut penjaga makam, disini makam Ibu, dan dari namanya benar ini makam Ibu Liana." Jawab Jay seraya menatap tulisan di Nisan yang terbuat dari kayu yang mulai lapuk.
Tangis Luna pecah di pusara Ibunya yang tampak tidak terawat.
"Ibu, Maafkan Luna, Luna tidak pernah datang menemui Ibu." Ucapnya.
"Maafkan Luna Bu, Luna baru tau kalau Ibu yang melahirkan Luna sudah tiada, hingga Luna tidak pernah mendoakan Ibu." Luna menangis seraya mencabuti rumput yang menutupi makam Ibunya.
Jay yang sedari tadi berdiri di samping Luna, membungkuk lalu mengusap bahu Luna, mencoba memberikan kekuatan pada sang istri.
"Sampai makam Ibu sama sekali tidak terawat." Ucapnya mengusap Nisan kayu itu lalu memeluk dan menciumi nya.
Ia tau, Ayahnya tak memiliki cukup uang untuk membayar penjaga Makam agar merawat Makam Ibunya.
"Sebentar sayang." Pamit Jay lalu melangkah mendekati seseorang yang sedang membersihkan Makam lain.
"Maaf Pak, apa Bapak salah satu petugas kebersihan makam disini?" Tanya Jay.
"Benar Pak." Jawab laki-laki paruh baya itu, "Ada apa ya Pak?" Tanyanya kemudian.
Jay merogoh saku celananya dan mengambil beberapa lembar uang lalu memberikannya pada petugas makam.
"Ini untuk Bapak, saya minta mulai saat ini bantu saya untuk membersihkan dan merawat makam Ibu mertua saya Pak." Ucap Jay menunjuk makam Bu Liana.
"Ini untuk saya semua Pak?" Penjaga makam kaget saat Jay memberikan uang dalam jumlah yang banyak.
"Iya itu untuk Bapak." Jawab Jay, "Dan ini untuk teman-teman Bapak yang lain, tolong bersihkan makam Ibu mertua saya, dan perlakukan Makam Ibu mertua saya seperti makam yang lainnya. Saya akan bayar setiap bulannya nanti." Sambungnya.
"Alhamdulillah, terimakasih Pak. Maaf kalau selama ini saya tidak membersihkan makam Ibu Liana dengan baik." Ucap penjaga makam merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa Pak." Sahut Jay lalu kembali mendekati Luna.
Luna nampak tersenyum setelah melihat Jay mau membayar orang untuk merawat Makam Ibunya, "Terimakasih ya Mas, kamu sudah mau mengeluarkan banyak uang untuk merawat makam Ibu." Ucap Luna setelah petugas makam itu pergi.
"Sayang, Ibu kamu berarti Ibu aku juga. Jadi sudah sepantasnya aku merawat makam Ibu, meski pun tidak langsung turun tangan, tapi Mas pastikan makam Ibu akan selalu terawat mulai saat ini." Ucap Jay ikut duduk di samping Luna lalu membawa Luna dalam pelukannya.
"Bu, Luna sudah bahagia sekarang, Luna sudah menikah dengan Mas Jay." Ucap Luna, "Meskipun kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi Luna tau Ibu sangat menyayangi Luna. Ibu yang tenang ya, tunggu Luna disana Bu, Luna akan selalu berdoa agar di pertemukan dengan Ibu di surga nanti." Sambungnya.
Jay terus mengusap bahu Luna, "Sabar sayang." Bisiknya, Luna menoleh lalu mengangguk.
"Luna sangat penasaran Mas, seperti apa wajah Ibu." Ucap Luna.
"Ayah bilang wajah kamu itu begitu mirip dengan Ibu, bedanya kalau Ibu ada tanda lahir di bawah bibir, sedangkan kamu tidak ada." Ucap Jay.
"Masa sih Mas?" Tanya Luna meyakinkan.
"He'um."
"Sebentar." Jay merogoh saku di Jas nya, lalu mengambil sebuah pulpen.
"Mas mau ngapain?" Tanya Luna saat Jay hendak melukis sesuatu di wajahnya.
