NovelToon NovelToon

After Death

Bagian 1 : Menuju Kematian

Prolog

*Siapa sangka aku bakal dibangkitkan kembali setelah kematianku yang memilukan. Usai mengalami detik-detik pembunuhan yang tragis, kukira aku paling tidak akan dimasukkan ke surga sebagai kompensasi atas nasib buruk yang kualami menjelang ajal.

Sungguh tak kusangka aku bakal dibangkitkan kembali dalam wujud gembel gelandangan seperti ini. Petugas Registrasi Kematian (PRK) pun turut prihatin saat menjelaskan total saldo Rekening Pahalaku. Kata dia, saldo itu kemungkinan hanya bisa dipakai untuk makan lima hari saja. Setelah lima hari, jika saldoku tidak mengalami mutasi kredit, maka bisa dipastikan aku akan kelaparan dan sekarat.

Tambahnya lagi, di dunia yang kutinggali saat ini, katanya aku tak bisa mati meski sudah sekarat puluhan tahun*.

***

“Pram, ayo minum! Ini adalah hadiah terindah dari kami di ulang tahunmu yang ke-17!” Ghozie dan Candy menyuguhkan segelas minuman segar kepadaku, katanya itu adalah minuman keberuntungan yang mereka pesan khusus demi merayakan ulang tahunku kali ini.

Dengan senang hati aku menenggak segelas minuman itu, sedikit getir dan bau. Aku penasaran dan bertanya dengan bercanda ringan,

“Candy, apakah Kau yakin ini benar-benar minuman untuk manusia?”

Candy dan Ghozie tersenyum menyeringai, musik hip hop dimatikan sebentar dan seluruh tamu yang menghadiri ulang tahunku itu diminta diam sejenak oleh Ghozie, kakak kembarku.

“Halooo teman-teman, Prameswari nanya nih, ini minuman yang kita kasih beneran buat manusia gak sih? Ha ha ha, dijawab apa nih, Kawan?”

Semua hadirin bisu sejenak, saling berbisik dan menyeringai. Lalu, Candy memberiku sepucuk surat. Dia memintaku untuk membaca surat itu menggunakan pengeras suara. Sedikit penasaran, aku memicingkan mata sebentar kepada secarik kertas dengan tulisan yang sangat persis dengan tulisanku itu. Kubaca pelan-pelan sesuai dengan instruksi Candy.

**Dear Papa, Pa… Maafin aku yang dengan bodohnya melakukan hal gila ini hanya karena seorang pria. Asal Papa tahu, Pangli adalah jantung dalam tubuhku. Jantung seharusnya tak boleh lepas, bukan?

Kami telah berjalan di atas waktu dengan membuat banyak kenangan sekaligus menyusun masa depan. Sayangnya, sepertinya masa depanku akan menguap segera, Pa.

Beberapa waktu lalu jantungku lepas, melompat-lompat dan hinggap di dada seorang perempuan. Aku tak bisa untuk bersedih saja. Aku tak bisa untuk menangis saja, Pa. Jantung yang lepas bukanlah bencana remeh-temeh yang bisa lenyap setelah kita menangis. Setidaknya, aku harus mati. Dengan begitu, aku tak perlu sedih berlebihan jika air mataku habis sementara lukaku belum sirna.

Semoga Papa bahagia bersama Ghozie dan Candy. Salam puteri bungsumu, Prameswari**...

“Haha… Apaan sih ini, Candy? Semacam surat wasiat kematian saja. Siapa yang nulis ini? Mirip banget sama tulisanku?”

“Pram, itu adalah tulisanmu, paling tidak semua orang akan menganggap demikian. Dan besok, saat jasadmu ditemukan di sini, semua orang akan paham bahwa kamu bunuh diri. Bukan dibunuh… Hahaha… Bagaimana Kawan-kawan, kisah hidup Pram luar biasa indah, bukan?”

Semua tamu yang hadir bertepuk tangan dengan mimik muka yang menurutku, sedikit membingungkan. Aku masih belum mengerti candaan macam ini.

“Oh, jadi kalian menyiapkan sebuah prank untukku? Seolah-olah aku mati dan kemudian Papa akan bingung dan menangis untukku? Oh Ghozie, Candy, kalian kakak-kakak yang brillian, ha ha ha.”