"Kamu ingin melihat wajah Ibu kan? Mas akan tunjukkan." Jawab Jay lalu membuat tanda hitam di bawah bibir Luna.
"Ihhh Mas, wajah Luna jadi kotor nanti." Protes Luna.
"Tenang saja sayang, Mas bawa tisu basah, jadi bisa kita bersihkan nanti." Ucap Jay, Luna pun akhirnya pasrah
"Sudah, sekarang kita tinggal foto." Ucap Jay lalu memotret Luna dengan ponselnya.
"Nahhh, sudah jadi, anggap saja ini foto Ibu, kalau Luna kangen Ibu, Luna bisa lihat foto ini." Ucap Jay Seraya memberikan ponselnya pada Luna.
Luna tersenyum melihat foto itu, "Hehehe, kamu bisa saja Mas, tapi apa benar wajah Ibu seperti ini Mas?" Tanyanya kemudian.
"Bener sayang, nanti kita kirim foto itu ke Ayah, kita bisa tanya apa foto ini sudah mirip sama Ibu atau belum." Ucap Jay.
"Oke, terimakasih Mas." Ucap Luna memeluk ponsel Jay.
Setelah dari makam, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
***
"Sayang, kita hampir sampai di kota Jakarta." Ucap Jay seraya mencium tangan sang istri yang duduk di sebelahnya.
Luna kini tengah memandang takjub keindahan dari luar jendela mobil, bangunan bangunan yang menjulang tinggi, lampu lampu yang menyala menambah kesan keindahan pada semua bangunan itu.
Bangunan bangunan itu terlihat begitu sepi dan damai, karena hari sudah hampir larut malam. Namun jalanan masih terlihat begitu padat oleh banyaknya mobil.
"Hei, apa kau tak mendengarkan aku?" Tanya Jay menarik dagu sang istri agar menatapnya.
"Mas, aku sedang menikmati perjalanan kita, lihatlah pemandangan disana, begitu indah." Tunjuk Luna pada bangunan bangunan yang mencakar langit dan kembali menatap pemandangan indah di sana.
Jay yang sudah terbiasa melihat pemandangan itu hanya melirik sekilas, dia tak tertarik untuk memandang pemandangan di luar sana. Dia memilih kembali fokus pada iPad nya.
"Nikmatilah perjalananmu sayang, ini akan menjadi pengalaman pertama mu, dan aku pastikan akan ada pengalaman pengalaman berikutnya, tentunya hanya bersama ku." Ucap Jay di sela kesibukannya memeriksa laporan.
Luna kembali menoleh, suaminya ini mulai berbicara aneh baginya, setiap kata yang terucap mulai terdengar lebay.
"Kamu kenapa sih Mas? Dari tadi ngelantur apa." Ucap Luna.
"Siapa yang melantur?" Tanya Jay.
"Kamu lah, sok puitis." Jawab Luna seraya tersenyum.
"Hahaha, puitis dari mananya, orang aku bicara seperti biasa kok." Kekeh Jay, namun otaknya merasa heran juga, "Apa iya aku sok puitis?" Pikirnya, namun dia segera menepisnya dan memilih kembali fokus pada pekerjaannya.
"Mas, di jakarta nanti kita akan tinggal dimana?" Tanya Luna, sontak Jay menghentikan aktifitasnya, dia menaruh kembali iPad nya ke tas, lalu menatap Luna.
"Hmmmm, ngga masalah kan kalau nanti kita hanya tinggal di kontrakan kecil?" Tanya Jay.
"Tidak apa-apa Mas, dimana pun dan bagaimana pun kehidupan kita di Jakarta nanti, asal aku bisa tetap bersama Mas Jay, aku akan sangat bahagia, walau pun kita hanya bisa makan sepiring berdua setiap harinya." Jawab Luna.
Jay tersenyum, "Beneran ya?"
"Iya Mas, beneran. Lagian impian aku selama ini hanya ingin memiliki suami yang benar-benar mencintai aku, yang mau menghargai aku dan menyayangi aku setulus hati. Dari kecil aku sudah terbiasa hidup miskin Mas, jadi kalau aku harus hidup susah bersama kamu, aku sama sekali tidak keberatan, asal kita bisa selalu bersama-sama." Jawab Luna begitu yakin.
Jay mendekap tubuh Luna seraya mengecupi keningnya, "Terimakasih ya, Mas sangat mencintai kamu Luna." Bisiknya.
Luna membalas pelukan Jay dan menaruh wajahnya di dada Jay yang selalu menjadi tempat ternyaman untuknya bersandar, "Luna juga sangat sangat sangat mencintai Mas Jay." Balasnya.
Jay yang merasa bahagia mengeratkan pelukannya. Sepanjang perjalanan Jay terus mendekap Luna. Tidak perduli dengan dua orang yang duduk di depannya yang sesekali melirik mereka lewat kaca kecil di hadapannya.
Krukkk
Krukkk
Krukkk
Dalam dekapan Jay, Luna begitu malu saat perutnya tiba-tiba berbunyi.
"Kamu lapar sayang?" Tanya Jay, Luna tersenyum kikuk seraya memegangi perutnya.
"Hehehe, Iya Mas, aku lapar." Ucapnya malu.
Jay tersenyum, dia lupa kalau ini sudah lewat dari jam makan malam.
"Maaf ya, Mas lupa, kita belum makan malam." Ucapnya merasa bersalah.
"Iya, ngga apa-apa Mas." Ucap Luna.
"Gan, kita mampir ke restoran terdekat, pokoknya cari yang paling dekat, istriku sudah kelaparan." Ucap Jay seraya melirik sang istri yang pipinya memerah karena menahan malu.
"Baik Tuan." Sahut Gani yang terus melajukan mobilnya seraya celingukan mencari restoran.
"Kamu kenapa ngga bilang dari tadi sayang." Ucap Jay seraya memegang kedua pipi Luna gemas.
"Hehehe, aku malu Mas." Ucap Luna, "Tapi sekarang malah lebih malu lagi, gara-gara perut yang ngga bisa di ajak kompromi." Sambungnya malu malu.
"Hahaha, lain kali jangan begitu ya, kalau mau apapun tinggal bilang, jangan di pendam." Ucap Jay lalu mencubit pipi Luna.
"Ihhh Mas, sakit." Luna mengusap pipinya yang jadi semakin merah.
"Habis kamu, gemesin." Ucap Jay, Luna pun mencebik kan bibirnya.
"Maaf Tuan, di depan ada restoran cukup mewah, apa kita kesana saja?" Tanya Gani tanpa menoleh ke belakang, saat matanya menemukan sebuah restoran.
"Iya, kita kesana." Jawab Jay.
"Baik Tuan." Sahut Gani kemudian membelokkan mobilnya masuk ke halaman restoran.
Gani keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Jay, "Silahkan Tuan." Ucapnya sopan.
Jay segera turun dari mobil lalu dengan sigap membantu Luna untuk turun.
"Dasar kebo." Rutuk Jay saat melihat Ardan masih tidur lelap di kursinya.
"Tuan seperti tidak tau dia saja, nanti biar saya bangunkan Tuan." Sahut Gani.
Jay pun mengangguk, lalu segera menggenggam tangan Luna, "Bangunkan dia, lalu kamu cari tempat untuk kalian makan, kalian bebas memilih makanan apapun, nanti aku yang bayar." Ucapnya sebelum masuk ke dalam restoran.
"Baik Tuan, saya permisi." Ucap Gani gegas masuk kembali ke dalam mobil untuk memarkirkan mobilnya.
Jay dan Luna pun gegas masuk ke dalam restoran, dan duduk di tempat yang di rasa paling nyaman.
***
"Marvin!"
"Marvin!"
Teriak seseorang memanggil laki-laki bernama Marvin yang merupakan asisten pribadinya. Wajahnya sudah merah padam menahan amarah.
Seorang laki-laki masuk dan nampak terburu-buru, "Ada apa Tuan?" Tanya laki-laki bernama Marvin itu dengan kepala menunduk.
Srakkk
Laki-laki yang di panggil Tuan itu melempar beberapa berkas dengan kasar ke wajah Marvin.