Aku berbicara dengan setengah gemetar, aneh sekali, tiba-tiba betisku bergetar dan telapak tanganku dingin.

“Bukan seolah-olah, Sayangku. Kau akan benar-benar mati dalam hitungan menit. Masa jayamu sudah berakhir. Minuman yang Kau minum itu adalah racun yang telah dipesan langsung oleh Pangli, Kau tahu, pacar tampanmu itu adalah salah satu orang yang paling bersemangat menanti kematianmu. Benar kan, Pangli?”

“Benar, Pram. Kau tahu, setelah kematianmu, aku bakal mampu membeli apa pun yang kuinginkan. Aku bakal bisa traveling ke luar negeri sebegaimana itu cita-citaku sejak dulu. Bahkan, Ghozie dan Candy telah menguruskan Paspor dan Visa untuk liburanku. Maafkan aku, Pram, tapi memang benar aku menanti saat-saat ini!”

Hatiku mencelos, aku tak ingin percaya tapi setiap hembus napasku, semakin aku merasa sesak dan pusing. Aku ingin mengambil napas sebanyak-banyaknya tapi seolah ada bongkahan batu menyumbat paruku. Dan di bagian ulu hati, aku merasa ada peluru yang berjalan naik turun membelah daging-daging di tubuhku.

“Candy, katakan bahwa ini semua hanya sebuah Prank, iya kan? Cepat katakan padaku kalian semua menipuku!”

“DJ, ayo mulai lagi pestanya. Mari menyambut kematian tuan puteri dengan riang gembira, ha ha ha!” Ghozie berteriak mengaja pesta dimulai kembali.

Aku tersungkur, musik bising memenuhi ruangan dan semua orang saling berdansa bahagia. Menertawaiku yang berkali-kali mencoba merangkak bangun. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berdoa kepada Tuhan, meski aku tak tahu Tuhan yang mana yang kumaksud sebab nyatanya aku tak beragama.

Berkali-kali aku menyebut Tuhan, meminta tolong padanya untuk menjelaskan bahwa ini semua adalah sebuah prank dan segalanya akan segera baik-baik saja.

Sebelum mataku benar-benar tertutup rapat, aku menjerit sekeras yang kubisa, menahan nyeri dan ngilu yang menusuk-nusuk di perut dan kepala. Aku menjerit meminta tolong, kulihat Ghozie dan Pangli mendekatiku. Kukira mereka akan membopongku, ternyata mereka mengambil ponsel di saku dan merekam diriku yang kejang-kejang dan mulai berbusa. Mereka tertawa terbahak-bahak menikmati pemandangan seseorang yang meregang nyawa.

Bagian 2 : Registrasi Pasca Kematian

 

Saat mataku benar-benar tertutup rapat, kukira aku akan menghilang dan tak merasakan apa-apa. Aku salah, rasa sakit yang menusuk-nusuk itu tak menghilang, semua inderaku masih bekerja kecuali mata. Telingaku mendengar tawa riang semua orang di ruangan. Kudengar seseorang menyeru untuk menyerbu pohon kado milikku. Itu adalah aneka kado yang diberikan oleh para tamu dan kolega ayah untuk ulang tahunku. Dalam pendengaranku, kutangkap bahwa Pangli adalah makhluk paling serakah di ruangan, dia sepertinya tak segan-segan memukul siapa saja yang berusaha mengambil bingkisan yang ia inginkan.

********!

Selama ini dia hanya menampilkan wajah manis dan manja di depanku. Memuji semua yang ada pada diriku. Mengagumi seluruh lekuk di tubuhku. Mendadak aku menjadi sangat jijik dan malu pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku memberi izin kepada ******** seperti Pangli untuk berwisata di seluruh tubuhku. Kemudian, malu yang kurasakan segera menjelma menjadi sebuah amarah. Aku berteriak menghardik siapa saja, meraung sekeras yang kubisa. Aku ingin mencekik semua orang di ruangan. Aku ingin beranjak bangun tapi aku tak tahu di mana kakiku, tanganku, bahkan aku tak tahu di mana aku. Yang terasa dari diriku adalah sebuah ngilu yang tak bertempat. Aku mendengar suara-suara tapi aku bahkan tak tahu di mana telingaku.

Apakah aku menjadi asap?

Apakah aku berwujud udara?

Sebelum semua kebingunganku terjawab, aku merasa diriku tersedot ke dalam pusaran angin. Mual dan pening membuatku benar-benar ingin muntah. Tapi Oh, bahkan aku tak tahu di mana mulutku.

 

Hening…

 

“Nona Prameswari…”

“Nona Prameswari…”

“Hey, bangun… Kau sudah dipanggil beberapa kali.”

Aku mengernyitkan dahi, mencoba memicingkan mata perlahan-lahan. Setelah kulihat tubuhku utuh dan aku berada di sebuah ruangan yang ramai dengan banyak orang, aku beranjak bangkit dan berteriak.

“Terima kasih Tuhan! Ternyata semua ini benar-benar hanya sebuah prank!”

“Nona, apa maksudmu, ayo bergegaslah, petugas sudah memanggilmu sejak tadi.”

“Gosh… Berapa duit Ghozie mempersiapkan prank gila macam ini? Kereeen!”

Aku berdecak kagum mengagumi sekeliling. Mengagumi pakaian gembel yang melekat di tubuhku. Ghozie benar-benar paham bahwa aku jijik dengan baju gelandangan. Sumpah! Ini adalah prank tergila yang pernah kualami!

“Nona Prameswari… di panggilan terakhir jika Nona tidak segera datang ke sumber suara, saldo rekening Nona akan dipotong sebagai denda!”

Seseorang dalam ruangan menyeretku. Aku masih menyeringai menikmati keadaan sekeliling yang begitu nyata dan seperti tak dibuat-buat. Aku dihempaskan pada sebuah meja informasi.

“Petugas, ini yang namanya Prameswari!”

“Nona, mengapa kamu menyusahkan semua orang! Antrian semakin mengular gara-gara kelakuanmu!

Seorang petugas informasi yang cantik tapi jutek itu menghardikku sambil menyeret tanganku untuk masuk ke sebuah ruangan.

 

Loket Registrasi Pasca Kematian

Haha… Apa-apaan ini? Tentu prank semacam ini akan memakan ratusan juta, oh, betapa gilanya saudara-saudaraku itu!

 

“Nona Prameswari, melihat tingkahmu itu sepertinya Kau belum paham di mana saat ini Kau berada!" Seorang lelaki penjaga loket yang usianya sekitar tiga puluhan tahun menginterupsi lamunanku.

 

Aku tersenyum riang.

 

"Di mana pun ini, aku tak peduli. Yang penting aku masih hidup dan tentu itu hal yang sangat membahagiakan. Kau tahu, sebelumnya kukira aku sudah mati, dan mati dibunuh! Oh, betapa mengerikan sekali jika itu nyata, haha!”

“Maaf, Nona, tapi Kau memang benar-benar dibunuh. Oleh saudara-saudaramu yang iri dengan perlakuan ayahmu. Oh sudahlah itu tak penting. Lagipula antrian sudah mengular, mari segera selesaikan registrasi, Nona.”

Aku mengernyitkan dahi dan masih 100% percaya bahwa ini semua adalah bagian dari prank yang direncanakan Ghozie dan Candy. Sampai akhirnya, layar LCD di hadapanku itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku melihat kecanggihan teknologi yang tak mungkin dijangkau oleh manusia di masaku hidup. Teknologi yang tak mungkin mampu diupayakan oleh Ghozie dan Candy dengan cara paling mustahil sekali pun!

Saat itu, petugas memintaku duduk di sebuah kursi hitam. Ia meminta kepalaku bersandar rileks agar sebuah alat yang mirip dengan helm itu bisa terpasang sempurna di kepalaku. Kedua tanganku diletakkan di gagang kursi dengan melekatkan semua sidik jari pada sensor yang sudah terpasang di gagang kursi. Aku diminta menatap layar LCD di hadapanku. Pertama-tama, begitu jari-jemariku menyentuh sensor, aku merasa ada aliran listrik menyengat jemariku. Kemudian aliran listrik itu perlahan mengalir naik ke kepala bagian belakangku dan puncaknya, aku seperti tersengat ribuan tawon. Tubuhku menggelinjang sebentar dan kemudian semuanya kembali normal. Tapi, layar LCD di depanku membuatku bergidik ngeri.