"Apa kalian tidak bisa bekerja dengan baik." Bentak laki-laki itu, "Kenapa saham perusahaan bisa mengalami penurunan sebesar ini, apa saja yang kalian kerjakan Hah?" Tanya laki-laki itu dengan mata yang mulai memerah.
Marvin diam, keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Marvin mengambil berkas itu dan membacanya, "Maaf Tuan, saya akan coba selidiki." Ucap Marvin.
"Hari ini juga, temukan penyebab saham perusahaan anjlok, aku mau masalah ini segera di selesaikan." Titah laki-laki itu.
"Tapi Tuan, ini saja sudah sangat malam, tolong beri saya waktu lagi Tuan." Mohon Marvin, karena dia tidak mungkin secepat itu menemukan penyebab turunnya saham perusahaan.
"Aku ngga mau tau, besok penyebab utamanya harus di temukan. Mengerti?" Sentak laki-laki itu lagi.
"Ba..baik Tuan." Sahut Marvin yang akhirnya hanya bisa pasrah.
Dia sudah bekerja lebih dari lima tahun bersama Tuannya ini, dan dia sangat tau jika Tuannya di bantah, maka hanya akan mendapat amukan, meskipun Tuannya ini lebih muda darinya, tapi tidak di pungkiri kalau dia sangat menyeramkan saat marah.
Nathan Emilio Pramudya. Iya, dia adalah CEO dari perusahaan Pram's Corporation. Laki-laki itu meneruskan beberapa perusahaan Kakeknya, dari sekian banyaknya cabang perusahaan, Nathan lebih memilih tetap tinggal di Jakarta, sementara perusahaan yang lain, dia serahkan pada orang orang kepercayaannya, namun Ia tetap memantaunya dari jauh.
Dua puluh tahun yang lalu keluarganya mengalami kecelakaan tepat di hari ulang tahunnya. Hingga membuat keluarganya yang terdiri dari Mamah, Papah dan kakak perempuannya itu dinyatakan meninggal, meski hanya jasad dari Ayahnya yang berhasil di temukan.
Hal itulah yang membuat Nathan menjadi laki-laki arogan, dia selalu merasa Tuhan tak pernah adil padanya dengan merenggut semua orang-orang yang Ia sayangi, termasuk neneknya yang meninggal karena terus meratapi kepergian putra semata wayangnya.
"Tuan, bolehkah saya meminta bantuan seseorang?" Tanya Marvin yang merasa tak sanggup kalau harus melakukan penyelidikan seorang diri.
"Sudah, tinggalkan saja. Kamu temani aku makan malam." Ajak Nathan yang mulai bisa meredam emosi nya.
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaan saya, Tuan?" Tanya Marvin.
"Biarkan saja, aku sedang tidak ingin membahas pekerjaan." Jawab Nathan bangkit dan berjalan lebih dulu meninggalkan Marvin.
"Hufffttt, gini amat punya bos yang moodnya naik turun." Gerutu Marvin seraya merapihkan berkas yang baru saja Ia periksa.
"Marvin." Terdengar teriakan Nathan, Marvin pun gegas meninggalkan semua berkas.
"Iya Tuan." Sahutnya gegas berlari menghampiri Tuannya yang sudah menunggunya di depan Lift.
Saat pintu Lift terbuka, keduanya gegas masuk ke dalam lift.
"Tuan, mau makan di restoran mana?" Tanya Marvin.
"Rit's Resto." Jawab Nathan singkat dan jelas.
"Baik Tuan." Sahut Marvin gegas mengambil gawai nya dan menghubungi seseorang yang bisa di pastikan itu adalah nomor dari restoran yang akan mereka kunjungi.
Hingga saat tiba di sana, seorang pelayan langsung menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Tuan Nathan, mari, saya akan tunjukan meja anda." Sapa seorang pelayan wanita sopan lalu segera menunjukan sebuah tempat yang sudah di pesan oleh Marvin.
"Makanannya mau di hidangkan sekarang atau Nanti Tuan?" Tanya pelayan itu saat Nathan dan Marvin sudah duduk di kursi masing-masing.
"Sekarang saja." Sahut Nathan.
"Baik Tuan, kami akan menyiapkannya." Ucap Pelayan itu gegas berlalu untuk menyiapkan makanan yang sudah di pesan Marvin.
Nathan dan Marvin kini berbicara layaknya seorang teman, karena selain sebagai asisten pribadi, Marvin juga merupakan sahabatnya.
"Aku merindukan mereka Vin." Ucap Nathan dengan wajah sendunya.
"Saya Paham Tuan, anda pasti sangat berharap bisa menemukan Ibu dan Kakak anda." Ucap Marvin.
"Iya, aku sudah kerahkan banyak orang untuk mencari mereka, bahkan aku beberapa kali meminta mereka untuk menyusuri sungai itu lagi, namun hasilnya tetap nihil, aku tidak menemukan petunjuk apapun." Ucap Nathan yang sebenarnya mulai putus asa, namun hati kecilnya selalu menolak saat dia ingin menghentikan pencarian.
"Sabar Tuan, saya yakin, suatu saat Tuan akan bertemu kembali dengan mereka." Ucap Marvin menguatkan.
"Aku tidak yakin Vin, bahkan aku tidak tau apa mereka masih hidup atau...."
Namun tiba-tiba Nathan menghentikan ucapannya saat mendengar suara wanita yang tak asing baginya.
***
"Kamu dengar sendiri kan tadi, Ayah bilang wajah kamu di foto ini persis seperti Ibu." Ucap Jay setelah menghubungi Pak Usman.
Tadi Pak Usman langsung menelponnya setelah Jay mengirim foto Luna saat di pemakaman, dan Pak Usman mengatakan kalau foto itu benar benar persis seperti istrinya yang sudah meninggal.
"Hehehe, Iya Mas." Ucap Luna yang masih betah menatap foto di ponsel Jay, "Pokoknya aku ingin mencetak foto ini dengan ukuran besar Mas, nanti aku akan pajang foto ini di kontrakan kita." Ucap Luna.
"Baiklah Tuan putri, apapun yang membuatmu bahagia, Mas akan turuti." Sahut Jay yang terus tersenyum melihat Luna tertawa bahagia.
Nathan yang duduk paling pojok, terus menatap sepasang suami istri yang sedang bersenda gurau, lebih tepatnya dia terus menatap Luna.
"Dia... kenapa aku merasa tidak asing dengan wajah itu." Batin Nathan.
...Nathan yang duduk paling pojok, terus menatap sepasang suami istri yang sedang bersenda gurau, lebih tepatnya dia terus menatap Luna....
..."Dia... kenapa aku merasa tidak asing dengan wajah itu." Batin Nathan....
...***...
Dua orang pelayan datang seraya mendorong troli tag berisi beberapa makanan, "Permisi Tuan." Ucap pelayan-pelayan itu saat akan memisahkan semua makanan ke meja.
Marvin membalasnya dengan senyuman, namun Nathan terlihat masih menatap ke arah Luna.
"Silahkan Tuan." Ucap pelayan yang baru saja selesai menyiapkan makanan di meja Nathan dan Marvin.
"Terimakasih." Sahut Marvin lalu kembali tersenyum.
Dua pelayan itu pun balas tersenyum lalu membungkukan kepalanya sebelum akhirnya pergi.
Marvin merasa heran saat Nathan justru terlihat melamun.
"Tuan, Tuan." Panggilnya namun Nathan sama sekali tak bergeming.
"Tuan Nathan." Panggilnya lagi, kali ini ia menepuk bahu Nathan, hingga Nathan tersentak kaget.
"Maaf Tuan." Ucap Marvin yang takut Tuannya akan marah.
"Tidak masalah." Ucap Nathan gegas meraih sendok dan garpu, lalu mulai menyantap makanannya.
Sesekali dia masih melirik ke arah Luna yang sangat menarik perhatiannya, "Cantik." Batinnya lalu tanpa terasa bibirnya mengulas sebuah senyuman.