Layar LCD itu mula-mula menampilkan adegan seorang ibu muda yang sedang melahirkan puterinya di sebuah ruangan sempit di rumah kumuh yang hanya ditemani oleh seorang pria kusam dengan wajah muram. Meski tampak berpuluh-puluh tahun lebih muda, aku mengenali bahwa mereka adalah ayah dan ibuku. Pikiranku bergejolak, jika aku memilih untuk percaya bahwa mereka itu ayah dan ibuku, sama artinya dengan aku sedang mempercayai bahwa aku telah mati.

Tentu aku tak pernah ingin percaya pada tayangan dalam LCD itu, tapi semakin ke belakang, semakin ia menampilkan semua kehidupanku. Dari aku bayi hingga anak-anak, hingga dewasa.

 

Cuplikan-cuplikan tentang perjalanan hidupku ditampilkan kembali dengan begitu sempurnanya. Membuatku tersadar juga bahwa ada beberapa poin dalam hidupku yang luput aku sadari.

 

Aku hidup bersama Ghozie dan Candy, saudara yang kusayangi, yang ternyata sedari aku kecil mereka sudah menginginkan kematianku. Ternyata itu dikarenakan oleh sikap ayah yang terlalu menganggapku special. Sebagaimana sebelum kelahiranku kehidupan ayah sekeluarga sangat memprihatinkan. Bisnis ayah selalu gagal dan kemiskinan pun tak terelakkan.

Setelah kelahiranku, semua bisnis yang digeluti ayah merangkak naik dan sukses. Ayah menganggap aku adalah anak keberuntungan dan memperlakukanku secara special. Dia lupa bahwa semua anaknya memiliki porsi yang sama-sama ingin disayangi, tapi karena menganggap bahwa kehadiranku adalah semacam jimat, ia tak bisa berlaku adil kepada kami. Meski berat menerima kenyataan, dengan melihat semua tayangan-tayangan di LCD, aku mulai memaklumi tindakan Ghozie dan Candy.

Gosh!!!!

 

Apakah itu artinya aku percaya bahwa aku ini sudah benar-benar mati???

Bagian 3 : Sehari Sebelum Kemarin

Ghozie melihat saudara perempuannya asyik bermain ponsel di balkon kamar miliknya. Gadis itu memang sudah terbiasa menerobos kamar miliknya, meski diomel setiap hari pun, Prameswari tetap tak kapok. Prameswari senang berada di kamar kakak-kakaknya karena baginya, berada dekat dengan kedua kakaknya akan mengembalikan ingatan membahagiakannya di masa kanak-kanak.

 

“Hei Ghozie, lihat ini, aku menemukan stelan baju yang bagus untukmu. Kau pasti akan sangat tampan jika mengenakan ini di hari ulang tahunku!”

 

Semula Ghozie ingin menghardik Pram yang semena-mena mendatangi kamarnya. Padahal baru saja ia meletakkan serbuk racun yang ia dapat dari Pangli, serbuk yang nantinya akan ia gunakan untuk menghabisi nyawa Prameswari.

 

“Whoiy… Kok malah bengong, sih? Ayo buruan sini, kamu suka gak? Kalau suka langsung nih aku Check out, aku minta kirim ojol hari ini ya… Trus kamu pengen apa lagi? Mumpung aku lagi sok baik nih, hehe.” Prameswari beranjak berdiri menghampiri kakaknya yang terdiam membisu. Ia menarik paksa Ghozie ke sofa panjang di sisi kiri kamar. Ghozie pun terhempas duduk di sofa, diikuti oleh Prameswari yang kemudian mendekap lengannya manja.

“Hem… entah mengapa aku tadi di sekolah pengeeen banget buru-buru pulang. Rasanya kangen kamu sama Candy. Aku juga udah bawain sekotak coklat buat Candy, sayang dia masih tidur. Ya udah aku main ke sini nyari kamu.”