Marvin yang heran dengan gerak gerik Tuannya pun menoleh ke belakang, untuk melihat siapa yang berhasil mencuri perhatian Tuannya yang kaku dan dingin ini.
"Apa Tuan menyukainya?" Tanya Marvin tiba-tiba.
Nathan langsung mengalihkan pandangannya karena malu tertangkap basah sedang memperhatikan seorang wanita.
"Ti...tidak." Sahut Nathan.
"Tuan katakan saja, jika Tuan memang menyukainya, saya akan mendapatkannya untuk Tuan." Ucap Marvin yang sebenarnya sangat senang jika Tuannya memang tertarik pada wanita, karena sejak dulu Tuannya ini tidak pernah dekat dengan wanita manapun, hingga menimbulkan desas desus kalau Nathan laki-laki yang tidak normal.
"Diam kau, apa kau tidak lihat, dia bersama kekasihnya, atau mungkin suaminya." Ucap Nathan geram, karena Marvin justru begitu antusias.
"Memang kenapa? saya bisa merebutnya dari laki-laki itu, khusus untuk Tuan." Ucap Marvin begitu pedenya.
"Lakukanlah, jika kau bisa." Tantang Nathan, "Aku menyukainya." Sambungnya yang entah kenapa hatinya begitu tertarik pada Luna.
Marvin sontak menyeringai dan langsung bangkit, namun dengan cepat Nathan menahan tangannya, "Jangan sekarang." Ucapnya.
"Kenapa Tuan?" Tanya Marvin gegas duduk kembali.
"Apa kamu tidak lihat, siapa laki-laki yang bersamanya." Ucap Nathan memberi isyarat agar Marvin menatap laki-laki yang duduk bersama Luna.
Marvin menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya, "Itu bukankah Pak Jay, sekretaris Pak Shaka?" Tebaknya.
"Iya, itu memang Pak Jay." Jawab Nathan, "Sekarang apa kamu yakin akan merebutnya dari Jay, untukku?" Tanyanya penuh penekanan.
"Anda meremehkan saya Tuan, bagi saya, Jay itu tidak lebih dari serangga kecil, tinggal tepuk, beres."Ucap Marvin seraya menyatukan kedua tangannya hingga menimbulkan suara.
"Baiklah, jika memang kau bisa, maka lakukanlah. Tapi kita tidak boleh gegabah, aku tidak mau usaha kamu nanti sia-sia, kamu selidiki dulu perempuan itu." Pinta Nathan.
"Setelah itu...." Nathan nampak membisikan sesuatu di telinga Marvin, Marvin tersenyum penuh arti, dia setuju dengan ide yang Tuannya berikan.
"Baiklah Tuan, saya akan lakukan sesuai permintaan Tuan, dan saya pastikan Tuan akan mendapatkan perempuan itu." Ucap Marvin lalu menyeringai menatap dua orang di sampingnya.
"Dan kalau aku berhasil mendapatkan gadis itu, kamu akan aku kasih bonus sebuah Villa di bogor, bagaimana? penawaran yang menarik bukan?" Ucap Nathan seraya mengulurkan tangannya.
"Deal." Sahut Marvin lalu menjabat tangan Nathan.
"Ya sudah, cepat habiskan makanan mu, dan segera lakukan pekerjaanmu." Ucap Nathan kembali menyantap makanannya.
"Baik Tuan." Sahut Marvin.
***
Sementara, saat Jay dan Luna tengah melanjutkan perjalanannya, Jay nampak gelisah, tadi di restoran, dia sekilas mendengar percakapan orang yang duduk di belakangnya.
Insting Jay tak pernah salah, dia bisa merasakan dua orang laki-laki dibelakangnya tadi tengah membicarakannya, meskipun tempat duduk mereka sedikit berjauhan, tapi Jay tau mereka sedang merencanakan sesuatu, dan Luna lah yang menjadi incaran mereka.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Luna." Batinnya menatap Luna yang perlahan memejamkan matanya.
"Sayang, tidurnya nanti saja di rumah, kita sudah hampir sampai." Ucap Jay saat Luna hampir memejamkan matanya.
Luna pun kembali membuka matanya, dan benar saja, tak lama Gani memperlambat laju mobil.
Luna mengintip keluar jendela, dia bisa melihat gerbang besi berwarna hitam yang kokoh dan menjulang tinggi, lalu seseorang berlari membukakan pintu gerbang.
Mobil yang di kendari Gani itu mulai memasuki halaman rumah yang begitu luas. Dan saat mobil berhenti, Gani buru-buru membukakan pintu untuk Luna dan Jay.
Jay membimbing Luna turun dari mobil dengan sangat hati-hati.
Luna tercengang melihat rumah di hadapannya, "Mas ini rumah siapa?" Tanyanya.
"Ini rumah seseorang yang sangat special untuk Mas." Jawab Jay tersenyum seraya menatap rumah yang baru kali ini akan benar-benar ia tempati bersama sang istri.
"Ma.. maksudnya?" Tanya Luna dengan jantung yang berdebar.
"Orang yang special, jangan jangan Mas Jay sudah punya istri sebelumnya." Tuduh Luna dalam hati.
"Iya, ini rumah istri Mas." Ucap Jay sedikit ingin menggoda Luna.
Deg
Luna tercengang, hatinya terasa seperti di tusuk benda tajam, Ia hampir saja menangis, namun tiba-tiba beberapa pelayan pria dan wanita keluar dari dalam rumah dan langsung menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang Tuan, Selamat datang Nyonya, Selamat atas pernikahan kalian." Ucap mereka serempak lalu melempar senyuman lebar dengan tubuh menunduk hormat.
Luna hanya mengulas senyum, tapi penuh kebingungan, "Rumah istri Mas Jay, apa benar Mas Jay punya istri lain selain aku." Batinnya.
Luna terdiam cukup lama, membayangkan jika dia masuk ke dalam lalu ada wanita lain yang merupakan istri pertama dari Jay.
"Ya Allah, apa aku juga harus merasakan menjadi istri kedua." Batin Luna meremas baju bawahnya menahan sesak di dadanya.
"Ayo." Ajak Jay menarik tangan Luna, namun saat sampai di depan pintu, Luna tersadar dari lamunannya dan segera menarik tangannya kembali.
"Aku tidak mau masuk Mas." Ucapnya.
"Kenapa? Tanya Jay heran.
"Aku mau pulang ke kampung Saja." Jawab Luna lalu berbalik badan dan melangkah pergi.
"Hei, kenapa kamu malah mau pulang kampung?" Ucap Jay dengan cepat meraih tangan Luna kembali.
"Aku...aku..." Luna ingin menjawab, namun mulutnya tiba-tiba terasa Kelu, hingga tak ada kata yang keluar dari mulut nya.
Jay yang merasa gemas langsung menggendong tubuh Luna dan berjalan memasuki rumah mewah itu. Para pelayan segera bergeser memberikan jalan untuk Jay.
"Mas lepasin, aku ngga mau masuk Mas, aku takut istri kamu marah." Luna terus berontak.
Jay mengerutkan keningnya, Ia lupa kalau tadi sempat menggoda Luna saat Luna bertanya ini rumah siapa, dan dia malah menjawab rumah istrinya.
Jay segera menurunkan Luna dari gendongannya, "Kamu tenang saja sayang, istriku tidak mungkin marah." Ucap Jay yang lagi-lagi berusaha menggoda Luna.
Luna terisak, "Jahat kamu Mas." Ucapnya mendorong tubuh Jay.
"Hahaha." Jay tertawa, dia begitu senang bisa menggoda sang istri.
Namun reaksi Luna justru membuat Jay merasa bersalah, Luna menangis tersedu-sedu lalu jatuh terduduk di lantai dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
"Hei, kenapa kamu seperti ini." Ucap Jay gegas menarik tangan Luna agar berdiri.
"Kamu jahat Mas, kamu jahat, semua kata-kata manis kamu itu bulsit, kamu tega Mas menjadikan aku istri kedua." Racau Luna dalam tangisnya seraya memukuli dada Jay.
Tak pernah terpikir dalam benak Luna akan menjadi istri yang kedua, dia tak rela, harus berbagi suami dengan wanita lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!