Hati Ghozie berdegup kencang, antara gugup, bingung, dan sedih. Rencana untuk membunuh Prameswari sudah bulat dan matang. Tapi batinnya terusik dengan tingkah Pram yang manja. Bagaimana pun, Ghozie merupakan kakak laki-laki dari seorang adik perempuan yang manis dan penyayang. Ghozie menengok daftar belanjaan adiknya di Marketplace, ternyata Pram sedang memilihkan aneka stelan Jas yang cukup mahal untuknya. Ghozie bahkan tak pernah sekali pun memberi hadiah-hadiah mewah untuk adiknya. Ada rasa sedih yang menjalar ke dadanya, bahkan, menjelang akhir hayat adiknya, ia belum memberi sesuatu yang berarti.

“Pram, apakah Kau menyayangiku?” Agak ragu, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Ghozie, tanpa permisi.

“Hei hei… pertanyaan macam apa ini? Bukti cinta yang seperti apa yang kau minta wahai kakakku yang tampan dan bersahaja?” Prameswari mendekap pipi Ghozie dengan kedua telapak tangannya. Matanya berbinar memandangi muka kakaknya yang seperti kebingungan.

 

Kemudian, dengan refleks Ghozie memeluk Pram dengan begitu erat. Air mata mulai mengucur deras di pipi hingga ke dagu hingga mengalir membasahi pundak Prameswari,

 

“Ghozie lepaskan aku. Kau memelukku terlalu erat. Ada apa? Tumben kau cengeng begini!”

Ghozie melepas pelukannya dan membuang muka dari Prameswari. Dengan suara pelan Ghozie bergumam,

“Aku sedang rindu Mama, dan hanya dari matamu aku bisa menemukan mama kembali. Karena itulah aku menangis, kurasa.” Ghozie berbohong, ia menangis atas keluguan adiknya yang begitu bergembira padahal besok ia akan mati dengan cara yang sangat tidak menyenangkan. Bahkan, Ghozie sudah diperintah untuk membuat kalimat-kalimat kejam yang bertujuan untuk membuat kematian Prameswari menjadi semakin dramatis. Ghozie terisak semakin menjadi. Mengenang kembali betapa Pram selalu menggelayut manja di pundaknya, betapa setiap waktu Pram selalu menyelamatkan Ghozie dari amukan ayahnya yang kerap menyiksa Ghozie dan Candy. Dan setelah sekian tahun hidup dengan begitu disayangi oleh adik kecilnya yang manis dan menggemaskan, Ghozie memilih takdir untuk membunuh gadis malang itu.

“Oooh… So Sweet… Come to Mama, baby…” Prameswari yang melihat Ghozie membuang muka sambil terisak kemudian mendekat dan melingkarkan tangannya ke tubuh Ghozie. Dengan gaya centilnya, jemarinya mempermainkan dagu dan hidung Ghozie, kemudian mengelus-elus rambut Ghoizie seolah Ghozie adalah putera kecilnya. Sementara itu, Ghozie larut dalam kebimbangan yang menyiksa.

Ghozie dan Candy adalah saudara kembar yang lahir pertama. Mereka memiliki Prameswari ketika mereka beranjak di usia 3 tahun. Itulah mengapa saat dewasa mereka tampak seperti teman sepermainan. Prameswari sangat menyayangi kedua kakaknya tanpa pernah tahu jika kedua kakaknya merupakan orang yang sangat berharap Prameswari mati bahkan sejak Pram baru dilahirkan ke dunia.

“Ghozie, tahu gak sih, semalam aku mimpi buruk. Aku kira aku tercebur ke sumur berhantu sementara kamu sama Candy hanya tertawa melambaikan tangan dari atas sumur! Huft… meski hanya mimpi, untuk sejenak aku merasa geram sama kalian. Tapi oh, bukankah itu hanya mimpi, aku yakin di dunia nyata, jika nyawaku terancam, aku tahu kau adalah orang pertama yang akan berjuang menyelamatkanku. Iya kan, Ghozie.”

Pertanyaan Prameswari sontak membuat Ghozie gemetar. Antara takut, kaget, dan sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri yang memilih menjadi kakak jahanam.

Pram… Segeralah mati dengan caramu sendiri agar aku tak perlu membunuhmu dengan tanganku. Kumohon…

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!